SEKTOR pertanian menjadi salah satu
komponen pembangunan nasional dalam menuju swasembada pangan guna mengentaskan kemiskinan.
Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional di antaranya
adalah sebagai penyerap tenaga kerja, menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB),
sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta
pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi lainnya.
Di era otonomi daerah, pemerintah daerah
memiliki keleluasaan dalam perumusan permasalahan dan kebijakan pembangunan
pertanian. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan akan mampu
menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pembangunan pertanian, sehingga
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Di era modernisasi saat ini, kebanyakan
warga masyarakat pasti memilih jenis pekerjaan yang berprospek cerah bagi
dirinya di masa depan. Ada yang bercita-cita menjadi dokter, guru, polisi, dan
lain sebagainya. Berbeda halnya dengan petani; profesi sebagai petani dinilai
sebagai profesi yang tidak cukup menjanjikan bagi masyarakat, sehingga sangat
jarang ada orang yang benar-benar ingin menjadi petani. Akibatnya, jumlah orang
yang terjun ke dunia pertanian semakin berkurang. Hal ini dapat dipahami,
karena secara umum banyak petani yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Diakui atau tidak, selama ini
pembangunan pertanian telah mengabaikan peranan pemuda. Akibatnya, jarak antara
pemuda dengan lahan-lahan pertanian semakin jauh dan proses regenerasi petani
pun sulit berjalan, sehingga pertanian tetap didominasi oleh generasi tua yang
tentu mempunyai berbagai implikasi. Salah satu implikasinya adalah pertanian
berjalan di tempat dan sulit melakukan perubahan yang mendasar. Mungkin ini
salah satunya yang menyebabkan kondisi pertanian kita terus mengalami
pengeroposan, renta dan “kurang darah”.
Padahal, dengan komposisi pemuda saat
ini saja yang hampir dua per tiga dari total populasi, tentu ini sebuah potensi
besar yang dapat dioptimalkan untuk membangun pertanian. Apalagi selama ini
bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa agraris dengan dukungan iklim, sumber
daya alam, dan sumber daya manusia yang melimpah. Tentu sangat ironis jika
kondisi pertanian kita tetap seperti saat ini. intinya, melibatkan pemuda, atau
dengan kata lain menyegerakan regenerasi petani, merupakan suatu hal yang
sangat mendesak bagi bangsa agraris ini. namun, persoalannya, sejauh mana
pertanian itu mampu menarik minat kaum muda?
Adanya kecenderungan para pemuda,
terutama yang tinggal di kawasan pedesaan, yang kurang tertarik terhadap dunia
pertanian tentu berakibat pada sektor ini hanya didominasi oleh generasi tua
yang acapkali kurang responsif terhadap perubahan. Umumnya, dalam pandangan
kaum muda, bertani adalah pekerjaan tradisional yang kurang bergengsi dan
hasilnya di samping tidak segera dapat dinikmati juga jumlahnya relatif tidak
memadai.
Pandangan tersebut tentu mempengaruhi
minat orang-orang muda untuk mau menjadi petani. Ini didukung oleh budaya
instan dan ingin cepat menghasilkan, sementara pertanian memerlukan proses
panjang, keuletan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai risiko internal dan eksternal.
Ditambah lagi dengan berbagai kebijakan yang tidak pro petani dan justru
seringkali pertanian dipandang sebelah mata serta dijadikan komoditas politik
tanpa mempedulikan nasib dan masa depan pertanian.
Di samping itu, kurangnya dukungan para
orang tua baik secara mental maupun material terhadap anak-anak muda untuk
menjadi petani juga menjadi penyebab pemuda tak tertarik menjadi petani.
Alih-alih memberikan dukungan, justru orang tua acapkali menyurutkan semangat
anak-anak muda yang ingin menjadi petani. Umumnya orang tua akan lebih bangga
jika anak-anaknya menjadi dokter, pengawai negeri sipil, birokrat, pilot, dan
profesi-profesi lainnya yang dianggap lebih prestisius. Indikasi untuk ini
salah satunya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah pertanian ataupun
fakultas-fakultas pertanian, terutama di perguruan tinggi swasta, yang
kekurangan siswa/mahasiswa.
Akhirnya, banyak pemuda, terutama yang
tinggal di desa, lebih tertarik pada pekerjaan-pekerjaan non pertanian di
kota-kota besar. Mereka bekerja di sektor non pertanian, semisal menjadi
pegawai, buruh pabrik, buruh bangunan, jasa transportasi baik yang formal
maupun non formal, yang menurut pandangan mereka lebih bergengsi. Jika mereka
memiliki keahlian spesifik, tentu hal ini bukan masalah. Namun, nyatanya tak
sedikit dari mereka yang tidak mempunyai keahlian spesifik dan keberuntungan
justru menjadi beban di kota, karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Penurunan jumlah tenaga kerja pertanian
di Indonesia berkonsekuensi positif dan negatif bagi pertanian. Konsekuensi
positifnya, peningkatan luas lahan dan penurunan jumlah petani gurem. Hasil
sensus pertanian menunjukkan rerata luas lahan bertani meningkat cukup
signifikan. Rerata luas lahan pertanian pada tahun 2003 sebesar 0,35 hektar menjadi
0,86 hektar pada 2013. Jumlah petani gurem menurun dari 19,02 juta pada 2003
menjadi 14,25 juta pada 2013. Keadaan ini memberikan peluang bagi petani untuk
meningkatkan pendapatan.
Konsekuensi negatifnya, ketahanan pangan
terganggu di Indonesia. Meskipun secara kuantitas jumlah tenaga kerja di
pertanian masih relatif besar, produktivitas lahan akan menurun. Pertama,
sebagian besar petani di pedesaan umumnya sudah berusia lanjut. Meskipun jumlah
mereka besar, produktivitas mereka sudah menurun. Kegiatan pertanian tidak bisa
maju karena tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi pertanian.
Kedua, keturunan petani yang memilih
bekerja di luar sektor pertanian umumnya adalah keturunan petani yang berhasil.
Keberhasilan mereka ditunjukkan dengan kemampuan menyekolahkan anak sampai
jenjang perguruan tinggi. Dengan pendidikan tinggi itu, anak-anak petani tidak
mau lagi bertani dan memilih bekerja di sektor lain. Yang tetap menjadi petani,
akhirnya, hanya mereka yang berpendidikan rendah dan kalah bersaing dalam
mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian.
Pertanian dijadikan sebagai alternatif
terakhir setelah seseorang tidak bisa mendapat pekerjaan di luar sektor
pertanian. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung kemajuan di sektor
pertanian menjadi penyebab utama mereka tidak lagi mau bekerja di sektor
pertanian. Keengganan ini pun didukung orang tua yang sebagian besar
bercita-cita agar anak mereka tak bekerja di sektor pertanian.
Ketiga, kegiatan pertanian bagi sebagian
besar petani dianggap sebagai pekerjaan sampingan meski mereka mengaku bekerja
sebagai petani. Alokasi waktu kerja sebagian besar digunakan untuk kegiatan non
pertanian. Pada waktu panen, petani ini akan menggarap pekerjaan di lahan tani.
Namun, pada waktu-waktu tertentu mereka memilih bekerja sebagai tukang
bangunan, pedagang asongan, atau buruh harian di perkotaan. Pekerjaan yang tak
fokus ini menjadi penyebab kurang terurusnya lahan pertanian, sehingga memiliki
produktivitas yang rendah.
Masalah regenerasi dapat menjadi hambatan
utama untuk implementasi program swasembada pangan di Indonesia. Masalah ini
berpangkal pada tidak kompetitifnya upah dan pendapatan di sektor pertanian.
Upah tenaga kerja di pedesaan tidak ada setengahnya dibandingkan dengan upah
tenaga kerja non pertanian di daerah perkotaan.
Petani juga berhadapan dengan impor
produk pertanian yang berharga lebih rendah. Tak ada perlindungan memadai
terhadap kehidupan petani agar dapat bersaing dan menangkal membanjirnya produk
pertanian dari luar. Petani seperti dibiarkan berjalan sendiri, bahkan subsidi
bagi petani kian berkurang. Oleh sebab itu, kebijakan yang mendukung
peningkatan kelayakan hidup bagi petani mutlak diberikan agar pertanian tetap
menjadi pekerjaan yang menarik, khususnya bagi generasi muda. Perlindungan
terhadap petani dari produk impor, permainan harga tengkulak, dan
ketertinggalan teknologi juga perlu dilakukan. Tanpa regenerasi yang baik,
program swasembada pangan yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia hanya
akan menjadi wacana yang tak pernah terwujud.©2018
Ditulis
ulang pada 30 Maret 2020. Naskah yang aslinya dibuat pada tahun 2018 dimaksudkan
untuk buku Sang Penjaga Kearifan Lokal: Pergulatan
Tradisi Bertani di Tengah Laju Modernisasi.
No comments:
Post a Comment