SAYA jarang membicarakan bimbingan Tuhan yang saya rasakan dalam
Latihan Kejiwaan, kecuali dengan saudara-saudara SUBUD. Itu pun tidak semua;
artinya, ada yang tidak mudah saya sampaikan, karena kata-kata tidak dapat
membawa si pendengar atau pembaca kepada pengertian. Bagaimanapun, dalam
Latihan, saya selalu menerima bimbinganNya. Bagaimana kalau di luar momen
Latihan?
Saya sudah menginsafi bimbingan Tuhan ada di mana-mana, baik di
dalam maupun di luar ruangan saya melakukan Latihan bersama-sama atau
sendirian, sejak saya dibuka—menerima Latihan Kejiwaan pertama kalinya bagi
kandidat anggota SUBUD—pada 11 Maret 2004. Kejadiannya begitu seringnya, sampai
saya ragu kalau itu semua “kebetulan”. Dan kebetulan, saya tidak pernah percaya
“kebetulan”; saya yakin, ada sesuatu yang lebih besar daripada eksistensi
manusia yang mengatur bagaimana kita berpikir dan merasakan, berkata-kata dan
berbuat.
Di luar ruangan tempat saya berlatih kejiwaan—biasanya di Hall
Latihan SUBUD bersama saudara-saudara sejiwa atau di ruangan di rumah atau
kantor saya—dan di luar kesadaran saya akan Latihan, saya kerap mendapatkan
pengalaman-pengalaman yang membuat saya nyaris tak percaya bahwa mereka dapat
terjadi. Tetapi, itulah kenyataan. SUBUD adalah kenyataan; SUBUD bukan ajaran
maupun pelajaran, bukan teori yang bisa diurai panjang-lebar dengan kepandaian
akal pikir kita atau kata-kata. Tidak ada ajaran di SUBUD; dari pendirinya,
Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, pun tidak kita terima ajaran. Yang beliau
sampaikan adalah kisah-kisah pengalaman beliau dengan Latihan Kejiwaan maupun
bimbingan Tuhan yang menyertainya. Anda tidak diharapkan percaya, sampai Anda
mengalaminya sendiri. Anda tidak dipaksa untuk percaya; tidak seperti ajaran
agama, di mana bila Anda tidak mempercayainya Anda terancam masuk neraka atau
tidak selamat di dunia.
Di SUBUD, kita boleh percaya maupun tidak percaya apa pun yang
disampaikan orang lain, walaupun dia saudara sejiwa, walaupun asalnya dari
ceramah Bapak Subuh atau ceramah Ibu Rahayu (putri Bapak yang pada 1990an
didaulat menjadi “saudara tua” kepada siapa para anggota SUBUD berkonsultasi
sebagaimana dahulu para anggota melakukannya terhadap sosok Bapak), walaupun
dari mulut pembantu pelatih (helper).
Seorang pembantu pelatih asal Amerika yang telah lama menetap di Indonesia
mengatakan kepada saya, “Tidak ada larangan dan kewajiban yang harus kamu
patuhi di SUBUD. Bapak mengatakan, anggota hanya dilarang stres dan wajib
tertawa.”
Sejak dibuka di SUBUD, 14 setengah tahun yang lalu,
pengalaman-pengalaman saya dengan bimbingan Tuhan sudah tak terhitung. Bila dituliskan
akan menghasilkan berjilid-jilid buku, dengan satu buku mungkin mencapai tebal
1.000 halaman. Pengalaman pribadi saya tidak selalu saya ceritakan baik secara
lisan maupun tertulis. Sebagian dari pengalaman-pengalaman itu pernah saya
tuangkan di blog ini. Saya tidak peduli apakah pembaca percaya atau tidak. Tetapi
saya percaya, pengalaman-pengalaman ini merupakan cara Tuhan
mengajarkan saya, sebagai pedoman saya dalam menjalani hidup.
Bimbingan itu bekerja ketika saya bergerak maupun diam, dalam “bentuk”
tuntunan bagi saya dalam melakukan pekerjaan, berinteraksi dengan orang lain
atau kejadian, berinteraksi dengan alam, dengan diri saya sendiri (senandika
alias “berbicara dengan diri sendiri”). Bimbingan itu mulai bekerja ketika
pikiran saya berhenti berkoar-koar atau telah kosong dari pemikiran-pemikiran,
gagasan-gagasan, angan-angan. Sebagai pribadi yang selalu tertinggal dalam
pelajaran di sekolah maupun bangku kuliah, dengan nilai rapor yang banyak
merahnya, sungguh ajaib bagaimana bimbingan itu menjadikan saya pribadi yang
memiliki intelejensia tinggi, mampu memikirkan hal-hal rumit atau melakukan
hal-hal yang tidak dapat saya bayangkan sebelumnya.
Bimbingan ini membuat saya menjadi pribadi yang terpimpin oleh
diri sendiri (self-leading).
Tiba-tiba saja saya bisa mengerti hal-hal yang tadinya tidak saya pahami,
tiba-tiba saja saya dapat melakukan hal-hal biasa dengan cara-cara yang tidak
biasa. Pendek kata, setelah aktif berlatih kejiwaan, semua kebisaan-kebisaan
dan kebiasaan-kebiasaan lama saya hilang, berganti menjadi kebisaan-kebisaan
baru dan senantiasa terbarukan (renewable),
yang seringkali mencengangkan. Bimbingan ini, yang saya yakini berasal dari
yang Ilahi (divine), dapat membuat
saya menjadi seorang profesor ketika saya berhadapan dengan profesor, berlaku
seperti pejabat ketika berhadapan dengan pejabat, bersikap seperti teman main
yang mengerti kebutuhan anak saya, menjadi ayah dan suami yang menyayangi
keluarga, menjadi konsultan branding yang
membuat klien-klien saya takjub akan segala sesuatu yang saya ketahui dan saya
berikan kepada mereka.
Di mana saja saya berada, kapan saja, dan apa pun yang sedang saya
lakukan, bimbingan itu bagaikan “kembar siam” yang terus-menerus bersama saya. Hal
itu membuktikan, Tuhan ada di mana-mana, lebih dekat dari yang saya kira.
Karena bimbinganNya ada di mana-manalah, makanya saya tidak peduli meski eksistensi
Tuhan tak kasat mata.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan,
26 September 2018
No comments:
Post a Comment