“Cinta adalah makhkota kemuliaan umat manusia, kebenaran jiwa yang terkudus, rantai emas yang menghubungkan kita dengan tugas dan kebenaran, prinsip penyelamatan yang mendamaikan hati kehidupan, dan merupakan ramalan terjadinya kebaikan abadi.”
—Plutarki (Plutarchos (Πλούταρχος), sejarawan, penulis biografi dan esei Yunani Kuno
Delapan belas tahun silam, saya pernah punya sahabat berjenis kelamin perempuan. Hubungan kami membangunkan keinsafan pada diri saya bahwa tidak selamanya sesuatu yang melekat pada kehidupan kita itu dapat didefinisikan. Secara normatif, orang pada umumnya menilai antara laki-laki dan perempuan tidak mungkin terjalin hubungan yang bersifat persahabatan belaka; yang mungkin adalah bermusuhan atau menjadi sepasang kekasih.
Nyatanya, itulah yang terjadi antara saya dan K (inisial dari nama yang bukan sebenarnya). Kami saling mencintai, namun cinta yang kami punya adalah cinta tanpa definisi – cinta yang berada di luar lingkaran pemahaman orang pada umumnya. Saya kira, cinta yang sedemikian itu sifatnya Ilahiah, lantaran bersifat aseksual, tidak ada kecemburuan, tidak ada penyesalan dan kesedihan (ketika harus berpisah), tidak ada keinginan untuk menaklukkan dan menguasai. Semua berlangsung alami, tak ada desakan nafsu, melainkan penuh penyerahan dan keikhlasan. Saat itu, saya juga sempat bertanya-tanya cinta apakah yang saya dan K miliki.
Kami pun pernah membahasnya. Tetapi hingga selesai diskusi, cinta yang kami punya tetap tak punya definisi. Dan, akhirnya, hubungan kami kandas dalam prosesnya, dikalahkan oleh cinta yang punya definisi, yang melulu isinya nafsu, milik seorang laki-laki yang kelak menjadi suami K.
Cinta tanpa definisi, yang saya kira juga hinggap pada sebagian kita, bersifat tak bersyarat, sebagaimana cinta Sang Pencipta pada ciptaanNya. Sepanjang hidup saya, tak sedikit dosa yang saya perbuat, tetapi selalu saja saya diberi kesempatan berikutnya. Setelah kesempatan kedua diingkari, masih diberi kesempatan ketiga, keempat dan seterusnya. Ada kawan yang bilang, “Hati-hati, kesabaranNya ke lu bisa habis (Tuhan bisa ya selemah itu? – ADS), terus Dia cabut nyawa lu.” Sebagian besar dari kita menganggap maut adalah hukumanNya untuk manusia yang ndablek seperti saya. Padahal kematian menimpa siapa saja, tak terkecuali. Saya pribadi beranggapan bahwa kematian merupakan wujud cintaNya, supaya kita tidak perlu berlama-lama menderita di dunia.
Saya menemukan mutiara-mutiara pencerahan mengenai cinta tanpa definisi itu dalam ajaran spiritual ‘jalan cinta’ Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. Tetapi yang mereka tawarkan bukan kebenaran akhir, melainkan pengalaman-pengalaman pribadi yang terus berkembang seiring tumbuhnya cinta tanpa definisi – cinta suci yang cenderung, akhirnya, dinodai oleh prasangka dari mereka yang tidak memahami bahwa perbuatan Langit tak selalu harus punya arti yang memuaskan akal pikir semata.
Cinta tanpa definisi, sebagaimana yang tercurah dari Langit, tak butuh sembah-sujud. Ia mengada begitu saja, laksana vibrasi yang menyeruak tatkala diri menyelami alam meditasi. Murni, tanpa embel-embel. Hakikatnya, semua cinta ya begitu itu: lahir dalam keadaan telanjang bulat, tidak berindra, hinggap begitu saja pada mereka yang Dia kehendaki, tanpa (harus ada) alasan, tanpa tujuan – yang bahkan membuat mereka yang terkena bertanya, “Kok aku? Kok dengan dia? Kok bisa?” – sebagaimana dilantunkan Daniel Bedingfield lewat lagunya, If You’re Not the One.
Yang melekatkan padanya atribut dan segudang definisi adalah manusia. Cinta ibarat bayi yang dilahirkan ke dunia tanpa tahu tujuannya untuk apa, sampai orang tuanya memberitahunya dan sepanjang hidupnya si anak menganggap apa yang diberitahukan kepadanya oleh ayah-ibunya adalah kebenaran mutlak. Saya yakin, cinta akan jauh lebih indah dan mencerahkan jika sejak awal ia tidak dibeliti hasrat untuk menguasai dengan aroma seksual berbalut kasih sayang.
Banyak yang bahkan memberi cinta sejumlah kriteria, yang lantas dianggap kebenaran yang hakiki. Mereka bilang, cinta adalah cinta bila ada kontak fisik, ada persentuhan lahiriah, supaya bila berjauhan dapat membayangkan si dia dan merindukannya. Lha, para pecinta Tuhan tak pernah melihat bagaimana wujudNya, tak pernah menyentuhNya, tetapi kok bisa merindukanNya dan mencintaiNya?
Cinta semacam itu kini menghinggapi saya. Hingga catatan ini harus saya sudahi, ia tetap menjadi cinta tanpa definisi.©