MELESTARIKAN tradisi di tengah
modernisasi, bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan untuk
meyakinkan masyarakat bahwa tradisi juga merupakan bagian dari peradaban
manusia yang tak bisa dilupakan begitu saja. Inilah yang mendasari para petani
di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, banyak yang masih melakoni tradisi bertani
warisan leluhur mereka. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa
modernisasi pertanian mereka tolak. Dalam beberapa hal, kearifan lokal masih
menyertai praktik pertanian di Sukoharjo, walaupun para petani menggarap sawah
dengan menggunakan alat mesin pertanian modern. Pertanian modern yang dibarengi
kearifan lokal memungkinkan terciptanya pertanian berkelanjutan yang ramah
lingkungan, karena para petani selalu terdorong untuk menjaga keseimbangan
alam.
Dalam pengertian kamus, “kearifan
lokal” (local wisdom) terdiri dari
kata “kearifan” (wisdom) dan “lokal”
(local). “Lokal” berarti “setempat”,
sedangkan “kearifan” sama dengan kebijaksanaan. Secara umum, kearifan lokal
dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal juga merupakan identitas budaya suatu bangsa yang menyebabkan
bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan
kemampuan sendiri. Persis yang dilakukan para petani Sukoharjo yang membarengi
modernisasi pertanian dengan tradisi yang sudah mengakar di budaya pertanian
setempat.
Kearifan lokal merupakan kebenaran
yang telah mentradisi atau ajeg di suatu daerah. Kearifan lokal memadukan
nilai-nilai suci firman Tuhan dengan berbagai nilai yang ada, dan membentuk
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun nilai lokal tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Di dalam tradisi bertani di Sukoharjo,
kearifan lokal tetap dirangkul utamanya bertujuan untuk konservasi
keanekaragaman hayati dan menjaga keseimbangan alam. Tanpa memperhatikan aspek
keseimbangan alam dalam bertani akan berdampak buruk bagi petani sendiri maupun
masyarakat dan lingkungan pada umumnya.
Secara umum, ada dua kearifan lokal
dalam bertani yang dipraktikkan petani Jawa juga dilakoni para petani di
Sukoharjo, selain sejumlah lainnya yang bersifat khas di satu daerah. Kedua
kearifan tersebut adalah pranoto mongso dan
tumpangsari.
Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para petani pedesaan yang didasarkan
pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah lahan
pertanian. Pranoto mongso ini
mengarahkan petani dalam bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak
memanfaatkan lahan seenaknya sendiri, meskipun prasarana mendukung, seperti
misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat terjaga keseimbangannya.
Dengan adanya fenomena pemanasan global
sekarang ini, yang juga mempengaruhi pergeseran musim penghujan, tentunya akan
mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian, pranoto mongso ini tetap menjadi pedoman petani dalam mempersiapkan
diri untuk mulai bercocok tanam. Pemanasan global juga menjadi tantangan bagi
petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai
suatu kearifan lokal pertanian di Jawa.
Sistem tumpangsari merupakan praktik penanaman beragam biji-bijian sebagai
bagian dari peladangan berpindah yang meniru kompleksitas dan keragaman sistem
vegetasi wilayah sub-tropis dan tropis. Model pertanian ini dilakukan dengan
cara menanam beberapa jenis tanaman yang berbeda dalam suatu areal atau petak
tanah secara bersamaan. Pada awalnya, sistem pertanian ini dianggap ketinggalan
zaman dan tidak sesuai dengan kaidah pertanian modern karena tidak efisien
secara kuantitas dan kualitas hasil yang akan didapatkan. Tetapi, terdapat
tujuan yang baik dan penting dengan adanya kearifan lokal ini, yaitu untuk
melindungi permukaan tanah, menjaga permukaan tanah dari proses erosi,
penggunaan volume tanah secara efisien, dan mengurangi kerentanan tanah dari
hama dan serangga perusak. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kecepatan
tumbuh beragam tanaman tersebut membuat tanah menjadi permanen, di samping itu
juga karena tanahnya selalu tertutupi oleh tanaman tersebut secara
terus-menerus serta sistem akar tanaman tersebut yang bervariasi.
Modernisasi pertanian selama kurang
lebih tiga dasawarsa telah gagal mengangkat harga diri, martabat, dan
kesejahteraan petani. Kini sudah saatnya pemerintah mengakui hak-hak petani,
seperti kebebasan menjual beras atau menyimpan gabah untuk benih. Peralatan
petani Indonesia mungkin sebagian orang belum secanggih negara-negara maju,
tetapi ada kalanya petani Indonesia juga memakai apa yang telah diwariskan
turun-temurun sejak dahulu. Perlu dilakukan perbaikan dalam sistem budaya
dengan lebih mengedepankan konsep kealaman dan berbasis kearifan lokal melalui
pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan tetap menjaga kelestariannya. Lahan
pertanian dimanfaatkan bukan hanya untuk jangka pendek tetapi juga untuk
generasi yang akan datang, sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Dan untuk mewujudkan hal itu perlu ada kesadaran dari masyarakat untuk mengubah
perilaku dan juga dukungan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan, serta bagaimana
usaha kita untuk membuat petani lebih bersemangat dalam bertani untuk
menghidupi negara agraris ini.©2020
Pondok Cabe III,
Tangerang Selatan, 30 Maret 2020
No comments:
Post a Comment