Thursday, February 6, 2025

Jejak-Jejak Seratus Tahun

 


MESKIPUN tidak diketahui dengan pasti kapan sebenarnya wahyu Latihan Kejiwaan diterima oleh Muhammad Subuh, namun tidak ada salahnya rangkaian kegiatan peringatan 100 tahunnya diselenggarakan susul-menyusul dengan Kongres Nasional XXXI PPK Subud Indonesia. Bisa dibayangkan betapa hiruk-pikuknya suasana yang menyelimuti Wisma Subud Cilandak, Wisma Barata Pamulang, dan tempat-tempat lainnya yang menyimpan jejak-jejak kehidupan Bapak dan Subud di Pulau Jawa dan Kalimantan Tengah. Para anggota Subud Indonesia, terutama yang ada di dalam kepanitiaan kedua perhelatan akbar itu, sudah tentu harus menghadapi kesibukan luar biasa.

Dalam Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo diceritakan bahwa Bapak sedang berjalan kaki santai di tengah malam untuk melepas kepenatan setelah belajar tatabuku ketika pengalaman ajaib itu beliau lalui. Diceritakan bahwa sebuah bola cahaya jatuh ke kepala beliau ketika beliau berjalan di depan proyek pembangunan Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ) atau Rumah Sakit Sipil Pusat yang sudah tuntas. Menilik tahun dari kejadian yang dialami Bapak, yaitu 1925, sedangkan CBZ diresmikan pada 9 September 1925, dapat kita perkirakan bahwa wahyu itu turun dalam rentang waktu antara akhir Juli dan pertengahan Agustus 1925.

Tetapi di Subud, apalagi dalam budaya masyarakat Indonesia, kapan persisnya waktu terjadinya sebuah peristiwa tidaklah sepenting peristiwanya. Makanya, alih-alih menyelenggarakan peringatan 100 tahun pada sekitar bulan Juli atau Agustus—atau lebih pas lagi, bersamaan dengan bulan kelahiran Bapak, Juni—Pengurus Nasional Subud Indonesia membarengkannya dengan perhelatan dua tahun sekali di Subud Indonesia, yaitu kongres nasionalnya. Rangkaian kegiatan dalam rangka peringatan 100 Tahun Penerimaan Bapak di bulan Januari 2025 ini menggerakkan seluruh energi menuju Kongres Nasional PPK Subud Indonesia yang sangat meriah, dihadiri oleh 800 peserta dari 41 cabang di seluruh negeri; termasuk di antaranya 48 peserta asing dari 18 negara.

Tanda-tanda kemeriahan bernuansa internasional mulai tampak pada 25 Januari, ketika para anggota dari luar negeri berdatangan ke Wisma Barata Pamulang pada malam hari. Itu hari Sabtu, jadwal Latihan regulernya Ranting Pamulang, sehingga tak mengherankan jika suasananya kian ramai lantaran para anggota Indonesia berbaur dengan saudara-saudarinya dari luar negeri yang menjadi peserta kegiatan menelusuri kembali jejak-jejak seratus tahun Latihan Kejiwaan yang diterima Muhammad Subuh di Semarang pada tahun 1925. Hidangan cukup meriah dan lezat menanti para hadirin, di samping izin untuk mengunjungi kamar tidur Bapak di lantai dua rumah utama.

Dari Wisma Barata, para peserta asing utamanya kembali ke hotel masing-masing—sebagian menginap di sejumlah tempat di dalam kompleks Wisma Subud yang berfungsi sebagai penginapan. Panitia telah mengoordinasi transportasi para peserta asing dari dan ke Wisma Subud, sebagai titik kumpul mereka. Mereka menantikan acara pembuka dari rangkaian kegiatan peringatan 100 Tahun Penerimaan Bapak keesokan harinya, 26 Januari.

Hari ke-1

KETIKA saya tiba di Wisma Subud pada sekitar pukul setengah sepuluh, para peserta asing telah berada di dalam Hall Latihan, mendengarkan rekaman audio ceramah Bapak. Di bagian lain dari Wisma Subud, yaitu Adi Puri, juga tengah digelar pameran Ceramah Bapak yang diselenggarakan oleh Pusat Arsip WSA di Jakarta. Pameran yang sama juga digelar di selasar depan ballroom di venue Kongres Nasional XXXI PPK Subud Indonesia, yaitu di Patra Semarang Hotel & Convention, Semarang, Jawa Tengah, pada 31 Januari hingga 2 Februari 2025. Karena kegembiraan yang tercipta di luar Hall Latihan Cilandak pada hari Minggu yang cerah itu, dengan temu kangen antara para anggota Indonesia dan luar negeri bertemankan minuman panas dan dingin serta nasi kotak, beberapa kegiatan yang sebenarnya sudah ditetapkan di General Agenda terpaksa dibatalkan. Bagaimanapun, Latihan bersama tetap diadakan, pria dan wanita bergantian, di Hall Cilandak.



Film sejarah perjalanan Bapak dan perkembangan Subud menghibur para hadirin yang menikmati perjamuan makan malam di dalam Hall Cilandak. Ditampilkan pula para sesepuh Subud Indonesia untuk berbagi cerita pengalaman mereka bersama Bapak dalam kesempatan itu. Agenda acara cukup padat pada hari itu, membuat para peserta baru meninggalkan Hall Cilandak ketika malam sudah larut, sementara mereka keesokan harinya harus sudah berada di titik kumpul pagi-pagi sekali, untuk berangkat ke Sukamulya.

Hari ke-2

JIKA diurut dalam rentang masa, Sukamulya adalah “perjalanan terakhir” Bapak. Hal ini dijadikan tema dari tur bermobil sejumlah anggota dari Surabaya, Jawa Timur, yang dibordir di bagian punggung jaket biru cerah yang mereka kenakan: “Dari Kedoeng Djattie ke Sukamulya” (From Kedoeng Djattie to Sukamulya). Jaket itu dipesankan oleh pembantu pelatih mereka (pembantu pelatih yang sama yang membuka saya 21 tahun lalu di Surabaya) dalam jumlah cukup banyak, sehingga bahkan para pembantu pelatih dan anggota dari berbagai cabang di Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur mendapatkannya dan mereka kenakan dalam perjalanan ke Semarang, lokasi Kongres Nasional XXXI PPK Subud Indonesia. Di bagian depan jaket, selain lambang Subud, juga terbordir tulisan “Semarang, Sabtu Wage, 1 Februari 2025”. Sabtu Wage adalah hari lahir Jawanya Bapak, sedangkan 1 Februari adalah tanggal lahirnya PPK Subud. Betapa istimewanya Januari-Februari 2025 bagi Subud secara menyeluruh!



Selama di Sukamulya, para peserta perjalanan bersejarah 100 Tahun Penerimaan Bapak melakukan Latihan di Hall Sukamulya dan, tentu saja, berziarah ke makam Bapak Muhammad Subuh. Makan siang dan ramah tamah tersedia bagi peserta sebagaimana biasanya didapat para pengunjung Sukamulya bila datang dalam rombongan. Sorenya, rombongan napak tilas kembali ke Jakarta menumpang tiga mobil LCV Hiace Commuter yang dikoordinasi oleh panitia. Perjalanan kembali ke Jakarta memakan waktu yang lebih lama dibandingkan berangkatnya karena menghadapi lalu lintas yang sangat padat sejak di kawasan Puncak hingga di Jakarta, karena waktu pulangnya bertepatan dengan jam karyawan pulang kantor.

Hari ke-3

TANGGAL 28 Januari perjalanan ke Semarang dimulai. Semarang adalah ibukota provinsi Jawa Tengah dan memiliki nilai yang sangat signifikan dalam sejarah Subud, karena selain Bapak bertempat tinggal cukup lama di kota di pesisir utara Jawa ini, beliau juga mengalami penerimaan gaib yang kelak dinamai Latihan Kejiwaan itu di sana. Ada tiga daya tarik wisata spiritual bagi anggota Subud yang berkunjung ke Semarang, yaitu rumah Bapak di Bergota Kalisari, area di depan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi dimana Bapak menerima wahyu Latihan Kejiwaan, dan rumah kelahiran Bapak di Kedungjati, yang kini secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Grobogan, sekitar 26 mil dari pusat kota Semarang ke arah tenggara. Pada hari pertama di Semarang, para peserta napaktilas mengunjungi rumah Bapak di Kalisari.



Rumah Kalisari atau oleh masyarakat setempat disebut “Dalem Bapak Subuh” (“dalem” dalam bahasa Jawa berarti “rumah”) terletak di kawasan Bergota, yang memiliki nilai sejarah yang penting bagi Semarang secara keseluruhan. Semarang, yang namanya berasal dari kenyataan bahwa di tempat dimana ia bermula terdapat “asem arang-arang” (Jw., “pohon asam yang jarang”), berawal kurang lebih pada abad ke-6 Masehi di daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan kelak menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan agraris sekaligus talasokrasi yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10 Masehi.



Acara di Rumah Kalisari dimulai sejak sore hingga larut malam, diisi dengan makan malam, mendengarkan rekaman audio ceramah Bapak, dan Latihan bersama di hall yang satu atap dengan rumah utama. Seluruh rangkaian kegiatan di Rumah Kalisari ditutup dengan mengenang Penerimaan Bapak, baik secara penceritaan lisan maupun mengunjungi lokasi terjadinya pengalaman gaib itu yang kini telah menjadi bagian dari RS Dr. Kariadi yang berjarak sekitar 500 meter dari Dalem Bapak Subuh.

Hari ke-4

Keesokan paginya, para peserta napaktilas diangkut ke Kedungjati, desa di Kabupaten Grobogan (pada zaman kolonial, kawasan itu masuk Karesidenan Semarang; sistem karesidenan sudah tidak digunakan lagi kini) di mana Bapak dilahirkan. Bahkan di abad ke-21 ini, Kedungjati masih memberi kesan ketertinggalan, dengan dusun dimana rumah kelahiran Bapak berlokasi jauh dari ingar-bingar modernitas. Di rumah yang bangunannya sebagian besar sudah tidak orisinal itu hingga kini masih ada jadwal Latihan rutin (Kamis dan Sabtu malam) yang diadakan oleh Ranting Kedungjati. Di rumah Kedungjati, para peserta napaktilas juga mencicipi Latihan bersama serta mengunjungi situs bersejarah di dekat rumah tersebut, yaitu Stasiun Kedungjati, stasiun kereta api yang diresmikan pertama kali pada 19 Juli 1868, yang jalurnya merupakan kelanjutan dari jalur kereta api pertama di Indonesia yang terbentang sepanjang 16,7 mil antara Semarang dan Tanggung (juga di Kabupaten Grobogan).



Terdapat kesalahkaprahan di antara para anggota Subud, yang mengira Bapak pernah bekerja di stasiun itu. Bahkan satu anggota dari Surabaya, Jawa Timur, yang berkunjung ke stasiun itu pada 31 Januari, mengatakan bahwa vibrasi Latihan sangat kuat ia rasakan di peron stasiun tersebut dan mengira bahwa Bapak sering melakukan Latihan di situ. Pernyataannya dapat dibantah karena dua alasan: (1) Bapak menerima Latihan pertama kali di Semarang dalam usia 24 tahun, sedangkan beliau bekerja di NIS ketika usia beliau 17 hingga 20 tahun; (2) Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo tidak menyebutkan bahwa Bapak bekerja di Stasiun Kedungjati sebagai penata buku.

Bapak mengawali karirnya sebagai pegawai lepasan di Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) atau Perusahaan Perkeretaapian Hindia Belanda yang swasta di Stasiun Kalitidu di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, berkat bantuan pamannya dari garis ibu beliau yang menjabat sebagai kepala stasiun. Menemukan keberadaan Bapak di Stasiun Kalitidu saat inspeksi, seorang pejabat NIS Belanda mengangkat Bapak sebagai pegawai resmi dan menempatkan beliau di Stasiun Bojonegoro sebelum memutasi beliau ke Surabaya. Autobiografi tidak memerinci nama stasiun di Surabaya tersebut, namun secara historis satu-satunya stasiun besar di kota Surabaya yang dimiliki NIS adalah Stasiun Pasarturi yang dibuka pada 1 April 1900.

Hari ke-5

PADA hari berikutnya, 30 Januari, para peserta menapaktilasi perjalanan Bapak dan Ibu Sumari beserta anak-anak mereka ke Wolodono di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sekitar 86 km dari pusat kota Semarang. Wolodono adalah desa asal Ibu Sumari, istri Bapak. Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, untuk menjauh dari keadaan Semarang Barat yang keadaannya genting, Bapak dan keluarga beliau mengungsi ke Wolodono dengan berjalan kaki. Seperti dikisahkan dalam Autobiografi, Bapak dan keluarga beliau bertemu dengan kepala gerombolan perampok di tengah hutan, yang alih-alih menunjukkan itikad buruk malah mengundang Bapak sekeluarga untuk bermalam di rumahnya, memberi kebetahan pada Bapak sekeluarga, sampai ia bahkan membujuk Bapak untuk tinggal lebih lama.

Ketika saya dan tim SICA dan SES Indonesia ke Temanggung untuk kunjungan kedua kalinya pada Oktober 2024 kami menginap di rumah seorang anggota setempat yang berlokasi di Desa Bulu yang bertetangga dengan Desa Wolodono. Karena keterbatasan waktu, kami tidak sempat mengunjungi rumah Ibu Sumari yang pernah ditempati Bapak sekeluarga selama mengungsi semasa Perang Dunia Kedua, namun tuan rumah kami bercerita bahwa kerabat dari Ibu Sumari masih bertempat tinggal di sana. Mereka tidak ada yang ikut Subud, tetapi di desa tersebut terdapat kelompok kecil anggota Subud yang masih melestarikan Latihan Kejiwaan yang diwariskan pendahulu mereka dari desa itu.

Kenduri Anggota

TANGGAL 31 Januari adalah hari istimewa bagi semua anggota Subud Indonesia. Tanggal itu menandai hari pertama dari Kongres Nasional XXXI PPK Subud Indonesia, yang berlangsung sampai 2 Februari. Bapak menyebut kongres sebagai “kendurinya anggota”, karena di ajang itu para anggota Subud bertemu untuk merayakan silaturahmi, temu kangen dengan saudara-saudaranya yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.


Secara organisasi, seperti tertera dalam Anggaran Dasar Subud Indonesia, kongres diadakan setiap dua tahun sekali, yang dikunjungi oleh para utusan dari cabang-cabang dan lainnya yang dianggap perlu oleh Pengurus Nasional. Jika mengikuti aturan ini, maka sebenarnya yang hadir di kongres nasional tidak sampai seratus anggota. Nyatanya, 800 anggota dalam dan luar negeri menghadiri Kongres Nasional XXXI di Semarang tahun ini—angka ini lebih tinggi dari Kongres Nasional ke-30 di Surabaya pada 2023. Sebagian besar peserta rela menempuh jarak jauh dan mengeluarkan biaya cukup besar sebenarnya karena memandang pentingnya kongres kali ini, yang berbarengan dengan peringatan 100 Tahun Penerimaan Bapak dan ulang tahun ke-78 PPK Subud Indonesia yang tanggal Masehinya bertepatan dengan hari pasaran kelahiran Bapak di kalender Jawa, yaitu Sabtu Wage.

Menjadi salah satu pesertanya, saya menempuh perjalanan bermobil bersama dua pembantu pelatih dari Subud Jakarta Pusat. Perjalanan sejauh kira-kira 438 km dari Jakarta ke Semarang itu memakan waktu hingga lima setengah jam. Di pelataran parkir dan lobi Patra Semarang Hotel & Convention, saya menjumpai kendaraan-kendaraan roda empat maupun bus-bus besar carteran sejumlah cabang telah atau baru tiba, mengangkut orang-orang yang dengan mereka saya cukup familiar tapi hanya dua tahun sekali saya bertatap muka. Suasana keharuan bercampur gembira menyeruak dalam pertemuan-pertemuan kami, diiringi pelukan erat dan saling menempel pipi kanan dan kiri. Tidak sedikit yang menyapa saya dan saya membalas sapaan mereka meskipun saya tidak mengenal mereka—mereka rupanya mengenal saya dari profil media sosial saya; beberapa di antaranya bahkan masuk Subud setelah membaca kisah-kisah pengalaman saya dengan Latihan Kejiwaan yang saya unggah ke blogspot saya.

Selama tiga hari Kongres, para anggota yang tidak memiliki kepentingan dengan kepengurusan dan kepembantupelatihan memanjakan diri mereka dengan pertemuan-pertemuan sesaat atau berlarut-larut dalam gathering kecil yang menginspirasi sekaligus menambah wawasan mengenai sejarah Subud, aspek-aspek kejiwaan serta melakoni hidup dengan bimbingan Latihan. Ballroom Ramashinta yang merupakan bagian dari Patra Semarang Hotel & Convention dipadati para peserta dalam dan luar negeri pada sore hari, 31 Januari, untuk menyaksikan prosesi pembukaan Kongres Nasional. Pemerintah Republik Indonesia diwakili kehadirannya oleh Wakil Menteri Kebudayaan, Giring Ganesha Djumaryo, sedangkan Pemerintah Daerah Jawa Tengah mengutus Kepala Bidang Kebudayaan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Eris Yunianto. Adalah Wakil Menteri Kebudayaan yang mendapat kehormatan untuk membuka Kongres Nasional XXXI PPK Subud Indonesia.

Acara pembukaan berlangsung sangat meriah dengan pertunjukan tari-tarian dan musik, dan kian meriah keesokan malamnya, 1 Februari, yang merupakan puncak acara peringatan 100 Tahun Penerimaan Bapak dan perayaan ulang tahun ke-78 PPK Subud Indonesia. Semua yang hadir merasakan bahwa kemeriahan di dalam ballroom dan hujan deras terus-menerus di luar ballroom memastikan bahwa jejak-jejak seratus tahun yang telah lewat akan tercetak kembali seratus tahun ke depan dengan optimisme yang langgeng.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Februari 2025

No comments: