“Ada empat jenis pembunuhan: kejahatan, pemaafan, pembenaran dan pujian.”
—Ambrose Gwinett Bierce
Percaya atau tidak, senjata paling ampuh untuk menundukkan lawan adalah pujian. Saya pernah punya beberapa musuh—bukan karena saya memusuhi mereka, melainkan sebaliknya mereka yang memusuhi saya, lantaran saya kelewat blak-blakan melontarkan sinisme terhadap perilaku mereka. Di milis, mereka menjelek-jelekkan saya, dan terus-terang saya merasa sakit hati.
Sampai suatu saat, seorang saudara Subud saya menasihati, bahwa hal semacam itu sesungguhnya melatih pengertian saya; bahwa hal itu akan banyak membantu dalam meneguhkan kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan saya dalam berserah diri. Tidak mudah memang, tetapi karena itulah saya mesti berlatih terus dengan menerima hantaman kritik-kritik yang tidak jarang bersifat tidak konstruktif.
Bila kita melakukan sesuatu yang unik, orang-orang akan menyerang kita. Motivasi diri tergantung pada ‘ketebalan muka’ kita; daya tahan kita meski dikritik habis-habisan. Tetapi yang sama pentingnya adalah kemampuan untuk membuat pujian tidak menidurkan kita pula. Karena, pujian dan kritikan adalah sekadar bayangan cermin dari masing-masing.
Agar dapat menghadapi kritik dengan tepat, kita juga perlu menghadapi pujian dengan tepat. Jika seseorang memuji Anda secara berlebihan untuk suatu keberhasilan yang tidak terlalu berarti, Anda perlu menginternalisasinya dengan cara yang sama dengan cara Anda menginternalisasi ejekan yang pedas. Orang yang mudah tersanjung karena pujian biasanya juga mudah dikritik.
Pada akhirnya, hanya Anda sendiri yang dapat mengarahkan hidup Anda. Jika Anda membiarkan diri Anda disesatkan oleh kritikan atau pujian, Anda takkan bisa mencapai tujuan Anda.
Suatu ketika, saya mendapat pemahaman bahwa justru pujianlah yang menidurkan, sedangkan kritik malah membangunkan kesadaran diri kita. Pemahaman itu saya peroleh ketika suatu kali saya kembali dihadapkan pada kritik dan kecaman yang cukup mengguncang harga diri saya. Bukannya terpancing amarah, saya malah memuji para pengeritik dan pengecam saya sedemikian bombastis. Akhirnya, mereka malah tertidur pulas: mereka berbalik memuji kesabaran saya, berubah menjadi sahabat dan sering mendukung gagasan-gagasan saya yang saya lontarkan di forum di mana kami saling melontarkan pemikiran dan kritikan.
Sejak saat itu, dalam berbagai kesempatan, saya selalu menerapkan pendekatan itu, utamanya dalam meredakan ketegangan-ketegangan yang mengemuka dalam hubungan pertemanan atau kekerabatan. Ada baiknya kita berlaku laksana pohon atau tanaman, sebagaimana para pendekar yudo atau aikido, keduanya seni bela diri asal Jepang.
Pencipta yudo, Kano Jigoro, mendapat ilham untuk menciptakan seni bela diri yang telah mendunia itu setelah mengamati bagaimana salju yang menumpuk di ujung ranting sebuah pohon dapat dengan mudahnya diruntuhkan ketika ranting semakin menekuk. Kano mendapat pemahaman tentang bagaimana menaklukkan lawan tanpa tenaga, atau memanfaatkan tenaga lawannya.
Seni bela diri aikido yang diciptakan oleh Morihei Ueshiba amat dipengaruhi oleh falsafah cinta dan kasih sayang, utamanya kepada mereka yang ingin menyakiti orang lain. Aikido mengemukakan falsafah ini dalam tekanannya pada penguasaan seni bela diri sehingga pendekar dapat menerima serangan dan mengembalikannya tanpa melukai si penyerang. Idealnya, baik yang diserang maupun penyerang tidak menderita luka.
Berdasarkan prinsip tersebut di ataslah hendaknya kita memperlakukan orang-orang yang tidak menyukai kita atau suka menyerang kita dengan kritikan atau kecaman, yang boleh jadi tidak konstruktif, dengan kasih sayang yang direpresentasi dengan pujian yang ‘menidurkan’. Sebaliknya, dalam hal diri kita, tak apa kita mendapat kritikan terus-menerus, bahkan mensyukurinya, lantaran kritik cenderung membangunkan kesadaran kita dan seyogianya menjadi energi pendorong kita untuk terus melangkah maju.(AD)
Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 26 Maret 2011