Tiga wanita, tiga
generasi: Istri saya (kanan), Nuansa (umur tiga bulan, tengah), dan Bu Tati
Wardhana (kiri).
SUHARTATI nama
utuhnya. Berderet gelar akademisnya, karena beliau gurubesar Ilmu Pakan Ternak
di Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
Lengkapnya: Prof. Dr. Ir. FM Suhartati, SU. Saya hadir dalam upacara pengukuhan
beliau sebagai gurubesar universitas negeri ternama di Kabupaten Banyumas, JawaTengah, itu pada bulan Agustus 2007.
Prof. Suhartati,
atau “Bu Tati”, adalah sesepuh dari PPK SUBUD Cabang Purwokerto. Saya memanggil
beliau “Bunda”, karena sudah seperti orang tua saya sendiri. Bahkan sampai
menimbulkan ironi, bila saya dan istri ke Purwokerto kami lebih sering menginap
di rumah beliau, sementara keluarga besar ayah saya ada di kota itu. Ayah saya
memang berasal dari kota di kaki Gunung Slamet itu.
Ketika pertama
kali berkenalan dengan Bu Tati, pada Oktober 2005, kehalusan budi beliau
mengingatkan saya pada sosok Ibu Kartini (ajaib, karena saya tahu Ibu Kartini juga
hanya dari foto-foto di buku-buku sejarah, tapi saya dapat merasakan kehalusan
budi Ibu Kartini). Betapa terkejutnya saya ketika menginjakkan kaki di rumah Bu
Tati, yang tahun 2005 masih berlokasi di Jl. Merdeka, Purwokerto, saya melihat
tanda Alif berbingkai. Tanda itu mengingatkan saya pada Raden Mas PandjiSosrokartono, kakak laki-laki kandung dari Ibu Kartini, yang terkenal sebagai
spiritualis kondang pada masanya. Semasa hidupnya, RMP Sosrokartono memberikan
rajah Alif kepada siapa saja yang datang kepada beliau untuk berobat. Kabarnya,
gulungan kertas yang telah digores RMP Sosrokartono dengan tanda Alif itu pun terdapat
di dalam lipatan peci yang dikenakan Bung Karno.
Konon, tanda
aksara Alif itu bermakna “awal dari semua yang awal”, yaitu Allah. Semua orang
yang datang berkonsultasi ke RMP Sosrokartono diberi rajah Alif, dengan nasihat
bahwa yang bersangkutan hanya boleh mempercayakan kesembuhan dan pasrah kepada
Allah.
Saya pun
menanyakan keberadaan tanda Alif tersebut di dinding rumah beliau pada Bunda.
Barulah Bunda bercerita bahwa tanda itu diwarisi dari kakek buyut beliau, RadenMas Pandji Sosrokartono. “Lho, berarti Bunda adalah cicit dari Ibu Kartini!”
saya spontan berkomentar saat itu. Bu Tati mengangguk.
Panteeesss, kehalusan budi Ibu Kartini menurun ke beliau.
SELAMAT HARI
KARTINI.
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 21 April 2018
No comments:
Post a Comment