Saturday, January 25, 2025

Testimoni Sebagai Pengurus SICA dan SES 2023-2025

Berikut adalah testimoni saya sebagai Eksekutif Humas Luar Negeri SICA dan SES Indonesia masa bakti 2023-2025 yang dicantumkan pada laporan pertanggungjawaban Pengurus SICA dan SES di Kongres Nasional XXXI PPK Subud Indonesia, 31 Januari-2 Februari 2025, di Semarang, Jawa Tengah.

 

SAYA pernah berseberangan dengan SICA dan SES, sampai membuat singkatan plesetan untuk SICA yaitu Subud International Confusing Association setelah SICA Indonesia meluncurkan program “Siapa Aku?” Tentu merupakan kesalahan apabila kita menuding tanpa mengalaminya sendiri atau hanya berprasangka tanpa dasar. Karena Subud dilandasi oleh kenyataan-kenyataan, saya karena itu tidak menolak ketika ditawari para Ketua SICA dan SES Indonesia untuk ikut menjadi bagian dari tim kedua lembaga (wing bodies) ini (sebagai Eksekutif Humas Luar Negeri efektif per Mei 2024). Saya bahkan mengikuti program Siapa Aku? Mendapatkan kenyataannya, saya berkesimpulan bahwa program ini baik sekali dan berguna.

Secara keseluruhan, saya merasa sangat senang dan termotivasi oleh kenyataan bahwa tim SICA dan SES Indonesia masa bakti 2023-2025 merupakan tim yang solid dan kompak, dengan satu melengkapi lainnya. Rasa persaudaraan dan energi kejiwaannya sangat kuat, terutama ketika melakukan perjalanan ke berbagai cabang di Pulau Jawa. Ini persis seperti ketika saya menjadi bagian dari Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia masa bakti 2009-2011. Bedanya, saat itu anggota timnya terdiri dari mereka yang usianya sebaya dengan saya, sedangkan tim SICA dan SES masa bakti 2023-2025 adalah generasi muda Subud yang dinamis dan visioner. Asal rajin dan tekun Latihan, saya yakin generasi ini dapat menjadi generasi penerus Subud yang sesuai dengan harapan kita semua.©2025


Teras Timur Hall Cilandak, Wisma Subud Cilandak, 26 Januari 2025

Saturday, January 18, 2025

Menghadapi Diri Sendiri

PADA 4 Januari 2025 lalu, saya memenuhi undangan makan malam dari Stuart Cooke di kediamannya di Jakarta Selatan. Saya mengajak serta istri dan Nuansa dan satu keponakan saya yang saat ini masih ngandidat di Pamulang.

Dalam kesempatan makan malam itu, saya dan Stuart membahas banyak hal terkait perkembangan terkini di Subud Indonesia, juga mengenai berbagai topik yang dilandasi oleh ceramah Bapak dan Ibu Rahayu. Ketika malam makin larut, dan setelah istri saya dan istrinya Stuart melakukan Latihan di lantai atas rumahnya, saya dan Stuart melakukan Latihan bersama disusul oleh testing.

Saya mengalami sesuatu yang sangat berarti bagi pribadi saya dalam serangkaian testing-nya. Merespons pertanyaan “Bagaimana Latihan Arifin saat ini?” dan “Bagaimana Tuhan menghendaki Latihan Arifin?”, saya mendapat kepahaman mengenai bagaimana ego mengendalikan diri saya. Saya mendapat pengertian bahwa menasihati orang lain dan memotivasinya untuk melakukan apa yang dinasihatkan kepadanya ternyata jauh lebih mudah daripada menerapkan hal yang sama pada diri sendiri! Ego seringkali menghalangi dalam hal ini, “membisiki” kita bahwa kita jauh lebih baik daripada orang lain dan mendorong kita untuk merasa paling benar.

Pada testing “Bagaimana Latihan Arifin saat ini?” saya menerima bahwa keadaan saya belum sempurna, belum total berserah diri. Menerima kenyataan itu, Ego saya mengamuk, membantah, menentang, dan pertarungan di dalam diri saya membuat hati saya sangat sakit—seperti sakitnya hati ketika cinta ditolak, atau seperti satu sahabat saya mengibaratkannya “sakitnya bagaikan menelan buah kedondong bulat-bulat, dan tersangkut di kerongkongan”.

Penerimaan saya dalam testing itu terobati oleh testing berikutnya: “Bagaimana Tuhan menghendaki saya Latihan?” Karena dalam penerimaan saya, saya dibimbing untuk merasakan Latihan Kejiwaan—yang didayai oleh kesabaran, ketawakalan dan keikhlasan serta keberanian untuk menghadapi, terutama, diri sendiri.

Ketidakberanian untuk jujur pada diri sendiri, saya alami dan amati menjadi penyebab mengapa banyak sekali anggota Subud yang merasa korban (playing victim) dari keadaan atau orang lain. Mereka menyalahkan Subud atau orang Subud atas penderitaan atau keadaan mereka yang tidak menyenangkan, tanpa mau mengecek diri mereka sendiri. Menyalahkan keadaan memang terasa lebih enak daripada menelan kedondong bulat-bulat.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Januari 2025

Friday, January 17, 2025

Menimba Ilmu Setelah Menjauh

17 Januari 25 tahun yang lalu, saya mengawali karir periklanan saya di Surabaya. Hari itu hari pertama saya sebagai Senior Copywriter di biro iklan papan atas Surabaya, PT Aditya Lini Pariwara atau Adline Communications, beralamat di Jalan Jambi, di belakang kompleks RKZ (Roomsch Katholiek Ziekenhuis/Rumah Sakit Katolik Roma). Rumah sakit yang berdiri tahun 1925 itu sebenarnya bernama Rumah Sakit Katolik Saint Vincentius A. Paulo, tapi warga Surabaya lebih mengenalnya sebagai RKZ.

Jalan Jambi ini kerap dilanda banjir jika hujannya lebat. Saya pernah terpaksa bermalam di kantor lantaran banjir di depan kantor Adline sepinggang. Untungnya, banjir tidak sampai masuk ke dalam bangunan kantor karena letak bangunan lebih tinggi daripada jalan.

Sejumlah teman dari industri periklanan di Jakarta menyayangkan kepindahan saya ke Surabaya. “Apa sih yang lo cari?” tanya satu art director ke saya. Saat itu, saya mencari ketenangan. Hidup di kota kelahiran saya, Jakarta, sudah membuat saya jenuh dan gamang, sehingga saya ingin suasana baru. Saya memilih Surabaya, karena itu kota asal istri saya, dan banyak kerabatnya ada di kota itu.

Saya justru belajar lebih banyak di industri komunikasi Surabaya. Kalau di Jakarta, saya hanya menjalankan jobdesc sebagai copywriter, sedangkan di Surabaya, lantaran SDM-nya tergolong sedikit, saya harus melakoni sejumlah peran sekaligus: Copywriter, account executive, account planner (kelak strategic planner), creative director, dan bahkan “pemilik perusahaan”. Semuanya saya pelajari secara autodidak, dengan metode belajar sambil melakukan (learning by doing).

Kalau ada yang bisa disebut “guru”, tentu itu adalah bos saya, almarhum Pak Judo Purnomo Budi, yang kerap mencontohkan bagaimana melakukan sesuatu terkait pekerjaan di bidang periklanan. Oleh beliau, saya dipersilakan membaca semua buku di lemari buku di ruang kerja beliau di kantor Adline, yang saat itu sudah pindah ke Jl. Raya Tenggilis. Masih kuat di ingatan saya, dua buku pertama yang saya santap adalah The New Marketing Paradigm: Integrated Marketing Communications (1993) karya Don E. Schultz et al., dan Jack Trout The New Positioning (1997). Kedua buku tersebutlah yang “memalingkan pandangan” saya ke branding.

Pendek kata, saya mengalami menjadi semua fungsi penting dalam perusahaan periklanan—sesuatu yang bertahun-tahun kemudian menjadi amat berguna ketika saya memiliki perusahaan sendiri, puji Tuhan. Dari sekadar menjauh dari kegamangan hidup di Jakarta malah mendapat ilmu dan pengalaman berharga di Surabaya.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 Januari 2025

Wednesday, January 15, 2025

Membantu Anak-Anak Dengan Latihan

INI kejadian tadi siang, 15 Januari 2025. Anak saya yang berumur delapan tahun disuruh ibunya untuk mematikan komputer, yang sedang ia pakai untuk menonton Youtube. Sudah kelamaan ia duduk menatap layar komputer, tapi meskipun tidak menampakkan lelah saya dan istri tahu bahwa ia sudah mengantuk. Bagaimanapun, putri kami menolak beranjak dari depan komputer dan terus saja menonton.

Akhirnya, saya rebut tetikusnya dan mematikan komputer, sementara istri dengan setengah memaksa membujuk putri kami untuk segera ke kamar tidur. Ia menunjukkan sikap sebal dan kemudian menjadi tantrum yang cukup agresif, dimana ia menyerang secara fisik ibunya—dengan cakaran, gigitan, pukulan dan menjambak rambut ibunya.

Istri melarang saya marah kepadanya atau ikut campur, tetapi saya jaga agar serangan fisik putri kami tidak meningkat. Saya menjadi seperti wasit tinju yang menahan petinju yang ofensif dengan memeluk badannya. Saya pun menjadi sasaran pukulannya—yang lumayan keras, mengenai leher dan bahu kanan saya. Saya lantas mundur dan sambil duduk saya memandang anak saya mengonfrontasi ibunya.

Saya kemudian terpikir untuk menenangkan diri, dimana saya juga memohon bimbingan Tuhan serta Bapak agar putri saya dapat mereda tantrumnya. Yang saya terima malah sebaliknya: Sayanya yang menjadi sangat tenang dan damai, dan mendengar “dari dalam” bahwa yang seharusnya tenang dalam situasi seperti itu adalah orang tuanya, bahwa tingkah anak-anak sedemikian rupa adalah alami, sebagai ungkapan rasa lelah dan mengantuk yang tak dapat ia ekspresikan dengan kata-kata.

Jadi, saya hanya duduk, merasakan Latihan, hingga pada satu titik putri saya terkulai di kasur dan minta dipeluk. Kami bertiga saling memeluk dan saling memaafkan. Saya beri bantal kecil untuk menopang kepalanya dan putri saya ingin agar saya memegang tangannya. Saya tambahkan dengan membelai lembut kepalanya, dengan diri saya terus merasakan Latihan. Isakan tangis putri saya perlahan berubah menjadi embusan napasnya yang lirih yang menandakan bahwa ia telah tertidur pulas.

Ketika sorenya ia bangun, putri saya menunjukkan kegembiraan dan dengan segera mematuhi permintaan ibunya agar ia mandi. Tidak ada pemberontakan atau perlawanan.

Malamnya, di Wisma Barata Pamulang, saya berjumpa dengan pembantu pelatih sepuh dari Cabang Jakarta Selatan, dan salah satu topik obrolan kami adalah tentang keluarga. “Wah, anak Anda anak Subud ya?! Sungguh beruntung Anda,” kata beliau.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 Januari 2025

Bakti Sejati

KEMARIN malam, sepulang dari meeting dengan mitra bisnis dan investor prospektif di sebuah kafe di Pasaraya Blok M, sambil mengendarai sepeda motor di bawah guyuran hujan gerimis lebat, saya terbimbing untuk merefleksi proses hidup yang pernah saya lalui.

Dalam refleksi tersebut, saya mendapat kepahaman bahwa yang dimaksud dengan “bakti” yang dikatakan Bapak bukanlah beribadah/menyembah Tuhan secara ritual belaka, atau hanya Latihan saja di hall. Saya diberi kepahaman bahwa bakti sejatinya adalah kegiatan apa saja yang kita lakukan dengan diri kita terus-terusan berkontak dengan kekuasaan Tuhan. Latihan di hall seminggu sekali atau dua kali adalah untuk melanggengkan kontak itu.

Jadi, pernyataan oknum-oknum pembantu pelatih bahwa Subud adalah bakti, yang tidak boleh dibarengi kegiatan enterprise atau keduniawian, adalah sebentuk ketidakpahaman mereka—jangan-jangan, karena para pembantu pelatih itu tidak pernah menginsafi Latihan dalam keseharian mereka di luar hall atau di luar kandang Subud.

Kegiatan merefleksi hidup saya di atas sadel motor di bawah guyuran hujan itupun adalah bimbingan yang membuat saya jadi tidak merasa lelah dan jenuh—bahkan saya nyanyi seolah berada dalam suasana pesta—meski terjebak kemacetan luar biasa di Jl. RS Fatmawati, Jakarta Selatan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 Januari 2025

Tuesday, January 7, 2025

Kala Kini

 


BAPAK said... Bapak says,” ucap pembantu pelatih berkebangsaan Amerika Serikat yang telah menetap di Indonesia sejak sepuluh tahun itu saat berbicara kepada keponakan saya. Ia seperti menyadari suatu kekeliruan dalam ucapannya, yang segera ia ralat. Hal itu telah menjadi perhatian saya sejak tiba di rumahnya di Jl. Muara Utama, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Keponakan saya, usia 21 tahun, masih menjalani ngandidat (yang kesembilan kalinya saat itu) di Ranting Pamulang, namun Sabtu malam itu, 4 Januari 2025, saya ajak serta bertamu ke rumah Stuart Cooke, saudara Subud bule yang menikah dengan seorang wanita Indonesia yang juga anggota Subud. Turut serta pula istri dan putri kecil kami, Nuansa.

Saya perhatikan bahwa dalam berbicara, dalam bahasa Inggris, terutama dalam mengutarakan tentang Bapak, menyampaikan nasihat-nasihat atau petunjuk Bapak, Stuart selalu menggunakan kala kini (present tense), alih-alih kala lampau (past tense) sebagaimana biasanya dalam bahasa Inggris. Setahu saya, dalam tata bahasa Inggris yang baik dan benar, sedetik yang telah lalu pun dianggap lampau, apalagi menceritakan kehidupan Bapak yang telah lama lampau.

Kala dalam linguistik bahasa Inggris adalah pembedaan bentuk verba (kata kerja) untuk menyatakan perbedaan waktu atau jangka perbuatan atau keadaan. Secara umum, kala terdiri dari kala lampau, kala kini, dan kala mendatang (future tense). Tidak ada bentuk kala yang spesifik dalam Bahasa Indonesia, yang berarti tidak ada perbedaan bentuk verba pada suatu kata meskipun verba tersebut terjadi pada masa lampau, kini, dan mendatang.

Meskipun membuat saya bertanya-tanya mengapa Stuart, yang pekerjaan sampingannya adalah guru bahasa Inggris, selama obrolan serius kami seputar Subud dan Bapak selalu menggunakan kala kini, tetapi saya menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu kepadanya. Bagaimanapun, malam itu, penasaran saya mendapat jawaban.

Sebelum, selama dan setelah makan malam—yang terutama untuk itu Stuart mengundang saya bersama keluarga ke rumahnya, ia berbagi banyak sekali kisah mengenai Bapak, mengenai keluarga Bapak, serta berbagai aspek Latihan Kejiwaan dan organisasi Subud. Stuart Cooke dibuka pada tahun 1965 di New York, AS, ketika ia berusia 21 tahun. Ia pertama kali ke Indonesia pada tahun 1971 untuk menghadiri Kongres Dunia ke-4 di Wisma Subud Cilandak. Kala itu ia bersama istri pertamanya. Dari sekian banyak topik obrolan, saya perhatikan bahwa payungnya adalah tema “berani” dan “permisi”.

Mengenai “berani”, Stuart mengungkapkan mengenai kondisi Subud Indonesia saat ini, dengan ketua umum Pengurus Nasionalnya yang melakukan banyak sekali pelanggaran dawuh Bapak, menyimpang dari segala sesuatu yang digariskan Bapak, namun sedikit sekali yang berani menentang atau menegurnya, termasuk mereka yang tergolong lebih lama di Subud dibandingkan sang ketua umum. Terkait “permisi”, yang ia maksud sebenarnya adalah “izin”. Ia mengkritisi kebanyakan pembantu pelatih dewasa ini yang mengabaikan permintaan izin kepada Bapak untuk membimbing mereka dalam memberi penerangan dan layanan kepada kandidat atau anggota.

Stuart menceritakan kisah Sudarto, pembantu pelatih generasi pertama yang oleh para anggota Subud di Barat dijuluki “Bapak kedua” (the second Bapak), lantaran begitu terampilnya Sudarto memberi jawaban atau menjelaskan tentang aspek kejiwaan kepada anggota dengan cara yang membuat anggota dapat cepat memahaminya. Banyak surat-surat anggota yang dijawab oleh Sudarto atas perintah Bapak. Stuart mengisahkan bahwa setelah Bapak wafat Sudarto mengalami depresi yang membuatnya mengurung diri di rumahnya selama sekitar empat bulan, menolak menerima tamu—yang biasanya selalu beliau layani. Setelah melalui masa depresi itu, Sudarto ditanya oleh Stuart apa yang menyebabkan beliau merasa tertekan. Sudarto mengungkapkan bahwa pasca wafatnya Bapak, beliau menerima berkali-kali dalam Latihan beliau bahwa yang membuat beliau dapat memberi jawaban-jawaban yang memuaskan anggota itu bukanlah karena kemampuan pribadi beliau sendiri, melainkan karena izin dari Bapak. Hakikatnya, Bapaklah yang menjelaskan kepada para anggota itu, melalui diri Sudarto.

Kisah Sudarto itu memberi gambaran bahwa khususnya pembantu pelatih dalam memberi jawaban yang dapat memuaskan anggota harus permisi terlebih dahulu kepada Bapak atau meminta izin apakah boleh atau tidak memberi penjelasan. Intinya, dalam hubungan pembantu pelatih dengan pemangku kepentingan (kandidat dan anggota), harus selalu terisi izin Bapak!

Berkenaan dengan “permisi” itu, saya mengetahuinya pertama kali dari penjelasan almarhum Pak Deddie Pandji, pembantu pelatih senior Kelompok Cilengkrang, Bandung, ketika saya berkunjung ke sana pada 14 Februari 2021. Beliau mengajak saya dan semua anggota lainnya untuk merasakan bedanya antara Latihan yang dengan dan tanpa permisi kepada Bapak. Tentu saja, perbedaannya sangat signifikan. Latihan dengan terlebih dahulu meminta izin atau pendampingan dari Bapak (sebelum penenangan diri) memberi saya penerimaan Latihan yang sangat kuat, merasuk diri, dan permulaannya terasa seperti ledakan bom nuklir (gelombang energinya beriak-riak ke seluruh ruangan, keluar dan ke dalam diri).

Usai makan malam bersama dan terus saja mengobrol, ditemani martabak telur dan brownies serta jeruk mandarin kecil, Stuart mengajak saya untuk melakukan Latihan bersama dan memberitahu saya lebih awal bahwa kami akan melakukan testing setelah Latihan. Kami pun naik ke lantai dua rumahnya, yang menyediakan ruangan cukup lapang bagi dua orang untuk bergerak leluasa.

Sebelum Latihan bersama, kami melakukan penenangan diri. Sebelum memulai penenangan diri, seperti biasa saya memohon bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam Latihan Kejiwaan Subud serta memohon pendampingan dari Bapak selama Latihan. Sebagaimana yang saya alami di Hall Cilengkrang pada 14 Februari 2021, Latihan di lantai dua rumah Stuart pun memberi saya vibrasi dahsyat bagaikan ledakan bom nuklir.

Saat testing, selaku pembantu pelatih Stuart-lah yang mengucapkan pertanyaan-pertanyaannya. Nah, pada satu titik, ketika Stuart bertanya, “Arifin, where is Bapak?” (Arifin, di mana Bapak?) di situlah saya menerima: Kedua tangan saya meraba-raba sekujur tubuh saya dari ujung kepala sampai ujung kaki dan berkali-kali menepuk dada kiri saya. Saya juga merasakan pembuluh darah dan saraf-saraf saya menjadi hidup dan saya serasa berjalan di awan—terasa ringan sekali.

Saya menerima bahwa Bapak ada pada diri saya—pada diri semua orang yang telah menerima Latihan Kejiwaan. Bapak ada di diri saya dahulu, sekarang maupun di masa depan, tetapi yang paling penting adalah Bapak adalah kini (Bapak is the present). Saya teringat pada satu ceramah Bapak, dimana beliau mengatakan bahwa setelah Bapak wafat keberadaan beliau lebih dekat dengan kita, karena hubungan jiwa-ke-jiwa itu tidak berjarak, atau berjumbuh satu dengan lainnya.

Dengan demikian, sungguh aneh atau ganjil jika ada pembantu pelatih di Indonesia yang mengatakan bahwa petunjuk Bapak sulit untuk diikuti dan karena Bapak sudah tidak ada, makanya tidak perlu untuk menerapkan petunjuk Bapak. Keberadaan Bapak itu kekal. Tidak mengikuti petunjuk Bapak berarti sesungguhnya seseorang menafikan dirinya sendiri. Karena hakikatnya jiwa Bapak masih ada, terus ada, di kekinian, dan mengisi diri semua anggota Subud.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Januari 2025


Friday, January 3, 2025

Serunya Sejarah: Peringatan 100 Tahun Latihan Kejiwaan Subud

KARENA latar belakang akademik saya adalah Ilmu Sejarah, yang saya dalami di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; sejak tahun 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB UI), saya kerap tak bisa menghindari atau melawan dorongan dari dalam untuk meluruskan segala yang bengkok atau misterius di masa kini dengan menggali lebih dalam peristiwa atau hal-hal di masa lalu. Tantangan terberatnya adalah tindakan saya tak jarang mengusik kekukuhan orang dalam mempertahankan pengetahuan usang mereka.

Seperti rangkaian acara perayaan 100 Tahun Latihan Kejiwaan Subud yang diselenggarakan 26 Januari hingga 4 Februari tahun ini, yang beriringan dengan Kongres Nasional ke-31 PPK Subud Indonesia (31 Januari-2 Februari 2025) dan ulang tahun ke-78 berdirinya organisasi PPK Subud Indonesia (1 Februari 2025), bertempat di Semarang, Jawa Tengah. Saya dan yunior saya di Program Studi (Prodi) Sejarah FIBUI yang juga anggota Subud Cabang Jakarta Selatan, Sulaiman Harahap, beberapa waktu lalu tergelitik untuk mulai menelisik: Tanggal berapa atau bulan apa tepatnya RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo menerima pengalaman gaib yang menggiring beliau kepada Latihan Kejiwaan?

Memang benar tahunnya adalah 1925, tempat kejadian perkaranya di jalan di depan proyek pembangunan rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (Rumah Sakit Sipil Pusat) atau CBZ (kini RS dr. Kariadi) di Gemeente (Kotapraja) Semarang, pada waktu tengah malam. Buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo maupun buku History of Subud-nya Harlinah Longcroft (yang berdasarkan wawancara dengan Pak Subuh juga) tidak menyebutkan tanggal dan/atau bulannya. Hanya tahunnya 1925.

Saya berbagi analisis saya dengan Sulai, panggilan akrabnya Sulaiman, alumnus Prodi Sejarah FIBUI Angkatan 2004, berdasarkan tanggal peresmian CBZ, yaitu 9 September 1925. Buku Autobiografi menyebutkan bahwa Pak Subuh sedang berjalan di depan proyek pembangunan CBZ ketika pengalaman gaib itu beliau lalui. Tahun 1925 saya asumsikan proyek CBZ sudah di tahap penyelesaian, mengingat peresmiannya saja tanggal 9 September. Jadi, kemungkinan pengalaman gaib itu terjadi sekitar akhir Juli atau pertengahan Agustus.

Sulai bertahan di akhir Juli, saya menancapkan keyakinan saya di pertengahan Agustus—yang jelas, bukan Januari atau Februari 1925.

Untuk memastikan, atau mendekati kepastian, ada pendekatan ilmiahnya. Tak kami pungkiri bahwa pendekatan kejiwaan, yaitu testing, juga kami lakukan, tapi secara umum kita bisa menerapkan metodologi penelitian sejarah dengan, antara lain, menelusuri kembali peristiwa-peristiwa lainnya, selain dari peresmian CBZ saja. Saya dan Sulai masih terus menjelajahi berbagai kemungkinan, yang kami dalami bak detektif menyelidiki sebuah kasus misterius. Itulah serunya belajar sejarah. Terlebih dengan bimbingan Latihan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 Januari 2025

Thursday, January 2, 2025

Pegangan

 


NUANSA barusan mengambil sebuah kitab mungil di antara tumpukan majalah dan dokumen lama di lemari dan menunjukkannya ke saya sambil bertanya, “Ini apa, Papoy?”

“Itu Qur’an. Dari bos Papoy dulu di Surabaya, oleh-oleh haji,” kata saya.

Saya kemudian teringat cerita konyol di balik keberadaan kitab Qur’an kecil ini. Jadi, beberapa bulan setelah saya dibuka di Wisma Subud Surabaya, saya berjumpa lagi dengan mantan bos, Pak JPB namanya (meninggal 5 Mei 2019 akibat tabrak lari saat beliau bersepeda rutin di Jl. Panjangjiwo, Surabaya). Sepulang berhaji, Pak JPB membawa oleh-oleh kitab Qur’an dalam tiga ukuran—besar, sedang dan kecil. Sejak pulang dari Tanah Suci, beliau merasa paling saleh dan meledek saya yang beliau lihat tidak pernah salat padahal sebelumnya (ketika saya masih kerja di perusahaan beliau tahun 2000-2002) saya rajin salat.

“Qur’an ini peganganku, Tok,” kata beliau saat saya datang ke kantor beliau tahun 2004, setelah kami tak sengaja bersua kembali di jalan (dari arah mobil yang beliau kendarai, beliau melihat saya sedang berdiri di depan kantor Air Api Communications, biro iklan milik Heru Iman Sayudi, pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya, di Jl. Raya Manyar, Surabaya). Beliau mengundang saya ke kantor beliau, perusahaan tempat saya bekerja sejak pindah ke Surabaya, karena beliau ingin menawari saya untuk kembali bekerja padanya, kali ini dengan posisi sebagai Managing Partner.                     

Dalam obrolan kami, beliau mengatakan, “Aku dengar kamu ikut Subud ya? Aliran apa itu, Tok? Kalau ndak jelas, ngapain kamu ikut? Mending Islam saja. Rajin salat dan baca Qur’an. Koyok aku, Tok, baca Qur’an memberi aku ketenangan.”

Saya cuma menanggapi dengan senyum saja, tidak berusaha membela diri. Biar saja beliau mencibiri saya. Beliau kemudian menyodorkan kitab Qur’an kecil itu. “Ambil ini, Tok, untuk kamu. Diwoco yo, ojo disimpan tok.”

Sebagai Managing Partner, saya tidak perlu tiap hari ke kantor. Saya hanya datang kalau ada klien atau Pak JPB mengajak meeting ke kantor klien. Suatu hari, beliau mengajak saya ke meeting di kantor klien. Berdua saja. Di mobil, beliau curhat mengenai penderitaan hidup yang berturut-turut datang kepada beliau dan selalu terkait uang—kehilangan 20 juta, ditipu 200 juta, dipinjam dua juta tidak balik. Saya usil membatin, “Itu akibatnya kalau mendua, jadi kehilangan uang selalu berangka dua!” (Beliau sudah beristri dan memiliki dua putri yang sudah remaja saat itu, tapi meniduri sekretarisnya bahkan terus saja minta jatah meski sekretarisnya sudah menikah.)

Saya balas menasihati beliau sambil cengengesan, “Pak, baca aja Qur’an, biar tenang.”

Beliau menoleh ke saya dengan tampang sebal, dan menyemprot saya, “Jancuuukkk kon! Ngledek aku yo?!”

Lhoo, Pak JPB sendiri kan bilang ke saya kapan hari, supaya baca Qur’an supaya tenang hidup saya. Saya sih cukup Subud aja, berserah diri, biar tenang,” kata saya sambil tertawa.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Januari 2024

Wednesday, January 1, 2025

Tidak Banyak Berpikir

PENGALAMAN ini sudah lama lalu, terjadi pada tanggal 29 Maret 2018 di Bandung, Jawa Barat. Saat itu, saya rapat dengan mitra usaha saya yang seorang konsultan program Corporate Social Responsibility (CSR), dan klien kami, di Fourspeed Café, Jl. RAA Martanegara, Bandung. Meeting disela karena sebagian pesertanya mau salat. Klien kami non muslim, sedangkan saya tidak memiliki identitas agama apapun. Yang lain, yaitu mitra usaha saya dan dua orang timnya pergi salat di musala kafe tersebut.

Sekembalinya dari musala, mitra usaha saya dan timnya maupun saya menikmati kopi dulu di kafe, sementara klien kami pergi untuk suatu urusan—ia kembali dua jam kemudian. Selama minum kopi, mitra usaha saya dan masing-masing anggota timnya bercerita, bahwa mereka tadinya “orang mapan” yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang berbeda, dengan jabatan wah dan menerima gaji besar tiap bulan.

Setelah meninggalkan itu semua, menjadi entrepreneur, mereka kaget, tidak menyangka dengan kenyataan bahwa hidup mereka tanpa sokongan gaji bulanan begitu berat. Mereka dimusuhi mertua, dijauhi istri, dicemooh tetangga.

“Semua salat wajib dan sunah saya lakoni, tapi masalah itu nggak mau pergi,” kata mitra usaha saya, yang asli Bandung dan sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan semen.

“Tapi Pak Arifin kok ya bisa tenang dan rileks gitu, padahal, maaf, Pak Arifin ini nggak pernah saya lihat salat?” kata mitra usaha saya lagi.

Dua anggota timnya melihat ke langit-langit kafe, masing-masing larut dengan pikiran mereka yang kalut.

Lalu datanglah klien kami, nimbrung di meja kami, menyulut rokok dan memesan cappucino ice blended. Dia bertanya, kami sedang membahas tentang apa. Setelah diberi garis besar dari topik obrolan kami, dia berkomentar, “Tau nggak kalian, orang gila itu nggak ada yang sakit berat, karena nggak mikir. Orang normal yang ngakunya intelek malah sakitnya parah. Aneh kan?!”

Klien menanyakan usia saya dan mitra usaha saya. Saya 50, mitra usaha saya 38 tahun. “Coba lihat deh, Pak Arifin ini tampak jauh lebih muda daripada Pak Jean. Itu pasti karena Pak Arifin sering hening pikirannya,” kata klien kami.

Saya tidak tahu bahwa klien kami ternyata punya indra keenam.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Januari 2025