KETIKA pertama kali mengunjungi tempat kelahiran Muhammad Subuh di Kedungjati, pada 7 Februari 2016, saya mendapat kesan bahwa tempat itu terpaku di masa lalu. Tidak ada kegiatan yang dinamis penuh hiruk pikuk di sana. Bahkan stasiun kereta api yang terletak sekitar 50 meter di selatan rumah Bapak, dengan lima jalur rel dan bangunan peronnya yang besar menyiratkan Stasiun Kedungjati adalah stasiun besar, tergolong sangat sepi.
Desa Kedungjati terletak di kecamatan dengan nama yang sama, dalam wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sekitar 43 km di tenggara kota Semarang. Banyak anggota Subud Indonesia yang bukan orang Jawa atau tidak mempelajari sejarah atau geografi Indonesia masa lalu bersikeras bahwa Bapak lahir di Semarang. Memang benar di Semarang, tapi itu sebutan administratif zaman Hindia Belanda untuk wilayah karesidenan yang mencakup Kabupaten Grobogan, tanah kelahiran Bapak yang sesungguhnya.
Menjumpai kesunyian yang mencekam pikiran orang yang terbiasa dengan ingar bingar kehidupan di perkotaan, saya menyimpulkan terlalu cepat bahwa pantas saja Bapak dapat dengan mudah mengikuti bimbingan Tuhan dengan perasaan sabar, tawakal dan ikhlas. Dalam tradisi mistikisme Jawa, kesunyian merupakan syarat mutlak bagi seseorang untuk mencapai keheningan lahir dan batin.
Tetapi Bapak sebaliknya malah tidak menganjurkan pertapaan di tempat-tempat yang jauh dari keramaian, seperti hutan atau gua di pegunungan. Seperti meditasi para biksu Buddha yang sejati atau praktik “khalwat dar anjuman” kaum sufi Persia purba, Latihan Kejiwaan yang diterima Bapak pada tahun 1925 dapat dan bahkan dianjurkan untuk dilakukan dalam “keadaan yang biasa”, dalam kehidupan sehari-hari di tengah dinamika sosial dan ekonomi yang bersifat duniawi. “Menyepi di tengah keramaian” istilahnya kaum sufi—ramai secara jasmani tapi hati sepi dari apapun selain Allah.
Mistikisme adalah jantung kehidupan orang Jawa. Laku spiritual orang Jawa mengacu kepada “Dia yang Satu, yang tak bisa dibayangkan” yang digeneralisasi dengan sebutan “Kapitayan” (dari kata bahasa Jawa Kuno “taya” yang berarti “tak terlihat”). Orang modern menganggap Kapitayan adalah agama asli orang Jawa yang bersifat monoteistik—berbeda dengan Kejawen yang non-monoteistik, padahal orang Jawa tidak mengenal agama dalam pengertian masa kini.
Sebelum pemerintah meregulasi aliran-aliran kebatinan agar didaftarkan resmi sebagai organisasi penghayat kepercayaan, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, mistikisme dipraktikkan oleh perorangan, jarang sekali terkumpul menjadi suatu organisasi resmi. Kalaupun berkumpul, istilahnya “paguyuban” (community), sifatnya tidak permanen. Sejumlah aliran kebatinan semasa Hindia Belanda mewujud sebagai organisasi hanya untuk menyertakan diri dalam Pergerakan Nasional yang dicanangkan tahun 1928 sebagai gerakan perlawanan tak bersenjata terhadap politik kolonial. Sedangkan secara spiritual, orang Jawa tetap menjalani laku kerohanian (kejiwaan) secara perorangan, tanpa ikatan dengan organisasi apapun.
Ajaran spiritual diwariskan turun temurun dari leluhur masing-masing pelaku melalui pitutur, yaitu ungkapan atau pepatah yang mengandung makna dan nilai-nilai dan kehidupan. Pitutur seringkali mengandung ajaran moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman dalam berperilaku. Sedangkan latihan spiritualnya berbentuk semedi atau meditasi (tapa brata), baik secara khusus (dengan penyepian diri) maupun umum (dengan melakukan kegiatan sehari-hari diiringi niteni untuk mempertahankan “eling lan waspodo” {ingat dan waspada} pada diri pelaku).
Februari 2024 lalu, dalam rangka pekerjaan, saya mengunjungi Tulungagung, sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur yang pesisir selatannya berbatasan dengan Samudra Hindia. Kabarnya, secara historis, Tulungagung merupakan wilayah khusus untuk pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) dari Kerajaan Mataram Kuno hingga Majapahit. Tak mengherankan jika di segala penjuru Tulungagung berserakan situs-situs arkeologis berupa candi Hindu-Buddha.
Karena tujuan saya ke sana adalah untuk menyiapkan sebuah festival budaya, saya pun dipertemukan dengan para penghayat kepercayaan yang selama ini melestarikan budaya asli Jawa. Dari mereka saya mendapat informasi bahwa di Tulungagung saat ini terdapat 36 paguyuban penghayat yang sifatnya tidak permanen; keberadaan masing-masing paguyuban didasari oleh sebuah misi yang dipercaya berasal dari Hyang Semar (sebutan orang Jawa untuk Tuhan) yang harus diemban dan diselesaikan. Jumlah itu bisa bertambah atau berkurang, dan jumlah pengikutnya berkisar dari 100an orang hingga satu orang saja. Setiap paguyuban memiliki pengikut yang berasal dari berbagai aliran atau perkumpulan yang berbeda, tetapi dipertemukan oleh misi yang sama atau saling melengkapi.
Saya jadi teringat pada satu saudara Subud dari Yogyakarta yang ketika ke Jakarta menyempatkan diri untuk mengunjungi saya bersama pamannya. Pamannya bukan anggota Subud, melainkan seorang Putro Romo (Romo’s Child; romo being the address to an elderly man in Java). Si paman menjelaskan ke saya bahwa Putro Romo adalah sebutan buat mereka yang secara individu menjalankan dengan ketat semua ajaran dari Romo Semono. Semono Sastrohadidjojo (1900-1981) adalah pendiri Paguyuban Penghayat Kapribaden, sebuah aliran mistikisme Jawa. Mereka yang hanya menginginkan latihan spiritualnya (disebut “Kunci” (key); lambang perkumpulan ini berbentuk kunci), tergabung dalam Paguyuban Kapribaden, sedangkan yang serius mengamalkan ajaran Romo Semono disebut Putro Romo. Yang tersebut terakhir tidak selalu bergiat di paguyuban.
Saya juga teringat pada beberapa saudara Subud yang tidak mau menyebut diri mereka “anggota Subud”, melainkan lebih nyaman menjadi “pelaku Latihan Kejiwaan”. Mereka datang ke Wisma Subud hanya untuk Latihan, selebihnya mereka menjalani hidup saja dengan bimbingan Latihan. Salah satu dari mereka, dibuka tahun 1968, pernah didaulat sebagai anggota pengurus PPK Subud Indonesia, karena ketua umumnya saat itu menghargainya sebagai “saudara sejiwa”, meski ia menafikan keanggotaannya di Subud.
Mendiang kakek saya dari pihak
ayah saya, seorang Jawa klasik dari kota kecil di kaki Gunung Slamet di Jawa
Tengah, yang menjunjung ajaran leluhurnya, mempraktikkan spiritualitas
individual, secara yang dilakukan kaum non-sektarian dalam Buddhisme. Beliau
tidak memiliki ikatan dengan organisasi apapun; tampaknya latihannya diwariskan
oleh orang tuanya, yang secara pribadi beliau sebut “manunggaling kawula lan Gusti” (unifikasi ciptaan dengan
Penciptanya). Manunggaling kawula Gusti
adalah sebutan umum untuk semua metode semedi atau sembahyang ala mistikisme
Jawa. Bahkan bagi orang Jawa tradisional, Latihan Kejiwaan Subud juga tergolong
metode manunggaling kawula Gusti.
Tempat tinggal kakek saya itu berada di sebuah
dusun sunyi yang dahulu dikelilingi persawahan, beberapa sungai kecil dan
pepohonan kelapa serta beraneka pohon buah-buahan. Suara manusia jarang
terdengar, hanya kicau burung di pagi hari dan bunyi jangkrik dan tonggeret di
waktu malam. Waktu-waktu luang saat sore atau malam beliau isi dengan semedi
atau kontemplasi di saung bambu di pekarangan rumah beliau. Saat
berkontemplasi, beliau biasanya memandang ke langit diselingi mengisap rokok
kretek kemenyan dan menyeruput kopi tubruk kental dari gelas kaleng.
Saya melihat beliau dari teras rumah kakek saya,
khawatir jika kehadiran saya di dekat beliau akan mengganggu upaya beliau
mencapai keheningan. Bagaimanapun, karena awalnya tidak mengerti, saya pernah
tak sengaja membuyarkan keheningan beliau, tetapi alih-alih marah (yang
merupakan pantangan dalam ajaran mistikisme Jawa) beliau mengajak saya duduk di
sebelah beliau. Saya merasakan getaran keheningan memancar dari diri beliau,
yang tetap ada meskipun kami bercengkerama santai.
Setelah saya masuk Subud, saya jadi memahami apa
yang dilakukan kakek saya itu, dan bahwa yang lebih utama itu adalah ketenangan
di dalam diri, alih-alih mengandalkan sebuah tempat yang tenang.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 30 November 2024