Sunday, June 15, 2025

Akulturasi Budaya Citarasa

SAYA suka masakan Timur Tengah—selama tidak mengandung daging selain sapi dan ayam. Saya atribusikan kesukaan saya itu pada ibu saya, seorang wanita kelahiran Aceh yang dari garis ayahnya memiliki darah Persia, Irak dan Gujarat (di pesisir barat India yang berbatasan dengan Pakistan). Dengan demikian, sejak kecil lidah saya sudah dilatih untuk mengecap bahan dan bumbu masakan Timur Tengah, namun yang telah berakulturasi dengan budaya kuliner Nusantara, terutama Jawa.

Menikah dengan istri saya yang Arek Suroboyo dengan campuran hawa Jawa Tengah dan Jawa Timur, pengalaman alat pengecap saya semakin kaya, apalagi melalui kuliner khas kawasan Gerbangkertosusila (akronim dari Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan) yang bumbunya terasa kuat. Apalagi istri memiliki bakat mengakulturasi berbagai budaya citarasa, yang dengan itu ia mampu membuat aneka bumbu khas suatu daerah/negara saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.

Dalam proses memasaknya citarasa asli tidak sepenuhnya hilang, tetapi unsur-unsur citarasa baru diserap dan diintegrasikan ke dalam citarasa yang sudah ada. Bertambah istimewa karena istri selalu terbimbing Latihan Kejiwaan saat memasak.

Nasi Kebuli Nuna Cooking +6281553832006

Nasi Daun Jeruk Nuna Cooking +6281553832006

Itulah yang saya rasakan pada masakan istri saya, di antaranya pada Nasi Kebuli dan Nasi Daun Jeruk ini. Saya hanya bisa bilang: “Ini lezat banget, citarasanya membuat saya merasakan konektivitas keberadaan saya saat ini dengan ruh leluhur saya di Persia, Irak, dan Gujarat, maupun yang di Nusantara.”©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 16 Juni 2025

Wednesday, June 4, 2025

Penderitaan Dahulu dan Sekarang

 


HARI Minggu siang, 1 Juni 2025, di teras Rumah Wing Bodies, kompleks Wisma Subud Cilandak No. 22C, saya menguping obrolan di antara tiga saudara Subud. Salah satu dari mereka berkata, “Kalau Bapak begitu hebat kejiwaannya ya karena penderitaan hidup Bapak juga berat. Kita nggak mampu deh!”

 

Saya tiba-tiba menerima bimbingan untuk ikut bicara, “Tanpa mengurangi hormat saya kepada Bapak, saya rasa penderitaan hidup kita sekarang jauuuuuuhh lebih berat, Bro. Dulu, zaman Hindia Belanda, penderitaan orang palingan soal ekonomi. Sekarang? Penderitaan kita... kita digempur daya-daya dari medsos, dunia maya. Kita digempur setiap detik dari setiap hari kita, Bro. Yang seharusnya bukan masalah kita malah jadi masalah kita. Seberat-beratnya tekanan yang dialami Bapak di zaman Hindia Belanda, saya yakin masih keras tekanan yang kita alami zaman ini, Bro.”

 

Ketiga saudara Subud itu melongo tetapi lantas mengiyakan. Saya kemudian berceloteh tentang bahwa Bapak sendiri mengatakan bahwa Latihan Kejiwaan diturunkan di abad ke-20 karena manusia abad ini dan abad-abad selanjutnya mengalami penderitaan yang jauh lebih berat dan makin berat. Penderitaan-penderitaan yang disebabkan oleh ciptaan manusia sendiri. Dan solusi untuk membantu manusia keluar dari penderitaan jenis ini adalah Latihan Kejiwaan.

 

Saya cuplik salah satu ceramah Bapak yang mengutarakan hal itu—ceramah Bapak di Buenos Aires, Argentina, 9 Agustus 1969 (69 BUE 1)—sebagai berikut:

 

“Latihan Kejiwaan Subud adalah sifatnya penerimaan; yang demikian itu telah menjadi kehendak Tuhan. Ya, Bapak dapat mengatakan demikian, karena menurut apa yang telah Bapak terima dalam Latihan Kejiwaan, bahwa dengan kemajuan hati dan pikiran manusia—yang sekarang ini nampaknya makin meluasnya, makin majunya akal-pikiran manusia—sehingga hampir-hampir mengabaikan, hampir-hampir melupakan kebaktiannya terhadap Tuhan yang sebenar-benarnya. Dan ada rasa yang tidak begitu mementingkan dikarenakan terdesak oleh pengaruh dunia, sehingga terpaksa kepercayaan pada Tuhan menjadi tipis. Dan karena itulah, maka Bapak katakan, telah menjadi kehendak Tuhan, bahwa pada zaman ini diturunkan suatu jalan, sesuatu jalan yang dipimpin dan dibimbing oleh… (tidak terdengar).

 

Karena tiada kesempatan bagi manusia – apabila manusia itu dengan sendiri menghendaki ketenteraman hati dan pikiran – karena hati dan pikirannya telah menjadi begitu rupa, sehingga tidak mungkin, tidak mudah dapat menenteramkan hati dan pikiran. Memang, saudara-saudara sekalian, sangat berat pengaruh nafsu, pengaruh suasana dunia yang memengaruhi hati dan pikiran manusia, sehingga benar-benar nampak pengaruh nafsu dan pengaruh dunia yang telah memengaruhi pikiran manusia, telah meresap dalam diri manusia. Sehingga dapat dikatakan, apabila manusia ditinggal, dihindari pengaruh nafsu dunia, yang ada di dalam dirinya, seketika bisa jadi mati.”

©2025

 

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Juni 2025

Tuesday, June 3, 2025

Tidak Perlu Menunggu Menjadi Pembantu Dulu

SEMALAM saya mendapat kunjungan dari satu anggota Subud dari Ranting Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Dia mengajukan banyak pertanyaan, berkonsultasi ke saya mulai dari hal kejiwaan, masalah pekerjaan, urusan keluarga, sampai perihal administrasi kependudukan. Saya terbiasa, baik saat tatap muka maupun lewat perantaraan alat komunikasi, untuk selalu dalam keadaan penenangan diri seperti ketika akan Latihan. Dengan begitu, saya mendapat bimbingan jiwa untuk menjawab pertanyaan, memberi nasihat, saran, dan/atau solusi. Perlu diketahui, saya bukan seorang pembantu pelatih. Puji Tuhan, si anggota semalam puas dengan apa yang saya berikan.

Saya sampaikan kepada si anggota bahwa saya merasa tidak keberatan dengan dia menghubungi saya untuk membantu dia mengatasi berbagai masalah yang tengah dia hadapi, tetapi saya tekankan padanya bahwa seharusnya yang berada di posisi saya adalah para pembantu pelatih yang melayani dia selama masa kandidatannya dan/atau pembantu pelatih yang membuka dia.

 

Saya sendiri tidak pernah merasa keberatan untuk membantu anggota, baik dari cabang/ranting saya maupun cabang-cabang/ranting-ranting lain di Indonesia, karena saya paham bahwa ketika saya “ketiban” peran layaknya seorang pembantu pelatih saya tidak boleh menolak dan harus memasrahkannya kepada Tuhan, karena dengan begitu saya akan mendapatkan bimbingan jiwa untuk melayani siapapun yang meminta bantuan saya. Saya selalu teringat pada nasihat dari satu pembantu pelatih senior di Cilandak, bahwa “untuk membantu tidak perlu menunggu menjadi pembantu dulu.”

 

Dalam menindaklanjuti pemberian nasihat menyangkut masalah kependudukan, tentu saja saya teruskan kepada saudara Subud yang sedang menjadi ketua rukun tetangga di kompleks rumahnya, agar bantuan yang diterima si anggota Ranting Pamulang itu lebih maksimal. Dan, puji Tuhan, ia dengan ringan membantu si anggota dari Ranting Pamulang tersebut

 

Saat berinteraksi dengan si anggota di depan rumah saya, sempat terlintas di pikiran saya: Bagaimana dengan para pembantu pelatih dewasa ini?

 

Dari para anggota yang menghubungi saya, baik secara langsung maupun via alat komunikasi dan media sosial, saya mendapat berbagai cerita terkait para pembantu pelatih yang kebanyakan dalam memberi penjelasan mengenai Subud saja cenderung mengedepankan akal pikir dan nafsunya (lupa untuk meminta izin kepada YM Bapak atau meminta bimbingan jiwanya), wawasan pengetahuan umum mereka juga minim, tidak tergerak untuk menindaklanjuti bantuan yang sifatnya di luar tugasnya sebagai pembantu pelatih dan tidak mampu berbicara dari jiwa ke jiwa dengan anggota-anggota yang datang kepadanya untuk meminta bantuan?©2025

 


 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 Juni 2025