Thursday, October 9, 2025

Makna Kesuksesan Bagi Saya

 


MANTAN bos saya dulu di Surabaya, Jawa Timur, bila menelepon saya, setelah saya kembali ke Jakarta, selalu menutup pembicaraan dengan kata-kata “Semoga sukses ya!”

Saya pun selalu menjawab, “Sudah sukses, Pak.”

Jawaban saya membuat beliau tertawa di seberang sambungan, barangkali beliau mengira saya bercanda. Padahal saya menjawab dengan nada serius. Jelas, pemahaman kami berbeda mengenai makna kesuksesan.

Bagi saya, sukses sebenarnya sangat pribadi, subjektif, dan terus berkembang. Kesuksesan sejati bersifat internal, bukan eksternal. Ini yang dimaksud oleh banyak orang ketika mereka mengatakan bahwa “Sukses adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan.”

Masih bisa bangun pagi dan tersenyum, duduk sejenak di tepi kasur sambil merenungkan hari-hari yang telah lewat, memaknai penderitaan dan ujian yang telah dilalui, lalu berucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kemudian, keluar dari kamar saya membuat teh melati panas, yang aromanya menyeret imajinasi saya ke masa lampau, ketika orang tua saya masih ada dan saya menemani mereka menikmati teh di teras rumah setiap pagi.

Lalu, peluang untuk membaca buku apa saja yang bisa saya dapatkan, dan kemudian berkhayal.

Kemudian, bercengkerama dengan putri saya, Nuansa Biru Oceania, yang berceloteh tentang teman-teman sekolahnya, tentang kucing jalanan yang ingin ia piara (meski hanya boleh di teras rumah kami), tentang gambar-gambar anime yang ia buat tanpa mencontoh, tentang boneka-bonekanya.

Semua itu adalah kesuksesan saya. Sudah ada di sini, saat ini. Bagaimana dengan Anda?©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Oktober 2025

Wednesday, October 8, 2025

Bersyukur Dengan Masa Lalu dan Masa Kini

 


BELAKANGAN, mungkin karena algoritma, akun-akun media sosial saya (Facebook, Instagram, Thread, X, dan Tiktok) kebanjiran postingan tentang era 80an dan 90an. Generasi X seperti saya tahu bedanya suasana kehidupan di era itu dan era sekarang, bahkan tanpa harus menonton visualisasinya melalui video hasil olahan AI.

Video-video itu mengajak siapa saja yang hidup di saat ini untuk "kembali" ke era kejayaan Generasi X, yang makmur secara ekonomi maupun mental-spiritual. Saya kalau bisa kembali ke saat itu dengan keadaan saat ini (baca: sudah dibuka di Subud), saya mau sekali! Saat itulah saya sebenarnya butuh sekali dengan bimbingan dari jiwa saya, tapi nyatanya saya tidak dipandu ke Subud saat itu. Tampaknya Yang Maha Kuasa tahu bahwa justru di kehidupan saat inilah saya paling perlu Latihan, yang dapat membimbing saya untuk mensyukuri masa lalu maupun masa kini saya.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 Oktober 2025

Tuesday, October 7, 2025

Pucuk Dicinta, Ulam Tiba

 


SAAT ini, saya sedang membantu satu saudari Subud dari Vancouver, Kanada, dalam mengedit disertasinya di Universitas British Columbia untuk dijadikan buku teks akademik. Disertasinya, sebagai syarat perolehan gelar Doktor dalam Kajian Kurikulum, membahas tentang sekuens proses dari pandangan dunia (weltanschauung) yang dipetik dari ajaran tasawuf ‘Abd al-Karim al-Jili melalui karya tulisnya yang berjudul Insan al Kamil (Universal Man) atau “Manusia Seutuhnya”.

Karena ketiadaan literatur terkait sekuens “Zat, Sifat, Asma, Af’al” (ZSAA) di kalangan akademik Barat, sedangkan saudari Subud itu hanya mengetahuinya dari ceramah-ceramah Bapak Muhammad Subuh, saya pun menelusurinya dengan bertanya kepada dua wartawan NU Online yang kebetulan sedang aktif mengikuti sesi percakapan bahasa Inggris di kompleks Wisma Subud Cilandak.

Salah satu dari mereka adalah jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, yang sangat familiar dengan sekuens ZSAA, dan melalui dia saya sampai pada karya tulis Syekh al-Jili, tetapi saya tidak dapat mengaksesnya karena harganya, di Amazon, cukup mahal bahkan bagi saudari Subud Kanada itu. Sedangkan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah tidak memiliki salinan kerasnya di koleksinya.

Puji Tuhan, malam ini, wartawan NU Online itu mengirimi saya via WhatsApp PDF buku tersebut. Gratis! Dia imbuhi dengan pesan: “Sebagai akademisi prekariat yang fakir, saya punya banyak cara mengakses PDF-PDF gratisan.”©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

Berkat Melimpah Dari Hobi Membaca

 

Saya berpose di lantai 2 Perpustakaan FSUI pada 1992.

HARGA buku tidak seberapa jika dibeli satu per satu, namun tumbuh dalam rumah tangga dengan koleksi buku yang melimpah—atau orang tua yang menjadikan membaca sebagai kebiasaan—memberikan pengaruh yang sangat besar.

Adalah ayah, ibu dan satu paman saya yang selalu mendorong saya untuk rajin membaca. Terlebih ketika saya berkuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sebuah fakultas yang tumpat dengan pustaka, yang memaksa mahasiswa meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca.

Awalnya memang saya merasa tertekan dengan pembiasaan membaca yang dilakukan orang tua dan paman saya terhadap saya, namun lambat laun saya memang jadi terbiasa. Awalnya, paman saya memberi saya insentif: Rp10.000 (kala itu, tahun 1990an, nilainya sama dengan Rp100.000 saat ini) untuk setiap buku yang saya baca. Setiap kali saya berkunjung ke rumah paman saya, di kawasan Kalibata Tengah, Jakarta Selatan, biasanya untuk mengantarkan masakan atau kue buatan ibu saya, beliau akan menagih saya untuk menceritakan tentang buku yang sedang saya baca. Kefasihan saya dalam bercerita tentang isi buku dan analisis atau kesimpulan pribadi saya, menjadi bukti bagi beliau bahwa saya memang benar-benar membaca bukunya.

Alhasil, berkat dorongan orang tua dan paman saya, saya tumbuh menjadi pribadi yang kaya pengetahuan, yang menjadi bekal ketika saya berkarir sebagai ahli strategi branding dan copywriter.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

Mengapa Saya Berkacamata


SAYA pertama kali mengenakan kacamata ketika duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Disarankan oleh wali kelas kepada orang tua saya agar saya diperiksakan ke dokter spesialis mata, karena sang wali kelas—di SD Belanda saya, Diamanthorst Lagere Basisschool di Mariahoeve, Den Haag—melihat bahwa saya kerap harus menunduk terlalu dalam ketika menulis atau membaca. Saya melakukan hal itu karena mata saya sulit mencermati huruf dan tulisan di buku yang saya baca dalam jarak yang standar.

Sebagai anak SD kelas 3, bagaimanapun, saya merasa kacamata tidaklah keren, sehingga saya jarang mengenakannya ketika di sekolah dan saat bermain dengan teman-teman di luar jam sekolah. Apalagi bingkainya menyentuh kulit wajah saya di bawah mata, yang terasa mengganggu, terutama saat berkeringat. Alhasil, saya masih tetap harus menundukkan kepala dalam-dalam ketika menulis atau membaca, yang akibatnya membuat minus saya bertambah.

Sepanjang masa SMP dan SMA, saya tidak mengenakan kacamata meski kegiatan baca-tulis saya meningkat. Saya hobi membaca dan menulis. Mengawali masa kuliah saya di Universitas Indonesia, September 1987, saya meniru senior saya di Jurusan Sejarah FSUI, Soe Hok Gie, dengan menulis tangan jurnal harian, yang biasanya saya tulis sebelum tidur malam, dengan penerangan kamar yang tidak terlalu mendukung untuk membaca dan menulis. Tetapi saya mengabaikan kenyataan bahwa huruf-huruf yang saya baca atau tuliskan terlihat dobel garis-garisnya.

Di tahun-tahun terakhir saya berkuliah di UI, 1991-1993, saya mulai sering mengenakan kacamata, terutama karena cewek yang sedang saya dekati menyukai cowok berkacamata. Tetapi kalau kini saya tidak bisa lepas dari kacamata adalah karena teknologi terkini telah mampu membuat kacamata yang tidak saja tampak keren tetapi juga nyaman dikenakan.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

Monday, October 6, 2025

Pembukaan Sekeluarga

SATU saudara Subud menyampaikan kepada saya bahwa ia berharap semua saudara-saudara kandungnya maupun orang tuanya masuk Subud, agar ia tidak perlu sendirian menanggung “warisan” leluhurnya yang harus ia bersihkan. Saya pun memiliki harapan yang sama, tetapi kami menyikapi harapan itu sebagai sebuah lelucon belaka. Karena “pembersihan diri ditanggung bersama oleh seluruh anggota keluarga” tidak ada dalam kamus Subud.

Di Indonesia, kekeluargaan sangat kuat. Terlihat salah satunya dari kebiasaan mudik (pulang kampung) yang demikian marak menjelang Idulfitri, hingga pemerintah pun secara serius membuat strategi penyediaan sarana transportasi yang memadai untuk itu. Budaya Indonesia sangat menekankan pentingnya kekeluargaan, yang terlihat dari sistem kekerabatan yang erat dan nilai-nilai seperti kepedulian serta keinginan untuk berbagi dengan sesama.

Dalam berbagai hal, seluruh anggota keluarga Indonesia terlibat meskipun untuk kepentingan perorangan. Prinsip hidup yang dianut orang Indonesia pada umumnya adalah “Keluarga adalah tempat seorang individu berpulang”. Sehingga, meski terkesan tidak mandiri, satu anggota keluarga ketika menghadapi masalah akan mendapat dukungan penuh, baik moril maupun materi, dari seluruh anggota keluarga lainnya.

Hubungan kekeluargaan di Indonesia penting karena berfungsi sebagai fondasi pembentukan karakter dan pendidikan nilai-nilai moral, sosial, dan agama, serta sebagai tumpuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, memberikan rasa aman, dan memastikan kesejahteraan anggota keluarga. Selain itu, keluarga merupakan pilar utama pembangunan bangsa dan ketahanan nasional, di mana keluarga yang kuat akan membentuk masyarakat yang kokoh dan penerus generasi yang berkualitas. 

Hubungan kekeluargaan di Indonesia sangat kuat karena dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang erat, nilai-nilai budaya seperti gotong royong dan rasa kepedulian, serta dukungan dari lingkungan masyarakat desa yang interaktif. Warisan budaya dan kebiasaan berbagi serta bekerja sama ini membentuk ikatan kuat antar anggota keluarga dan komunitas, yang menjadi fondasi ketahanan sosial masyarakat. 

Banyak masyarakat Indonesia, terutama di desa, hidup dalam komunitas yang relatif kecil dengan pola pemukiman berdekatan. Hal ini memungkinkan interaksi yang lebih intens dan sering kali mempererat hubungan kekerabatan antar warga, karena mereka biasanya memiliki keturunan yang sama atau hubungan keluarga.

Keterlibatan keluarga besar dalam menopang proses kehidupan anggota individunya dapat dipahami kalau kita menghayati hubungan kekerabatan di Indonesia. Yang menjadi keheranan saya adalah bagaimana keluarga pun dapat terlibat secara penuh dalam aktivitas spiritual salah satu anggotanya, sementara spiritualitas bersifat pribadi, dimana setiap individu memiliki pengalaman, keyakinan, dan cara sendiri untuk mencari makna, tujuan hidup, serta hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, seperti alam semesta atau kekuatan yang lebih tinggi. Tetapi di Subud Indonesia dalam 15 tahun terakhir muncul fenomena yang unik, dengan bergabungnya satu keluarga secara bersama-sama ke Subud. Mereka melalui masa kandidatan tiga bulan mereka secara berbarengan, dan pembukaannya pun bersifat “pembukaan sekeluarga” pada tanggal dan jam yang sama, hanya berbeda ruangan karena perbedaan jenis kelamin dari ayah, ibu dan anak-anak mereka.

Sebagai sesama generasi pertama Subud di keluarga, saya dapat memahami harapan saudara Subud yang saya ceritakan di atas. Di Subud Indonesia ada lelucon mengenai Subud Turunan (Downhill Subud) yaitu anggota Subud yang berasal dari keluarga Subud, mulai dari kakek-neneknya ke ayah-ibunya, dan Subud Tanjakan (Uphill Subud) yaitu mereka yang merupakan generasi pertama Subud di keluarga masing-masing, seperti saya. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dari momen-momen berbagi kami dari kaum Subud Tanjakan terungkap bahwa mereka yang berasal dari Subud Turunan sungguh beruntung, karena kejiwaan mereka “ditopang” oleh para pendahulu mereka yang sudah dibuka dan menerima Latihan. Sedangkan kami yang merupakan generasi pertama mengalami proses kejiwaan yang berat, layaknya mengayuh sepeda di tanjakan yang curam dengan kaki yang belum terlatih untuk itu.

Meskipun bukan sesuatu yang baru, keberadaan anggota bersama sebagian atau seluruh keluarganya tetap menimbulkan kekaguman. Dan meskipun kenyataan itu tidak bisa menjadikan mereka dapat “menanggung bersama” pembersihan leluhur, keanggotaan secara keluarga menciptakan suasana yang berbeda di dalam keluarga serta memperkuat kekerabatan mereka.

Yang saya maksud dalam tulisan ini adalah keluarga yang bukan dari golongan Downhill Subud, melainkan satu keluarga yang kesemuanya masuk Subud pada saat yang sama, dibuka bersamaan waktunya, dan termasuk generasi pertama Subudnya. Di grup Jakarta Selatan khususnya kecenderungan ini cukup signifikan dalam tiga tahun belakangan ini. Saya mengenal secara dekat dua keluarga seperti itu, salah satunya—ayah, ibu dan putri semata wayang mereka—dibuka pada 21 September 2025. Si ayah adalah kakak kandung dari seorang anggota dari Cabang Semarang di Jawa Tengah yang dibuka bertahun-tahun lalu dan merupakan generasi pertama Subud di keluarganya. Sedangkan saat ini, bukan saja si ayah, tetapi juga si ibu dan putri mereka menjadi generasi pertama di keluarga inti mereka.

Menurut cerita Toto (bukan nama sebenarnya), si ayah yang berusia 45 tahun itu, adalah putrinya yang pertama kali minta untuk masuk Subud. Toto sendiri awalnya tidak tertarik, karena dia merasa sudah memahami dunia spiritual melalui pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini dan menyamakan Subud dengan teknik-teknik yang dipraktikkannya selama ini. Ketertarikan putrinya pada Subud menyeret keluarga kecil itu kepada seorang pembantu pelatih muda pria dari Cabang Jakarta Selatan, yang memiliki usaha kuliner. Di kafe sang pembantu pelatih, yang terletak 1,1 km dari Wisma Subud Cilandak itu, keluarga kecil yang dikepalai Toto itu kerap melewati waktu luang mereka dengan mengobrol santai dengan sang pembantu pelatih, yang akhirnya semakin menguatkan tekad putri semata wayangnya Toto untuk masuk Subud. Dengan bercanda, si pembantu pelatih mengatakan bahwa ada baiknya Toto dan istrinya mengikuti masa kandidatan tiga bulan itu untuk menemani anak mereka, sekalian mengalami “masa orientasi” bagi calon anggota Subud.

Dalam masa kandidatan itu, terbukalah pikiran Toto bahwa Subud memang benar-benar berbeda dari jalan spiritual yang diakuinya pernah ditempuhnya. Akhirnya, Toto ketularan putrinya dan terus antusias menanti momen pembukaannya. Ia sangat bahagia ketika akhirnya dibuka, pada tanggal dan jam yang sama dengan istri dan putrinya. Kini ia semakin antusias untuk mengetahui lebih banyak tentang Subud melalui pengalaman-pengalaman dengan bimbingan Latihan Kejiwaan.

Kisah sejenis juga diceritakan ke saya oleh kepala keluarga kecil yang dibuka pada tanggal dan jam yang sama. Sang ayah mengetahui tentang Subud dari tetangganya yang sudah dibuka lebih dari satu tahun sebelumnya. Putri mereka pernah secara bercanda berkata ke saya bahwa tiap kali keluarga kecil itu datang ke Wisma Subud, terutama hari Minggu siang, rasanya seperti piknik keluarga.

Mudah-mudahan ke depannya, semakin marak keanggotaan Subud dengan keluarga sebagai platformnya, sehingga dapat diharapkan terjadi saling memotivasi di dalam keluarga untuk rajin Latihan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Oktober 2025

Spiritualitas Media Sosial

 




HARI Minggu pagi, 5 Oktober 2025, saya pergi ke Wisma Indonesia, di dalam kompleks Wisma Subud Cilandak dimana setiap hari Minggu menjadi tempat bagi para kandidat. Kemarin itu, saya sengaja ke sana karena janjian dengan teman saya dulu di universitas, yang seusia dengan saya, yang sejak September lalu memulai masa penantian tiga bulannya sebagai calon anggota Subud.

Saya tidak ikut masuk ke ruangan di mana para kandidat mendapatkan penerangan dari para pembantu pelatih yang ditugasi untuk itu, melainkan menunggu di lobi dimana meja administrasi pendaftaran dan pencatatan calon anggota dilakukan. Saya mengamati orang-orang jenis apakah yang di era sekarang mau bergabung dengan perkumpulan spiritual yang di mata Gen Z dipandang “ketinggalan zaman” itu.

Ternyata, teman saya justru yang paling tua. Dia dari Gen X, sedangkan semua peminat lainnya yang mendatangi meja pendaftaran kandidat adalah kaum Gen Z. Tren itu tentu saja menarik bagi saya. Karena penasaran, saya menanyai mereka satu per satu atau secara berbarengan, apa yang mendorong mereka masuk Subud dan dari mana mereka mendapat informasi pendahuluan mengenai Subud.

Dua tiga kandidat memang berasal dari keluarga Subud (apakah ayahnya saja, atau ibunya saja, atau kedua orang tuanya, atau kakek-neneknya atau salah satu saudara kandungnya). Tetapi rata-rata datang karena kesadaran sendiri—bagaimanapun, mereka kebingungan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasannya; rata-rata hanya bilang “Dorongan dari dalam!”.

Sementara itu, media sosial menjadi acuan mereka untuk mendapatkan informasi pendahuluan. Uniknya, rata-rata para Gen Z kebetulan saja menemukan informasi tentang Subud, dan bukan hasil dari pencarian yang disengaja. Informasi yang disajikan, meminjam bahasa pergaulan Gen Z, “relate dengan mereka”. Saya jadi menyaksikan kenyataan langsung dari temuan lapangan oleh tim periset Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Oktober 2025

Sunday, October 5, 2025

Mewujudkan Khayalan Menjadi Perwira Angkatan Laut

 


ALMARHUM ayah saya adalah seorang purnawirawan perwira menengah Angkatan Darat Indonesia. Beliau pun memiliki harapan agar putra satu-satunya, yaitu saya, mengikuti jejaknya dengan menjadi perwira TNI Angkatan Darat. Ya, sejak kecil saya memang bercita-cita menjadi tentara Angkatan Darat, tetapi ketika SMA saya berubah pikiran dan ingin menjadi perwira angkatan laut.

Ayah saya heran, tentu saja, mengapa setelah sekian lama beliau mencekoki saya dengan kisah-kisah pertempuran darat yang beliau alami sebagai serdadu Angkatan Darat saya kok malah ingin menjadi anggota Angkatan Laut. Pendorong perubahan cita-cita saya itu adalah film perang Tora! Tora! Tora! produksi Hollywood tahun 1970 yang mengisahkan serangan Jepang atas pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, 7 Desember 1970. Tetapi ketika ayah saya menanyakan mengapa saya ingin masuk angkatan laut, saya menjawab bahwa pakaian seragam dinas upacaranya, yang putih-putih dengan kerah tinggi, sangat keren!

Meskipun cita-cita saya untuk menjadi tentara tidak pernah terwujud secara kenyataan, tetapi berkat Google Gemini AI khayalan saya bisa divisualkan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Oktober 2025