Saturday, June 1, 2024

Mengatasi “Writer’s Block”

SEMUA penulis, tak terkecuali yang berpengalaman sekalipun, pernah mengalami situasi yang disebut writer’s block atau white paper syndrome. Situasi ini menempatkan seorang penulis dalam posisi tidak mampu memulai kalimat pertama pada karya tulisnya.

Ada beragam cara dalam mengatasi writer’s block, dan tidak ada penulis yang terpaku pada satu cara saja—terserah mana yang dia sukai atau cocok dengan keadaan dirinya.

Tahun 2007 lalu, saya mendapat permintaan untuk menerjemahkan buku memoar Subudnya Siti Muti’ah Lestiono, Finding the Light: A Personal Account of Discovering the Meaning of Life. Diceritakan dalam buku tersebut, atas petunjuk dari YM Bapak ia melamar pekerjaan sebagai wartawan, suatu bidang yang belum pernah dilakukan Carol Ann Glassman (nama asli Ibu Siti Muti’ah) sebelumnya, tetapi berkat Latihan Kejiwaan ia mampu melakukannya dan bahkan berkarir hingga pensiun dalam bidang jurnalistik. Di awal karirnya, Carol mengalami hambatan yang dikenal sebagai writer’s block. Dibimbing oleh Latihan, Carol menemukan bahwa cara dia untuk mengatasinya adalah mengawali setiap artikel dengan sebuah kutipan (quote) terkait tema tulisan. Cara itu selalu berhasil bagi Carol, tetapi belum tentu dapat diterapkan oleh penulis-penulis lainnya.

Saya pribadi tidak jarang mengalami sindrom kertas putih, dan memiliki cara saya sendiri untuk mengatasinya. Ada beberapa cara berbeda, namun yang sering saya andalkan adalah menceritakan pengalaman pribadi saya terkait tema artikelnya. Contohnya, ketika menulis tentang kereta api Gaya Baru Malam Selatan, saya mengawalinya dengan menuangkan kisah pengalaman saya naik KA Gaya Baru Malam Selatan selama 24 jam pada Januari 1994 akibat mogoknya lokomotif penarik rangkaian KA GBMS di Stasiun Mojokerto.

Saya menumpahkan pengalaman saya menonton film Saving Private Ryan ketika menulis alinea pembuka pada buku TNI Angkatan Laut dalam Operasi Seroja (2015). Mengetengahkan operasi amfibi pasukan KKO (cikal-bakal Korps Marinir TNI AL) yang mengawali Operasi Seroja di Timor Timur, 7 Desember 1975, saya merasakan alinea pembukaan bukunya lebih tepat jika menggambarkan suasana operasi sejenis yang diperagakan para aktor dan ratusan figuran dalam film Saving Private Ryan (1996). Dari situ, tulisan pun mengalir alinea demi alinea, yang menggiring pembaca untuk memahami perihal operasi amfibi dan, akhirnya, tiba pada inti tulisan—tentang mengapa Operasi Seroja diawali dengan misi intai amfibi KKO di pantai Dili.

Kadang pula saya menggunakan teknik quote ala Ibu Siti Muti’ah, atau menjabarkan pemikiran/teori dari seorang atau lebih pakar terkait tema yang kita tulis, yang saya kutip dari literatur lainnya. Namun hingga saat ini mengawali tulisan dengan penceritaan pengalaman pribadi saya jauh lebih mudah untuk mengatasi writer’s block. Terlebih karena YM Bapak menganjurkan anggota Subud untuk menuliskan pengalaman pribadinya, jangan menuliskan teori, saya jadi lebih menyukai pendekatan ini untuk melibas writer’s block.

Di awal karir saya sebagai copywriter, atasan saya, seorang creative director berkebangsaan Selandia Baru yang juga berlatar belakang copywriter, menyarankan agar saya banyak membaca literatur apapun, mendengarkan genre musik apapun, menonton film apapun, sering berjalan-jalan jauh dari rumah (lebih baik lagi, keluar kantor) untuk mengeksplorasi kehidupan, bertemu banyak orang tanpa memandang siapa mereka dan berdialog dengan mereka tentang kehidupan mereka, mencicipi berbagai jenis kuliner dengan rasa ingin tahu mengenai asal-usulnya, dan selalu penasaran untuk mencoba hal-hal baru. Semua ini akan memberi kita, para penulis, pengalaman-pengalaman yang ketika waktunya tiba akan bermetamorfosa menjadi ide-ide cemerlang, yang akan membantu kita mengatasi sindrom kertas putih atau writer’s block. Dengan bimbingan Latihan Kejiwaan, saya, yang pada dasarnya introvert dan “orang rumahan”, saran tersebut dapat saya praktikkan tanpa hambatan.©2024

 

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Juni 2024

No comments: