Sunday, February 9, 2025

Syariat Ala PAUD

JAM 10.30, ketika saya akan berangkat ke Wisma Subud Cilandak, pintu rumah saya dikunci dari dalam oleh Nuansa. Dia menghindari empat anak laki-laki usia lima sampai sepuluh tahun yang dengan mereka Nuansa biasanya main di dalam lingkungan klaster. Anak-anak itu bikin berantakan teras dan carport rumah saya, sandal-sandal dilempar ke sana ke mari, dan menolak ketika saya menyuruh mereka pulang.

Akhirnya, saya mendapat ide. Klaster rumah saya satu bulan belakangan ini sudah diberi pintu pagar gerbang jenis geser yang tinggi dan selalu tertutup serta digerendel. Saya paling malas kalau harus turun dari sepeda motor untuk menggeser pintu gerbang, menenteng motor melewati gerbang dan kemudian menggesernya lagi sampai menutup. Saya bilang ke anak-anak itu, “Siapa yang mau bantu Om bukain gerbang?”

Mereka semua mengacungkan jari. “Tapi minta duit jajan ya, Om?!” kata salah satu dari mereka, yang paling muda.

“Heh, mau duit atau pahala?” kata saya. “Kalau duit langsung habis. Pahala nggak habis-habis.”

Mereka pun menurut dan langsung lari menjauh dari rumah saya ke gerbang. Mereka ramai-ramai menggeser pintu gerbangnya dan saya pun lewat tanpa susah-payah. “Semoga Allah membalas budi baik kalian!” seru saya sambil memacu sepeda motor.

Dalam perjalanan ke Wisma Subud Cilandak, saya tertawa terus-terusan. Tingkah anak-anak itu mengingatkan saya pada kata-kata satu saudara Subud bahwa syariat hanya untuk siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kecuali syariat yang dibarengi dengan pemahaman hakikatnya.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Februari 2025

No comments: