HARI Minggu pagi, 5 Oktober 2025, saya pergi ke Wisma Indonesia, di dalam kompleks Wisma Subud Cilandak dimana setiap hari Minggu menjadi tempat bagi para kandidat. Kemarin itu, saya sengaja ke sana karena janjian dengan teman saya dulu di universitas, yang seusia dengan saya, yang sejak September lalu memulai masa penantian tiga bulannya sebagai calon anggota Subud.
Saya tidak ikut masuk ke ruangan di mana para kandidat mendapatkan penerangan dari para pembantu pelatih yang ditugasi untuk itu, melainkan menunggu di lobi dimana meja administrasi pendaftaran dan pencatatan calon anggota dilakukan. Saya mengamati orang-orang jenis apakah yang di era sekarang mau bergabung dengan perkumpulan spiritual yang di mata Gen Z dipandang “ketinggalan zaman” itu.
Ternyata, teman saya justru yang paling tua. Dia dari Gen X, sedangkan semua peminat lainnya yang mendatangi meja pendaftaran kandidat adalah kaum Gen Z. Tren itu tentu saja menarik bagi saya. Karena penasaran, saya menanyai mereka satu per satu atau secara berbarengan, apa yang mendorong mereka masuk Subud dan dari mana mereka mendapat informasi pendahuluan mengenai Subud.
Dua tiga kandidat memang berasal dari keluarga Subud (apakah ayahnya saja, atau ibunya saja, atau kedua orang tuanya, atau kakek-neneknya atau salah satu saudara kandungnya). Tetapi rata-rata datang karena kesadaran sendiri—bagaimanapun, mereka kebingungan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasannya; rata-rata hanya bilang “Dorongan dari dalam!”.
Sementara itu, media sosial menjadi acuan mereka untuk mendapatkan informasi pendahuluan. Uniknya, rata-rata para Gen Z kebetulan saja menemukan informasi tentang Subud, dan bukan hasil dari pencarian yang disengaja. Informasi yang disajikan, meminjam bahasa pergaulan Gen Z, “relate dengan mereka”. Saya jadi menyaksikan kenyataan langsung dari temuan lapangan oleh tim periset Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026.©2025
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 6 Oktober 2025
No comments:
Post a Comment