PADA 29 Desember 2018 lalu, saat
bersama keluarga jalan-jalan ke Aeon Mall BSD City, Tangerang Selatan, saya
mampir di toko buku Gramedia. Saya tidak selalu ada maksud khusus membeli buku
bila saya ke toko buku. Seringnya karena kegiatan melacak buku yang menarik
merupakan rekreasi tersendiri bagi saya. Serunya mirip perburuan harta karun
rampasan bajak laut yang tersembunyi di tempat rahasia di pulau terpencil.
Di Gramedia saya berkeliling di antara
rak-rak buku, dengan kedua mata saya melarik sekian banyak buku yang berdesain cover dan berjudul menarik, sampai saya
pusing. Ini seperti menghadapi begitu banyak masalah dalam kehidupan
sehari-hari saya yang pencarian solusinya membuat kepala saya sakit. Biasanya,
kalau sudah begini, saya teringat kata-kata orang bijak, agar berhenti sejenak,
duduk tenang tanpa memikirkan apa pun. “Hanya ketika kita hening, kita dapat
mendengar suara Tuhan,” kata orang bijak.
Tapi karena begitu banyak hal menarik
di toko buku—berbeda dengan kenyataan sehari-hari yang tidak selalu menarik—saya
mengabaikan bisikan di benak saya agar berhenti sejenak untuk dapat memutuskan
membeli atau tidak membeli buku, jika ada. Ada satu buku yang menarik perhatian
saya, yang dengan membaca sinopsisnya di bagian belakangnya saja saya tahu bahwa
itu buku bagus. Namun, deretan buku di sebelah kanan-kiri, dan atas-bawah buku
tersebut, serta di rak-rak lainnya, menggoda iman saya dan saya terseret makin
jauh dari buku sasaran ketertarikan saya.
“Berhenti sejenak, dan pertimbangkan
dengan baik,” kata suara lembut di dalam diri saya. Saya tidak bisa berhenti,
dan terus saja berjalan dari rak ke rak, melarik semakin banyak buku yang
menawarkan desain kulit dan judul yang menggoda. Kalimat bijak “Jangan menilai
isi buku dari kulitnya” seakan tidak berarti bagi saya. Dan terjadilah sesuatu
yang memaksa saya harus berhenti sejenak.
Sebelum ke Gramedia, saya dan keluarga
menikmati kebersamaan dengan memanjakan selera makan kami di Food Carnival,
arena kulinernya Aeon Mall BSD City. Saya makan cukup banyak hingga kekenyangan.
Acara jalan-jalan yang saya lanjutkan kemudian, membuat makanan yang telah saya
santap terproses dalam pencernaan saya, sehingga ketika berada di Gramedia,
perut saya tiba-tiba bergejolak. Sejenak saya terkenang pada obrolan santai saya
dengan beberapa teman kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Sosial, IKIP Negeri Jakarta, tempat saya melanjutkan studi selepas
SMA dari tahun 1986 ke 1987, tentang besarnya pengaruh kebelet buang air besar atas jalannya peristiwa sejarah. Ujar salah
satu teman saya, "Napoleon aja, gue yakin, rela brentiin Pertempuran Waterloo kalau mendadak kebelet.”
Saya persis Napoleon ketika tiba-tiba
diserang rasa kebelet buang air besar di tengah serunya pelacakan buku bagus di
Gramedia. Saya pun buru-buru meninggalkan toko buku tersebut, disambut salam
ramah dari petugas sekuriti di jalan keluar toko buku, “Terima kasih sudah
berbelanja di Gramedia.” Sempat terpikir oleh saya betapa memalukannya bila
nanti saya balik ke Gramedia dan bertemu petugas sekuriti yang sama. Pasti dia
mengherankan saya yang bolak-balik toko buku dalam waktu yang cukup singkat.
Tapi saya tepis pemikiran itu; menemukan toilet terdekat lebih penting saat
itu.
Dalam konteks terpaksa, saya berhenti
sejenak—di toilet—untuk membuang isi perut saya, namun saat itu juga pikiran
saya hening. Dalam keheningan pikiran, terdengar suara Tuhan yang memastikan
pilihan saya pada satu buku itu. Semua ketertarikan lainnya menyingkir,
menyisakan ruang lapang untuk satu pilihan itu. Ya, saya yakin dengan pilihan
itu. Makanya, setelah dari toilet saya melangkah pasti balik ke Gramedia.
Laksana mengenakan kacamata kuda, perhatian saya hanya fokus pada buku
tersebut. Setelah membayar buku tersebut di kasir, saya kemudian melenggang
pergi dengan perasaan yang ringan dan gembira.@2019
Jl. Kalibata Selatan
II, Jakarta Selatan, 2 Januari 2019
No comments:
Post a Comment