SATU
saudara Subud menyampaikan kepada saya bahwa ia berharap semua saudara-saudara
kandungnya maupun orang tuanya masuk Subud, agar ia tidak perlu sendirian
menanggung “warisan” leluhurnya yang harus ia bersihkan. Saya pun memiliki
harapan yang sama, tetapi kami menyikapi harapan itu sebagai sebuah lelucon
belaka. Karena “pembersihan diri ditanggung bersama oleh seluruh anggota
keluarga” tidak ada dalam kamus Subud.
Di
Indonesia, kekeluargaan sangat kuat. Terlihat salah satunya dari kebiasaan
mudik (pulang kampung) yang demikian marak menjelang Idulfitri, hingga pemerintah
pun secara serius membuat strategi penyediaan sarana transportasi yang memadai
untuk itu. Budaya Indonesia sangat menekankan pentingnya kekeluargaan, yang
terlihat dari sistem kekerabatan yang erat dan nilai-nilai seperti kepedulian
serta keinginan untuk berbagi dengan sesama.
Dalam
berbagai hal, seluruh anggota keluarga Indonesia terlibat meskipun untuk
kepentingan perorangan. Prinsip hidup yang dianut orang Indonesia pada umumnya
adalah “Keluarga adalah tempat seorang individu berpulang”. Sehingga, meski
terkesan tidak mandiri, satu anggota keluarga ketika menghadapi masalah akan
mendapat dukungan penuh, baik moril maupun materi, dari seluruh anggota
keluarga lainnya.
Hubungan
kekeluargaan di Indonesia penting karena berfungsi sebagai fondasi pembentukan
karakter dan pendidikan nilai-nilai moral, sosial, dan agama, serta sebagai
tumpuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, memberikan rasa aman, dan memastikan
kesejahteraan anggota keluarga. Selain itu, keluarga merupakan pilar utama
pembangunan bangsa dan ketahanan nasional, di mana keluarga yang kuat akan
membentuk masyarakat yang kokoh dan penerus generasi yang berkualitas.
Hubungan
kekeluargaan di Indonesia sangat kuat karena dipengaruhi oleh sistem
kekerabatan yang erat, nilai-nilai budaya seperti gotong royong dan rasa
kepedulian, serta dukungan dari lingkungan masyarakat desa yang
interaktif. Warisan budaya dan kebiasaan berbagi serta bekerja sama ini
membentuk ikatan kuat antar anggota keluarga dan komunitas, yang menjadi
fondasi ketahanan sosial masyarakat.
Banyak
masyarakat Indonesia, terutama di desa, hidup dalam komunitas yang relatif
kecil dengan pola pemukiman berdekatan. Hal ini memungkinkan interaksi
yang lebih intens dan sering kali mempererat hubungan kekerabatan antar warga,
karena mereka biasanya memiliki keturunan yang sama atau hubungan keluarga.
Keterlibatan
keluarga besar dalam menopang proses kehidupan anggota individunya dapat
dipahami kalau kita menghayati hubungan kekerabatan di Indonesia. Yang menjadi
keheranan saya adalah bagaimana keluarga pun dapat terlibat secara penuh dalam
aktivitas spiritual salah satu anggotanya, sementara spiritualitas bersifat
pribadi, dimana setiap individu memiliki pengalaman, keyakinan, dan cara
sendiri untuk mencari makna, tujuan hidup, serta hubungan dengan sesuatu yang
lebih besar dari diri mereka sendiri, seperti alam semesta atau kekuatan yang
lebih tinggi. Tetapi di Subud Indonesia dalam 15 tahun terakhir muncul
fenomena yang unik, dengan bergabungnya satu keluarga secara bersama-sama ke
Subud. Mereka melalui masa kandidatan tiga bulan mereka secara berbarengan, dan
pembukaannya pun bersifat “pembukaan sekeluarga” pada tanggal dan jam yang
sama, hanya berbeda ruangan karena perbedaan jenis kelamin dari ayah, ibu dan
anak-anak mereka.
Sebagai
sesama generasi pertama Subud di keluarga, saya dapat memahami harapan saudara
Subud yang saya ceritakan di atas. Di Subud Indonesia ada lelucon mengenai
Subud Turunan (Downhill Subud) yaitu
anggota Subud yang berasal dari keluarga Subud, mulai dari kakek-neneknya ke
ayah-ibunya, dan Subud Tanjakan (Uphill
Subud) yaitu mereka yang merupakan generasi pertama Subud di keluarga
masing-masing, seperti saya. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dari momen-momen
berbagi kami dari kaum Subud Tanjakan terungkap bahwa mereka yang berasal dari
Subud Turunan sungguh beruntung, karena kejiwaan mereka “ditopang” oleh para
pendahulu mereka yang sudah dibuka dan menerima Latihan. Sedangkan kami yang
merupakan generasi pertama mengalami proses kejiwaan yang berat, layaknya
mengayuh sepeda di tanjakan yang curam dengan kaki yang belum terlatih untuk
itu.
Meskipun
bukan sesuatu yang baru, keberadaan anggota bersama sebagian atau seluruh
keluarganya tetap menimbulkan kekaguman. Dan meskipun kenyataan itu tidak bisa
menjadikan mereka dapat “menanggung bersama” pembersihan leluhur, keanggotaan
secara keluarga menciptakan suasana yang berbeda di dalam keluarga serta
memperkuat kekerabatan mereka.
Yang
saya maksud dalam tulisan ini adalah keluarga yang bukan dari golongan Downhill Subud, melainkan satu keluarga
yang kesemuanya masuk Subud pada saat yang sama, dibuka bersamaan waktunya, dan
termasuk generasi pertama Subudnya. Di grup Jakarta Selatan khususnya
kecenderungan ini cukup signifikan dalam tiga tahun belakangan ini. Saya
mengenal secara dekat dua keluarga seperti itu, salah satunya—ayah, ibu dan
putri semata wayang mereka—dibuka pada 21 September 2025. Si ayah adalah kakak
kandung dari seorang anggota dari Cabang Semarang di Jawa Tengah yang dibuka
bertahun-tahun lalu dan merupakan generasi pertama Subud di keluarganya.
Sedangkan saat ini, bukan saja si ayah, tetapi juga si ibu dan putri mereka
menjadi generasi pertama di keluarga inti mereka.
Menurut
cerita Toto (bukan nama sebenarnya), si ayah yang berusia 45 tahun itu, adalah
putrinya yang pertama kali minta untuk masuk Subud. Toto sendiri awalnya tidak
tertarik, karena dia merasa sudah memahami dunia spiritual melalui
pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini dan menyamakan Subud dengan
teknik-teknik yang dipraktikkannya selama ini. Ketertarikan putrinya pada Subud
menyeret keluarga kecil itu kepada seorang pembantu pelatih muda pria dari Cabang
Jakarta Selatan, yang memiliki usaha kuliner. Di kafe sang pembantu pelatih,
yang terletak 1,1 km dari Wisma Subud Cilandak itu, keluarga kecil yang
dikepalai Toto itu kerap melewati waktu luang mereka dengan mengobrol santai
dengan sang pembantu pelatih, yang akhirnya semakin menguatkan tekad putri
semata wayangnya Toto untuk masuk Subud. Dengan bercanda, si pembantu pelatih
mengatakan bahwa ada baiknya Toto dan istrinya mengikuti masa kandidatan tiga
bulan itu untuk menemani anak mereka, sekalian mengalami “masa orientasi” bagi
calon anggota Subud.
Dalam
masa kandidatan itu, terbukalah pikiran Toto bahwa Subud memang benar-benar
berbeda dari jalan spiritual yang diakuinya pernah ditempuhnya. Akhirnya, Toto
ketularan putrinya dan terus antusias menanti momen pembukaannya. Ia sangat
bahagia ketika akhirnya dibuka, pada tanggal dan jam yang sama dengan istri dan
putrinya. Kini ia semakin antusias untuk mengetahui lebih banyak tentang Subud
melalui pengalaman-pengalaman dengan bimbingan Latihan Kejiwaan.
Kisah
sejenis juga diceritakan ke saya oleh kepala keluarga kecil yang dibuka pada
tanggal dan jam yang sama. Sang ayah mengetahui tentang Subud dari tetangganya
yang sudah dibuka lebih dari satu tahun sebelumnya. Putri mereka pernah secara
bercanda berkata ke saya bahwa tiap kali keluarga kecil itu datang ke Wisma
Subud, terutama hari Minggu siang, rasanya seperti piknik keluarga.
Mudah-mudahan
ke depannya, semakin marak keanggotaan Subud dengan keluarga sebagai
platformnya, sehingga dapat diharapkan terjadi saling memotivasi di dalam
keluarga untuk rajin Latihan.©2025
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 6 Oktober 2025