“Perkawinan yang hebat bukanlah ketika ‘pasangan yang sempurna’ menyatu.
Melainkan ketika pasangan yang tidak sempurna belajar
menikmati perbedaan mereka.”
—Dave Meurer, Daze of Our Wives: A Semi-Helpful Guide to Marital Bliss
(Michigan: Bethany House Publishers, 2000)
Saya mengalami kejutan budaya yang hebat pada bulan-bulan pertama pernikahan saya. Betapa tidak, saya yang sebelumnya hidup dengan kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma pribadi saya tiba-tiba harus membuka pintu rumah saya dan mengundang masuk seorang istri yang gaya hidupnya seperti bumi dan langit dengan saya. Saya ibarat api, dengan emosi meletup-letup dan blak-blakan dalam mengekspresikan diri, sedang istri saya adalah air sejuk yang mengalir malu-malu, cenderung tertutup. Saya, dahulu, bukan tipe orang yang mandiri, karena sejak kecil selalu dimanja, dan hidup dalam keluarga yang memiliki beberapa pembantu rumah tangga, sementara istri saya sangat mandiri – ia dibesarkan dalam keluarga angkatan laut, yang sering ditinggal layar oleh ayahnya, sehingga ia terbiasa mengurus dirinya sendiri.
Namun, dalam prosesnya, perbedaan di antara kami terjembatani oleh hati yang diliputi cinta. Alih-alih porak-poranda tak karuan, kami malah saling mengisi. Gejolak erupsi gunung berapi pada diri saya dapat dipadamkan oleh kesejukan airnya, dan sebaliknya ketertutupannya berangsur membuka secara bijaksana. Saya, yang tadinya tidak bisa apa-apa dalam mengurus rumah tangga, secara bertahap mulai mengerti tugas dan tanggung jawab dengan bimbingan istri saya.
Saat itulah, masing-masing dari kami menginsafi bahwa perbedaan tidak harus berseberangan, melainkan mendorong kami untuk saling menata diri membangun jembatan komunikasi. Saat itulah, masing-masing kami menyadari bahwa kami telah pulang ke rumah yang sesungguhnya, yaitu hati yang beratapkan cinta. Cinta yang bercirikan Pengorbanan – dengan meleburkan diri (ego) kita ke dalam subyek yang kita cintai, sehingga tidak ada lagi jarak yang memisahkan kita dengan subyek; Pengakuan sepenuh hati atas eksistensi subyek, dengan mendaraskan (recite) namanya berulang-ulang atau memvisualkan kehadirannya di benak kita; dan Penerimaan atas kenyataan diri subyek seutuhnya, sejati, tidak diada-adakan.
Perbedaan budaya ada di mana-mana, bukan hanya dalam kehidupan perkawinan. Dalam hidup bermasyarakat, perbedaan budaya menjadi dinamika di dalamnya, namun alih-alih membenturkan perbedaan-perbedaan tersebut, adalah lebih baik jika kita dapat saling melengkapi, apalagi kehidupan manusia hakikatnya merupakan organisme, di mana yang satu bergantung pada yang lainnya agar dapat sintas (survive).
Jika kita mau memahami budaya orang lain, atau kita mampu beradaptasi dengan budaya yang berbeda dari yang menjadi landasan pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan kita sehari-hari, di mana pun kita berada kita akan serasa berada di rumah sendiri. Pada banyak kasus, kita seakan pulang ke rumah yang sesungguhnya, yaitu tempat di mana keakuan kita telah ‘mati’ dan karenanya mampu berpadu dengan orang lain dengan menafikan perbedaan suku, ras, ideologi, agama atau kepercayaan, dan paradigma. Di rumah yang sesungguhnya, menyurut ego kita, lebur dalam pemahaman bahwa orang lain adalah bagian dari diri kita juga, yang seyogianya tak kita musuhi atau jauhi. Malah, sebaliknya, harus kita syukuri, karena kehadirannya dapat mengisi atau melengkapi kekurangan kita.
Saudara Subud saya, seorang laki-laki Eropa, pernah mengembara ke salah satu negeri di Afrika. Ia sempat tidak betah, lantaran makanannya yang berminyak tidak cocok dengan selera Eropanya, udaranya yang panas membuatnya gerah dan mendidihkan darahnya, serta masyarakatnya yang kaku membuat ia merasa dimusuhi. Lalu, datanglah nasihat ibunya, agar ia melakoni ‘kunci’ dari Latihan Kejiwaan Subud, yaitu ‘menerima dengan ikhlas dan rida (cinta)’. Apa yang terjadi kemudian? Saudara Subud saya itu serasa pulang ke rumah: makanan yang tadinya tidak berkenan baginya tiba-tiba terasa lezat; udara yang panas terasa menyejukkan, dan setiap orang yang ditemuinya bersikap ramah padanya. Itulah pancaran Cinta yang berlandaskan pengorbanan, pengakuan dan penerimaan dengan sabar dan ikhlas, yang bakal membuat kita yang bersedia merangkulnya serasa pulang ke rumah yang sesungguhnya di mana pun kita berada.
Lain lagi pengalaman saya. Saya pernah bertentangan demikian hebatnya dengan kawan saya perihal sepele: soal desain komunikasi visual. Dia menganggap desain saya – yang minimalis – jelek, karena banyak ruang kosong. Saya menganggap desainnya – yang penuh sesak – kampungan. Akhirnya, setelah saling mengumbar emosi selama beberapa waktu, saya menginsafi, ini bukan masalah pribadi (walau dalam berbagai hal yang bersangkutan sering berseberangan dengan saya, yang jika saya menuruti ego bakal menyulut konflik berkepanjangan), melainkan menyangkut budaya.
Desain komunikasi visual garapannya terkena imbas budaya dari mana ia berasal. Saya pernah hidup selama lima tahun di tengah liputan budaya di mana kawan saya itu hidup; masyarakatnya cenderung keras, egaliter, dan (jika bicara) ramai – yang terejawantahkan dalam desain komunikasi visual yang tumpat dengan gambar, tulisan dan warna dalam penataan yang tak artistik. Untuk menjembatani perbedaan gaya desain komunikasi visual kami, maka lain kali saya akan memadukan kedua gaya tersebut, di mana desainnya akan bernuansa ‘kosong namun penuh’ – dengan memanfaatkan ornamentasi dalam tampilan yang sekilas tak tampak tetapi sebenarnya ada.
Saat saya berdamai dengan kawan saya tadi, serasa saya pulang ke rumah yang sesungguhnya, di mana hati kami menyatu dalam ruang perbedaan yang berpadu, saling mengisi. ©