TERKAIT
peringatan satu abad usia Stasiun Manggarai yang saya posting sebelum ini, saya
teringat pada satu pengalaman nyata yang kocak. Terjadinya pada tahun 1988,
semasa saya masih mahasiswa tahun pertama di Universitas Indonesia. Saat itu,
saya mempunyai teman seangkatan dan satu jurusan yang asal Flores, Nusa Tenggara
Timur. Yosef Tor Tulis namanya.
Menyambut libur
panjang menyusul ujian akhir semester tahun 1988, saya bertanya pada si Yosef,
mau liburan ke mana dia. “Aku ya biasalah, di Manggarai,” kata anak muda Flores
yang pernah sekolah di seminari untuk menjadi pastor tapi ditendang keluar
lantaran ketahuan pacaran itu.
“Oh. di Manggarai
aja? Apa nama jalan tempat kamu tinggal
di Manggarai?” tanya saya.
Yosef menyebut
alamat tempatnya—saya sebut saja Jalan Paulus, karena saya lupa nama
sebenarnya, tapi saya ingat namanya berbau Katolik.
Karena masih lugu
dan bego, saya dan teman-teman yang lain mengira Yosef selama musim liburan
berada di Manggarai, Jakarta Selatan. Alhasil, karena kangen Yosef, saya dan
beberapa teman pun mengubek-ubek seantero Kelurahan Manggarai, tapi tidak
menemukan Jalan Paulus.
Ketika liburan
berakhir dan kami kembali bersua di kampus, saya dan teman-teman yang telah
bercapek ria blusukan di Kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan, pun menyerang Yosef
dengan makian dan kutukan: “Bangsat lo,
Sef, ngasih alamat bo’ongan. Kita nyari-nyari se-Manggarai nggak
nemu Jalan Paulus! Tukang tipu lo, bangsaaaattt!"
Dengan tenang dan
polos, Yosef pun menjawab: “Ah kau, Lai
(kontol, bahasa Flores), Manggarai Flores,
bukan Manggarai Jakarta!”
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 1 Mei 2018
No comments:
Post a Comment