SEIRING berlakunya pasar bebas atau
globalisasi, arus barang termasuk produk pertanian, seperti halnya bahan pangan
pokok akan semakin bebas dan mudah memasuki wilayah Republik Indonesia. Ini
menjadi potensi ancaman bagi petani lokal dan berpotensi menimbulkan
ketergantungan pangan kita kepada asing. Kunci menghadapi globalisasi tersebut
adalah efisiensi usaha tani. Potensi ancaman tersebut dapat dihadapi dengan
tiga langkah yang bersifat mikro, yaitu meningkatkan jumlah produksi sehingga
tercapai kecukupan pangan nasional, meningkatkan efisiensi biaya produksi
sehingga produk pertanian memiliki daya saing harga, dan meningkatkan kualitas
sehingga produk pertanian memiliki daya saing kompetitif serta mengupayakan
kontinuitas suplai pangan.
Secara makro, perlu regulasi sektor
pertanian dan perlindungan yang lebih baik kepada petani, termasuk perlindungan
dari serangan hama, bencana alam, serta pengembangan sarana dan prasarana
pertanian, termasuk pengembangan alat mesin pertanian (alsintan) dalam negeri.
Semua langkah tersebut tidak terlepas dari keberhasilan implementasi teknologi
pertanian modern.
Melalui kebijakan pemerintah yang
mengutamakan keberpihakan kepada petani, di antaranya dengan meningkatkan
fasilitasi bantuan alsintan secara signifikan, telah menggeser kegiatan usaha
pertanian dari sistem tradisional menuju pertanian yang modern. Modernisasi
pertanian dapat dilihat pada penggunaan metode budidaya yang lebih baik dan
efektif, penerapan alsintan dengan teknologi tepat guna, mulai dari pengolahan
lahan, pemanenan, dan penanganan pasca panen, penggunaan benih unggul,
pemupukan yang tepat guna dan mencukupi, penggunaan sumber daya manusia
pertanian yang lebih berkualitas, serta efisiensi penggunaan sumber daya
alam—terutama air irigasi, sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Modernisasi juga melingkupi aspek pasca
panen, seperti sistem panen, pengolahan hasil dan pembuatan kemasan modern dan
aman, tata niaga yang efisien, serta terus-menerus menyempurnakan kebijakan
pemerintah yang kondusif bagi kegiatan usaha pertanian.
Di satu sisi, modernisasi itu
menguntungkan. Namun, dampak buruknya juga tak dapat dipungkiri. Modernisasi
yang ditandai dengan penggunaan alat-alat modern dengan alasan efektivitas dan
efisiensi dalam kehidupan masyarakat ini ternyata juga mempengaruhi pola pikir
masyarakat. Salah satu efek negatif dari modernisasi adalah menyebarnya “racun”
di tengah masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, bahwa segala hal yang
berkaitan dengan masa lalu, seperti tradisi dan budaya, dianggap tidak layak
lagi atau harus ditinggalkan. Sebaliknya, segala hal yang baru dan diimpor dari
luar negeri, utamanya Barat, harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Akibatnya, banyak tradisi bertani warisan
leluhur yang lambat laun hilang tak tentu rimbanya. Kalaupun ada dan dapat
dijumpai, hanya terbatas pada acara-acara seremonial kebudayaan yang
diselenggarakan pada perhelatan-perhelatan tertentu, seperti perayaan panen
atau sebagai bagian dari atraksi wisata. Mengemukanya realita ini tidak
sepenuhnya dialamatkan kepada masyarakat sebagai pelaku degradasi budaya
tersebut, tetapi dapat juga karena rendahnya kesadaran tokoh-tokoh masyarakat
sendiri dalam melestarikan dan mengajarkannya.
Bagaimanapun, tidak sedikit petani yang
tidak sepenuhnya bergantung pada pada metode-metode bertani modern, tetapi
masih menerapkan pendekatan-pendekatan tradisional, yang kadang sulit dicerna
logika, dalam bertani. Kearifan lokal ternyata cukup berakar kuat di sejumlah
tradisi bertani di Jawa khususnya. Kearifan lokal dilestarikan karena terbukti
telah menyelamatkan pertanian masyarakat selama berabad-abad.©2018
Ditulis
ulang pada 30 Maret 2020. Naskah yang aslinya dibuat pada tahun 2018 dimaksudkan
untuk buku Sang Penjaga Kearifan Lokal: Pergulatan
Tradisi Bertani di Tengah Laju Modernisasi.
No comments:
Post a Comment