Friday, November 29, 2024

Politik Banjir

 

Banjir di kota Surakarta pada tahun 1925. Berlokasi di sepanjang tepi barat dan selatan Bengawan Solo, sungai terpanjang di Jawa (+600 km), kota di Jawa Tengah itu rawan banjir. (Leiden University Libraries Digital Collections)

PADA tanggal 27 November 2024, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia. Pemerintah menetapkannya sebagai hari libur nasional, agar seluruh masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya. Pilkada diselenggarakan di 508 kabupaten/kota di 37 provinsi.

“Penanggulangan banjir” biasanya masuk dalam berbagai janji politik para calon gubernur dan wali kota yang wilayahnya rawan banjir, baik saat musim hujan maupun di luar musim hujan. Yang tersebut terakhir biasanya disebabkan oleh pasang surut air laut. Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar merupakan enam kota besar di Indonesia yang kerap dilanda banjir. Penyebab banjir di keenam kota tersebut umumnya adalah urbanisasi yang tidak terkendali sehingga menyebabkan kepadatan penduduk dan permukiman yang tidak menyediakan ruang bagi sistem drainase yang baik. Kondisi ini semakin diperparah dengan perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan atau mendirikan bangunan di bantaran sungai.

Rawan Bencana

JANJI tinggal janji, karena setelah terpilih, nyatanya para kepala daerah tidak mampu menghentikan sepenuhnya banjir yang menggenangi wilayah kekuasaannya. Sebenarnya, mereka tidak perlu menjanjikan hal itu saat kampanye politik, karena banjir, khususnya di kota-kota di pesisir utara Jawa, misalnya, tidak selalu disebabkan oleh kesalahan manusia. Banjir di beberapa kota di Indonesia memang merupakan bencana alam yang sudah ada sejak zaman dahulu kala, saat wilayah tersebut belum berkembang menjadi kawasan perkotaan. Akan tetapi, banjir diperparah oleh manusia seiring dengan berkembangnya pemukiman dan perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Dalam mata kuliah “Sejarah Indonesia Abad ke-18” yang saya ambil sebagai mahasiswa Sejarah di Universitas Indonesia, saya menulis makalah yang mengungkap bahwa pemilihan Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pusat kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) secara geografis merupakan suatu kesalahan. Berdasarkan referensi yang saya gunakan dalam penulisan makalah tersebut, wilayah pesisir dengan teluk yang oleh Belanda disebut Batavia tersebut memang rawan banjir, gempa bumi, dan bencana alam lainnya.

Jakarta pada awalnya merupakan kota perdagangan, tidak dirancang untuk menjadi kota seperti sekarang. Posisinya berada di daerah delta, yang rawan banjir karena daratannya rendah. Kenyataan ini juga dialami oleh kota-kota pesisir lainnya di Indonesia, dan diperparah oleh pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan sarana pembuangan air dan masyarakat yang tidak peduli terhadap pelestarian lingkungan, termasuk penebangan hutan dan pembuangan sampah ke sungai.

Teluk yang membentang di hadapan pesisir Batavia merupakan berkah alam karena sangat ideal untuk pembangunan pelabuhan, sehingga Belanda hanya perlu memikirkan cara untuk mengurangi dampak banjir dan gempa bumi yang mengancam wilayah tersebut. Mereka kemudian membangun kanal-kanal yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan hingga saat ini di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Belanda juga membangun gorong-gorong bawah tanah yang konon berdiameter setinggi orang dewasa. Kanal dan gorong-gorong tersebut dibuat tidak hanya untuk meredam guncangan akibat gempa bumi, tetapi juga untuk menyalurkan air banjir ke laut. Gorong-gorong, khususnya, telah banyak yang hancur karena pembangunan infrastruktur Jakarta yang terus melaju. Penyebabnya adalah tiang pancang beton fondasi yang tertanam dalam-dalam.

Secara keseluruhan, Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Berdasarkan Indeks Risiko Bencana yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2021, sebagian besar wilayah Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap bencana alam. Berdasarkan perspektif geografi, geologi, klimatologi, dan demografi, Indonesia menempati urutan ke-7 sebagai negara yang paling rentan terhadap risiko bencana alam. Hal ini dikarenakan Indonesia dilintasi oleh Sirkum Pasifik atau Cincin Api Pasifik, dilintasi oleh sabuk Alpide, dan wilayahnya berada di daerah tropis (khatulistiwa). Sehingga berpotensi untuk mengalami bencana alam, seperti gempa bumi, gunung berapi, tsunami, tanah longsor, banjir, dan lainnya.

Maka, sudah saatnya kita akhiri politik banjir dari para calon kepala daerah di Indonesia, dan banjiri masyarakat dengan program-program yang merepresentasikan tanggung jawab sosial, ekonomi, dan lingkungan para politisi.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 29 November 2024

No comments: