Friday, January 3, 2025

Serunya Sejarah: Peringatan 100 Tahun Latihan Kejiwaan Subud

KARENA latar belakang akademik saya adalah Ilmu Sejarah, yang saya dalami di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; sejak tahun 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB UI), saya kerap tak bisa menghindari atau melawan dorongan dari dalam untuk meluruskan segala yang bengkok atau misterius di masa kini dengan menggali lebih dalam peristiwa atau hal-hal di masa lalu. Tantangan terberatnya adalah tindakan saya tak jarang mengusik kekukuhan orang dalam mempertahankan pengetahuan usang mereka.

Seperti rangkaian acara perayaan 100 Tahun Latihan Kejiwaan Subud yang diselenggarakan 26 Januari hingga 4 Februari tahun ini, yang beriringan dengan Kongres Nasional ke-31 PPK Subud Indonesia (31 Januari-2 Februari 2025) dan ulang tahun ke-78 berdirinya organisasi PPK Subud Indonesia (1 Februari 2025), bertempat di Semarang, Jawa Tengah. Saya dan yunior saya di Program Studi (Prodi) Sejarah FIBUI yang juga anggota Subud Cabang Jakarta Selatan, Sulaiman Harahap, beberapa waktu lalu tergelitik untuk mulai menelisik: Tanggal berapa atau bulan apa tepatnya RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo menerima pengalaman gaib yang menggiring beliau kepada Latihan Kejiwaan?

Memang benar tahunnya adalah 1925, tempat kejadian perkaranya di jalan di depan proyek pembangunan rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (Rumah Sakit Sipil Pusat) atau CBZ (kini RS dr. Kariadi) di Gemeente (Kotapraja) Semarang, pada waktu tengah malam. Buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo maupun buku History of Subud-nya Harlinah Longcroft (yang berdasarkan wawancara dengan Pak Subuh juga) tidak menyebutkan tanggal dan/atau bulannya. Hanya tahunnya 1925.

Saya berbagi analisis saya dengan Sulai, panggilan akrabnya Sulaiman, alumnus Prodi Sejarah FIBUI Angkatan 2004, berdasarkan tanggal peresmian CBZ, yaitu 9 September 1925. Buku Autobiografi menyebutkan bahwa Pak Subuh sedang berjalan di depan proyek pembangunan CBZ ketika pengalaman gaib itu beliau lalui. Tahun 1925 saya asumsikan proyek CBZ sudah di tahap penyelesaian, mengingat peresmiannya saja tanggal 9 September. Jadi, kemungkinan pengalaman gaib itu terjadi sekitar akhir Juli atau pertengahan Agustus.

Sulai bertahan di akhir Juli, saya menancapkan keyakinan saya di pertengahan Agustus—yang jelas, bukan Januari atau Februari 1925.

Untuk memastikan, atau mendekati kepastian, ada pendekatan ilmiahnya. Tak kami pungkiri bahwa pendekatan kejiwaan, yaitu testing, juga kami lakukan, tapi secara umum kita bisa menerapkan metodologi penelitian sejarah dengan, antara lain, menelusuri kembali peristiwa-peristiwa lainnya, selain dari peresmian CBZ saja. Saya dan Sulai masih terus menjelajahi berbagai kemungkinan, yang kami dalami bak detektif menyelidiki sebuah kasus misterius. Itulah serunya belajar sejarah. Terlebih dengan bimbingan Latihan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 Januari 2025

Thursday, January 2, 2025

Pegangan

 


NUANSA barusan mengambil sebuah kitab mungil di antara tumpukan majalah dan dokumen lama di lemari dan menunjukkannya ke saya sambil bertanya, “Ini apa, Papoy?”

“Itu Qur’an. Dari bos Papoy dulu di Surabaya, oleh-oleh haji,” kata saya.

Saya kemudian teringat cerita konyol di balik keberadaan kitab Qur’an kecil ini. Jadi, beberapa bulan setelah saya dibuka di Wisma Subud Surabaya, saya berjumpa lagi dengan mantan bos, Pak JPB namanya (meninggal 5 Mei 2019 akibat tabrak lari saat beliau bersepeda rutin di Jl. Panjangjiwo, Surabaya). Sepulang berhaji, Pak JPB membawa oleh-oleh kitab Qur’an dalam tiga ukuran—besar, sedang dan kecil. Sejak pulang dari Tanah Suci, beliau merasa paling saleh dan meledek saya yang beliau lihat tidak pernah salat padahal sebelumnya (ketika saya masih kerja di perusahaan beliau tahun 2000-2002) saya rajin salat.

“Qur’an ini peganganku, Tok,” kata beliau saat saya datang ke kantor beliau tahun 2004, setelah kami tak sengaja bersua kembali di jalan (dari arah mobil yang beliau kendarai, beliau melihat saya sedang berdiri di depan kantor Air Api Communications, biro iklan milik Heru Iman Sayudi, pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya, di Jl. Raya Manyar, Surabaya). Beliau mengundang saya ke kantor beliau, perusahaan tempat saya bekerja sejak pindah ke Surabaya, karena beliau ingin menawari saya untuk kembali bekerja padanya, kali ini dengan posisi sebagai Managing Partner.                     

Dalam obrolan kami, beliau mengatakan, “Aku dengar kamu ikut Subud ya? Aliran apa itu, Tok? Kalau ndak jelas, ngapain kamu ikut? Mending Islam saja. Rajin salat dan baca Qur’an. Koyok aku, Tok, baca Qur’an memberi aku ketenangan.”

Saya cuma menanggapi dengan senyum saja, tidak berusaha membela diri. Biar saja beliau mencibiri saya. Beliau kemudian menyodorkan kitab Qur’an kecil itu. “Ambil ini, Tok, untuk kamu. Diwoco yo, ojo disimpan tok.”

Sebagai Managing Partner, saya tidak perlu tiap hari ke kantor. Saya hanya datang kalau ada klien atau Pak JPB mengajak meeting ke kantor klien. Suatu hari, beliau mengajak saya ke meeting di kantor klien. Berdua saja. Di mobil, beliau curhat mengenai penderitaan hidup yang berturut-turut datang kepada beliau dan selalu terkait uang—kehilangan 20 juta, ditipu 200 juta, dipinjam dua juta tidak balik. Saya usil membatin, “Itu akibatnya kalau mendua, jadi kehilangan uang selalu berangka dua!” (Beliau sudah beristri dan memiliki dua putri yang sudah remaja saat itu, tapi meniduri sekretarisnya bahkan terus saja minta jatah meski sekretarisnya sudah menikah.)

Saya balas menasihati beliau sambil cengengesan, “Pak, baca aja Qur’an, biar tenang.”

Beliau menoleh ke saya dengan tampang sebal, dan menyemprot saya, “Jancuuukkk kon! Ngledek aku yo?!”

Lhoo, Pak JPB sendiri kan bilang ke saya kapan hari, supaya baca Qur’an supaya tenang hidup saya. Saya sih cukup Subud aja, berserah diri, biar tenang,” kata saya sambil tertawa.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Januari 2024

Wednesday, January 1, 2025

Tidak Banyak Berpikir

PENGALAMAN ini sudah lama lalu, terjadi pada tanggal 29 Maret 2018 di Bandung, Jawa Barat. Saat itu, saya rapat dengan mitra usaha saya yang seorang konsultan program Corporate Social Responsibility (CSR), dan klien kami, di Fourspeed Café, Jl. RAA Martanegara, Bandung. Meeting disela karena sebagian pesertanya mau salat. Klien kami non muslim, sedangkan saya tidak memiliki identitas agama apapun. Yang lain, yaitu mitra usaha saya dan dua orang timnya pergi salat di musala kafe tersebut.

Sekembalinya dari musala, mitra usaha saya dan timnya maupun saya menikmati kopi dulu di kafe, sementara klien kami pergi untuk suatu urusan—ia kembali dua jam kemudian. Selama minum kopi, mitra usaha saya dan masing-masing anggota timnya bercerita, bahwa mereka tadinya “orang mapan” yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang berbeda, dengan jabatan wah dan menerima gaji besar tiap bulan.

Setelah meninggalkan itu semua, menjadi entrepreneur, mereka kaget, tidak menyangka dengan kenyataan bahwa hidup mereka tanpa sokongan gaji bulanan begitu berat. Mereka dimusuhi mertua, dijauhi istri, dicemooh tetangga.

“Semua salat wajib dan sunah saya lakoni, tapi masalah itu nggak mau pergi,” kata mitra usaha saya, yang asli Bandung dan sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan semen.

“Tapi Pak Arifin kok ya bisa tenang dan rileks gitu, padahal, maaf, Pak Arifin ini nggak pernah saya lihat salat?” kata mitra usaha saya lagi.

Dua anggota timnya melihat ke langit-langit kafe, masing-masing larut dengan pikiran mereka yang kalut.

Lalu datanglah klien kami, nimbrung di meja kami, menyulut rokok dan memesan cappucino ice blended. Dia bertanya, kami sedang membahas tentang apa. Setelah diberi garis besar dari topik obrolan kami, dia berkomentar, “Tau nggak kalian, orang gila itu nggak ada yang sakit berat, karena nggak mikir. Orang normal yang ngakunya intelek malah sakitnya parah. Aneh kan?!”

Klien menanyakan usia saya dan mitra usaha saya. Saya 50, mitra usaha saya 38 tahun. “Coba lihat deh, Pak Arifin ini tampak jauh lebih muda daripada Pak Jean. Itu pasti karena Pak Arifin sering hening pikirannya,” kata klien kami.

Saya tidak tahu bahwa klien kami ternyata punya indra keenam.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Januari 2025