Saturday, February 8, 2025

Inner Child

SEJAK masuk Subud, saya belajar memahami orang lain dengan “memasuki” dimensi mereka. Saya jadi (di)mengerti(kan) mengenai apa saja yang telah mereka lalui. Kalau kiasan bahasa Inggrisnya “put yourself in another’s shoes”. Lama-lama saya jadi bisa beradaptasi dengan cara hidup orang lain, baik dalam pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan.

Cara ini saya terapkan dalam hubungan saya dengan anak saya, Nuansa Biru Oceania. Saya dibisakan menyelami dunianya, alam berpikirnya, impian dan imajinasinya. Sungguh menarik! Momen mendongeng untuk Nuansa sebelum tidur acap berkembang jadi brainstorming kami mengenai alur cerita, tokoh-tokohnya, dan bagaimana akhirnya (persis cara yang diterapkan guru kelas 1 sekolah dasar saya di Belanda terhadap murid-muridnya).

Saya dan Nuansa menjadi seperti sahabat, bukan layaknya hubungan ayah dan putri kecilnya. Bertengkar pun kami seperti sepasang anak kecil. Apalagi YM Bapak menasihatkan agar para orang tua memahami anak, dan bukannya si anak dipaksa memahami keinginan orang tuanya. Memasuki dimensi anak bagi saya menjadi kebutuhan yang mendesak, terutama di usia anak saya saat ini, delapan tahun.

Tapi rupanya saya agak kebablasan, jadi menyerap sifat kanak-kanak. Namun hal ini saya syukuri karena dengan hidupnya inner child saya, kreativitas tanpa batas mengisi kehidupan saya, yang menjadi instrumen vital dalam melakukan pekerjaan saya yang memang di bidang kreatif.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 Februari 2025

No comments: