SAYA
pernah menangani komunikasi korporat dari perusahaan pemilik merek Bir Bintang.
Ada cerita kocak bin aneh yang diceritakan klien saya ketika saya mengunjungi
pabriknya di Tangerang.
Salah satu pabrik Bir Bintang, di Mojokerto, digruduk ulama yang keberatan dengan
adanya pabrik miras di daerah yang terkenal “hijau” (padahal pabrik itu sudah
berdiri di situ jauh sebelum adanya kampung yang penduduknya mayoritas beragama
Islam). Para ulama mengatakan, bir itu haram karena mengandung alkohol. Perlu
diketahui bahwa batasan kadar alkohol dalam bir dari pemerintah tidak boleh
melampaui tujuh persen, sedangkan Bir Bintang hanya empat persen.
Para ulama menolak alasan itu dan bersikeras pabrik tersebut
ditutup. Alhasil, digelarlah peragaan dengan alat pengukur kadar alkohol yang
membandingkan Bir Bintang dan tapai ketan.
“Bapak-Bapak, tau
tapai ketan?!” tanya ahli dari pabrik Bir Bintang. Para ulama dengan
bersemangat menjawab “Tauuu! Itu kan makanan kita tiap Idul Fitri!”
Betapa
terkejutnya para ulama begitu melihat angka 13% pada alat pengukur kadar
alkohol ketika mengukur makanan fermentasi sejuta umat itu, dan bertambah satu
persen tiap satu jam. Sedangkan Bir Bintang stabil di empat persen meski
disimpan berbulan-bulan.
Alih-alih
saya menganggap ulama bego (tidak mungkin bego, karena itulah disebut “ulama” =
“orang yang berilmu”), lebih tepat saya bego-begoin
anak-anak muda yang susah payah memfermentasikan buah-buahan demi bisa minum
alkohol tanpa risiko mati muda, karena kalau mau alkohol tinggal beli tapai
ketan dan simpan sebulan di kulkas yang menghasilkan alkohol hingga 30 persen.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 23 April 2018
No comments:
Post a Comment