Hall Latihan Kejiwaan di kompleks Wisma SUBUD Cilandak, Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan. |
“LATIHAN Kejiwaan itu kayak gimana,
sih? Apakah kayak meditasi? Semedi? Kebatinan?”
Pertanyaan seperti di atas seringkali saya terima dari teman-teman
dan famili saya ketika mereka tahu saya aktif di Perkumpulan Persaudaraan
Kejiwaan Susila Budhi Dharma (SUBUD) dan bahwa hal utama yang rutin saya
lakukan di SUBUD adalah Latihan Kejiwaan. Menjelaskan apa itu Latihan Kejiwaan
itu sama sulitnya seperti menjelaskan ke orang yang belum pernah makan,
misalnya, soto ayam Lamongan tentang rasa soto ayam Lamongan. Kata-kata dalam
bahasa apa pun yang Anda gunakan untuk menjelaskannya takkan mampu membawa
seseorang untuk mengerti bagaimana Latihan Kejiwaan itu.
“Latihan itu bukan ini, bukan itu, melainkan yang kamu terima,”
kata saudara tua saya, Pak Djoko Mulyono Hardjopramono (meninggal tahun 2010),
suatu ketika bertahun-tahun yang lalu kepada teman-teman sekantor saya yang
berminat masuk SUBUD.
Betul, dalam Latihan yang akan Anda rasakan atau terima hanya Anda
sendiri yang tahu. Makanya, di SUBUD tidak ada ajaran maupun pelajaran, tidak
ada guru, dan tidak ada teori yang dapat disampaikan. Semua teori gugur begitu
penerimaan (receiving) dalam Latihan
menjadi kenyataan. Dasar dari pemahaman kita di SUBUD, karena itu, adalah
kenyataan-kenyataan yang kita terima dalam praktik kehidupan yang terbimbing
oleh Latihan Kejiwaan atau “bimbingan Tuhan”. Di SUBUD tidak diperlukan adanya
guru, karena setiap orang berbeda dari yang lainnya, baik lahirnya maupun “isi”nya.
Yang cocok bagi orang lain, belum tentu pas bagi Anda.
Latihan juga bersifat berkesinambungan, baik Anda menyadarinya
atau tidak. Sejak Anda dibuka—momen di mana seorang kandidat anggota SUBUD menerima
Latihan Kejiwaan untuk pertama kalinya, dengan atau tanpa didampingi pembantu
pelatih, Latihan itu terus ada bersama Anda. Dan Anda tidak bisa ditutup lagi
setelah Anda menerima pembukaan di SUBUD. Banyak anggota SUBUD yang menghilang,
pergi dan tak pernah kembali lagi sejak dibuka ataupun setelah beberapa saat
melakukan Latihan di lingkungan Wisma SUBUD. Latihan ini tidak bisa
diatur-atur, diniatkan, diminta, dinanti-nanti, sehingga acap membuat pelatih (pelaku
Latihan) merasa bosan, jenuh, kesal, kecewa, marah, sehingga akhirnya hengkang
dari SUBUD. Bagaimanapun, hengkangnya seseorang dari SUBUD dan berhenti
melakukan Latihan tidak lantas membuatnya tertutup kembali. Latihan itu,
nyatanya, terus hidup di dalam dirinya. Cepat atau lambat, atau mungkin juga
tidak, yang pergi akan kembali berlatih.
Bagi saya, Latihan Kejiwaan merupakan proses pembelajaran
berkelanjutan (continuous learning
process); Latihan ini akan terus berlangsung bahkan ketika saya sudah tidak
di dunia ini. Latihan Kejiwaan adalah sarana bagi saya untuk melatih jiwa saya
yang sudah sekian lama—sejak saya dilahirkan di dunia dan akal pikiran saya
mulai dikenalkan pada ajaran-ajaran dunia—tidur. Jiwa saya ketika dibangunkan
dari tidur itu seperti orang yang kebingungan melihat berbagai kenyataan di
dunia yang tidak sejalan dengan yang pernah dikenalnya ketika ia menjadi satu-satunya
yang membimbing saya, yaitu ketika saya masih bayi. Sejak saya menerima Latihan
ini, perlahan-lahan, berangsur-angsur, saya mulai kembali bergantung pada
tuntunan jiwa saya. Memang sulit, karena akal pikiran saya selalu saja menyela.
Saking sulitnya, makanya saya harus rajin berlatih kejiwaan, rajin niteni (menganalisis diri) kapan jiwa
saya yang berperan dan kapan nafsu menunggangi akal pikiran saya. Karena
itulah, disebut Latihan; ia harus dilakoni terus-menerus dengan momen “bertanding”nya
adalah ketika saya menjalani hidup saya.
Seperti apakah Latihan Kejiwaan itu? Tentu setiap orang berbeda
pengertiannya, tergantung dari pengalaman yang ia lalui dalam suatu saat
Latihan. Yang sama adalah bahwa setiap anggota SUBUD biasanya menenangkan diri
terlebih dahulu di pinggir ruangan Latihan (anggota SUBUD menyebutnya “hall”, dari bahasa Inggris yang berarti “ruangan
yang relatif besar dan lapang yang tertutup oleh dinding dan atap”). Tujuan
dari penenangan diri ini adalah untuk mengikis sisa-sisa pemikiran yang
tertinggal di benak kita. Dalam bahasa SUBUD disebut “kekotoran” atau “sampah
dunia”, hingga “cangkir pengetahuan” kita sama sekali kosong, dan siap untuk
dituangi bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa. Saat menenangkan diri itu kita akan
merasakan vibrasi atau getaran seperti kesemutan atau tersengat listrik berdaya
kuat sampai lemah. Setiap anggota melakukan penenangan diri dengan durasi yang
berbeda-beda; ada yang cepat, ada pula yang membutuhkan waktu yang cukup lama;
tergantung dari seberapa banyak kekotoran yang menumpat di cangkir pengetahuan
kita.
Ada yang menyebut Latihan Kejiwaan itu adalah latihan berserah
diri. Bisa jadi begitu, tetapi yang saya alami adalah ketika saya sudah
berserah dirilah Latihan itu mulai mengisi dan meliputi diri saya. Seorang
anggota SUBUD dari Perth, Australia, pernah bertanya di grup Facebook “Subud Around the World”, apa yang
seharusnya ia serahkan (surrender)
dalam Latihan. Saya menjawabnya, bahwa akal pikirannyalah yang harus ia
serahkan agar tenang.
Saat menenangkan diri, seorang anggota akan terdorong secara spontan
untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu, yang tidak teratur dan tidak berarti
apa pun maupun teratur seperti orang sedang menari atau melakukan jurus-jurus
ilmu bela diri. Ia juga akan spontan bersuara, entah itu nyanyian, luapan
kemarahan, tawa, menangis, atau kata-kata tak bermakna seperti bayi yang sedang
belajar bicara. Anda dapat terdorong untuk berjalan, berlari, melompat, atau
bahkan diam saja laksana patung. Semuanya dengan keadaan mata tertutup;
bagaimanapun saya mengenal beberapa anggota SUBUD yang melakukan Latihan dengan
kedua mata terbuka, yang merupakan suatu gerak spontan pula, bukan diniatkan
agar terbuka matanya.
Latihan ini, sebagaimana dianjurkan oleh Bapak Subuh, pendiri
Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (SUBUD) dan orang pertama
di dunia yang menerima Latihan ini, sebaiknya dilakukan selama setengah jam
dalam satu kali jadwal Latihan rutin Anda. Para anggota baru biasanya
didampingi seorang atau lebih pembantu pelatih, karena mereka rata-rata belum
bisa menghentikan sendiri Latihannya. Saya, meskipun sudah cukup lama berlatih,
kadang masih keterusan Latihannya, melebihi setengah jam. Bila sudah kelamaan,
saya hanya perlu memohon kepada Tuhan agar Latihan saya dihentikan. Walaupun
begitu, tidak berarti Latihan saya telah pergi. Latihan itu terus ada
selamanya.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan,
26 September 2018
No comments:
Post a Comment