Sebuah cerita oleh Bapak, dicuplik dari buku Luqman Keele (Luqman Mckingley), Journey Beyond the Stars, hlm. 335-341.
SELAMA Perang Dunia Kedua, balatentara Jepang menduduki Indonesia. Ribuan orang, termasuk keluarga Bapak, berpindah-pindah tempat, berusaha untuk menghindari wajib militer dari pasukan yang ingin menguasai Kepulauan Indonesia.
Bapak, istri beliau Ibu Siti Sumari, dan anak-anak mereka berjalan melalui hutan dan rimba Jawa ke Wolodono, sebuah desa kecil yang merupakan kampung halaman Ibu. Untuk menghibur Ibu, Bapak sering bercerita. Berikut ini salah satu ceritanya:
Belum lama lalu, ada seorang pria yang baik, seorang yang ramah dan jujur. Dan ia seorang pendeta Kristen—seorang Belanda berkulit putih.
Pria itu melayani jemaatnya di sebuah desa kecil di Sulawesi dengan pengabdian sepenuh hati; dan ia tetap bersama jemaatnya bahkan setelah Jepang menyerbu Indonesia. Ia tetap tinggal di tempat bahkan ketika tentara Jepang mengepung desa dan semua perlawanan telah diatasi.
Si pendeta tinggal di rumahnya dan menenangkan jemaatnya. Malam telah tiba ketika satu anggota jemaatnya mengetuk pintu depan rumahnya dan buru-buru masuk, sambil berkata, “Bapa, Bapa harus segera pergi! Jika tidak, Bapa akan dieksekusi!”
Tapi si pendeta berkata, “Urusan hidup dan mati bukanlah tergantung pada tentara Jepang; tapi pada Tuhan. Dan saya percaya Tuhan. Jadi, saya akan tetap di sini.”
Penduduk desa itu pun meninggalkan rumah si pendeta, putus asa. Malam pun tiba dan si pendeta berdoa serta berserah diri sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Lewat tengah malam, pintu rumahnya diketuk. Ia pergi membuka pintu. Di depan pintu berdiri seorang perwira Angkatan Darat Jepang dalam seragam yang berkilauan. Si perwira Jepang pun masuk dan si pendeta tetap di tempatnya berdiri, tenang dan pasrah kepada Tuhan.
“Pendeta, besok pagi kamu akan mati,” kata si perwira Jepang.
“Mungkin ya atau mungkin tidak,” jawab si pendeta. “Tapi apa pun alasannya, urusan hidup-matinya manusia ada di tangan Tuhan.”
Si pendeta menunggu keputusan Tuhan. Tiba-tiba, ia mendengar si perwira Jepang berkata, “Hari ini, sebelum subuh, pukul setengah lima pagi tepatnya, kamu harus tinggalkan rumahmu, belok kanan ke jalan, susuri jalan itu sebanyak 400 langkah. Kamu akan sampai di sudut kamp tentara Jepang. Di situ, kamu belok kiri, berlutut dan teruskan perjalanan dengan cara merangkak seperti itu, tanpa menengok ke kiri atau ke kanan. Kamu harus merangkak di sepanjang sebuah pagar. Apa pun yang terjadi, kamu harus terus merangkak. Terus merangkak dan tidak menoleh ke kiri atau kanan. Maka kamu akan sampai di sudut pagar. Belok kanan, terus merangkak, tetap lihat lurus ke depan.
“Kamu akan segera melihat di depanmu, bersandar di dudukan kayunya, sebuah pedang Jepang. Dekati pedang itu sambil berlutut, tidak menengok ke kiri atau ke kanan. Ciumlah pedang itu.
“Lalu, kembalilah ke tempatmu dengan cara yang sama seperti yang saya jelaskan, tapi sebaliknya. Jangan berdiri sampai kamu tiba di jalan. Lalu kamu berdiri, berlari pulang ke rumahmu dan tunggulah. Dan mungkin saja kamu tidak akan mati.”
Si pendeta Belanda, terheran-heran pada saran ini, mengangkat kepalanya dari posisi menunduk. Si tentara Jepang sudah pergi. Tapi pintunya tertutup. Dan si pendeta tidak mendengar pintunya dibuka maupun ditutup.
Pada saat itu, dalam hatinya ia merasakan ketakutan sekaligus ketakjuban atas bekerjanya kekuasaan Tuhan dan malaikat-malaikatNya.
Si pendeta tetap terjaga sampai jam setengah lima pagi, dan selanjutnya ia melakukan persis seperti yang diperintahkan si perwira Jepang. Ia menyusuri jalan, belok kanan, berlutut dan merangkak, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan.
Tapi ketika ia mencapai pagar ia tiba-tiba mendengar jeritan-jeritan memilukan. Ia memaksa dirinya untuk tidak melihat ke arah itu, tapi terus saja merangkak, meluruskan pandangan matanya ke depan. Jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan mulai bermunculan dari segala arah; dan bunyi sepatu boot, bunyi denting bayonet, bunyi tembakan senapan.
Si pendeta terus merangkak, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan. Sampai di pagar ia belok kanan. Dan semua keributan itu terus mengikutinya di kedua sisinya, ketika ia merangkak menuju pedang yang bersandar pada dudukan kayunya.
Keriuhan suara dan bunyi itu bertambah ketika ia mendekati pedang; tapi ketika ia menciumnya, suara dan bunyi yang menakutkan itu berubah menjadi tawa yang ramai.
Tawa dan sorakan serta suara-suara keras mengiringi perjalanan si pendeta kembali ke rumah. Tapi akhirnya, setelah memenuhi apa yang diperintahkan kepadanya, ia mencapai jalan semula, berdiri, lalu berlari pulang, dan menunggu.
Subuh pun tiba.
Sekitar pukul delapan pagi, pintu rumah si pendeta diketuk. Lima tentara Jepang masuk, mengikat kedua tangannya dan menyeretnya pergi. Mereka membawanya ke sebuah tempat di dekat pedang yang disandarkan pada dudukan kayunya. Kini, si pendeta bisa melihat, di bawah terangnya sinar matahari pagi, bahwa pedang itu adalah untuk eksekusi penggal kepala.
Si pendeta dipaksa berlutut di depan kaki seorang kolonel Jepang berbadan besar dan berjenggot hitam dengan sepatu boot hitam yang besar. Si kolonel sedang mencuci tangannya. Seseorang baru saja dia eksekusi.
Si kolonel membalikkan badannya dari depan tempat cuci tangan, melihat sepintas ke si pendeta, wajahnya memerah, dan meledaklah tawanya. Ia terus tertawa, sambil menunjuk-nunjuk si pendeta. Akhirnya, ia berhenti tertawa dan berkata dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.
“Jadi! Jadi kamu orang yang mencium pedang ini subuh tadi! Apa yang membuatmu melakukan hal itu? Siapa yang menyuruhmu mencium pedang itu?"
Si pendeta menundukkan kepalanya. Wajah si kolonel berubah serius. “Karena telah mencium pedang itu, nasibmu telah ditentukan,” katanya.
Si pendeta menyerahkan nasibnya ke tangan Tuhan bahkan ketika si kolonel menyampaikan kata-kata tersebut.
“Nasibmu telah diputuskan," kata si
kolonel. “Kamu boleh hidup.”
_______
Ibu Sumari terdiam selama beberapa saat. Sinar matahari yang menerangi hutan sudah mulai pudar. “Jadi, si perwira Jepang yang datang ke si pendeta,” ucap Ibu, “dia malaikat?”
Bapak mengangguk, “Dan, kamu harus tahu bahwa
mengikuti jalan Latihan adalah lebih berat daripada jalan yang harus diikuti si
pendeta.”
No comments:
Post a Comment