Keponakan
saya, usia 21 tahun, masih menjalani ngandidat
(yang kesembilan kalinya saat itu) di Ranting Pamulang, namun Sabtu malam
itu, 4 Januari 2025, saya ajak serta bertamu ke rumah Stuart Cooke, saudara
Subud bule yang menikah dengan seorang wanita Indonesia yang juga anggota Subud.
Turut serta pula istri dan putri kecil kami, Nuansa.
Saya
perhatikan bahwa dalam berbicara, dalam bahasa Inggris, terutama dalam
mengutarakan tentang Bapak, menyampaikan nasihat-nasihat atau petunjuk Bapak, Stuart
selalu menggunakan kala kini (present
tense), alih-alih kala lampau (past
tense) sebagaimana biasanya dalam bahasa Inggris. Setahu saya, dalam tata
bahasa Inggris yang baik dan benar, sedetik yang telah lalu pun dianggap
lampau, apalagi menceritakan kehidupan Bapak yang telah lama lampau.
Kala
dalam linguistik bahasa Inggris adalah pembedaan bentuk verba (kata kerja)
untuk menyatakan perbedaan waktu atau jangka perbuatan atau keadaan. Secara
umum, kala terdiri dari kala lampau, kala kini, dan kala mendatang (future tense). Tidak ada bentuk kala
yang spesifik dalam Bahasa Indonesia, yang berarti tidak ada perbedaan bentuk
verba pada suatu kata meskipun verba tersebut terjadi pada masa lampau, kini,
dan mendatang.
Meskipun
membuat saya bertanya-tanya mengapa Stuart, yang pekerjaan sampingannya adalah
guru bahasa Inggris, selama obrolan serius kami seputar Subud dan Bapak selalu
menggunakan kala kini, tetapi saya menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu
kepadanya. Bagaimanapun, malam itu, penasaran saya mendapat jawaban.
Sebelum,
selama dan setelah makan malam—yang terutama untuk itu Stuart mengundang saya
bersama keluarga ke rumahnya, ia berbagi banyak sekali kisah mengenai Bapak,
mengenai keluarga Bapak, serta berbagai aspek Latihan Kejiwaan dan organisasi
Subud. Stuart Cooke dibuka pada tahun 1965 di New York, AS, ketika ia berusia
21 tahun. Ia pertama kali ke Indonesia pada tahun 1971 untuk menghadiri Kongres
Dunia ke-4 di Wisma Subud Cilandak. Kala itu ia bersama istri pertamanya. Dari
sekian banyak topik obrolan, saya perhatikan bahwa payungnya adalah tema “berani”
dan “permisi”.
Mengenai
“berani”, Stuart mengungkapkan mengenai kondisi Subud Indonesia saat ini,
dengan ketua umum Pengurus Nasionalnya yang melakukan banyak sekali pelanggaran
dawuh Bapak, menyimpang dari segala
sesuatu yang digariskan Bapak, namun sedikit sekali yang berani menentang atau
menegurnya, termasuk mereka yang tergolong lebih lama di Subud dibandingkan
sang ketua umum. Terkait “permisi”, yang ia maksud sebenarnya adalah “izin”. Ia
mengkritisi kebanyakan pembantu pelatih dewasa ini yang mengabaikan permintaan
izin kepada Bapak untuk membimbing mereka dalam memberi penerangan dan layanan
kepada kandidat atau anggota.
Stuart
menceritakan kisah Sudarto, pembantu pelatih generasi pertama yang oleh para
anggota Subud di Barat dijuluki “Bapak kedua” (the second Bapak), lantaran begitu terampilnya Sudarto memberi
jawaban atau menjelaskan tentang aspek kejiwaan kepada anggota dengan cara yang
membuat anggota dapat cepat memahaminya. Banyak surat-surat anggota yang
dijawab oleh Sudarto atas perintah Bapak. Stuart mengisahkan bahwa setelah
Bapak wafat Sudarto mengalami depresi yang membuatnya mengurung diri di
rumahnya selama sekitar empat bulan, menolak menerima tamu—yang biasanya selalu
beliau layani. Setelah melalui masa depresi itu, Sudarto ditanya oleh Stuart
apa yang menyebabkan beliau merasa tertekan. Sudarto mengungkapkan bahwa pasca
wafatnya Bapak, beliau menerima berkali-kali dalam Latihan beliau bahwa yang
membuat beliau dapat memberi jawaban-jawaban yang memuaskan anggota itu
bukanlah karena kemampuan pribadi beliau sendiri, melainkan karena izin dari
Bapak. Hakikatnya, Bapaklah yang menjelaskan kepada para anggota itu, melalui
diri Sudarto.
Kisah
Sudarto itu memberi gambaran bahwa khususnya pembantu pelatih dalam memberi
jawaban yang dapat memuaskan anggota harus permisi terlebih dahulu kepada Bapak
atau meminta izin apakah boleh atau tidak memberi penjelasan. Intinya, dalam
hubungan pembantu pelatih dengan pemangku kepentingan (kandidat dan anggota),
harus selalu terisi izin Bapak!
Berkenaan
dengan “permisi” itu, saya mengetahuinya pertama kali dari penjelasan almarhum
Pak Deddie Pandji, pembantu pelatih senior Kelompok Cilengkrang, Bandung,
ketika saya berkunjung ke sana pada 14 Februari 2021. Beliau mengajak saya dan
semua anggota lainnya untuk merasakan bedanya antara Latihan yang dengan dan
tanpa permisi kepada Bapak. Tentu saja, perbedaannya sangat signifikan. Latihan
dengan terlebih dahulu meminta izin atau pendampingan dari Bapak (sebelum
penenangan diri) memberi saya penerimaan Latihan yang sangat kuat, merasuk
diri, dan permulaannya terasa seperti ledakan bom nuklir (gelombang energinya
beriak-riak ke seluruh ruangan, keluar dan ke dalam diri).
Usai
makan malam bersama dan terus saja mengobrol, ditemani martabak telur dan brownies serta jeruk mandarin kecil,
Stuart mengajak saya untuk melakukan Latihan bersama dan memberitahu saya lebih
awal bahwa kami akan melakukan testing
setelah Latihan. Kami pun naik ke lantai dua rumahnya, yang menyediakan ruangan
cukup lapang bagi dua orang untuk bergerak leluasa.
Sebelum
Latihan bersama, kami melakukan penenangan diri. Sebelum memulai penenangan
diri, seperti biasa saya memohon bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam Latihan
Kejiwaan Subud serta memohon pendampingan dari Bapak selama Latihan.
Sebagaimana yang saya alami di Hall Cilengkrang pada 14 Februari 2021, Latihan
di lantai dua rumah Stuart pun memberi saya vibrasi dahsyat bagaikan ledakan
bom nuklir.
Saat testing, selaku pembantu pelatih
Stuart-lah yang mengucapkan pertanyaan-pertanyaannya. Nah, pada satu titik,
ketika Stuart bertanya, “Arifin, where is
Bapak?” (Arifin, di mana Bapak?) di situlah saya menerima: Kedua tangan saya
meraba-raba sekujur tubuh saya dari ujung kepala sampai ujung kaki dan
berkali-kali menepuk dada kiri saya. Saya juga merasakan pembuluh darah dan
saraf-saraf saya menjadi hidup dan saya serasa berjalan di awan—terasa ringan
sekali.
Saya menerima
bahwa Bapak ada pada diri saya—pada diri semua orang yang telah menerima
Latihan Kejiwaan. Bapak ada di diri saya dahulu, sekarang maupun di masa depan,
tetapi yang paling penting adalah Bapak adalah kini (Bapak is the present). Saya teringat pada satu ceramah Bapak,
dimana beliau mengatakan bahwa setelah Bapak wafat keberadaan beliau lebih
dekat dengan kita, karena hubungan jiwa-ke-jiwa itu tidak berjarak, atau
berjumbuh satu dengan lainnya.
Dengan
demikian, sungguh aneh atau ganjil jika ada pembantu pelatih di Indonesia yang
mengatakan bahwa petunjuk Bapak sulit untuk diikuti dan karena Bapak sudah
tidak ada, makanya tidak perlu untuk menerapkan petunjuk Bapak. Keberadaan
Bapak itu kekal. Tidak mengikuti petunjuk Bapak berarti sesungguhnya seseorang
menafikan dirinya sendiri. Karena hakikatnya jiwa Bapak masih ada, terus ada,
di kekinian, dan mengisi diri semua anggota Subud.©2025
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Januari 2025