|
Sudut sebelah baratlaut Wisma SUBUD Surabaya pada tahun 2015. Atap joglonya sudah direnovasi, diganti dengan baja ringan dan genteng galvalum warna biru. |
SAYA tidak
pernah merasa mencari Tuhan. Saya kira, Tuhan tidak perlu lagi saya cari. Tuhan
sudah ditemukan oleh orang-orang yang dinyatakan (atau mengklaim) sebagai
“utusan Tuhan”. Salah satunya adalah nabi yang mengajarkan agama yang pernah
saya anut. Kitab sucinya sudah menyatakan tentang keberadaan Tuhan dan bahwa
Dia sudah mengutus sejumlah ciptaanNya untuk mengajarkan mengenaiNya.
Tetapi, diri
saya tampaknya belum puas. Tanpa saya kehendaki, sesuatu di dalam diri saya menginginkan
bukti atau membawa saya ke arah pengertian tentang hakikat Tuhan. Setiap kali
membaca terjemahan Bahasa Indonesia dari kitab suci agama saya sebelumnya,
muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak segera terjawab dengan membaca lebih
lanjut. Saya pun menjadi tidak puas, terutama karena doa-doa saya tidak segera
dikabulkanNya. Apalagi di kitab suci maupun dari penjelasan para guru agama,
jikalau saya memohon kepadaNya dan berbuat baik, maka doa saya akan
dikabulkanNya segera. Nyatanya, tidak!
Di puncak
ketidakpuasan saya, saya berhenti beragama dan berhenti mempercayai Tuhan yang
diajarkan oleh nabi yang mengajarkan agama yang pernah saya anut. Dalam
pandangan umum dan awam, saya telah menjadi atheis. Tapi saya bukan atheis saat
itu. Saya tetap meyakini ada sesuatu yang lebih besar melampaui eksistensi
manusia, namun saya tidak yakin bahwa itu Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh
agama saya waktu itu.
Tanpa agama,
saya tidak memiliki pedoman untuk menjalani hidup secara produktif dan sehat.
Tanpa Tuhan, saya ibarat rem blong—melaju kencang tapi tak bisa berhenti untuk
sekadar menanyakan arah. Dalam proses ini, saya dibimbing (waktu itu, saya
belum mengenal bimbingan Ilahiah) ke sesuatu yang kelak tidak saya sesali
pernah menemukannya.
Pada hari Jumat,
17 Oktober 2003, diajak oleh mitra kerja saya, yang juga seorang pembantu
pelatih Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Susila Budhi Dharma (SUBUD)
Cabang Surabaya, Mas Heru namanya, saya pertama kali memasuki areal Wisma SUBUD
Surabaya di Jl. Manyar Rejo No. 18-22, Surabaya, Jawa Timur. Saat itu, magrib
baru saja lewat. Di teras timur dari bangunan Wisma SUBUD Surabaya duduk
seorang pria berusia akhir 50an, dalam balutan baju safari berwarna biru gelap.
Wajahnya lucu, sering tertawa, dan membuat lelucon.
Saya
diperkenalkan Mas Heru kepadanya. Panggilannya Mas Adji, lengkapnya Istiadji
Wiryohudoyo. Sebelumnya, Mas Heru telah menginformasikan ke saya bahwa Mas Adji
adalah cucu tiri dari pendiri SUBUD, yaitu orang pertama yang menerima
pengalaman gaib yang kelak dinamai Latihan Kejiwaan, RM Muhammad Subuh
Sumohadiwidjojo. Para anggota SUBUD memanggil Muhammad Subuh dengan sebutan
“Bapak” atau “Yang Mulia Bapak”.
Mas Adji
menanyakan saya apakah saya sudah tahu tentang SUBUD. Dengan yakinnya, saya
mengiyakan. “Kata teman saya, perusahaan pertambangan, Mas.” Mas Adji spontan
tertawa terbahak-bahak.
Dahulu, saat
masih kuliah di Universitas Indonesia, saya dan teman saya beberapa kali naik
angkot atau Metromini 610 jurusan Blok M-Pondok Labu yang lewat Wisma SUBUD
Cilandak di Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan. Suatu kali, kami melihat
dari jendela angkot beberapa orang bule keluar dari kompleks Wisma SUBUD
Cilandak. Teman saya berkata, “Lihat itu, To, itu SUBUD, perusahaan
pertambangan. Banyak bule yang kerja di situ.”
Meskipun Mas
Adji membenarkan bahwa beberapa orang SUBUD menjalankan bisnis pertambangan,
tapi SUBUD bukan itu. “SUBUD adalah pendidikan jiwa. Kalau kita mati, yang
tetap hidup adalah jiwa kita. Dia yang kembali kepada Tuhan. Tapi banyak orang
tidak melatih jiwa mereka untuk hidup sesudah mati maupun hidup di saat ini.”
Saya pusing
tujuh keliling mendengarkan penjelasan Mas Adji. Sekarang saya tahu mengapa
saya pusing—karena Mas Adji menjelaskan perihal kejiwaan yang hanya bisa
dipahami oleh orang yang jiwanya sudah terbuka dan hidup, yaitu orang yang
rajin berlatih kejiwaan. Saat itu, jiwa saya masih tertutup, belum hidup, dan
akal pikiran saya masih kuat. Bidang kejiwaan tidak akan mungkin dapat dipahami
dengan kecerdasan akal pikiran.
Ada insiden
lucu saat saya berhadapan dengan Mas Adji di teras timur Wisma SUBUD Surabaya.
Saat itu, dia baru tiba dari Madiun, mengunjungi saudara-saudara SUBUD Cabang
Madiun, dan dioleh-olehi pisang goreng buatan Ibu Soegijono, yang tak lain
adalah ibunda dari Mas Heru, serta dua keik buatan ibu-ibu SUBUD Madiun. Mas
Adji ingin menyuguhkan keik ke saya, dan meminta anggota dan PP yang ada di
dekatnya supaya mengambilkan pisau. Saya tawarkan pisau lipat Swiss Army milik
saya yang selalu saya bawa di tas pinggang saya. Tetapi, ketika saya sodorkan
pisau lipat itu ke Mas Adji, dia mengibas-kibaskan tangan kanannya sebagai
isyarat menolak, dan berkata, “Jauhkan itu dari saya! Banyak daya rendahnya di
situ. Sampeyan kan pernah pakai pisau
itu untuk ngancem orang!”
Tentu saja
saya kecewa dengan penolakan Mas Adji, sekaligus terkejut: Bagaimana dia bisa
tahu bahwa saya pernah menggunakan pisau lipat itu untuk mengancam orang, di
masa yang telah lampau? Lama kemudian, saya tahu bahwa dengan bimbingan Tuhan,
kita dibisakanNya untuk menyingkapkan apa yang tersembunyi atau terselubung.
Selanjutnya,
Mas Adji mempersilakan saya masuk ke dalam ruangan besar Wisma SUBUD Surabaya,
yang oleh kalangan anggota disebut “hall”
(ruangan besar dan lapang). Meskipun beberapa pembantu pelatih (PP) sempat
meminta saya keluar, lantaran saya belum jadi anggota SUBUD, Mas Adji
bersikeras agar saya masuk. Mas Adji bahkan menegur keras para PP tersebut
dengan dalih: “Bila ada yang ingin tahu tentang SUBUD, kita wajib menjelaskan!”
Mas Adji
lantas membacakan satu pupuh dari buku Susila
Budhi Dharma yang ditulis Yang Mulia Bapak dengan bimbingan Latihan
Kejiwaan. Saya tidak mengerti apa yang Mas Adji sampaikan, dan kepala saya
serasa dihantam palu besar serta jantung saya serasa meledak. Kepala saya
serasa diimpit suatu kekuatan gaib yang datang dari sisi kanan dan kiri saya.
Saya tidak mengerti apa itu. Saya hanya duduk bersila di lantai yang beralaskan
karpet, begitu pula hadirin lainnya, yaitu para anggota dan PP SUBUD Cabang
Surabaya. Mas Adji tidak menanyakan apakah saya mengerti atau tidak—belakangan
saya baru mengerti bahwa bagi anggota SUBUD suatu pengertian tidak perlu
diusahakan; pengertian akan datang dengan sendirinya, cepat atau lambat.
Akhirnya, Mas
Adji mempersilakan saya keluar dari hall,
karena selanjutnya adalah sesi yang terbatas untuk anggota dan PP. Sebelum saya
sempat melangkah keluar, Mas Adji memanggil saya ke depan, mendekat ke kursi di
mana Mas Adji duduk. Dia ingin menyalami saya, dan saat bersalaman Mas Adji
berkata kepada saya, “Semoga kita jadi saudara ya, Mas.”
Saya tidak tahu
apa maksud Mas Adji dengan “menjadi saudara”, tapi saya terkesan dengan dia.
Genggaman tangannya pada tangan saya mengalirkan kehangatan cinta kasih dari
seseorang yang pernah saya kenal di masa lampau. Baru kenal dan baru jumpa
malam itu, tapi saya sudah kangen ingin bertemu Mas Adji lagi. Tidak banyak
yang dibicarakannya, tapi energi kejiwaannya begitu besar, luas, dan dalam. Itu
sudah “bercerita banyak”.
Keesokan
harinya, Sabtu, 18 Oktober 2003, saya bertengkar hebat dengan istri saya.
Pertengkaran adalah warna sehari-hari saya sejak saya kecewa pada agama dan
Tuhan yang diajarkannya. Dan hari itu, istri saya, saking suntuknya dengan
kehadiran saya, meninggalkan saya sendirian di rumah kontrakan kami di Jl.
Petemon Barat, Surabaya. Dia pergi ke rumah orang tuanya di kawasan Perak
Barat. Saya disuruhnya mencuci pakaian kotor yang sudah menumpuk dan saya
dilarangnya menyusul ke Perak Barat.
Sepanjang pagi
hingga siang, saya mencuci pakaian kotor kami. Saat azan Dzuhur berkumandang,
entah mengapa saya terdorong untuk salat. Saat itu, saya sudah jarang salat;
saya salat hanya untuk menyenangkan orang lain saja.
Saya pun
menunaikan salat Dzuhur. Saat salam yang kedua kalinya, ketika menoleh ke kiri
saya terjengkang ke belakang seperti didorong oleh suatu kekuatan gaib. Dalam
posisi bersandar ke lemari di belakang saya, saya melihat serangkaian gambar
bergerak seperti film di hadapan saya, yang menampilkan sederet perbuatan-perbuatan
buruk yang pernah saya lakukan. Mulai dari selingkuh, mabuk-mabukan, hingga
menjahati orang lain. Saya menangis dan minta ampun.
Muncul
perasaan seakan nyawa saya akan dicabut. Saya ketakutan! Segera saya mengirim
SMS ke Mas Heru. Dia lalu menelepon saya. Dia menyuruh saya berbaring dan tidak
melawan apa pun yang datang ke saya. Saya katakan padanya bahwa saya takut
mati, saya belum mau mati, karena saya belum siap. “Kamu tidak akan mati, To.
Belum saatnya. Tugasmu belum selesai. Ikhlaskan saja,” kata Mas Heru di
seberang sambungan.
Saya pun
berbaring di ranjang dan mengikhlaskan diri. Saya merasakan gelombang seperti
magnet meliputi diri saya. Saya merasa seperti terbang, terangkat dari
permukaan kasur. Damai sekali rasanya. Kemudian saya tertidur. Saya terbangun
karena mendengar ponsel saya berbunyi. Mas Heru yang menelepon. Dia berkata, “To,
aku sudah konsultasi dengan Dewan PP. Kamu diminta datang ke Wisma SUBUD Senin
besok untuk ngandidat.”
Senin, 20
Oktober 2003, jam delapan malam, saya tiba di Wisma SUBUD Surabaya. Saya sempat
ragu saat dalam perjalanan ke situ maupun ketika sampai di pelataran parkir sepeda
motor Wisma SUBUD Surabaya. Saya teringat pada almarhum Ibu saya yang sebagai
orang Aceh syari’atnya kuat, dan saya membatin, “Akankah Mama setuju kalau saya
ikut SUBUD? Apakah ini tidak bertentangan dengan agama?”
Di pelataran
parkir sepeda motor saya ditemui Mas Heru yang lantas memperkenalkan saya ke
salah satu PP, Cak Nur panggilannya. Cak Nur adalah seorang sarjana agama
lulusan Universitas Darul Ulum Jombang dan guru ngaji yang hafal isi Al Qur’an
serta korelasi ayat-ayatnya dengan berbagai persoalan kehidupan. Kegelisahan
dan keraguan saya dijawab segera: “Oh, ternyata SUBUD tidak bertentangan dengan
agama. Terbukti ada seorang ustaz yang jadi PP SUBUD.”
Sesuai tradisi
di Cabang Surabaya, masa orientasi sebagai calon anggota atau populer disebut “ngandidat” (menjadi kandidat) saya
jalani sebanyak 30 kali—dua kali dalam seminggu, malam Selasa dan malam Jumat,
selama tiga bulan.
|
Sisi timur Wisma SUBUD Surabaya saat direnovasi pada tahun 2016. Saya dibuka di ruangan di bawah atap bangunan ini, yang disebut "hall Latihan". |
Seminggu
sebelum dibuka, tepatnya pada hari Jumat, 5 Maret 2004, saya mengalami suatu
kejadian yang sulit dijelaskan. Waktu itu, saya pergi ke masjid dekat kantornya
Mas Heru—di mana saya menjadi freelance
copywriter—bersama Atok, adik kandungnya Mas Heru, untuk salat Jumat. Kami
salat di sebuah masjid Nahdlatul ‘Ulama (NU) di kawasan Menur Pumpungan,
Surabaya, bernama Masjid Al-Amin, tepatnya di Gang Masjid. Masjid NU terkenal
karena dua kali azannya pada saat salat Jumat. Nah, pada azan pertama, saya yang
duduk di saf ketiga tiba-tiba
menangis terisak-isak, dengan perasaan rindu luar biasa kepada Tuhan dan
keinginan yang kuat untuk segera pulang ke pangkuanNya. Pada azan kedua,
lagi-lagi saya menangis terisak-isak, berurai air mata. Saya sampai berucap lirih
dan pelan, “Ya Allah, aku ingin pulang kepadaMu!”
Usai salat,
Atok, yang berada di saf terdepan,
bercerita ke saya, “Mas Anto, tadi saya dengar di belakang saya ada yang
menangis pas azan pertama dan kedua. Siapa tuh
ya?!”
“Itu aku, Tok,”
kata saya, sambil berjalan kaki bersebelahan kembali ke kantor. “Aku ngerasa kangen dan pengen pulang.”
“Pulang ke
Jakarta?” tanya Atok dengan polos.
“Pulang ke rahmatullah,” jawab saya.
Atok tersenyum
lebar. Sebagai seorang pembantu pelatih seperti kakaknya, Atok merasakan bahwa
saya saat itu sudah sangat siap untuk dibuka, menerima Latihan Kejiwaan SUBUD
untuk pertama kalinya.
Saya dibuka
pada Kamis malam, 11 Maret 2004, di Hall
Latihan Surabaya, tempat saya mendapat penjelasan dari Mas Adji lebih dari
empat bulan sebelumnya. Didampingi empat pembantu pelatih, yaitu Pak RB Soejanto
Luwihardjo, Pak Soenardi Soemosasmito, Pak Seno Prasodjo, Cak Nur, dan Mas
Heru. Ketika dibuka, saya diminta mengucapkan janji: “Saya, Anto Dwiastoro,
berjanji untuk rajin melakukan Latihan Kejiwaan Susila Budhi Dharma.” Segera
setelah itu, saya memejamkan mata dan sekujur tubuh saya lantas bergetar,
sensasinya seperti sengatan listrik, lalu merasakan ada tarikan yang sangat
kuat dari belakang saya, yang menyebabkan saya terjerembab dan
berguling-guling. Setiap kali berusaha berdiri saya dibanting kembali ke lantai
yang beralaskan karpet tipis dan kasar, yang menimbulkan lecet di siku kanan
saya. Saya terlempar dan jatuh kembali, berulang kali. Saya sadar tapi tidak berdaya
untuk melawan maupun menghentikan kekuatan dahsyat itu. Pengalaman seperti ini
belum pernah saya lalui sebelumnya.
“Apa itu,
Mas?!” tanya saya setelah saya terjerembab dalam posisi menelungkup, membuka
mata dan melihat Mas Heru duduk di dekat saya. Napas saya terengah-engah, namun
tidak merasakan sakit, meskipun sudah dibanting dan dilempar ke sana ke mari.
Itulah yang
terjadi, pada 11 Maret 15 tahun yang lalu. Saya pun resmi menjadi anggota
SUBUD, yang satu-satunya kewajibannya adalah Latihan Kejiwaan. Selama 15 tahun,
saya berlatih kejiwaan dan menjalani hidup sejalan dengan bimbingan kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa yang saya terima melalui Latihan Kejiwaan. Saya tidak tahu
sampai kapan, hanya Tuhan yang Maha Tahu.@2019
Jl.
Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 11 Maret 2019