Saya (kanan) dan alm. Pak Djoko Mulyono (tengah) ketika menghadiri Kongres Nasional PPK SUBUD Indonesia di Surabaya tahun 2007. Tahun 2006, Munas PPK SUBUD Indonesia juga digelar di Surabaya. |
SAAT Musyawarah Nasional (Munas) Perkumpulan
Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Susila Budhi Dharma (SUBUD) Indonesia di Surabaya,
Jawa Timur, tahun 2006, almarhum Pak Djoko Mulyono, saudara tua SUBUD saya,
menghadirinya bersama beberapa saudara SUBUD yang tergabung dalam Kelompok
Merdeka Selatan (PT Danareksa) dan Nurus Subhi Institute (NSI). NSI merupakan
sebuah yayasan yang diresmikan pembentukannya pada 10 Desember 2005 di
Ciganjur, Jakarta Selatan, dengan saya sebagai salah satu pendirinya. Yayasan
tersebut dibentuk sejumlah anggota SUBUD Indonesia di Jakarta untuk
mengewantahkan hasil Latihan Kejiwaan kewirausahaan.
Saya saat itu memang sedang berada di
Surabaya dalam rangka mudik rutin, lantaran istri saya saat itu masih tinggal
di Kota Pahlawan untuk meneruskan tinggal di rumah kontrakan kami yang habis
pada Desember 2006. Karena itu, saya bisa terus-menerus bersama anggota dewan
pendiri NSI selama berlangsungnya Munas yang digelar selama tiga hari di Asrama
Haji Surabaya itu.
Pada hari kedua, Pak Djoko mengajak
seluruh anggota Dewan Pendiri NSI mengunjungi Wisma SUBUD Surabaya. Lalu,
sebelum kembali ke Asrama Haji, kami mampir makan siang di sebuah restoran Soto
Madura. Di restoran tersebut, Pak Djoko memesan soto jeroan, yang membuat salah
satu anggota Dewan Pendiri NSI, Mas Harry NP Danardojo, merasa “ngeri”.
Pasalnya, Pak Djoko penderita diabetes akut yang sudah dilarang mengonsumsi
jeroan sapi. Mas Harry pun, karena merasa segan menegur Pak Djoko, yang
merupakan seniornya di PT Danareksa, meskipun Mas Harry sudah tidak bekerja di
PT Danareksa lagi, meminta bantuan saya untuk mengingatkan Pak Djoko.
Di meja makan, ketika Pak Djoko sudah
menghadapi semangkuk Soto Madura isi jeroan sapi, dengan santun saya
mengingatkan beliau bahwa sudah tidak boleh mengonsumsinya. Dengan cuek, sambil
menyantap soto jeroan sapi di hadapan beliau, Pak Djoko berkata ke saya, “Aku
ini sudah ikhlas. Kalau nanti mati ya sudah. Nggak makan jeroan saja aku juga mati kok.”
Saya hanya tersenyum, tidak berani
lagi mengusik keasikan beliau makan jeroan sapi. Tapi saya sempat imbuhi, “Saya
sudah ingatkan lho, Pak, ya.”
Seminggu kemudian, pada hari Selasa
malam, saya bertemu dengan Pak Djoko dan para anggota Dewan Pendiri NSI lainnya
di lantai 11 gedung S. Widjojo Centre di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Setiap
Selasa malam, auditorium di lantai 11 bangunan bersejarah yang menyandang
pemendekan nama pendiri SUBUD, Bapak (Muhammad) S(ubuh) (Sumohadi)Widjojo, itu
menjadi tempat Latihan Kejiwaan bagi anggota Kelompok Sudirman (atau populer
dengan sebutan Kelompok S. Widjojo). Usai Latihan, Pak Djoko mengajak kami ke
restoran steik Ponderosa di lantai paling bawah S. Widjojo Centre (sekarang
sudah dibeli Sewu Group dan berganti nama menjadi Sequis Center).
Beliau mempersilakan kami semua
memesan menu yang disukai, dan semua beliau yang bayar. Saya memesan steik iga
sapi. Mendengar itu, Pak Djoko berkomentar, “Hati-hati kamu, To. Jangan makan
yang banyak lemaknya.”
Dengan santai, teringat pada ucapan
beliau di restoran Soto Madura di Surabaya seminggu sebelumnya, saya berucap, “Saya
sudah ikhlas, Pak.”
Pak Djoko mengomentari ucapan saya
dengan mimik serius, “Itu namanya SUBUD bodoh!”
Lama saya memikirkan kata-kata Pak
Djoko. Tidak malam itu juga saya mendapat pengertian. Lama kelamaan, barulah
saya dimengertikan oleh serangkaian pengalaman kejiwaan dalam hidup yang saya lakoni
maupun dalam keheningan diri yang saya lalui.
Ikhlas ternyata harus pakai otak. Otak
untuk mempertimbangkan apakah sesuatu patut atau tidak, baik atau tidak bagi
kita. Otak untuk berusaha sebaik mungkin, yang hasilnya atau keluaran (output)nya harus kita ikhlaskan. Hal ini
agar kita tidak kecewa bilamana keluaran dari usaha terbaik kita tidak sesuai
dengan harapan kita. Tapi juga agar bila kita berhasil mewujudkan hasil terbaik
kita tidak lantas melekatkan keberhasilan itu pada diri kita semata; ada suatu
kekuasaan di luar eksistensi kita yang memungkinkan hal itu.
Ikhlas adalah
tahap terakhir dalam rangkaian gerak hidup kita, bukan yang pertama.
Bagaimanapun, rangkaian itu seperti spiral yang dirapatkan, dengan
tahap-tahapnya berlangsung saling melengkapi. Ikhlas sepatutnya berjalan
seiring dengan segala gerak usaha kita. Karena ia adalah kekuatan yang mengisi
kiprah lahir dan batin kita. Terserah kita mau ikhlas atau tidak. Otak kita
yang kita pakai untuk memutuskan hal itu, sedangkan kekuasaan Ilahi yang
memungkinkan kita ikhlas.
Ikhlas bukan menunggu secara pasif,
melainkan secara proaktif mengizinkan
Tuhan bekerja dalam ranah yang berada di luar jangkauan kita. Hak kita sebagai
manusia hanyalah berusaha, bukan menentukan hasilnya.@2019
Jl. Pondok Cabe III
Gang Buntu, Tangerang Selatan, 17 Maret 2019
No comments:
Post a Comment