Mengenang ibuku, Animah binti Radjab (1933-1996)
“Hati seorang ibu adalah jurang yang dalam yang di dasarnya Anda akan selalu menemukan pengampunan.”
—HonorĂ© de Balzac
Belakangan ini, saya kerap terkenang akan mendiang ibu saya, yang meninggal lebih dari empat belas tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 29 September 1996. Dari sekian banyak kenangan yang saya miliki bersama beliau, ada satu yang sungguh berkesan, yang selalu muncul pertama kali dalam ingatan saya setiap kali kini saya terkenang kembali akan beliau.
Suatu ketika, ketika saya masih duduk di bangku kuliah, sekitar tahun 1992-1993, saya dimarahi ibu saya lantaran hal sepele: Beliau menanyakan saya jam berapa. Saat itu sore, dan Mama, demikian saya memanggil beliau, sedang menekuni kebiasaannya hampir setiap sore, yaitu duduk merajut di teras rumah ditemani segelas teh hangat. Saya yang sedang berada di dalam rumah bergegas ke teras untuk menanyakan apa yang Mama tanyakan ke saya, karena saya tidak terlalu jelas mendengarnya.
Bukannya jawaban yang lembut yang saya terima dari Mama, melainkan omelan. Saya disangka Mama tidak tahu jam. Saya memang ketika masih sekolah dasar tidak mengerti hitungan waktu, yang diajarkan dalam pelajaran berhitung; dengan kata lain, saya buta waktu! Tetapi seiring perkembangan kecerdasan saya, saya pun dapat mengerti. Hanya saja, rupanya Mama tidak mengikuti perkembangan itu, sehingga ketika putra semata wayangnya (saya anak kedua dari empat bersaudara dan satu-satunya laki-laki) tidak mendengar jelas pertanyaan beliau tentang jam, dikira beliau saya tetap belum mengerti hitungan waktu. “Sudah kuliah kok tetap nggak ngerti jam?!” kata Mama, yang di telinga saya terdengar sinis.
Mama tidak mau menerima penjelasan saya, dan bersikukuh bahwa saya ‘memalukan’ lantaran tidak mengerti hitungan waktu. Terdorong oleh emosi lantaran sakit hati diejek sedemikian rupa oleh sosok yang sangat saya cintai dan hormati itu, saya membentak Mama hingga beliau terdiam. Lalu saya bergegas menuju kamar saya dan mengepak pakaian ke dalam tas ransel saya. Saya berniat untuk tidak berada serumah dengan ibu saya yang tentunya memendam amarah terhadap putra semata wayangnya yang telah durhaka ini.
Keesokan harinya, saya berangkat kuliah ke Depok, Jawa Barat, tanpa berpamitan ke Mama terlebih dahulu. Telah menjadi kebiasaan saya dan saudara-saudara kandung saya untuk mencium punggung tangan kanan kedua orang tua kami ketika akan bepergian, tetapi hari itu saya mengingkarinya. Saya bertekad untuk menghindari Mama dengan tinggal di kos saya di Margonda, Depok, sekitar sepuluh meter dari Stasiun Universitas Indonesia, di mana saya menempuh pendidikan sarjana saya.
Saya tinggal di kos itu selama sebulan, dengan uang saku hanya sedikit karena saya malu minta uang pada Mama ketika minggat dari rumah, dan seiring waktu jumlahnya terus menipis. Uang saku yang ada pada saya saat itu adalah honor saya dari menulis artikel di majalah. Dalam rangka berhemat, maka setiap hari selama ‘masa minggat’, untuk sarapan, makan siang dan malam saya hanya menyantap semangkuk mie instan dengan telur dan sawi, yang kala itu masih seharga Rp 700 per porsi. Sebulan penuh, perut saya hanya diisi mie instan!
Di penghujung bulan, saya memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua saya, karena uang saku saya sudah ludes, sementara saya harus membayar uang sewa kamar kos sebesar Rp 25.000 per bulan. Setibanya di rumah, saya menjumpai orang tua dan saudara-saudara kandung saya sedang berkumpul di ruang keluarga, bersantai, dan masing-masing anak menceritakan pengalaman hari itu kepada kedua orang tua saya. Hal semacam itu telah menjadi tradisi di keluarga kami.
Mama tidak mau menegur saya, begitu pula saya tidak mau bertegur sapa dengan beliau. Dengan santainya dan sedikit bangga, saya bercerita ke saudara-saudara kandung saya bahwa selama di kos saya hanya makan mie instan, pagi-siang-malam, sebulan penuh. Saya perhatikan, tiba-tiba Mama beranjak dari kursi di mana ia duduk dan beringsut ke kamar tidur beliau, disusul ayah saya.
Beberapa jenak kemudian, Bapak, panggilan saya untuk ayah saya, keluar dari kamar dan memanggil saya. Beliau menegur saya dengan berbisik, “Mama-mu sedih tuh... Cepat minta maaf sana!”
Dengan agak enggan saya beranjak menuju kamar orang tua saya, di mana saya menjumpai Mama sedang membaca Al Qur’an sambil duduk di atas ranjang. Saya pun bersujud sungkem di hadapan Mama dan memegang tangan kanan beliau seraya mengucapkan permintaan maaf dengan sungguh-sungguh karena saya telah menyakiti hati beliau. Berurai air mata, Mama menarik saya ke dalam pelukan beliau dan mendekap saya erat, penuh kasih. “Lupakan kejadian waktu itu, Anto. Mama nggak marah sama kamu. Mama sayang sama kamu. Dan Mama sedih mendengar kamu makan mie instan sebulan,” kata Mama, terisak. Saya pun ikut menangis.
Sungguh besar kasih sayang Mama kepada saya, walaupun saya telah berdurhaka kepada beliau. Kasihnya spontan, tak mengenal batas, dan tak berpamrih. Seperti kasih yang dicurahkan Tuhan kepada ciptaanNya. Berkat makan mie instan selama sebulan, saya menemukan kenyataan bahwa kasih ibu bersifat alami dan spontan.Ă“
Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 6 Mei 2011