-->
SEORANG guru
penulisan skenario yang saya kenal pertama kali tahun 2009 memperkenalkan ke
saya suatu metode yang memudahkan dalam menulis skenario (screenwriting) atau skrip (scriptwriting)
untuk film atau video. Metode itu dinamakan “mind-mapping” (pemetaan pikiran). Pemetaan pikiran adalah suatu
metode untuk memaksimalkan potensi pikiran manusia dengan menggunakan otak
kanan dan otak kirinya, yang dikembangkan Tony Buzan pada tahun 1974.
Dengan pemetaan
pikiran, penulis skenario dapat mendata alur (flow) dari plot-plot yang ingin ia rangkai dalam suatu film atau
video. Plot mengacu pada sekuens kejadian dalam suatu cerita yang mempengaruhi
kejadian-kejadian lain melalui prinsip sebab dan akibat. Dengan bantuan peta
pikiran, yang mencatat semua gagasan cerita yang ingin saya tuangkan, alur
ceritanya tidak akan loncat ke sana ke mari. Saran dari si guru penulisan
skenario tersebut adalah agar saya membuat mind
map saya sendiri secara kasatmata dengan peranti lunak yang bisa saya install di komputer saya.
|
Saat saya mengenal
si guru ini, saya memang sengaja menemuinya di kantornya di Jl. Zainul Arifin,
Jakarta Pusat, bukan karena saya ingin belajar penulisan skenario, melainkan
karena sebagai pengarah kreatif (creative
director) saya dibutuhkan oleh mitra bisnisnya yang seorang musisi jazz
eksentrik, yang ingin berkonsultasi dalam kaitan penjenamaan pribadi (personal branding). Untuk urusan
penulisan skenario atau skrip, saya telah mempelajarinya sekian lama melalui
pekerjaan saya sebagai penulis naskah iklan (copywriter) yang tidak jarang menerima order pekerjaan pembuatan
naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat untuk media audio-visual.
Bagaimanapun, saran dari si guru penulisan skenario itu berharga dan memberi
wawasan baru bagi saya.
Tetapi, nyatanya,
saya tidak pernah menggunakan metode pemetaan pemikiran setiap kali saya ketiban order penulisan skrip untuk film
maupun profil video, baik sebelum maupun sesudah saya mengenal si guru
penulisan skenario. Hal ini terutama sejak saya sudah menerima Latihan
Kejiwaan, di mana penggunaan pikiran yang berlebihan akan terasa sangat
mengganggu saya. Seperti “keajaiban” yang baru-baru ini saya alami.
Pada tanggal 23
Januari 2019 lalu, saya bersama seorang sutradara dan seorang produser pergi
menghadiri suatu sesi pembadaian otak (brainstorming)
dengan seorang coach bisnis di
kantornya di lantai 11 Menara Citicon di bilangan Slipi, Jakarta Barat. Sang coach adalah pendiri dan pemilik firma
konsultasi bisnis yang telah membantu banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM) meraup keuntungan yang besar dengan laju pertumbuhan usaha yang
signifikan. Ia ingin membuat film-film pendek yang menampilkan perjalanan usaha
dari para kliennya, yaitu pelaku-pelaku UMKM tersebut.
Ada tiga film yang
ingin dibuat oleh sang coach,
masing-masing mewakili tiga golongan bisnis yang paling sering ia dan timnya
bantu kembangkan, yaitu bisnis keluarga, bisnis yang dijalankan oleh
suami-istri, dan bisnis yang dirintis melalui pertemanan. Sang coach bertanya kepada kami—saya selaku scriptwriter, dan rekan-rekan saya
masing-masing sebagai sutradara dan produser—apakah mungkin jika ketiga
golongan bisnis tersebut disatukan dalam satu film, alih-alih membuat tiga film
yang berbeda, dengan konsekuensi anggarannya pun akan membengkak. Suara di
dalam diri saya menjawab “Bisa!” tetapi saya tak dapat menyuarakannya, seakan
tercekat di kerongkongan saya, entah mengapa. Tetapi, sutradara menjawab “Tidak
bisa!”, dengan pertimbangan bahwa jalinannya plotnya akan rumit dan, efeknya,
akan sulit dicerna oleh pemirsa. Produser mendukung alasan si sutradara.
Saya me-niteni diri saya saat sesi pembadaian
otak dengan pemilik perusahaan dan jenama (brand)
yang berlangsung dari pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB di ruang rapat kantor
dari firma business coaching and
mentoring itu. Biasanya, saya mencatat semua hal penting yang disampaikan
klien di ponsel cerdas saya atau buku catatan, atau merekamnya dengan alat
perekam. Namun, di momen sesi brainstorming
tertanggal 23 Januari 2019 itu, saya tidak mencatat maupun merekam. Saya
hanya memotret dengan kamera ponsel saya dinding kaca ruang rapat yang digoresi tulisan sang coach—dan tulisannya tidak banyak, tidak
memadai untuk menjadi taklimat yang bisa saya andalkan. Lihat sendiri fotonya
di bawah ini.
Bagaimanapun,
semua pembicaraan selama berlangsungnya sesi pembadaian otak tersebut bagaikan
“terserap” ke diri saya. Saya tidak berusaha memahami atau mengingat setiap
bagian yang diutarakan baik oleh coach
maupun oleh sutradara dan produser. Terjadi suatu proses menakjubkan—yang tidak
bisa saya jelaskan karena kata-kata terlalu dangkal untuk dapat menjabarkannya
secara sempurna—yang merangkum keseluruhan pembicaraan sore itu menjadi satu
paket pengertian yang ringkas, padat, dan jelas, yang kelak melahirkan sang
Gagasan Besar (big idea) cerita yang
akan saya paparkan dalam skrip.
Usai brainstorming, tepat pada pukul 17.00
WIB, saya bersama kedua rekan saya mohon diri. Sebelum pulang, kami masih
membahas proyek tersebut di sudut belakang gedung Menara Citicon yang
diperuntukkan bagi mereka yang ingin merokok. Sambil menikmati beberapa batang
rokok (kecuali sang produser yang mengisap rokok elektrik), kami membahas
langkah-langkah menangani proyek tersebut. Sang produser baru bisa menghitung
anggarannya bila sudah ada skrip atau storyline
dari pihak saya; artinya, saya harus bekerja ekstra cepat, karena pertemuan
berikutnya dengan sang coach untuk
membahas ide dan alur cerita telah dijadwalkan pada tanggal 30 Januari 2019.
Bagi saya, sebagai
copywriter dan scriptwriter yang saat ini telah mengantongi pengalaman selama 24
tahun, menulis merupakan pekerjaan yang sangat mudah. Yang sulit itu adalah
proses menemukan idenya. Sebuah tulisan tanpa ide adalah seperti tubuh tak
bernyawa. Nah, sejak aktif melakukan Latihan Kejiwaan, kesulitan menemukan ide
relatif berkurang, bahkan menjadi sangat mudah, dikarenakan ide datangnya dari
ketiadaan (seorang creative director terkenal
asal Australia menyebut, “Ide datang dari langit”). Berpikir keras tidak akan
mendekatkan saya atau membantu saya membuka pintu menuju ruang persembunyian
ide.
Sejak aktif
melakukan Latihan Kejiwaan, saya dimampukan untuk melakukan proses “berpikir
tanpa berpikir”. Seorang desainer grafis muda yang pernah bekerja sama dengan saya
pada tahun 2006 menjabarkan kesaksiannya atas proses kreatif saya: “Mas Anto
hanya memejamkan mata, tersenyum sendiri, lalu Mas bilang sudah dapat idenya.
Tanpa berpikir sama sekali!” (Ia membandingkan dengan dirinya yang perlu nongkrong berjam-jam di kafe, menenggak
bir atau minum kopi dan mengisap rokok untuk dapat menggapai gagasan yang
cemerlang. Menyaksikan bagaimana saya dengan mudahnya memperoleh ide akhirnya
mendorong desainer grafis muda itu masuk SUBUD.)
Keesokan harinya,
saya nyalakan komputer portabel (sebutan para penggemar jenama Apple untuk “laptop” MacBook) saya dan
saya buka Microsoft Word. Seperti penulis pada umumnya, saya sempat mengalami
sindrom kertas putih (white paper
syndrome) atau sindrom halaman kosong (blank
page syndrome), yaitu momen ketika kita membuka dokumen kosong dan lupa apa
yang akan kita tulis atau tidak bisa mulai menulis karena tidak ada kata-kata
di halaman yang baru kita buka. Untuk mengatasi sindrom tersebut, saya pun
menyingkir dari depan komputer portabel di meja kerja saya dan pergi keluar
rumah, di mana saya duduk bertemankan sebatang rokok, dan menenangkan pikiran. Secara
ajaib, muncul peta pikiran tankasat mata atau virtual (virtual mind map) di hadapan saya, yang dengan “ramah” menjelaskan
kepada saya setiap detail ide cerita yang harus saya tuliskan dalam storyline.
Pengalaman dengan
“virtual mind mapping” bukan sekali
itu saya alami. Sejak menerima Latihan Kejiwaan, peta pikiran gaib itu hampir
selalu hadir ketika saya dihadapkan pada pekerjaan penulisan naskah. Saya
seperti membaca suatu peta pikiran yang lengkap dan detail. Kadang berupa “film
jadi” yang saya tonton dari awal hingga akhir, yang menginspirasi saya. Dan
selalu ada unsur kebaruan dalam ide cerita yang disajikan Langit kepada saya,
sehingga ide itu benar-benar kreatif, mampu mengundang ketakjuban dari klien.
Yang membuat saya
takjub terhadap ide cerita yang disuguhi oleh virtual mind mapping itu adalah bahwa ia merangkum ketiga golongan
bisnis itu secara logis dalam satu film, dengan kemungkinan untuk dikembangkan
menjadi tiga film yang terpisah, sebagai sekuel atau prekuel. Logikanya
terletak pada kisah tentang bisnis keluarga yang dijalankan oleh suami-istri
dan dua anak mereka. Plotnya berkembang karena masing-masing anak ternyata memiliki
niat berbisnis bukan bersama orang tuanya, melainkan satu anak ingin membangun
bisnis bersama teman-temannya, dan anak lainnya memiliki masalah
kepemimpinan—yang pelatihannya juga disediakan oleh si coach. Jelang akhir cerita, konflik orang tua dan anak membuat
bisnis keluarga itu terseret ke ambang kehancuran, sekaligus mengancam keutuhan
rumah tangga suami-istri itu, karena sang suami lebih banyak menghabiskan waktu
untuk pekerjaan sampai melupakan istri dan anak-anaknya. Meskipun akhirnya
bisnisnya berkembang, sang suami dihadapkan pada kesepian akibat hubungannya
yang retak dengan istri dan anak-anaknya.
Sang istri dan
anak-anak mereka juga mengembangkan kisah sendiri-sendiri, dengan si istri
harus berusaha menjaga keutuhan rumah tangga sekaligus bisnis yang ia jalankan
bersama suami, sementara anak-anaknya menghadapi problem di bisnisnya
masing-masing. Menjelang akhir film, keluarga itu berkumpul kembali di kantor
firma konsultasi bisnis milik si coach,
lantaran tanpa saling tahu, masing-masing anggota keluarga tertuntun langkahnya
untuk menemukan solusi di firma konsultasi bisnis itu.
Ajaib benar sumber
gaib di balik penyusunan virtual mind
mapping itu! Idenya benar-benar perfect.
Masalahnya hanya pada eksekusi; belum tentu sutradara dan awak produksi film
mampu menerjemahkan ide tersebut ke dalam visualisasi cerita yang sama
memukaunya dengan versi gaib yang saya tonton. Bagaimanapun, kekecewaan saya
atas eksekusi sebuah ide yang tidak sepadan dengan nilai idenya seringkali terobati
dengan pengalaman virtual mind mapping
yang terus saja mengemuka dalam pekerjaan saya menulis naskah audi-visual. Tak
jarang peta pikiran gaib itu memberi saya solusi atas masalah-masalah yang
sedang saya hadapi sehari-hari.©2019
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 25
Januari 2019
No comments:
Post a Comment