Tuesday, October 7, 2025

Mengapa Saya Berkacamata


SAYA pertama kali mengenakan kacamata ketika duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Disarankan oleh wali kelas kepada orang tua saya agar saya diperiksakan ke dokter spesialis mata, karena sang wali kelas—di SD Belanda saya, Diamanthorst Lagere Basisschool di Mariahoeve, Den Haag—melihat bahwa saya kerap harus menunduk terlalu dalam ketika menulis atau membaca. Saya melakukan hal itu karena mata saya sulit mencermati huruf dan tulisan di buku yang saya baca dalam jarak yang standar.

Sebagai anak SD kelas 3, bagaimanapun, saya merasa kacamata tidaklah keren, sehingga saya jarang mengenakannya ketika di sekolah dan saat bermain dengan teman-teman di luar jam sekolah. Apalagi bingkainya menyentuh kulit wajah saya di bawah mata, yang terasa mengganggu, terutama saat berkeringat. Alhasil, saya masih tetap harus menundukkan kepala dalam-dalam ketika menulis atau membaca, yang akibatnya membuat minus saya bertambah.

Sepanjang masa SMP dan SMA, saya tidak mengenakan kacamata meski kegiatan baca-tulis saya meningkat. Saya hobi membaca dan menulis. Mengawali masa kuliah saya di Universitas Indonesia, September 1987, saya meniru senior saya di Jurusan Sejarah FSUI, Soe Hok Gie, dengan menulis tangan jurnal harian, yang biasanya saya tulis sebelum tidur malam, dengan penerangan kamar yang tidak terlalu mendukung untuk membaca dan menulis. Tetapi saya mengabaikan kenyataan bahwa huruf-huruf yang saya baca atau tuliskan terlihat dobel garis-garisnya.

Di tahun-tahun terakhir saya berkuliah di UI, 1991-1993, saya mulai sering mengenakan kacamata, terutama karena cewek yang sedang saya dekati menyukai cowok berkacamata. Tetapi kalau kini saya tidak bisa lepas dari kacamata adalah karena teknologi terkini telah mampu membuat kacamata yang tidak saja tampak keren tetapi juga nyaman dikenakan.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

No comments: