DUA hari berturut-turut, 16 dan 17 November 2024, saya menghadiri acara kumpul keluarga besar, masing-masing dari garis ayah (16 November) dan garis ibu (17 November). Ayah-ibu saya berasal dari akar suku yang berbeda. Ayah saya orang Banyumas di Jawa Tengah, sedangkan ibu saya berdarah Melayu yang lahir dan dibesarkan di Aceh, kawasan di ujung barat Kepulauan Indonesia yang terkenal sebagai Serambi Mekah karena kuatnya akar keislaman di sana.
Meski Subud untuk seluruh umat manusia, bagaimanapun, akar atau tempat lahirnya Subud adalah di Jawa. Organisasi Subud dibentuk di Yogyakarta sekitar 22 tahun sejak wahyu Latihan Kejiwaan diterima Bapak Muhammad Subuh di Semarang, juga di Jawa (Tengah).
Kenyataan ini mengherankan saya selama ini. Meskipun keluarga besar ayah saya berasal dari Jawa, tapi justru merekalah yang banyak mencerca keterlibatan saya di Subud. Mereka menyatakan, baik di depan saya maupun di belakang saya, ketidaksukaan mereka terhadap Subud dan keaktifan saya di dalamnya—seringkali dengan perkataan bahwa “agama Islam saja sudah cukup!”
Hal itu berkebalikan dengan sikap-sikap yang ada pada keluarga besar ibu saya, yang Melayu dan bersumber dari daerah di Indonesia di mana penyebaran agama Islam di Nusantara bermula. Para sesepuh menyambut dengan positif begitu mereka tahu bahwa saya anggota Subud. Mereka mengatakan bahwa Subud mengajarkan “ilmu yang tinggi”, yaitu berserah diri dengan perasaan sabar, tawakal dan ikhlas (berserah diri bagi kebanyakan umat Islam bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan). Para sepupu juga banyak yang menanyakan saya tentang apa itu Subud dan memberi penilaian yang baik. Hal ini mungkin disebabkan karena leluhur kami adalah seorang Sufi yang berasal dari Irak dan berdarah Persia.
Tidak ada dari keluarga besar ibu saya—yang non Jawa—yang menilai Subud itu Kejawen atau mistikisme Jawa. Sebaliknya, malah keluarga besar ayah saya—yang notabene Jawa—yang alergi dengan Subud karena mereka anggap Kejawen yang ajarannya dipandang oleh muslim awam sebagai “musyrik”.
Terkait hal itu, saya memiliki pengalaman yang lucu sekaligus mencengangkan saya, karena saya dapatkan setelah akhirnya berserah diri saja menghadapi perlakuan yang meresahkan dari “keluarga Jawa” saya. Tahun 2007 lalu, saya mengunjungi paman saya di Jawa Tengah yang sedang sakit keras. Istrinya, yang mengetahui keaktifan saya di Subud, mengoceh sejak saya tiba di rumah paman saya, mencemooh saya bahwa saya telah melupakan akidah agama saya dan mengatakan bahwa bagi tante saya mengaji Alqur’an saja sudah cukup.
Dengan rileks saya katakan pada tante saya bahwa itu belum cukup bagi saya; bahwa saya masih membutuhkan cara lain untuk mempraktikkan apa yang diajarkan agama saya, yaitu berserah diri. Sejak kecil, sebagai muslim, saya mendapat pendidikan agama yang cukup memadai dalam hal syariat, tetapi tidak ada yang melatih saya dalam praktik berserah diri, yang ironisnya merupakan makna sesungguhnya dari nama agama saya.
Tante saya, hingga tiba saatnya saya pamit untuk pergi ke tempat lain, terus saja mengoceh, menyuruh saya dengan tegas agar segera meninggalkan Subud. Saya menjawab sambil tersenyum, “Baik, Tante, jika Tuhan menghendaki.”
Dari rumah paman saya, saya meluncur ke rumah seorang pembantu pelatih senior, yang mengadakan syukuran karena esoknya beliau akan dikukuhkan sebagai guru besar dari universitas negeri yang ada di kota itu. Di sana saya berjumpa dengan seorang pembantu pelatih wanita yang menanyakan kabar paman saya yang sakit. Saya sebaliknya menanyakan bagaimana beliau mengenal paman saya. “Saya tinggal satu desa dengan paman Mas,” katanya.
Beberapa hari kemudian, saya bertanya ke tante saya apakah beliau kenal dengan si pembantu pelatih itu. Tante saya mengiyakan dan dengan antusias berkata, “Ya, beliau itu guru mengaji saya.”
Saya menahan tawa karena lucu. Tante saya telah mengatakan sebelumnya bahwa baginya mengaji Alqur’an saja sudah cukup, tidak perlu ikut Subud. Ternyata, guru mengajinya sendiri seorang pembantu pelatih Subud.
Pengalaman ini, dan pengalaman-pengalaman
lainnya di kemudian hari yang mirip, mengajarkan ke saya agar sabar, tawakal
dan ikhlas saja dalam menghadapi cercaan atau cemoohan orang lain terhadap
kenyataan bahwa saya anggota Subud.©2024
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 19 November 2024
No comments:
Post a Comment