![]() |
Tampak depan Stasiun Wonokromo pada 21 Juni 2020. Foto dibuat oleh Rizal Febri Ardiansyah. |
AKHIR bulan Januari 1994, dimulailah karir hubungan jarak jauh atau long-distance relationship (LDR) saya dengan Arek Suroboyo yang kini telah menikah dengan saya selama hampir 28 tahun. Meski menyetujui, tak pelak kedua orang tua saya sempat menggerutu.
“Kok jauh sekali? Nggak kasihan kamu sama Mama kalau nanti lamaran?” keluh ibu saya. “Apakah nggak ada cewek lagi di Jakarta sampai harus jauh-jauh ke Surabaya?” kata ayah saya. Itulah reaksi kedua orang tua saya ketika saya umumkan ke beliau-beliau perihal jadiannya saya dengan Nana, arek Tanjung Perak, Surabaya.
Tidak pernah terbayangkan oleh saya bahwa saya bakal melakukan LDR. Ketika menyatakan cinta ke dia, tidak pula saya pertimbangkan jarak jauhnya. Mungkin karena cinta itu buta, jarak lebih dari 780 km dari rumah orang tua saya di Jl. Pondok Jaya VII, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, ke rumah calon mertua saya di Jl. Ikan Mungsing VI, Krembangan, Surabaya Utara, terasa dekat sekali.
Karena fobia terbang, dan juga karena saya pehobi kereta api, maka kereta apilah yang mendekatkan jarak rindu kami. Selama pacaran tiga tahun dan delapan bulan, KA Jayabaya Selatan menjadi tunggangan saya. Ada yang tanya mengapa saya tidak memilih kereta api yang lewat Lintas Utara Jawa, yang terminusnya di Stasiun Surabaya Pasarturi yang notabene dekat dengan rumah pacar saya? Dan ketika naik KA Jayabaya Selatan pun saya turun di Stasiun Wonokromo, bukan di Stasiun Surabaya Kota (Semut) yang juga relatif dekat dengan rumahnya.
Alasannya, karena Stasiun Wonokromo dekat dengan Terminal Joyoboyo, dari mana berangkat bemo-bemo alias angkot menuju rumah famili saya di Pabean, Sedati, di Kabupaten Sidoarjo, dan juga ke Real Estate Wisma Waru Indah (Rewwin), juga di Sidoarjo, di mana rumah famili saya lainnya berlokasi. Di kedua rumah itu secara bergantian saya menginap selama saya mengapeli pacar saya.
Kereta api yang saya tumpangi dari Jakarta biasanya tiba di Stasiun Wonokromo (kode: WO) saat dini hari, sekitar jam dua pagi. Biasanya, saya keluyuran dulu di sepanjang peron WO atau duduk beristirahat di ruang tunggunya. Kadang saya keluar dari areal stasiun untuk mencari sarapan. Ada warung kopi yang menyediakan nasi dan aneka lauk dan ibu-ibu penjual pecel di muka bangunan utama Stasuin Wonokromo. Di situ saya akan mengisi perut, menyeruput kopi, sambil menunggu matahari terbit. Lalu saya akan menyeberangi jalan menuju sisi jalan dimana angkot berbodi hijau tujuan Sidoarjo telah berjejer.
Lalu lintas kereta api di Stasiun Wonokromo cukup ramai, dari pagi hingga dini hari, sehingga bagi saya nongkrong sendirian di peronnya ketika hari masih gelap tidak mengkhawatirkan. Stasiun Wonokromo menjadi saksi bisu seorang bucin yang rela LDR demi cinta.
Mulai beroperasi pada 16 Mei 1878 sebagai bagian dari jalur kereta api pertama yang menghubungkan Surabaya dan Pasuruan, Stasiun Wonokromo dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial.
Meskipun kini merupakan salah satu dari empat stasiun besar di wilayah Kota Surabaya, Stasiun Wonokromo tidak mencantumkan identitas “Surabaya” pada namanya, sebagaimana Stasiun Surabaya Gubeng (SGU), Stasiun Surabaya Kota (SB), dan Stasiun Surabaya Pasarturi (SBI). Ini kemungkinan karena semasa Hindia Belanda Wonokromo tidak masuk wilayah Kota Surabaya, melainkan di Distrik Jabakota. Istilah Jabakota digunakan untuk menyebut wilayah terluar yang menjadi bagian pengawasan, yang dahulu terletak di sekitar Wonokromo.
Ketika baru diresmikan, bangunan Stasiun Wonokromo masih sangat sederhana, karena fungsinya hanya untuk menunjang penyaluran hasil perkebunan dari daerah sekitar Surabaya, seperti Pasuruan, sebelum dikapalkan melalui pelabuhan Tanjung Perak ke Eropa. Tahun 1894, Stasiun Wonokromo menjadi stasiun persilangan yang besar, yang terhubung dengan jalur kereta api Surabaya-Solo yang selanjutnya menyambung ke Batavia.
Ketika kilang minyak Wonokromo dibangun pada tahun 1889 pasca ditemukannya minyak di daerah konsesi Jabakota oleh De Dordtsche Petroleum Maatschappij (1887) dan menghasilkan minyak pelumas juga, Stasiun Wonokromo kian ramai karena digunakan sebagai stasiun untuk mendistribusikan hasil minyak dan pelumas ke sejumlah daerah.
Seiring perjalanan waktu, Stasiun Wonokromo tidak lagi hanya digunakan untuk mendistribusikan hasil perkebunan maupun minyak, namun juga menjadi tempat naik-turunnya penumpang kereta api. Untuk itu, pada tahun 1901, bangunan stasiun yang sederhana dirombak dan diperluas, lalu pada tahun 1918 dilakukan renovasi Stasiun Wonokromo dengan langgam arsitektur yang bisa kita saksikan sekarang ini.
Dewasa ini, Stasiun Wonokromo merupakan pintu menuju ke pusat kota Surabaya dari arah selatan. Kereta api-kereta api kelas Ekonomi dan komuter mendominasi kesibukan stasiun ini. Selain itu, WO telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sebagai bangunan cagar budaya (BCB) sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/504/436.1.2/2013, dan pihak PT Kereta Api Indonesia (Persero) telah melengkapi plakat yang dipasang oleh Pemkot Surabaya dengan membuat prasasti yang diletakkan di bawah plakat, yang mempertegas bahwa bangunan Stasiun Wonokromo ini merupakan bangunan bersejarah milik PT KAI yang dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya.©2025
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 4 Mei 2025
No comments:
Post a Comment