“Nilai sejati manusia dapat ditemukan pada seberapa banyak ia telah beroleh kebebasan dari dirinya.”
~Albert Einstein
PERTAMA kali memasuki dunia periklanan, saya menandai sesuatu yang tidak saya pahami sampai sekarang. Ini terkait dengan cara berbusana orang-orang yang bekerja di biro iklan, utamanya di departemen kreatifnya. Rekan-rekan saya kebanyakan mengenakan pakaian hitam atau bernuansa gelap, berpenampilan bak orang yang sudah berhari-hari tidak mandi, mengenakan sandal dan, yang laki-laki, berambut panjang, acak-acakan tidak karuan.
Saya sempat mengira, begitulah seharusnya orang kreatif berbusana dan berpenampilan. Tetapi perkiraan ini luntur tatkala saya bekerja di biro iklan yang merupakan rep office dari agensi papan atas Jepang. Suatu ketika, presiden direktur, client service director dan executive creative director dari kantor pusat di Tokyo, Jepang, datang berkunjung ke kantor saya. Mereka tampak matang, berwibawa dengan rambut pendek dan rapi serta cenderung memutih, serta berbusana jacket-and-tie yang mencerminkan eksklusivitas yang elegan.
Belakangan saya menyadari bahwa nilai-nilai kreativitas seseorang tidak dapat dibentuk oleh caranya berpenampilan atau oleh atribut-atribut yang disandangnya. Para pengarah seni (art director) dan/atau desainer grafis, yang pernah bermitra dengan saya dalam mengerjakan sejumlah proyek komunikasi pemasaran dan korporat, banyak yang terjebak dalam pandangan yang keliru ini. Tak jarang mereka berpenampilan urakan, beberapa di antara mereka bahkan tidak tahu tempat, dengan berpenampilan sedemikian rupa ketika rapat dengan klien. Tetapi dalam hal berpikir dan bertindak kreatif mereka tidak maksimal. Pendek kata, tidak ada korelasi apa pun antara penampilan seseorang dengan tingkat kreativitasnya.
Sesungguhnya, atribut tidak dapat menunjang hakikat kemanusiaan kita. Parahnya, atribut-atribut ini tak jarang dipaksakan untuk diterima sebagai nilai-nilai atau norma-norma umum. Nama orang, misalnya, baru dianggap bersentuhan dengan agama tertentu apabila nama itu menyerupai nama orang asal negeri dari mana agama itu berasal. Saudara Subud saya merupakan seorang mualaf, tetapi ia tidak mengganti nama baptisnya dengan sesuatu yang kearab-araban, lantaran menurutnya keimanan seseorang tidak dapat diukur dari nama yang disandangnya. Toh ia taat beribadah sebagai seorang muslim, berbuat kebaikan dan tak pernah lupa beramal.
Baru-baru ini, dalam suatu diskusi tentang temuan arkeologi bahwa Majapahit merupakan kerajaan atau kesultanan Islam, mitra diskusi saya mengajukan keraguannya hanya lantaran nama pendiri Majapahit, Raden Wijaya, bernuansa Hindu.
Busana pun begitu. Saudara Subud saya, seorang ustaz, suatu kali diundang untuk memimpin pengajian di rumah orang. Ia datang dengan mengenakan kemeja batik, yang karuan saja mengundang pertanyaan tuan rumah, mengapa ia tidak berbaju koko sebagaimana undangan lainnya. Menurut tuan rumah, baju koko itu Islami, sedangkan batik tidak mencerminkan keislaman. Saudara Subud saya itu pun “memberi kuliah” sejarah kepada si tuan rumah, bahwa baju koko tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam dan bahwa Islam bukanlah Arab, walaupun agama itu berasal dari sana. Baju koko digagas Sunan Kalijaga dari model baju tradisional pria Jawa (beskap).
Kita tampaknya hidup di lingkungan yang menganggap bahwa atribut yang disandang seseorang lebih bermakna daripada kesejatian dirinya. Orang yang tampil apa adanya dan jujur dicaci, sedangkan yang palsu dipuji. Padahal semua itu nilai-nilai yang tak bernilai sama sekali. Saya pikir, betapa mudahnya memperdayai orang lantaran itu.
Tolok ukur kreatif tidaknya seseorang dinilai dari pola pikirnya serta hasil nyata (tangible) yang diperoleh dari proses berpikir tersebut. Kawan saya, seorang creative writer di sebuah stasiun televisi swasta, mengundurkan diri lantaran peraturan perusahaan yang mewajibkan kru departemen kreatifnya berkemeja dan berdasi. Walaupun, menurut saya, peraturan itu berlebihan, tetapi janganlah hal itu menjadi kendala dalam mengoptimalkan pikiran dan tindakan kreatif kita. Yang diberi kemeja dan dasi kan raga, bukan jiwa kita. Jika kita dapat bersikap melampaui raga, mau dibatasi bagaimanapun tubuh kita seharusnya tak mencegah pikiran kita untuk melanglang buana di alam bebas ruang dan waktu.
Untuk menggapai ide-ide segar dan kreatif diperlukan bagi kita untuk mengosongkan diri dari nilai-nilai tak bernilai, baik yang niskala (intangible), yaitu pemikiran dan pertimbangan yang tidak relevan, maupun yang sekala (tangible) seperti busana dan aksesori—dan sebaliknya, menghasilkan karya yang tak terkira nilainya.©2010
Pondok Jaya,
Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 30 Oktober 2010—terinspirasi oleh kekaguman
akan imajinasi para kreator film Transformers:
Revenge of the Fallen yang saya tonton di HBO.