Saya di antara para penari tradisional Sentani mereka pentas di Festival Danau Sentani pada 18 Juni 2009. |
BULAN Mei tahun 2009 lalu, saya mengunjungi Papua untuk pertama
kalinya. Saya terbang ke sana bersama saudara SUBUD saya yang juga seorang
fotografer dan desainer grafis, Toni Sri Agustono. Bagi Pak Toni, itu sudah
ketiga kalinya baginya ke Papua dalam rangka membantu Pemerintah Kabupaten
Jayapura mempersiapkan dan menyelenggarakan Festival Danau Sentani yang pertama
kali digelar pada tahun 2008.
Pada bulan Mei 2009 itu, saya dan Pak Toni dimintai bantuan oleh
Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae (masa jabatan 2001-2011) untuk membuat coffee-table book (buku yang isinya 75
persen foto, dan sisanya teks) mengenai sejarah, alam, dan budaya masyarakat Sentani.
Sentani merupakan sebuah distrik (setingkat kecamatan) di Kabupaten Jayapura,
Provinsi Papua. Karena saya belum pernah ke Sentani dan sama sekali tidak punya
bayangan tentang bagaimana keadaan daerah itu, meskipun pada tahun sebelumnya
saya pernah diminta Pak Toni untuk membuat naskah narasi untuk profil video
Sentani dengan melihat foto-foto yang dibuat oleh Pak Toni, saya harus
mengunjunginya untuk menggali lebih banyak. Mungkin dengan begitu saya malah
mendapat akses ke hal-hal yang belum diketahui oleh umum.
Menginap di Hotel Sentani Indah, yang waktu itu dimiliki oleh Grup
Merpati yang juga mengoperasikan maskapai penerbangan Merpati Nusantara
Airlines, di Jl. Raya Hawai, Sentani, saya dan Pak Toni, dengan didampingi general manager hotel serta satu
prajurit anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD berpakaian sipil—yang
diminta oleh GM Hotel Sentani Indah, lantaran khawatir akan keselamatan
dirinya, mengingat ancaman dari Organisasi Papua Merdeka yang mungkin
berkeliaran di daerah-daerah terpencil, pun blusukan
ke sejumlah lokasi yang menawarkan saya pengetahuan akan sejarah, budaya, dan
kekayaan alam Papua, khususnya Sentani. Salah satu daerah yang saya kunjungi
itu adalah Kampung Genyem di Distrik Ebungfau, Kabupaten Jayapura.
Genyem merupakan lokasi hutan lindung, yang dihuni berbagai jenis
burung cendrawasih dan burung-burung langka lainnya. Di tempat ini juga
terdapat satu suku yang ondoafi-nya
menjadi tujuan saya dan Pak Toni untuk mendapatkan informasi lengkap tentang
kampung di sebelah selatan Danau Sentani itu. Ondoafi, atau “ketua adat”, Genyem itu saya temui di rumah beliau. Kami
memanggilnya “Pak Martinus”.
Ada satu bagian dari penuturan Pak Martinus yang menggugah saya
dan Pak Toni selaku anggota SUBUD. Sang ondoafi
bercerita tentang bagaimana alam akan membalas perbuatan buruk seseorang.
Penuturan beliau itu berawal dari pertanyaan saya, apakah di
Genyem ada kasus-kasus kriminal. Pak Martinus bergurau bahwa kejahatan yang
terjadi di kampung yang beliau pimpin biasanya dilakukan orang Jakarta.
Kemudian dengan serius beliau menuturkan bahwa kejahatan jarang terjadi di
komunitas adat yang beliau ketuai. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat amat
takut pada “sumpah adat” yang akan menggerakkan alam untuk membalas pelaku
kejahatan dengan hukuman yang tak jarang berujung maut!
Bagaimanapun, dalam lima tahun terakhir (2004-2009) pernah ada
kasus pembunuhan yang melibatkan lima warga komunitas adat, dan korbannya juga
adalah warga setempat. Pak Martinus memaparkan bahwa kasus pembunuhan itu
terungkap ketika satu warganya ditemukan tak bernyawa di kebun miliknya.
Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan korban dianiaya sebelum dibunuh. Karena
tidak ditemukan jejak-jejak yang mengarahkan pihak berwenang kepada (para)
pelaku, keluarga korban pun mendatangi ondoafi
untuk menuntut balas.
Menurut Pak Martinus, keberadaan penegak hukum resmi dari
pemerintah diakui tetapi masyarakat memilih mengadukan suatu kasus kriminalitas
yang memakan korban jiwa kepada ketua adat mereka, mungkin karena cara primitif
lebih manjur daripada cara modern, yaitu melalui penyelidikan dan pemidanaan
hukum.
Lalu, apa yang diharapkan masyarakat setempat dapat diperbuat oleh
ondoafi untuk mencegah para pelaku
kejahatan lolos dari hukuman yang setimpal? Begitulah kira-kira pertanyaan
saya. Jadi, setelah ondoafi menerima
laporan dari keluarga dari warganya yang menjadi korban pembunuhan, kepadanya
dimohonkan agar dilakukan sumpah adat. “Melalui sumpah adat, saya serahkan
pada... pada... pada apa yang Anda sebut ‘Tuhan’ itu,” ujar Pak Martinus dengan
yakin. Pak Toni, yang duduk di sebelah saya di ruang tamu rumah sang ondoafi, menoleh sejenak ke saya dan
berbisik, “Kayak SUBUD ya, To?!”
Saya memegang coffee-table book yang untuk pembuatannya saya harus terbang ke Papua. Ini pada saat peluncuran buku tersebut di The Plaza, 30 Januari 2010. |
Segera setelah mengucapkan sumpah adat, di mana ondoafi menyerahkan segala sesuatunya
kepada apa yang kita di dunia modern sebut itu “Tuhan”, ia pun tinggal menunggu
dengan sabar, tawakal, dan ikhlas (menurut bahasa modernnya) apa yang alam akan
lakukan. Secara alami, empat orang warga komunitas adat yang dipimpin sang ondoafi mati dengan cara yang
berbeda-beda, yaitu dipatuk ular, jatuh dari pohon yang tinggi, tenggelam di
Danau Sentani, dan tertabrak truk pertambangan. Menyaksikan satu per satu
kawannya mati, pelaku kelima ketakutan dan bersegera mendatangi sang ondoafi untuk menyerahkan dirinya.
Pelaku yang lolos dari pembalasan alam tersebut kemudian
diserahkan ke pihak berwajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun,
tidak semudah itu; ia harus membayar “uang kepala” kepada keluarga korban,
berupa penyerahan batu kapak Sentani yang bahannya mirip batu yang digunakan
untuk akik. Batu kapak merupakan benda budaya yang lazim digunakan warga
Sentani sebagai alat tukar atau mas kawin. Batu kapak terbuat dari batu berwarna
hijau yang berasal dari Pegunungan Cyclops, barisan perbukitan yang melatari
Danau Sentani di sebelah utaranya. Satu batu kapak bisa mencapai nilai nominal
Rp150 juta.
Dari rangkaian penuturan sang ondoafi
Kampung Genyem pada hari itu, saya berkesimpulan bahwa “berserah diri dengan
sabar, tawakal, dan ikhlas” sudah menjadi cara hidup (way of life) masyarakat primitif, meskipun mereka mungkin tidak
memiliki konsep Tuhan sebagaimana yang diyakini oleh umat agama-agama “modern”
dan tidak memahami teknik-teknik kepasrahan yang oleh manusia modern dikatakan “baru”.©2019
Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang
Selatan, 5 Maret 2019
No comments:
Post a Comment