Sunday, November 24, 2024

Tidak Perlu Bertanya Mengapa

PENGALAMAN saya di Subud Cabang Surabaya, di mana saya ngandidat dan dibuka, membuat saya mengalami kejutan budaya ketika saya pindah ke Jakarta, dalam hal berbedanya sikap dan tindakan para pembantu pelatih di Surabaya dan Jakarta. Tetapi saya diam saja, membiarkan hal itu berjalan alami saja, tidak perlu mempertentangkan.

Ingatan akan hal itu muncul kembali setelah postingan saya di grup Facebook Subud Around the World pada 22 November 2024 memancing pelbagai komentar dari pembaca, yang umumnya positif, tetapi juga diiringi keheranan para anggota Subud luar negeri pada layanan pembantu pelatih di Indonesia—yang mereka kira merupakan hal yang umum di Subud Indonesia, sehingga saya perlu menjelaskan bahwa hal itu tidak menyeluruh. Pembantu pelatih Subud Surabaya berbeda sama sekali dalam melayani kandidat dan anggota dengan cara yang saya alami sendiri di Jakarta Selatan.

Ketika saya mulai ngandidat di Wisma Subud Surabaya, tidak ada pembantu pelatih yang menanyakan ke saya mengapa saya ingin masuk Subud. Karena para pembantu pelatih di Cabang Surabaya sudah tahu beberapa hari sebelumnya bahwa saya “tersentuh” oleh Mas Adji, yang membacakan buku Susila Budhi Dharma ke saya ketika mitra kerja saya mengajak saya ke Wisma Subud Surabaya untuk diperkenalkan ke Mas Adji. Kala itu, saya tidak tertarik pada Subud—teman sayalah yang juga ada di Wisma Subud Surabaya pada malam itu yang tertarik.

Mas Adji bertanya ke saya apa yang saya ketahui tentang Subud. Karena saya benar-benar tidak tahu apa tujuan saya pergi ke Wisma Subud Surabaya pada waktu itu (terlepas dari ajakan mitra kerja saya, karena di sana banyak makanan, yang lebih menarik perhatian saya), saya menjawab dengan santai. Mas Adji tertawa terbahak-bahak dengan jawaban saya.

Emil Petrie, anggota Subud Inggris, mengomentari postingan saya di grup Facebook Subud Around the World bahwa karena Subud mengandalkan rasa maka tidak yang perlu dijelaskan oleh seorang pembantu pelatih. Ia hanya perlu bercerita saja, menceritakan pengalamannya sendiri. Menanyakan kepada kandidat mengapa ia mau masuk Subud bagi Emil tidak masuk akal. Ia menyukai respons saya terhadap keponakan saya, yang sedang ngandidat di Subud Ranting Pamulang, agar ia tetapi “menjadi diri sendiri”.

Menjawab komentar Emil Petrie itu, saya mengisahkan momen ketika saya ngandidat di Subud Cabang Surabaya, sebagai berikut:

“Sebelum membaca komentar Anda, saya baru saja selesai merenungkan saat ketika saya sedang menjalani masa kandidatan tiga bulan saya di Surabaya, Jawa Timur. Di sana saya dilayani oleh empat pembantu pelatih (secara keseluruhan, cabang itu memiliki 12 pembantu pelatih pria), yang semuanya saya juluki 'pembantu pelatih pendiam'.

Para pembantu pelatih di Surabaya atau di lain-lain cabang di Jawa Timur dan Tengah, terutama yang tua-tua, sangat berbeda dalam sikap mereka dalam melayani kandidat maupun anggota yang sudah dibuka, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta. Mereka umumnya lebih banyak dia dan terus menerus dalam keadaan merasakan diri, yang menciptakan atmosfer yang begitu tenangnya hingga para kandidat dapat menyerap kedamaian sejati di dalam diri mereka sendiri.

Hampir tidak ada penjelasan secara lisan terkait dengan kejiwaan, kecuali kandidat menanyakannya. Bahkan ketika para pembantu pelatih itu berbicara, mereka hanya berbagi lelucon. Hal ini mengingatkan saya pada kisah yang diceritakan seorang pembantu pelatih Amerika yang tinggal di kompleks Wisma Subud Cilandak mengenai Bapak yang sering melontarkan lelucon untuk mengurangi ketegangan dari audiens beliau yang akan mendengarkan ceramah beliau.

Para pembantu pelatih Surabaya cenderung membiarkan para kandidat menemukan sendiri jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka di dalam proses kehidupan masing-masing setelah dibuka. Saya adalah salah satu kandidat yang paling bawel, yang datang ke hall dengan seabrek pertanyaan, yang direspons oleh para pembantu pelatih dengan, 'Sabar saja, Mas, nanti panjenengan akan menemukan sendiri jawabannya.'”

Hal ini sebenarnya menguntungkan saya di masa depan—meskipun awalnya saya sebal dengan perlakuan para pembantu pelatih yang rada pasif itu. Karena setelah saya melakukan Latihan selama bertahun-tahun, saya akhirnya menjadi mandiri. Saya hanya mengandalkan 'pembantu pelatih di dalam diri' yang siap dengan jawaban-jawaban eksklusif sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada suatu waktu.”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 November 2023

No comments: