Monday, February 17, 2025

Memberi Contoh

EMPAT tahun lalu, dalam acara buka puasa bersama yang diselenggarakan oleh Subud Cabang Bogor, Jawa Barat, di rumah salah satu anggotanya yang telah membangun sebuah hall Latihan yang akan diresmikan dalam kesempatan itu, seorang pembantu pelatih mendekati saya untuk membahas tentang memberi contoh kepada orang lain untuk “menariknya” ke Subud. Si pembantu pelatih mengacu pada ceramah Bapak yang menekankan bahwa Subud tidak bisa dan tidak boleh dipropagandakan atau diiklankan atau dipromosikan untuk membuat orang tertarik untuk masuk Subud. Bapak menganjurkan agar kita memberi contoh.

Si pembantu pelatih merasa telah memberi “contoh yang baik” kepada anak-anaknya tapi tak ada anaknya yang berminat masuk Subud, bahkan menghindari setiap obrolan ayah-dan-anak mengenai Subud. Si pembantu pelatih pun agak putus asa dengan kenyataan itu. “Contoh seperti apa lagi yang harus saya berikan?” tanyanya.

Saat itu, sebuah pertanyaan lama saya kembali ke permukaan: Contoh seperti apa yang bisa kita berikan agar orang tertarik masuk Subud? Apakah contoh itu harus memiliki kualitas yang positif atau baik secara etika?

Menengok kembali semua pengalaman pribadi saya selama ini, yang dapat “mengumpan” orang untuk mau bergabung dengan Subud, hampir tidak ada yang memiliki nilai baik secara etika. Yang jelas, mereka mengikuti jejak saya masuk Subud dengan berbagai alasan, yang tak jarang lucu atau aneh. Satu rekan kerja saya bertahun-tahun lalu menyatakan keinginannya untuk ikut Subud setelah secara spontan saya merespons pernyataannya bahwa ia amat membenci setan, karena setan telah memengaruhi teman-teman sekolahnya hingga terperosok ke jurang kenistaan. “Agama mengajarkan bahwa benci, iri, dengki, termasuk perbuatan setan. Kalau kamu membenci setan, berarti kamu setan yang membenci dirinya sendiri,” kata saya dengan maksud bercanda.

Rekan kerja saya itu terpana sejenak lalu ikut tertawa—menertawakan dirinya sendiri. Ia merasa ucapan saya berbeda dari yang selama ini ia dengar dari orang-orang pada umumnya, dan bertanya bagaimana saya bisa dengan sekonyong-konyong bisa memberikan punchline seperti itu. Saya jelaskan kepadanya bahwa sejak saya menerima Latihan Kejiwaan Subud, hal-hal yang tidak terpikirkan, bahkan oleh saya sendiri, dapat dengan cepat muncul ke permukaan. Rekan saya tertarik, karena itu, untuk masuk Subud.

Di mata keponakan saya (yang baru dibuka di Pamulang pada 12 Februari 2025 lalu), mungkin tidak ada dari pemikiran dan perkataan saya yang patut dia contoh. Saya, dengan latar belakang budaya Melayu Sumatera dari ibu saya, amat bertentangan dengan karakter Jawa keponakan saya (kelahiran Surabaya, 7 Desember 2003, dari ayah seorang Malaysia dan ibu berdarah Jawa Timur). Saya sempat menyangka tak akan mungkin dia akan tertarik dengan Subud kalau dia menyaksikan keseharian saya, yang bukan pribadi yang lemah lembut melainkan keras kepala dan cenderung temperamental. Bahkan, setelah ikut dalam perjalanan bermobil selama lebih dari 15 jam antara Surabaya dan Jakarta bersama saya dan tiga anggota Subud lainnya, dia sempat menganggap bahwa “orang Subud memang gila” dan bertekad tidak akan ikut Subud.

Nyatanya, hampir dua tahun sejak itu dia menyampaikan ke saya bahwa dia ingin ikut Subud. Ketika ditanya pembantu pelatih yang melayani dia selama ngandidat tiga bulannya, apa yang telah memicu minatnya pada Subud, dia menjawab bahwa dia terinspirasi oleh kegigihan saya yang kadang rela menempuh jarak yang cukup jauh, memakan waktu lebih dari satu jam, hanya untuk melakukan Latihan selama setengah jam.

Dari situ, saya memahami satu hal: Contoh yang kita beri tidak dapat diduga bentuk dan sifatnya, karena tiap orang memiliki alasan-alasan yang unik untuk masuk Subud. Tidak ada contoh yang bisa dijadikan standar.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Februari 2025

No comments: