KEMARIN, 27 Juni 2025, merupakan hari libur nasional, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah. Seminggu sebelumnya, saat Latihan di Pamulang, saya secara spontan menerima bahwa saya harus membuat roti canai untuk saudara, ipar, sepupu, dan keponakan-keponakan saya di rumah peninggalan mendiang kedua orang tua saya.
Roti canai adalah hidangan roti pipih asal India yang ditemukan di beberapa negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand. Nama “canai” atau “cane” diyakini berasal dari Chennai, yang juga dikenal sebagai Madras, ibu kota dan kota terbesar Tamil Nadu, negara bagian paling selatan di India.
Dengan adonan yang sangat mudah dibuat, roti canai merupakan jenis makanan yang diwariskan dari leluhur saya dari Persia dan Gujarat di India. Lidah saya dan saudara-saudara kandung saya sudah akrab dengan budaya kuliner kedua daerah ini sejak kecil, yang bumbu-bumbunya dimodifikasi oleh ibu saya agar ayah saya yang berlatar belakang budaya Jawa pun bisa menikmatinya.
Orang Jawa Tengah seperti ayah saya menyukai masakan dengan rasa manis yang kuat, sedangkan ibu saya, sebagai orang Aceh, seperti kebanyakan orang Sumatera, menyukai makanan yang rasanya asin dan pedas. Ibu saya mampu memadukan kedua rasa tersebut untuk membahagiakan keluarganya yang memiliki selera yang berbeda-beda.
Karena itu adalah penerimaan dalam Latihan—apa pun yang mungkin dikatakan saudara-saudari Subud saya, bahwa itu mungkin hanya nafsu, saya tetap mewujudkannya, dan hari khusus untuk menyajikan roti canai adalah hari Jumat, 27 Juni.
Adonan roti canai terdiri dari—dalam resep pribadi saya—tepung, dua sendok makan minyak goreng, satu sendok makan mentega, sedikit gula dan garam, dan air. Adonan diremas, diratakan, diolesi minyak, dan dilipat berulang kali sebelum dipadatkan, sehingga terbentuk lapisan-lapisan. Bola adonan kemudian diratakan, dibentangkan hingga setipis kertas (biasanya dengan “membantingnya” di permukaan yang datar), dan dikumpulkan menjadi massa panjang seperti tali. “Tali” ini kemudian dililitkan menjadi simpul atau “konde” dan diratakan, sehingga terdiri dari serpihan adonan tipis saat dimasak. Kari ayam yang dibuat oleh kakak saya cocok untuk saat menyantap roti canai.
Ketika saya mengerahkan tenaga dan perhatian saat
membuat roti canai, alih-alih merasa lelah, saya justru merasa gembira seperti
saat menulis puisi atau melukis gambar yang indah. Alhasil, seluruh anggota
keluarga, tua dan muda, ikut merasakan kegembiraan saya saat menikmati masakan
saya. Saya teringat nasihat Bapak agar selalu memiliki perasaan positif,
gembira, atau penuh cinta saat bekerja. Dan bekerja yang dilandasi kegembiraan
atau cinta akan melahirkan karya seni. “Karena itu, maka setiap melahirkan kebudayaan yang berupa kesenian—misalnya
musik atau bersolah atau lagu-lagu atau menyanyi—seketika dapat menjadikan rasa
diri atau hati seseorang tenteram dan bahagia.” (70 TJK 1)©2025
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 Juni 2025
No comments:
Post a Comment