Friday, November 29, 2024

Sebuah Tempat yang Tenang

 


KETIKA pertama kali mengunjungi tempat kelahiran Muhammad Subuh di Kedungjati, pada 7 Februari 2016, saya mendapat kesan bahwa tempat itu terpaku di masa lalu. Tidak ada kegiatan yang dinamis penuh hiruk pikuk di sana. Bahkan stasiun kereta api yang terletak sekitar 50 meter di selatan rumah Bapak, dengan lima jalur rel dan bangunan peronnya yang besar menyiratkan Stasiun Kedungjati adalah stasiun besar, tergolong sangat sepi.

Desa Kedungjati terletak di kecamatan dengan nama yang sama, dalam wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sekitar 43 km di tenggara kota Semarang. Banyak anggota Subud Indonesia yang bukan orang Jawa atau tidak mempelajari sejarah atau geografi Indonesia masa lalu bersikeras bahwa Bapak lahir di Semarang. Memang benar di Semarang, tapi itu sebutan administratif zaman Hindia Belanda untuk wilayah karesidenan yang mencakup Kabupaten Grobogan, tanah kelahiran Bapak yang sesungguhnya.

Menjumpai kesunyian yang mencekam pikiran orang yang terbiasa dengan ingar bingar kehidupan di perkotaan, saya menyimpulkan terlalu cepat bahwa pantas saja Bapak dapat dengan mudah mengikuti bimbingan Tuhan dengan perasaan sabar, tawakal dan ikhlas. Dalam tradisi mistikisme Jawa, kesunyian merupakan syarat mutlak bagi seseorang untuk mencapai keheningan lahir dan batin.

Tetapi Bapak sebaliknya malah tidak menganjurkan pertapaan di tempat-tempat yang jauh dari keramaian, seperti hutan atau gua di pegunungan. Seperti meditasi para biksu Buddha yang sejati atau praktik “khalwat dar anjuman” kaum sufi Persia purba, Latihan Kejiwaan yang diterima Bapak pada tahun 1925 dapat dan bahkan dianjurkan untuk dilakukan dalam “keadaan yang biasa”, dalam kehidupan sehari-hari di tengah dinamika sosial dan ekonomi yang bersifat duniawi. “Menyepi di tengah keramaian” istilahnya kaum sufi—ramai secara jasmani tapi hati sepi dari apapun selain Allah.

Mistikisme adalah jantung kehidupan orang Jawa. Laku spiritual orang Jawa mengacu kepada “Dia yang Satu, yang tak bisa dibayangkan” yang digeneralisasi dengan sebutan “Kapitayan” (dari kata bahasa Jawa Kuno “taya” yang berarti “tak terlihat”). Orang modern menganggap Kapitayan adalah agama asli orang Jawa yang bersifat monoteistik—berbeda dengan Kejawen yang non-monoteistik, padahal orang Jawa tidak mengenal agama dalam pengertian masa kini.

Sebelum pemerintah meregulasi aliran-aliran kebatinan agar didaftarkan resmi sebagai organisasi penghayat kepercayaan, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, mistikisme dipraktikkan oleh perorangan, jarang sekali terkumpul menjadi suatu organisasi resmi. Kalaupun berkumpul, istilahnya “paguyuban” (community), sifatnya tidak permanen. Sejumlah aliran kebatinan semasa Hindia Belanda mewujud sebagai organisasi hanya untuk menyertakan diri dalam Pergerakan Nasional yang dicanangkan tahun 1928 sebagai gerakan perlawanan tak bersenjata terhadap politik kolonial. Sedangkan secara spiritual, orang Jawa tetap menjalani laku kerohanian (kejiwaan) secara perorangan, tanpa ikatan dengan organisasi apapun.

Ajaran spiritual diwariskan turun temurun dari leluhur masing-masing pelaku melalui pitutur, yaitu ungkapan atau pepatah yang mengandung makna dan nilai-nilai dan kehidupan. Pitutur seringkali mengandung ajaran moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman dalam berperilaku. Sedangkan latihan spiritualnya berbentuk semedi atau meditasi (tapa brata), baik secara khusus (dengan penyepian diri) maupun umum (dengan melakukan kegiatan sehari-hari diiringi niteni untuk mempertahankan “eling lan waspodo” {ingat dan waspada} pada diri pelaku).

Februari 2024 lalu, dalam rangka pekerjaan, saya mengunjungi Tulungagung, sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur yang pesisir selatannya berbatasan dengan Samudra Hindia. Kabarnya, secara historis, Tulungagung merupakan wilayah khusus untuk pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) dari Kerajaan Mataram Kuno hingga Majapahit. Tak mengherankan jika di segala penjuru Tulungagung berserakan situs-situs arkeologis berupa candi Hindu-Buddha.

Karena tujuan saya ke sana adalah untuk menyiapkan sebuah festival budaya, saya pun dipertemukan dengan para penghayat kepercayaan yang selama ini melestarikan budaya asli Jawa. Dari mereka saya mendapat informasi bahwa di Tulungagung saat ini terdapat 36 paguyuban penghayat yang sifatnya tidak permanen; keberadaan masing-masing paguyuban didasari oleh sebuah misi yang dipercaya berasal dari Hyang Semar (sebutan orang Jawa untuk Tuhan) yang harus diemban dan diselesaikan. Jumlah itu bisa bertambah atau berkurang, dan jumlah pengikutnya berkisar dari 100an orang hingga satu orang saja. Setiap paguyuban memiliki pengikut yang berasal dari berbagai aliran atau perkumpulan yang berbeda, tetapi dipertemukan oleh misi yang sama atau saling melengkapi.

Saya jadi teringat pada satu saudara Subud dari Yogyakarta yang ketika ke Jakarta menyempatkan diri untuk mengunjungi saya bersama pamannya. Pamannya bukan anggota Subud, melainkan seorang Putro Romo (Romo’s Child; romo being the address to an elderly man in Java). Si paman menjelaskan ke saya bahwa Putro Romo adalah sebutan buat mereka yang secara individu menjalankan dengan ketat semua ajaran dari Romo Semono. Semono Sastrohadidjojo (1900-1981) adalah pendiri Paguyuban Penghayat Kapribaden, sebuah aliran mistikisme Jawa. Mereka yang hanya menginginkan latihan spiritualnya (disebut “Kunci” (key); lambang perkumpulan ini berbentuk kunci), tergabung dalam Paguyuban Kapribaden, sedangkan yang serius mengamalkan ajaran Romo Semono disebut Putro Romo. Yang tersebut terakhir tidak selalu bergiat di paguyuban.

Saya juga teringat pada beberapa saudara Subud yang tidak mau menyebut diri mereka “anggota Subud”, melainkan lebih nyaman menjadi “pelaku Latihan Kejiwaan”. Mereka datang ke Wisma Subud hanya untuk Latihan, selebihnya mereka menjalani hidup saja dengan bimbingan Latihan. Salah satu dari mereka, dibuka tahun 1968, pernah didaulat sebagai anggota pengurus PPK Subud Indonesia, karena ketua umumnya saat itu menghargainya sebagai “saudara sejiwa”, meski ia menafikan keanggotaannya di Subud.

Mendiang kakek saya dari pihak ayah saya, seorang Jawa klasik dari kota kecil di kaki Gunung Slamet di Jawa Tengah, yang menjunjung ajaran leluhurnya, mempraktikkan spiritualitas individual, secara yang dilakukan kaum non-sektarian dalam Buddhisme. Beliau tidak memiliki ikatan dengan organisasi apapun; tampaknya latihannya diwariskan oleh orang tuanya, yang secara pribadi beliau sebut “manunggaling kawula lan Gusti” (unifikasi ciptaan dengan Penciptanya). Manunggaling kawula Gusti adalah sebutan umum untuk semua metode semedi atau sembahyang ala mistikisme Jawa. Bahkan bagi orang Jawa tradisional, Latihan Kejiwaan Subud juga tergolong metode manunggaling kawula Gusti.

Tempat tinggal kakek saya itu berada di sebuah dusun sunyi yang dahulu dikelilingi persawahan, beberapa sungai kecil dan pepohonan kelapa serta beraneka pohon buah-buahan. Suara manusia jarang terdengar, hanya kicau burung di pagi hari dan bunyi jangkrik dan tonggeret di waktu malam. Waktu-waktu luang saat sore atau malam beliau isi dengan semedi atau kontemplasi di saung bambu di pekarangan rumah beliau. Saat berkontemplasi, beliau biasanya memandang ke langit diselingi mengisap rokok kretek kemenyan dan menyeruput kopi tubruk kental dari gelas kaleng.

Saya melihat beliau dari teras rumah kakek saya, khawatir jika kehadiran saya di dekat beliau akan mengganggu upaya beliau mencapai keheningan. Bagaimanapun, karena awalnya tidak mengerti, saya pernah tak sengaja membuyarkan keheningan beliau, tetapi alih-alih marah (yang merupakan pantangan dalam ajaran mistikisme Jawa) beliau mengajak saya duduk di sebelah beliau. Saya merasakan getaran keheningan memancar dari diri beliau, yang tetap ada meskipun kami bercengkerama santai.

Setelah saya masuk Subud, saya jadi memahami apa yang dilakukan kakek saya itu, dan bahwa yang lebih utama itu adalah ketenangan di dalam diri, alih-alih mengandalkan sebuah tempat yang tenang.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 30 November 2024

Politik Banjir

 

Banjir di kota Surakarta pada tahun 1925. Berlokasi di sepanjang tepi barat dan selatan Bengawan Solo, sungai terpanjang di Jawa (+600 km), kota di Jawa Tengah itu rawan banjir. (Leiden University Libraries Digital Collections)

PADA tanggal 27 November 2024, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia. Pemerintah menetapkannya sebagai hari libur nasional, agar seluruh masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya. Pilkada diselenggarakan di 508 kabupaten/kota di 37 provinsi.

“Penanggulangan banjir” biasanya masuk dalam berbagai janji politik para calon gubernur dan wali kota yang wilayahnya rawan banjir, baik saat musim hujan maupun di luar musim hujan. Yang tersebut terakhir biasanya disebabkan oleh pasang surut air laut. Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar merupakan enam kota besar di Indonesia yang kerap dilanda banjir. Penyebab banjir di keenam kota tersebut umumnya adalah urbanisasi yang tidak terkendali sehingga menyebabkan kepadatan penduduk dan permukiman yang tidak menyediakan ruang bagi sistem drainase yang baik. Kondisi ini semakin diperparah dengan perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan atau mendirikan bangunan di bantaran sungai.

Rawan Bencana

JANJI tinggal janji, karena setelah terpilih, nyatanya para kepala daerah tidak mampu menghentikan sepenuhnya banjir yang menggenangi wilayah kekuasaannya. Sebenarnya, mereka tidak perlu menjanjikan hal itu saat kampanye politik, karena banjir, khususnya di kota-kota di pesisir utara Jawa, misalnya, tidak selalu disebabkan oleh kesalahan manusia. Banjir di beberapa kota di Indonesia memang merupakan bencana alam yang sudah ada sejak zaman dahulu kala, saat wilayah tersebut belum berkembang menjadi kawasan perkotaan. Akan tetapi, banjir diperparah oleh manusia seiring dengan berkembangnya pemukiman dan perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Dalam mata kuliah “Sejarah Indonesia Abad ke-18” yang saya ambil sebagai mahasiswa Sejarah di Universitas Indonesia, saya menulis makalah yang mengungkap bahwa pemilihan Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pusat kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) secara geografis merupakan suatu kesalahan. Berdasarkan referensi yang saya gunakan dalam penulisan makalah tersebut, wilayah pesisir dengan teluk yang oleh Belanda disebut Batavia tersebut memang rawan banjir, gempa bumi, dan bencana alam lainnya.

Jakarta pada awalnya merupakan kota perdagangan, tidak dirancang untuk menjadi kota seperti sekarang. Posisinya berada di daerah delta, yang rawan banjir karena daratannya rendah. Kenyataan ini juga dialami oleh kota-kota pesisir lainnya di Indonesia, dan diperparah oleh pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan sarana pembuangan air dan masyarakat yang tidak peduli terhadap pelestarian lingkungan, termasuk penebangan hutan dan pembuangan sampah ke sungai.

Teluk yang membentang di hadapan pesisir Batavia merupakan berkah alam karena sangat ideal untuk pembangunan pelabuhan, sehingga Belanda hanya perlu memikirkan cara untuk mengurangi dampak banjir dan gempa bumi yang mengancam wilayah tersebut. Mereka kemudian membangun kanal-kanal yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan hingga saat ini di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Belanda juga membangun gorong-gorong bawah tanah yang konon berdiameter setinggi orang dewasa. Kanal dan gorong-gorong tersebut dibuat tidak hanya untuk meredam guncangan akibat gempa bumi, tetapi juga untuk menyalurkan air banjir ke laut. Gorong-gorong, khususnya, telah banyak yang hancur karena pembangunan infrastruktur Jakarta yang terus melaju. Penyebabnya adalah tiang pancang beton fondasi yang tertanam dalam-dalam.

Secara keseluruhan, Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Berdasarkan Indeks Risiko Bencana yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2021, sebagian besar wilayah Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap bencana alam. Berdasarkan perspektif geografi, geologi, klimatologi, dan demografi, Indonesia menempati urutan ke-7 sebagai negara yang paling rentan terhadap risiko bencana alam. Hal ini dikarenakan Indonesia dilintasi oleh Sirkum Pasifik atau Cincin Api Pasifik, dilintasi oleh sabuk Alpide, dan wilayahnya berada di daerah tropis (khatulistiwa). Sehingga berpotensi untuk mengalami bencana alam, seperti gempa bumi, gunung berapi, tsunami, tanah longsor, banjir, dan lainnya.

Maka, sudah saatnya kita akhiri politik banjir dari para calon kepala daerah di Indonesia, dan banjiri masyarakat dengan program-program yang merepresentasikan tanggung jawab sosial, ekonomi, dan lingkungan para politisi.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 29 November 2024

Sunday, November 24, 2024

Tidak Perlu Bertanya Mengapa

PENGALAMAN saya di Subud Cabang Surabaya, di mana saya ngandidat dan dibuka, membuat saya mengalami kejutan budaya ketika saya pindah ke Jakarta, dalam hal berbedanya sikap dan tindakan para pembantu pelatih di Surabaya dan Jakarta. Tetapi saya diam saja, membiarkan hal itu berjalan alami saja, tidak perlu mempertentangkan.

Ingatan akan hal itu muncul kembali setelah postingan saya di grup Facebook Subud Around the World pada 22 November 2024 memancing pelbagai komentar dari pembaca, yang umumnya positif, tetapi juga diiringi keheranan para anggota Subud luar negeri pada layanan pembantu pelatih di Indonesia—yang mereka kira merupakan hal yang umum di Subud Indonesia, sehingga saya perlu menjelaskan bahwa hal itu tidak menyeluruh. Pembantu pelatih Subud Surabaya berbeda sama sekali dalam melayani kandidat dan anggota dengan cara yang saya alami sendiri di Jakarta Selatan.

Ketika saya mulai ngandidat di Wisma Subud Surabaya, tidak ada pembantu pelatih yang menanyakan ke saya mengapa saya ingin masuk Subud. Karena para pembantu pelatih di Cabang Surabaya sudah tahu beberapa hari sebelumnya bahwa saya “tersentuh” oleh Mas Adji, yang membacakan buku Susila Budhi Dharma ke saya ketika mitra kerja saya mengajak saya ke Wisma Subud Surabaya untuk diperkenalkan ke Mas Adji. Kala itu, saya tidak tertarik pada Subud—teman sayalah yang juga ada di Wisma Subud Surabaya pada malam itu yang tertarik.

Mas Adji bertanya ke saya apa yang saya ketahui tentang Subud. Karena saya benar-benar tidak tahu apa tujuan saya pergi ke Wisma Subud Surabaya pada waktu itu (terlepas dari ajakan mitra kerja saya, karena di sana banyak makanan, yang lebih menarik perhatian saya), saya menjawab dengan santai. Mas Adji tertawa terbahak-bahak dengan jawaban saya.

Emil Petrie, anggota Subud Inggris, mengomentari postingan saya di grup Facebook Subud Around the World bahwa karena Subud mengandalkan rasa maka tidak yang perlu dijelaskan oleh seorang pembantu pelatih. Ia hanya perlu bercerita saja, menceritakan pengalamannya sendiri. Menanyakan kepada kandidat mengapa ia mau masuk Subud bagi Emil tidak masuk akal. Ia menyukai respons saya terhadap keponakan saya, yang sedang ngandidat di Subud Ranting Pamulang, agar ia tetapi “menjadi diri sendiri”.

Menjawab komentar Emil Petrie itu, saya mengisahkan momen ketika saya ngandidat di Subud Cabang Surabaya, sebagai berikut:

“Sebelum membaca komentar Anda, saya baru saja selesai merenungkan saat ketika saya sedang menjalani masa kandidatan tiga bulan saya di Surabaya, Jawa Timur. Di sana saya dilayani oleh empat pembantu pelatih (secara keseluruhan, cabang itu memiliki 12 pembantu pelatih pria), yang semuanya saya juluki 'pembantu pelatih pendiam'.

Para pembantu pelatih di Surabaya atau di lain-lain cabang di Jawa Timur dan Tengah, terutama yang tua-tua, sangat berbeda dalam sikap mereka dalam melayani kandidat maupun anggota yang sudah dibuka, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta. Mereka umumnya lebih banyak dia dan terus menerus dalam keadaan merasakan diri, yang menciptakan atmosfer yang begitu tenangnya hingga para kandidat dapat menyerap kedamaian sejati di dalam diri mereka sendiri.

Hampir tidak ada penjelasan secara lisan terkait dengan kejiwaan, kecuali kandidat menanyakannya. Bahkan ketika para pembantu pelatih itu berbicara, mereka hanya berbagi lelucon. Hal ini mengingatkan saya pada kisah yang diceritakan seorang pembantu pelatih Amerika yang tinggal di kompleks Wisma Subud Cilandak mengenai Bapak yang sering melontarkan lelucon untuk mengurangi ketegangan dari audiens beliau yang akan mendengarkan ceramah beliau.

Para pembantu pelatih Surabaya cenderung membiarkan para kandidat menemukan sendiri jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka di dalam proses kehidupan masing-masing setelah dibuka. Saya adalah salah satu kandidat yang paling bawel, yang datang ke hall dengan seabrek pertanyaan, yang direspons oleh para pembantu pelatih dengan, 'Sabar saja, Mas, nanti panjenengan akan menemukan sendiri jawabannya.'”

Hal ini sebenarnya menguntungkan saya di masa depan—meskipun awalnya saya sebal dengan perlakuan para pembantu pelatih yang rada pasif itu. Karena setelah saya melakukan Latihan selama bertahun-tahun, saya akhirnya menjadi mandiri. Saya hanya mengandalkan 'pembantu pelatih di dalam diri' yang siap dengan jawaban-jawaban eksklusif sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada suatu waktu.”©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 November 2023

Thursday, November 21, 2024

Yang Membuat Orang Masuk Subud

KEPONAKAN saya, berusia 21 tahun pada 7 Desember mendatang, sedang menjalani kandidatan tiga bulannya di Subud Ranting Pamulang saat ini. Dia ditanya oleh dua pembantu pelatih yang berbeda, mengapa ia tertarik masuk Subud. Saya sudah berpesan padanya agar ia jujur dalam memberi alasan mengapa ia ingin masuk Subud. Rupanya dia terlalu jujur, yang membuat saya dan istri tertawa terpingkal-pingkal dan saya juga merasa dipermalukan.

Pasalnya, dia antara lain menjelaskan kepada kedua pembantu pelatih yang melayaninya sebagai kandidat bahwa saya bercerita kepadanya bahwa di Subud Pamulang selalu tersedia kopi dan camilan yang enak. Wah, ketahuan deh “niat sampingan” saya yang mulai rutin melakukan Latihan di Wisma Barata Pamulang sejak Desember 2022.

Tapi yang membanggakan saya adalah alasan serius sang keponakan: Dia kagum dengan bagaimana pamannya sudi menyediakan waktu dan tenaga (kadang saya harus menempuh perjalanan jauh ke tempat-tempat Latihan di luar Jakarta) hanya untuk melakukan Latihan selama setengah jam—sesuatu yang saya sendiri tidak sepenuhnya paham mengapa saya mau melakukannya. Bekerja paruh waktu sebagai pengendara ojek daring, ia juga mengutarakan ketertarikannya pada bagaimana saya dapat dengan mudah menemukan lokasi yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, memilih dengan tepat arah yang harus saya ambil tanpa mengandalkan GPS, yang sebaliknya selalu ia gunakan dalam pekerjaannya.

Ia ingin seperti saya, tapi saya batalkan niat dia itu dengan menyampaikan cuplikan dari ceramah Bapak, bahwa meniru adalah keliru. “Jadilah dirimu sendiri,” kata saya kepadanya. Puji Tuhan, dia tetap antusias melalui masa menunggunya.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 22 November 2023

Monday, November 18, 2024

Sikap Menghadapi Cemoohan

DUA hari berturut-turut, 16 dan 17 November 2024, saya menghadiri acara kumpul keluarga besar, masing-masing dari garis ayah (16 November) dan garis ibu (17 November). Ayah-ibu saya berasal dari akar suku yang berbeda. Ayah saya orang Banyumas di Jawa Tengah, sedangkan ibu saya berdarah Melayu yang lahir dan dibesarkan di Aceh, kawasan di ujung barat Kepulauan Indonesia yang terkenal sebagai Serambi Mekah karena kuatnya akar keislaman di sana.

Meski Subud untuk seluruh umat manusia, bagaimanapun, akar atau tempat lahirnya Subud adalah di Jawa. Organisasi Subud dibentuk di Yogyakarta sekitar 22 tahun sejak wahyu Latihan Kejiwaan diterima Bapak Muhammad Subuh di Semarang, juga di Jawa (Tengah).

Kenyataan ini mengherankan saya selama ini. Meskipun keluarga besar ayah saya berasal dari Jawa, tapi justru merekalah yang banyak mencerca keterlibatan saya di Subud. Mereka menyatakan, baik di depan saya maupun di belakang saya, ketidaksukaan mereka terhadap Subud dan keaktifan saya di dalamnya—seringkali dengan perkataan bahwa “agama Islam saja sudah cukup!”

Hal itu berkebalikan dengan sikap-sikap yang ada pada keluarga besar ibu saya, yang Melayu dan bersumber dari daerah di Indonesia di mana penyebaran agama Islam di Nusantara bermula. Para sesepuh menyambut dengan positif begitu mereka tahu bahwa saya anggota Subud. Mereka mengatakan bahwa Subud mengajarkan “ilmu yang tinggi”, yaitu berserah diri dengan perasaan sabar, tawakal dan ikhlas (berserah diri bagi kebanyakan umat Islam bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan). Para sepupu juga banyak yang menanyakan saya tentang apa itu Subud dan memberi penilaian yang baik. Hal ini mungkin disebabkan karena leluhur kami adalah seorang Sufi yang berasal dari Irak dan berdarah Persia.

Tidak ada dari keluarga besar ibu saya—yang non Jawa—yang menilai Subud itu Kejawen atau mistikisme Jawa. Sebaliknya, malah keluarga besar ayah saya—yang notabene Jawa—yang alergi dengan Subud karena mereka anggap Kejawen yang ajarannya dipandang oleh muslim awam sebagai “musyrik”.

Terkait hal itu, saya memiliki pengalaman yang lucu sekaligus mencengangkan saya, karena saya dapatkan setelah akhirnya berserah diri saja menghadapi perlakuan yang meresahkan dari “keluarga Jawa” saya. Tahun 2007 lalu, saya mengunjungi paman saya di Jawa Tengah yang sedang sakit keras. Istrinya, yang mengetahui keaktifan saya di Subud, mengoceh sejak saya tiba di rumah paman saya, mencemooh saya bahwa saya telah melupakan akidah agama saya dan mengatakan bahwa bagi tante saya mengaji Alqur’an saja sudah cukup.

Dengan rileks saya katakan pada tante saya bahwa itu belum cukup bagi saya; bahwa saya masih membutuhkan cara lain untuk mempraktikkan apa yang diajarkan agama saya, yaitu berserah diri. Sejak kecil, sebagai muslim, saya mendapat pendidikan agama yang cukup memadai dalam hal syariat, tetapi tidak ada yang melatih saya dalam praktik berserah diri, yang ironisnya merupakan makna sesungguhnya dari nama agama saya.

Tante saya, hingga tiba saatnya saya pamit untuk pergi ke tempat lain, terus saja mengoceh, menyuruh saya dengan tegas agar segera meninggalkan Subud. Saya menjawab sambil tersenyum, “Baik, Tante, jika Tuhan menghendaki.”

Dari rumah paman saya, saya meluncur ke rumah seorang pembantu pelatih senior, yang mengadakan syukuran karena esoknya beliau akan dikukuhkan sebagai guru besar dari universitas negeri yang ada di kota itu. Di sana saya berjumpa dengan seorang pembantu pelatih wanita yang menanyakan kabar paman saya yang sakit. Saya sebaliknya menanyakan bagaimana beliau mengenal paman saya. “Saya tinggal satu desa dengan paman Mas,” katanya.

Beberapa hari kemudian, saya bertanya ke tante saya apakah beliau kenal dengan si pembantu pelatih itu. Tante saya mengiyakan dan dengan antusias berkata, “Ya, beliau itu guru mengaji saya.”

Saya menahan tawa karena lucu. Tante saya telah mengatakan sebelumnya bahwa baginya mengaji Alqur’an saja sudah cukup, tidak perlu ikut Subud. Ternyata, guru mengajinya sendiri seorang pembantu pelatih Subud.

Pengalaman ini, dan pengalaman-pengalaman lainnya di kemudian hari yang mirip, mengajarkan ke saya agar sabar, tawakal dan ikhlas saja dalam menghadapi cercaan atau cemoohan orang lain terhadap kenyataan bahwa saya anggota Subud.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 November 2024

Tuesday, November 12, 2024

Pendeta Belanda dari Sulawesi

Sebuah cerita oleh Bapak, dicuplik dari buku Luqman Keele (Luqman Mckingley), Journey Beyond the Stars, hlm. 335-341.

 

SELAMA Perang Dunia Kedua, balatentara Jepang menduduki Indonesia. Ribuan orang, termasuk keluarga Bapak, berpindah-pindah tempat, berusaha untuk menghindari wajib militer dari pasukan yang ingin menguasai Kepulauan Indonesia.

Bapak, istri beliau Ibu Siti Sumari, dan anak-anak mereka berjalan melalui hutan dan rimba Jawa ke Wolodono, sebuah desa kecil yang merupakan kampung halaman Ibu. Untuk menghibur Ibu, Bapak sering bercerita. Berikut ini salah satu ceritanya:

Belum lama lalu,  ada seorang pria yang baik, seorang yang ramah dan jujur. Dan ia seorang pendeta Kristen—seorang Belanda berkulit putih.

Pria itu melayani jemaatnya di sebuah desa kecil di Sulawesi dengan pengabdian sepenuh hati; dan ia tetap bersama jemaatnya bahkan setelah Jepang menyerbu Indonesia. Ia tetap tinggal di tempat bahkan ketika tentara Jepang mengepung desa dan semua perlawanan telah diatasi.

Si pendeta tinggal di rumahnya dan menenangkan jemaatnya. Malam telah tiba ketika satu anggota jemaatnya mengetuk pintu depan rumahnya dan buru-buru masuk, sambil berkata, “Bapa, Bapa harus segera pergi! Jika tidak, Bapa akan dieksekusi!”

Tapi si pendeta berkata, “Urusan hidup dan mati bukanlah tergantung pada tentara Jepang; tapi pada Tuhan. Dan saya percaya Tuhan. Jadi, saya akan tetap di sini.”

Penduduk desa itu pun meninggalkan rumah si pendeta, putus asa. Malam pun tiba dan si pendeta berdoa serta berserah diri sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Lewat tengah malam, pintu rumahnya diketuk. Ia pergi membuka pintu. Di depan pintu berdiri seorang perwira Angkatan Darat Jepang dalam seragam yang berkilauan. Si perwira Jepang pun masuk dan si pendeta tetap di tempatnya berdiri, tenang dan pasrah kepada Tuhan.

“Pendeta, besok pagi kamu akan mati,” kata si perwira Jepang.

“Mungkin ya atau mungkin tidak,” jawab si pendeta. “Tapi apa pun alasannya, urusan hidup-matinya manusia ada di tangan Tuhan.”

Si pendeta menunggu keputusan Tuhan. Tiba-tiba, ia mendengar si perwira Jepang berkata, “Hari ini, sebelum subuh, pukul setengah lima pagi tepatnya, kamu harus tinggalkan rumahmu, belok kanan ke jalan, susuri jalan itu sebanyak 400 langkah. Kamu akan sampai di sudut kamp tentara Jepang. Di situ, kamu belok kiri, berlutut dan teruskan perjalanan dengan cara merangkak seperti itu, tanpa menengok ke kiri atau ke kanan. Kamu harus merangkak di sepanjang sebuah pagar. Apa pun yang terjadi, kamu harus terus merangkak. Terus merangkak dan tidak menoleh ke kiri atau kanan. Maka kamu akan sampai di sudut pagar. Belok kanan, terus merangkak, tetap lihat lurus ke depan.

“Kamu akan segera melihat di depanmu, bersandar di dudukan kayunya, sebuah pedang Jepang. Dekati pedang itu sambil berlutut, tidak menengok ke kiri atau ke kanan. Ciumlah pedang itu.

“Lalu, kembalilah ke tempatmu dengan cara yang sama seperti yang saya jelaskan, tapi sebaliknya. Jangan berdiri sampai kamu tiba di jalan. Lalu kamu berdiri, berlari pulang ke rumahmu dan tunggulah. Dan mungkin saja kamu tidak akan mati.”

Si pendeta Belanda, terheran-heran pada saran ini, mengangkat kepalanya dari posisi menunduk. Si tentara Jepang sudah pergi. Tapi pintunya tertutup. Dan si pendeta tidak mendengar pintunya dibuka maupun ditutup.

Pada saat itu, dalam hatinya ia merasakan ketakutan sekaligus ketakjuban atas bekerjanya kekuasaan Tuhan dan malaikat-malaikatNya.

Si pendeta tetap terjaga sampai jam setengah lima pagi, dan selanjutnya ia melakukan persis seperti yang diperintahkan si perwira Jepang. Ia menyusuri jalan, belok kanan, berlutut dan merangkak, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan.

Tapi ketika ia mencapai pagar ia tiba-tiba mendengar jeritan-jeritan memilukan. Ia memaksa dirinya untuk tidak melihat ke arah itu, tapi terus saja merangkak, meluruskan pandangan matanya ke depan. Jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan mulai bermunculan dari segala arah; dan bunyi sepatu boot, bunyi denting bayonet, bunyi tembakan senapan.

Si pendeta terus merangkak, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan. Sampai di pagar ia belok kanan. Dan semua keributan itu terus mengikutinya di kedua sisinya, ketika ia merangkak menuju pedang yang bersandar pada dudukan kayunya.

Keriuhan suara dan bunyi itu bertambah ketika ia mendekati pedang; tapi ketika ia menciumnya, suara dan bunyi yang menakutkan itu berubah menjadi tawa yang ramai.

Tawa dan sorakan serta suara-suara keras mengiringi perjalanan si pendeta kembali ke rumah. Tapi akhirnya, setelah memenuhi apa yang diperintahkan kepadanya, ia mencapai jalan semula, berdiri, lalu berlari pulang, dan menunggu.

Subuh pun tiba.

Sekitar pukul delapan pagi, pintu rumah si pendeta diketuk. Lima tentara Jepang masuk, mengikat kedua tangannya dan menyeretnya pergi. Mereka membawanya ke sebuah tempat di dekat pedang yang disandarkan pada dudukan kayunya. Kini, si pendeta bisa melihat, di bawah terangnya sinar matahari pagi, bahwa pedang itu adalah untuk eksekusi penggal kepala.

Si pendeta dipaksa berlutut di depan kaki seorang kolonel Jepang berbadan besar dan berjenggot hitam dengan sepatu boot hitam yang besar. Si kolonel sedang mencuci tangannya. Seseorang baru saja dia eksekusi.

Si kolonel membalikkan badannya dari depan tempat cuci tangan, melihat sepintas ke si pendeta, wajahnya memerah, dan meledaklah tawanya. Ia terus tertawa, sambil menunjuk-nunjuk si pendeta. Akhirnya, ia berhenti tertawa dan berkata dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.

“Jadi! Jadi kamu orang yang mencium pedang ini subuh tadi! Apa yang membuatmu melakukan hal itu? Siapa yang menyuruhmu mencium pedang itu?"

Si pendeta menundukkan kepalanya. Wajah si kolonel berubah serius. “Karena telah mencium pedang itu, nasibmu telah ditentukan,” katanya.

Si pendeta menyerahkan nasibnya ke tangan Tuhan bahkan ketika si kolonel menyampaikan kata-kata tersebut.

“Nasibmu telah diputuskan," kata si kolonel. “Kamu boleh hidup.”

_______

Ibu Sumari terdiam selama beberapa saat. Sinar matahari yang menerangi hutan sudah mulai pudar. “Jadi, si perwira Jepang yang datang ke si pendeta,” ucap Ibu, “dia malaikat?”

Bapak mengangguk, “Dan, kamu harus tahu bahwa mengikuti jalan Latihan adalah lebih berat daripada jalan yang harus diikuti si pendeta.”

Wednesday, November 6, 2024

Soul-to-Soul

 


I found this quote on Facebook and immediately remembered the annoying experience of 2023. That year I met a new member, a woman in her late 20s. Our closeness was very short-lived (one month). She suddenly avoided me for reasons that are still unclear to me (I’ve tested with several different helpers at different times and our receivings were the same, but I won’t share that here).

I contacted her once via WhatsApp after we were reconciled but she didn’t reply, but two days later I received a strong warning from one of the Indonesian International Helpers that I should no longer approach or contact her because her parents threatened to take legal action against me. The IH warned me when I was hanging out with some Subud brothers in a café owned by a South Jakarta helper near Wisma Subud Cilandak, so that they all knew what was happening—so it actually tarnished her reputation.

I was disappointed with the IH’s attitude towards me, because he had treated me unfairly. Solving problems between two members who are at odds should be by bringing the two members together accompanied by a helper(s) and then do Latihan together (in a separate room if they are of different genders). Because of that, I reported the IH to another helper who then took my case to a helpers dewan meeting where the IH received a warning.

One member who was sitting next to me at the café, and therefore knew clearly what the problem was, said to me, “Don’t worry, Mas Arifin. In the kejiwaan, presence or absence is the same. She will still feel your presence even though you are not around her. That’s what we call soul-to-soul connection between Subud brothers and sisters. The important thing is that Mas Arifin doesn’t get offended and remains sabar, tawakal, and ikhlas.”

I went through the following days calmly, relaxed, as if nothing had happened. I have forgotten that woman, but I have not forgotten the main lesson: Never hate other people because in reality there is a soul-to-soul connection between people. Hating other people is essentially hating yourself.©2024

 

Pondok Cabe, South Tangerang, 7 November 2024


Sunday, November 3, 2024

Kampung Pinggiran Tempat Bule Bertempat Tinggal

 


DI awal kepindahan saya ke Jakarta, tahun 2005, saya memesan taksi untuk mengantar saya ke Wisma Subud Cilandak. “Kompleks bule itu, ya?” kata supir taksinya.

Kompleks yang kini terletak di wilayah administrasi Kelurahan Cilandak Barat itu memang sudah lama dikenal sebagai kawasan ekspat. Masyarakat di sekitarnya tidak jarang melihat orang-orang bule atau asing keluar masuk melalui gerbang kompleks yang di bagian tengah gapuranya bertanda tujuh lingkaran. Bagi yang familiar, tujuh lingkaran itu adalah lambang Subud.

Cilandak adalah nama kecamatan dimana kompleks itu berlokasi. Dulu, kompleks ini boleh dibilang “kampung pinggiran” karena terletak di wilayah baru, hasil dari pemekaran kawasan elit Kebayoran Baru. Merujuk pada nama Cilandak, yang dalam bahasa Sunda berarti “sungai landak”, daerah pinggiran Jakarta ini memang dilintasi tiga sungai—Krukut, Pesanggrahan dan Grogol—dan kabarnya ketika daerah ini dibuka untuk pengembangan pemukiman baru ditemukan seekor landak raksasa. Itulah sebabnya dinamai Cilandak.

Sekarang, wajah kampung pinggiran itu sudah ditelan zaman. Cilandak kini dikenal sebagai tempat nongkrong hits anak muda Jakarta Selatan yang tersentuh modernisasi di segala infrastrukturnya. Seorang saudara Subud bercanda mengatakan bahwa Subud tidak bisa maju atau dimajukan lagi, karena di depannya sudah ada jalan dua arah dan jalur mass rapid transit (MRT) terelevasi. Kedua jalan yang dipisah pembatas itu tiap hari, siang dan malam, selalu macet. Para penglaju diselamatkan oleh keberadaan MRT.

Dulu, tergolong sulit menemukan Wisma Subud Cilandak. Satu anggota Surabaya, Jawa Timur, yang dibuka tahun 2005 di Cilandak, bercerita ke saya bahwa dia berkali-kali bolak-balik Jalan RS Fatmawati dengan bus untuk menemukan Wisma Subud yang berdasarkan informasi yang diperolehnya dari kakaknya beralamat di No. 52. Hanya keajaiban ilahi yang akhirnya membantu dia menemukannya: Bus yang ditumpanginya kekurangan penumpang sehingga ia diminta turun untuk pindah ke bus lain. Saat ia turun, ia baru menyadari bahwa bus yang ia tinggalkan ternyata berhenti di depan gerbang Wisma Subud Cilandak.

Kini, berkat Google Maps, Wisma Subud mudah ditemukan. Semua aplikasi taksi dan ojek daring mencantumkan Wisma Subud Jl. RS Fatmawati No. 52 di daftar pencarian destinasinya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 November 2024

Friday, November 1, 2024

Wisma Subud yang Mana?

Sisi utara dari Hall Latihan Cilandak. Difoto pada 1 November 2024.

SEBAGAI warga Jakarta Selatan, saya sudah sejak remaja mengetahui keberadaan sebuah kompleks perumahan di Jalan RS Fatmawati yang dinamai Wisma Subud. Tetapi kala itu saya tidak mempedulikannya karena saya tidak memiliki kepentingan apapun dengan Subud. Saya baru dibuka Maret 2004 dan baru pertengahan tahun 2005 saya mengunjungi Wisma Subud Cilandak, menyusul kepindahan saya ke Jakarta (lebih tepatnya “kembali ke kampung halaman”, karena saya lahir dan dibesarkan di Jakarta) setelah tinggal lima tahun di Surabaya, ibukota provinsi Jawa Timur di mana saya menemukan Subud.

Para anggota Subud luar negeri menyebutnya Wisma Subud karena itulah Wisma Subud yang pertama kali ada. Tampaknya tidak banyak anggota Subud luar negeri yang tahu bahwa semua rumah Subud di berbagai kota di Indonesia pun disebut “Wisma Subud”, dengan diimbuhi nama kota di belakangnya; misalnya “Wisma Subud Medan” terletak di kota Medan, ibukota provinsi Sumatera Utara. Sehingga jika Anda bertanya kepada anggota Subud Indonesia mengenai lokasi Wisma Subud, mereka akan bertanya balik, “Wisma Subud yang mana?”

Dalam bahasa Inggris, kata “wisma” dan “rumah” sama-sama diterjemahkan sebagai “house”, sedangkan dalam bahasa Indonesia pengertiannya berbeda. “Rumah” mengacu pada unit bangunan tunggal untuk hunian satu orang atau satu keluarga. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, “wisma” adalah bangunan untuk tempat tinggal, kantor, dan sebagainya. Wisma oleh kamus itu juga diartikan kumpulan rumah, kompleks perumahan, atau pemukiman. Wisma Subud mengacu pada pengertian kedua.

Di satu kota atau kabupaten hanya boleh ada satu cabang. Cabang membawahi satu atau lebih ranting dan kelompok. Jika di sebuah kota/kabupaten jumlah anggotanya kurang dari setengah anggota cabang, bisa saja perkumpulan Subud setempat berstatus ranting, yang administrasinya dikelola oleh cabang di kota/kabupaten terdekat.

Para anggota dari Kelompok Subud Jatiwaringin. Meskipun Jatiwaringin berlokasi di wilayah Bekasi, Jawa Barat, kelompok ini diasuh oleh Cabang Jakarta Selatan, karena cabang terdekat yang ada di Jawa Barat, yaitu Bogor, berlokasi 40 km dari sini.

Berbeda dengan keorganisasian Subud di luar negeri, dengan grup-grup tersebar tanpa batas wilayah administrasi, sehingga satu kota atau kabupaten bisa memiliki lebih dari satu grup, di Indonesia memiliki hierarki dengan cabang (branch) di strata teratas, disusul ranting (sub-branch) dan kelompok (small group) yang ditentukan oleh jumlah anggotanya. Jumlah 100 anggota membentuk cabang, 25 hingga 50 membentuk ranting, sedangkan kelompok biasanya lebih sedikit daripada 20 orang.

Wisma Subud Purwokerto di pinggiran kota Purwokerto di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, diresmikan oleh almarhum Pak Haryono Sumohadiwidjojo pada 17 Desember 2005.

Wisma Subud di Indonesia hanya terdapat di tingkat cabang, dan biasanya merupakan bangunan permanen yang dinyatakan sebagai aset dari PPK Subud Indonesia, yang tidak dapat dipindah-pindah, kecuali telah terjadi pengalihan karena sesuatu dan lain hal, misalnya telah dibeli oleh pihak lain yang bukan anggota atau organisasi Subud. Ranting dan kelompok biasanya mengadakan Latihan terjadwal atau tidak terjadwal di rumah pembantu pelatih atau anggota yang bersedia rumahnya dijadikan tempat Latihan.

Seperti telah saya tulis di muka, semua Wisma Subud di Indonesia mencantumkan nama kota/kabupaten, di mana wisma berlokasi, di belakangnya. Wisma Subud yang pertama, di Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan, lebih populer di kalangan anggota Subud Indonesia sebagai “Wisma Subud Cilandak”, karena berlokasi di Kecamatan Cilandak di Jakarta Selatan. “Cilandak” dalam bahasa Sunda berarti “sungai landak”. Kabarnya, nama “Cilandak” berasal dari ditemukannya seekor landak raksasa di daerah tersebut, dan karena kecamatan ini dilalui oleh Sungai Krukut di tepi timur serta Sungai Pesanggrahan dan Sungai Grogol di tepi baratnya maka jadilah nama daerah tersebut “Cilandak”.

Wilayah Kecamatan Cilandak baru eksis pada tahun 1974 sebagai pemekaran dari wilayah Kecamatan Kebayoran Baru, sebuah wilayah pemukiman baru yang dirancang pada tahun 1948. Kebutuhan pemukiman cukup mendesak karena Jakarta memerlukan banyak fasilitas publik dalam kedudukannya sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan Indonesia. Konsep yang digunakan adalah “kota taman”, sebuah konsep yang dipakai dalam banyak pengembangan properti modern. Dalam konsep ini, ruang terbuka hijau sebagai ruang milik publik mendapat perhatian khusus.

Pada tahun 1977, Cilandak mengalami pemekaran menjadi dua kelurahan: Cilandak Barat dan Cilandak Timur. Wisma Subud yang pertama berlokasi di Cilandak Barat. Meski sempat dikenal dengan kisah landak raksasa, Cilandak kini telah bertransformasi menjadi tempat nongkrong hits anak muda Jakarta Selatan.

Bentuk Penghargaan

BARU-baru ini, seorang anggota baru wanita dari Cabang Jakarta Timur bercerita ke saya bahwa satu pembantu pelatih wanita di Cabang Jakarta Selatan (Cilandak) tidak tahu keberadaan Wisma Salim dan bertanya apakah itu Subud atau bukan. Suami si anggota baru melalui masa kandidatannya hingga dibuka di Wisma Salim, oleh pembantu pelatih Subud resmi, tetapi karena si pembantu pelatih wanita tampaknya kurang pergaulan ia kebingungan dengan nama Wisma Salim maupun nama-nama para pembantu pelatih yang membuka suami dari si anggota baru.

Wisma Salim adalah satu-satunya wisma Subud di Indonesia yang tidak menggunakan nama “Wisma Subud”, namun itu adalah wisma Subudnya Cabang Jakarta Timur yang keberadaannya sudah lama—melampaui usia keberadaan pembantu pelatih wanita tersebut di atas di Subud. Mengapa dinamai Wisma Salim adalah karena orang yang menyumbangkan rumahnya untuk wisma Subud itu bernama Salim, dan penamaan itu adalah sebagai bentuk penghargaan kepadanya.

Belakangan, mungkin agar tidak membingungkan anggota yang belum pernah ke Wisma Salim, diimbuhi kata “Subud” di belakangnya, menjadi Wisma Subud Salim, atau “Wisma Subud Jakarta Timur”.

Penampungan Orang Krisis

MENURUT seorang pembantu pelatih senior Rungansari, dalam pesan WhatsApp-nya ke saya pada 29 Oktober 2024 lalu, dahulu Bapak menyatakan bahwa kompleks Wisma Subud (Cilandak) merupakan tempat penampungan anggota-anggota yang krisis. Siapapun dia dan dari mana pun dia, anggota luar negeri atau Indonesia, jika datang ke Wisma Subud lalu krisis, dia wajib ditangani oleh pembantu pelatih yang tinggal di kompleks. “Karena itu, penghuni kompleks Wisma Subud Cilandak itu 80 persen adalah pembantu pelatih,” tulis si pembantu pelatih Rungansari dalam pesan WhatsApp-nya.

Dahulu, di Wisma Indonesia, sebuah bangunan fungsional di bagian belakang kompleks Wisma Subud Cilandak, dibuatkan satu kamar khusus (No. 4) untuk menampung anggota yang mengalami krisis kejiwaan yang berat. Jendelanya berjeruji besi, pintunya dirangkap kayu jati tebal yang tahan terhadap pukulan supaya tidak pecah. Langit-langit kamar diberi papan tebal dua rangkap supaya tidak pecah bila dicoba dihancurkan oleh anggota yang krisis—seperti yang sering terjadi saat itu.

Wisma Indonesia pada tahun 1979. Foto milik Matthew des Tombe.

Sekarang, kamar itu sudah tidak ada, mungkin karena dianggap sekarang jarang anggota yang mengalami krisis berat seperti dahulu. Anggapan itu terdengar aneh bagi para helper senior, karena bila anggota tidak pernah krisis atau krisisnya berderajat ringan itu artinya Latihannya tidak tembus. Salah satu penghuni lama Wisma Subud Cilandak, Harris Roberts, pernah bercerita ke saya, bahwa dahulu anggota krisis yang berkeliaran di kompleks dan membuat kekacauan yang meresahkan merupakan pemandangan yang lumrah. Harris lantas bertanya, mengapa dewasa ini tidak pernah lagi ada anggota yang krisisnya sedemikian parah.

“Karena anggota dan PP sekarang pengecut, Pak!” kata saya. “Dulu, mereka berani menerima dan mengikuti penerimaan mereka... Receive and follow. Sekarang, jarang yang mau begitu. Terlalu khawatir dengan dampaknya jika disangkutkan dengan kebutuhan materi mereka.”

Harris mengangguk sambil tersenyum. “Ya, mungkin itu alasannya.”

Selama pandemi Covid-19, mulai pertengahan Maret 2020 hingga beberapa bulan pertama tahun 2022, Hall Latihan Cilandak ditutup berdasarkan keputusan para koordinator Dewan Pembantu Pelatih Daerah Jakarta Selatan dan pengurus Cabang Jakarta Selatan. Latihan dipindah ke rumah masing-masing anggota, dilakukan secara bersama-sama tapi dari jarak jauh pada hari dan jam yang sama. Sejumlah anggota, terutama yang baru dibuka, mengeluhkan kenyataan bahwa mereka tidak bisa Latihan sendiri di rumah, sehingga akhirnya Ketua Umum Pengurus Nasional mengupayakan Latihan bersama secara terbatas (15 orang sekali masuk ruangan) yang bertempat di Pendopo Wisma Indonesia yang kini telah diberi dinding kaca dan berpendingin udara. 

Pendopo Wisma Indonesia pada tahun 1979. Pendopo yang terbuka memberi ruang untuk menghirup udara segar. Foto milik Matthew des Tombe.


Interior Pendopo Wisma Indonesia saat ini: berdinding kaca dan berpendingin udara. Sejak itu, akses dibatasi hanya untuk pertemuan-pertemuan resmi oleh dewan pembantu pelatih dan Pengurus Nasional.


Jika dahulu, Pendopo bisa diakses semua anggota, menjadi tempat anggota berkegiatan sosial serta kamar-kamar di Wisma Indonesia bisa diinapi anggota dari daerah lain yang jauh, kini Pendopo maupun Wisma Indonesia telah menjadi tempat yang “dingin dan kaku”, karena pintu akses Pendopo dikunci dan Wisma Indonesia memiliki sedikit penerangan di waktu malam, yang memberi kesan angker. Beberapa anggota dan pembantu pelatih masih suka nongkrong sepanjang malam di belakang Pendopo yang telah diberi atap, menggelar gathering kejiwaan tidak resmi sambil minum kopi dan makan camilan.

Hingga sebelum pandemi, kompleks Wisma Subud Cilandak tergolong cukup ramai dengan kegiatan dan lalu lalang orang maupun kendaraan. Atmosfernya juga ramah, seolah semua pohon dan bangunan di kompleks itu tersenyum menyambut pengunjung. Tetangga saling berkunjung dan para pejalan kaki saling menyapa merupakan pemandangan yang biasa. Bagi orang yang belum pernah ke Wisma Subud Cilandak, mengunjunginya kala itu serasa masuk ke taman sejuk yang memberi kesegaran baru bagi mereka yang penat dengan kehidupan kota Jakarta yang keras. Kini, keadaan itu sudah luntur. Saya pribadi merasa Wisma Subud Cilandak tak ubahnya kompleks pemakaman dengan Hall Latihan sebagai mausoleum.

Atas: Hall Latihan pada pagi hari 7 Juli 2023. Bawah: Hall di malam hari 18 November 2021. Atmosfer angkernya di malam hari memberi kesan bahwa bangunan itu merupakan sebuah mausoleum.

Tahun 2005, ketika baru kembali ke kota kelahiran saya, Jakarta, dan rutin melakukan Latihan di Hall Cilandak, saya takjub dengan betapa banyaknya anggota yang Latihan pada satu waktu. Alas kaki mereka berjejer dan mengular panjang di depan pintu masuk Hall Latihan. Saya biasa nongkrong di Teras Timur, di mana biasanya para anggota pria bergerombol memasuki hall untuk Latihan bersama. Saya ingat saat itu Latihan dibagi dua gelombang karena demikian banyaknya anggota yang ingin menghadiri Latihan bersama. Alas kaki mereka parkir mulai dari depan pintu hall terus mengular sampai depan pintu toilet pria.

Ketika saya ceritakan hal ini kepada satu anggota baru, baru-baru ini, ia terkesima tak percaya. Pasalnya, sekarang sebaliknya, hanya segelintir pasang alas kaki yang dijumpai di depan pintu. Ke mana perginya para anggota? Entahlah, tapi yang saya saksikan adalah berkurangnya jumlah pembantu pelatih yang berdedikasi penuh dalam melayani anggota, khususnya di Cabang Jakarta Selatan.

Tetangga yang Tak Mengerti

SELAMA ini, hanya satu rumah di kompleks yang penghuninya bukan anggota Subud. Seorang pebisnis Indonesia yang mata rantai bisnisnya merajai industri makanan di negeri ini. Bersama anggota tim pengurus nasional Subud Indonesia lainnya, tahun 2010 saya berkesempatan berkunjung ke kantornya. Ia menceritakan bagaimana ia bisa mendapat rumah di dalam kompleks “eksklusif Subud” sementara ia dan keluarganya bukan anggota Subud. Meskipun bukan anggota Subud, ia memiliki familiaritas yang cukup tentang apa itu Subud. Ia menghargai bilamana lingkungan tempat tinggalnya ramai oleh banyak anggota yang datang ke Wisma Subud pada jadwal-jadwal Latihan—dan ada banyak pula anggota yang tidak tahu bahwa di kompleks itu bertempat tinggal keluarga non Subud.

Guest House pada tahun 1979. Foto milik Matthew des Tombe.


Guest House dewasa ini. Sebuah kedai kopi di sebelahnya telah memberi sedikit keramaian pada hari-hari, dan telah menjadi tempat bagi para anggota untuk menantikan jam Latihan atau untuk nongkrong bersama anggota-anggota lainnya pasca Latihan.


Namun, belakangan semakin banyak penghuni kompleks yang bukan anggota Subud dan tidak mengerti apa itu Subud. Bagaimanapun, Yayasan Subud, yaitu pihak yang dipercayakan Asosiasi Subud Dunia (WSA) untuk mengelola Wisma Subud Cilandak, tampaknya lebih mengutamakan kepentingan mereka ketimbang anggota. Kini, nongkrong sampai jauh malam di teras hall Latihan tidak diperbolehkan, dan akan ada tetangga yang tidak mengerti akan memprotesnya bila dibiarkan. Kini pula, anggota sekuriti yang bukan anggota Subud akan segera mengunci pintu hall begitu dilihatnya hall dalam keadaan kosong pada malam hari, meskipun jam tutup hall belum tiba. Tentu saja ini merugikan anggota yang datang dari daerah lain dan membutuhkan waktu untuk menerobos lalu lintas Jakarta yang padat untuk sampai di Wisma Subud Cilandak, karena begitu mereka tiba hall sudah dikunci dan lampu-lampu teras sudah dimatikan!

Bagi yang pernah mengalami Wisma Subud Cilandak di masa lalu akan bertanya bagi dirinya sendiri: Di mana Wisma Subud sekarang?©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 November 2024