Friday, November 14, 2025

13 Bukan Angka Sial

 


BERPULUH tahun lalu, sebagai mahasiswa S1, seperti halnya banyak teman sebaya saya, saya mengerahkan tenaga dan waktu saya untuk ikut dalam “perlombaan” menulis artikel untuk dimuat di media cetak ternama, seperti Kompas, Sinar Harapan (kemudian jadi Suara Pembaruan), Media Indonesia, Tempo, Gatra, Kartini, Femina, Teknologi & Strategi Militer (Grup Sinar Harapan) dan Angkasa (Grup Kompas-Gramedia).

Ada suatu kebanggaan tersendiri bila artikel kita dimuat di media cetak tersebut. Bukan soal honornya, tetapi kepuasan dalam perasaan pribadi bahwa keahlian menulis kita diakui oleh lembaga yang valid. Sehingga, meskipun ditolak berkali-kali, hal itu tidak menyurutkan langkah saya.

Entah benar atau hanya legenda urban, koran Kompas menjadi acuan utama bagi banyak penulis karena statusnya sebagai media besar dengan reputasi yang mapan dan terpercaya, serta ruang publikasi yang prestisius untuk karya sastra dan jurnalistik. Banyak penulis menganggap penerbitan di Kompas sebagai pengakuan kualitas dan pencapaian profesional, sehingga mereka seringkali berusaha mengirimkan karyanya ke sana. 

Di sepanjang karier kepenulisan saya, baru dua kali karya tulis saya dimuat di koran harian Kompas, dalam bentang jarak waktu yang panjang. Yang pertama, “Tendensi Feminisme Baru” dimuat pada 18 Desember 1995, dan yang kedua “Spiritualitas Perkotaan”, bulan Juni 2005.

Yang menarik adalah kisah tentang dimuatnya artikel pertama saya di Kompas. Saya mengirimnya 12 kali, setiap kali menjelang Hari Kartini 21 April dan Hari Ibu 22 Desember, dan 12 kali pula ditolak oleh Redaksi dengan alasan “Tidak Aktual”. Setiap kali ditolak, saya baca ulang, melakukan perbaikan yang perlu, dan saya kirim lagi ke alamat Redaksi Kompas.

Kali ke-13, saya, yang sudah bosan melakukan perbaikan, hanya mengganti judulnya, menjadi “Tendensi Feminisme Baru”. Tulisan “Baru” saya cantumkan setelah mempertimbangkan “aktualitas” yang dituntut Redaksi Kompas, meskipun sebenarnya tidak ada yang baru pada artikel tersebut. Kebetulan saat itu, saya baru mengawali karier sebagai Copywriter di sebuah biro iklan multinasional di Jakarta. Saya belajar dari Creative Director-nya, yang orang Selandia Baru, bahwa “kecuali headline-nya bagus, tidak ada orang yang akan membaca badan naskah”.

Trik itu saya gunakan dalam upaya ke-13 saya agar artikel saya dimuat di Kompas, digabungkan dengan tuntutan aktualitas dari Redaksinya. Puji Tuhan, artikel yang sama, yang telah ditolak 12 kali, akhirnya dimuat. Angka 13 terbukti bukan angka sial.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 14 November 2025

Thursday, November 13, 2025

Menangis Bersama Tuhan

 

Di sudut malam yang sunyi sepi,

di mana bayangan berbisik lirih,

aku menengadah, hati teriris,

memeluk beban, memendam tangis

Pasangan yang dulu berjanji setia,

menoleh pergi, membawa cahaya

Anakku, cermin jiwa dan raga,

menjauh langkah, tak sudi menyapa

Saudara kandung, darah yang mengalir,

jadikan cacatku sebagai satir

“Kamu kurang ini,” “Kamu salah di sana,”

Setiap ucapan bagai belati yang menusuk lara

Lingkaran keluarga,         

mengangkat tembok, memutus cerita

Semua mata menilai, semua lisan menghukum

Dalam sepi, jiwaku merangkak, terpuruk mendalam

 

Namun, saat dunia memalingkan wajah,

saat setiap pintu tertutup dan rekah,

ada satu tempat, teduh dan abadi,

di mana tangisku tak pernah dicaci

Di dalam gelap, aku berlutut, menyerah,

mencurahkan duka yang tak tertahankan

 

Bukan suara manusia yang menjawab lirih,

Tapi sentuhan damai, di relung hati yang pedih

“Anak-Ku,” suara itu begitu lembut

Bukan penghakiman, bukan celaan terselubung

“Ku tahu segala kekurangan yang kau pikul,”

“Ku tahu sakitnya dicabut dari sekumpul”

 

Air mata tumpah, bukan karena malu,

namun karena kasih tak bertepi yang merangkul

Di situ, aku tak lagi sendirian

Bersama Tuhan, ku temukan perlindungan

Dunia mungkin melihat kepingan yang hilang,

kekurangan dalam tingkah, cela yang terbayang

Tapi Tuhan melihat hati yang remuk redam,

melihat potensi, di balik kelam

Aku menangis, dan air mata itu suci,

dibasuh oleh Rahmat, oleh Cinta yang sejati

Menangis bersama Tuhan, sebuah pengakuan,

bahwa di tengah penolakan, ada penerimaan.

 

Tuhan adalah rumah bagi jiwa yang terbuang,

Kasih-Nya utuh, tak pernah terhalang

Meski semua pergi, dan hati terbelah dua,

di pelukan-Nya, ku temukan harga

Aku bangkit, masih dengan luka yang membekas,

Namun kini aku tahu, Kasih-Nya takkan terlepas

Biarlah dunia menghukum, biarlah mereka menjauh,

sebab yang terpenting, kasih Tuhan selalu utuh...

 

 

Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 14 November 2025

Saturday, November 8, 2025

Belajar Pada Diri Sendiri

SEJAK menerima Latihan, saya mulai merasa alergi pada yang namanya belajar pada orang lain, baik secara tatap muka (live) maupun melalui membaca literatur. Makin ke sini, yang ingin saya ketahui atau pelajari, segera saya mendapat bimbingan ke arah subjek ajaran.

Seperti pengalaman saya tadi malam. Sebelum tidur, saya teringat cerita dari Stuart Cooke bahwa kalau ia galau ia akan membaca buku Susila Budhi Dharma. Saya kebetulan menyimpan PDF buku tersebut di ponsel saya, dan itulah yang saya baca. Saya membaca bait-bait yang berbahasa Jawanya, walaupun saya tidak paham bahasa Jawa.

Saya baca yang pupuh Kinanti, yang memiliki 60 pada (bait), tentu dengan ketidaklancaran yang parah, karena saya tidak familiar dengan tulisan latin dari bahasa Jawa. Bahkan saya sendiri tidak suka mendengar suara saya saat melisankan bacaan itu. Saat itulah, saya membatin: “Seharusnya saya ikut kegiatan Mocopatan di Wisma Subud tiap hari Minggu, belajar di situ aja cara membacanya dan nembang.”

Tiba-tiba, saya merasakan sesuatu menggerakkan mulut dan pita suara saya. Di luar dugaan saya, saya mulai nembang dengan pengucapan kata-kata bahasa Jawa yang lancar mengalir, smooth, dan getaran pada suara saya terasa merasuk ke dalam diri saya, menyebar ke semua persendian dan saluran peredaran darah saya. Saya jadi tidak ingin buru-buru menyelesaikan (seperti halnya bila saya bosan).

Mulut saya dengan ahli mengatur pola melodi atau alunan nada yang meliuk-liuk dan bervariasi, yang terasa indah. Hal itu jelas tidak bisa saya lakukan bila saya mengandalkan pikiran.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 8 November 2025

Tuesday, November 4, 2025

Menangis di Ruang Ujian

MESKI tidak sedikit yang menunjukkan kekaguman begitu mengetahui bahwa saya berkuliah di Universitas Indonesia, sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka yang diincar banyak sekali—kalau tidak bisa dikatakan semua—lulusan SMA, saya bukanlah mahasiswa terpandai di sepanjang karier kemahasiswaan saya di Universitas Indonesia. Dua semester ganjil pertama saya, saya terancam dropout (DO) karena Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saya di bawah 1,75. Saya jadi harus belajar ekstra keras agar terhindar dari DO, yang tentunya akan membuat orang tua saya malu dan kecewa.

 



Tetapi memang saya lebih banyak main dan nongkrongnya, alih-alih kuliah yang rajin. Pada matakuliah-matakuliah wajib, yang karena itu saya ambil dengan terpaksa meski pengajarannya membosankan, seringnya saya menitip pada teman untuk menorehkan tanda tangan di daftar presensi. Alhasil, ya, nilai ujian saya pun tergolong rendah.

Bahkan ketika menyaksikan sejumlah senior saya—yang sebelumnya saya pandang sebagai mahasiswa super pintar—berguguran dalam ujian komprehensif (ujian lisan seluruh matakuliah wajib Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau FSUI), saya tetap santai dan kerap bolos kuliah. Namun, ketika saya sendiri menghadapi ujian kompre (demikian sebutan populernya di kalangan mahasiswa FSUI kala itu), barulah saya kelabakan.

Sebuah surat pemberitahuan yang diterbitkan Jurusan Sejarah FSUI dan ditujukan ke saya terasa bagaikan “surat perintah pelaksanaan hukuman mati” dalam waktu yang singkat. Ya, memang, waktu yang tersedia bagi saya untuk membaca 53 literatur wajib kompre hanya dua minggu, sedangkan sebagian besar dari jumlah literatur itu belum pernah saya baca sebelumnya.

 




Satu sahabat saya, Januar, lantas memaksa saya mengikuti “pemusatan latihan nasional” (Pelatnas) di bawah bimbingannya. Sahabat saya, yang bagi sebagian besar mahasiswa Sejarah FSUI menyebalkan itu, sejatinya memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi. Saat itu, dia sudah lolos dari ladang pembantaian kompre dan tengah menuntaskan penyusunan skripsinya.

Di bawah gemblengannya, saya termotivasi untuk mengatasi rasa malas saya. Saya menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari, termasuk akhir pekan, untuk membaca ke-53 literatur wajib tersebut. Diselingi pendalaman melalui diskusi dengan sang mentor—yang mengancam akan memutuskan persahabatan kami bila saya gagal kompre akibat kebodohan dan kemalasan saya.

Tanggal 2 November 1992, siang, saya memasuki ruang ujian di lantai 2 Gedung III Kampus FSUI Depok, Jawa Barat. Panitia ujiannya terdiri dari dosen-dosen yang terkenal “killer”. Pertanyaan demi pertanyaan mencecar saya, kebanyakan membuat saya tersudut karena kurang siap. Bayangkan, pertanyaannya kadang terkesan usil: “Anda sudah baca Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI? Sebutkan Daftar Isinya!”

Tentu saja, saya kelabakan, karena selama Pelatnas dua minggu itu, saya tidak terpikir sama sekali untuk menghafal daftar isi.

Usai kompre, saya dipersilakan meninggalkan ruang ujian, sementara para dosen penguji berunding untuk meloloskan saya atau tidak. Di luar ruang ujian, saya menahan tangis di depan dua sahabat saya, Januar dan Adi Nusferadi. Terbayang oleh saya, saya harus mengulang kompre. Setiap mahasiswa diberi kesempatan mengulang dua kali secara lisan, dan sekali dengan presentasi makalah. Bila gagal juga di presentasi makalah, mahasiswa harus dropout.

Ketika saya dipanggil masuk ruang ujian lagi, saya tidak dapat menahan air mata saya. Ketua Panitia Ujian, Pak Soetopo Soetanto, melihatnya dan bertanya, “Anda kenapa?”

“Maafkan saya, Pak, saya nangis. Saya benar-benar nggak siap,” kata saya sesenggukan.

“Saya kira Anda harusnya menangis bahagia...,” kata Pak Topo, “...karena kami memutuskan Anda lulus dengan nilai C. Selamat ya. Semoga Anda lebih baik lagi di sidang skripsi nanti.”

Di situ saya benar-benar meluapkan tangis saya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 4 November 2025

Monday, November 3, 2025

“Inner Bag”

 


BEBERAPA waktu lalu, istri membelikan tas ransel buat saya melalui toko daring. Saya memang penyuka ransel karena tidak mengganggu gerakan saya ketika berkendara roda dua atau berjalan kaki. Ransel yang dibelikan istri tergolong murah, dengan kantong untuk botol air di kedua sisinya dan tiga kompartemen besar serta kantong untuk laptop di bagian dalamnya.

Bagaimanapun, bagi saya jumlah kompartemennya masih kurang, terutama untuk menyimpan barang-barang printilan (antara lain dompet, ponsel, kotak kartu nama dan kotak kacamata). Tak kehabisan ide, saya selipkan tas pinggang saya yang memiliki cukup banyak kompartemen ke dalam bagian paling besar dari ransel itu, dan ternyata pas. Ketika saya ceritakan hal ini ke istri, dia berkomentar, “Oh itu inner bag namanya.”

Istri selanjutnya menjelaskan bahwa inner bag adalah tas kecil atau kantong yang dimasukkan ke dalam tas yang lebih besar untuk membantu mengatur dan memisahkan barang-barang agar tetap rapi.

Inner bag pouch adalah tas kecil dengan banyak kompartemen untuk menyimpan barang-barang penting seperti dompet, ponsel, dan kunci agar lebih mudah diatur di dalam tas yang lebih besar seperti ransel atau tote bag.

Saya belajar hal baru lagi nih. Mungkin sudah banyak yang tahu dan saya ketinggalan informasi, tapi tak apalah, yang penting pengetahuan ini berguna bagi saya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 3 November 2025

Sunday, November 2, 2025

Pesan Whatsapp Kepada Pembantu Pelatih Senior New York

 



Berikut adalah pesan WhatsApp saya kepada seorang bule Amerika Serikat yang merupakan pembantu pelatih Subud New York yang sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia. Pesan aslinya dalam bahasa Inggris...

 

HI S, tadi malam, saya bermalam Minggu di Nasi Kulit Ayam Gokskin Cilandak Barat, bersama beberapa anggota dan pembantu pelatih dari Jakarta Selatan, Pusat, Timur dan Bogor (karena hujan sejak magrib, banyak yang berhalangan hadir). Tetapi yang luar biasa adalah kesediaan Pembantu Pelatih Daerah Cabang Jakarta Selatan, Pak RAP, dan Pembantu Pelatih Daerah Cabang Jakarta Pusat, LU, untuk memenuhi undangan saya untuk menemani gathering santai para anggota ini.

Saya salut dengan Pak RAP yang demi memenuhi permintaan anggota sampai rela mencari penginapan di dekat Wisma Subud Cilandak untuk beliau dan istri menginap, karena beliau tahu bahwa gathering di Gokskin selalu sampai larut malam. Rumah beliau sendiri cukup jauh, di Bekasi.

Karena gathering-nya santai, dan yang mengadakan adalah para anggota yang tergabung dalam grup WhatsApp “Subud 4G” (yang saya buat sejak tahun 2016 dan saya salah satu adminnya), maka terjadilah momen berbagi yang menurut saya “blak-blakan”, tidak ada “menahan diri”. Pak RAP tahu bahwa Cabang Jakarta Selatan menjadi sorotan terutama karena rendahnya kualitas para pembantu pelatih dalam memenuhi tugas dan tanggung jawab mereka, termasuk melanggar banyak petunjuk Bapak kepada pembantu pelatih.

Pak RAP sendiri ada di grup WhatsApp Subud 4G dan membaca (silent reader) berbagai komentar miring mengenai kualitas dan kondisi para pembantu pelatih Jakarta Selatan. Tetapi, seperti kata Harris Roberts, selaku Pembantu Pelatih Daerah, Pak RAP benar-benar bekerja. Beliau tidak tinggal diam dengan ulah sebagian besar pembantu pelatih Jakarta Selatan yang merugikan kandidat dan anggota. Beliau mengakui, tidak sedikit pembantu pelatih Jakarta Selatan yang “menjadi pembantu pelatih hanya sekadar ingin memiliki ‘gelar’ itu” atau menganggapnya sebagai jabatan dengan kekuasaan atas anggota.

Beliau bercerita semalam bahwa secara bertahap beliau dan segelintir pembantu pelatih yang berpihak padanya melakukan upaya-upaya untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik. Beliau meminta kerja sama dari yang hadir tadi malam, terutama yang dari Cabang Jakarta Selatan, untuk duduk bersama membahas apa yang kiranya bisa dilakukan, sehingga saya bercerita kepada beliau apa yang kamu, saya dan Harris upayakan pula.

Insiden RU marah dan mengusir kamu dari pertemuan kandidat ternyata juga dibahas dalam Rapat Cabang Jakarta Selatan pada hari Minggu, 26 Oktober 2025. Tetapi LU (yang hadir sebagai undangan mewakili Cabang Jakarta Pusat) dalam kesempatan itu telah menyampaikan kritiknya terhadap cara RU menangani keadaan, karena terjadi di depan para kandidat, yang menyaksikan pertengkaran di antara para pembantu pelatih sehingga mungkin dapat mempengaruhi pandangan mereka terhadap Subud. Pak RAP menyesalkan kejadian itu dan merasa seharusnya RU bisa menyelesaikan secara baik-baik, apalagi dia berpengalaman sebagai Pembantu Pelatih Daerah dan Pembantu Pelatih Nasional.

Saya rasa, dalam pertemuan kita berikutnya kita ajak pula Pak RAP dan para pembantu pelatih yang berpihak pada upaya beliau, seperti IH (pemilik Gokskin).©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 2 November 2025

Memungut Pelajaran di Jalan

TADI malam, usai gathering Back to Babble (B2B) di Nasi Kulit Ayam Gokskin, Jl. Caringin Barat No. 13, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, saya tidak langsung pulang, melainkan mengantar teman saya yang masih ngandidat ke apartemennya di Jl. Puri Sakti II, Cipete Selatan.

Saya sempat cemas begitu melihat penunjuk BBM motor saya sudah mendekati E (habis), sedangkan jarak yang harus saya tempuh masih lumayan jauh. Saya dan teman saya meninggalkan Gokskin mendekati jam 00.00, yang saya perkirakan tidak ada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang masih buka. Akhirnya, yah, saya pasrah saja.

Keluar dari Jl. Melati yang bermuara di Jl. RS Fatmawati, saya pacu motor saya ke arah utara agar bisa lewat Jl. Cipete Raya. Karena belokan dari Jl. RS Fatmawati ke Cipete Raya sudah lama ditutup, saya hanya bisa memutar balik di U-Turn lebih dari 1,5 km dari jalan akses ke Cipete Raya yang sudah ditutup itu. Yang menjadi patokan saya adalah kedai kopi Tokonoma di sisi kiri Jl. RS Fatmawati ke arah Blok M—U-Turn-nya berada di depannya. Tetapi saya kebablasan. Menyadari bahwa U-Turn itu terlewat oleh saya, padahal saya sudah memberi sinyal lampu kanan, saya mengutuk diri saya sendiri, karena jarak tempuh motor saya jadi semakin jauh, sementara penunjuk ketersediaan bensin di tangkinya sudah “berteriak” minta diisi.

Bagaimanapun saya tetap memacu motor saya dalam kecepatan sedang, supaya tidak terlewat lagi U-Turn berikutnya. U-turn berikutnya terletak sekitar 500 m dari U-Turn sebelumnya (yang di depan Tokonoma). Saya berbelok di situ, masih menggerutu dan mengutuk kebodohan saya. Tiba-tiba kekesalan pada diri saya sendiri sirna begitu melihat SPBU Pertamina, sekitar 270 m dari U-Turn itu. “Puji Tuhan!” batin saya.

Setelah itu, suara diri saya berkata, “Bukankah kamu mencari pom bensin? Kenapa marah begitu kamu diarahkan menuju tempat yang kamu cari?! Ingat, Tuhan tidak pernah salah memberi petunjuk! Ego kamu saja yang tidak suka dengan petunjukNya, karena kamu sering memilih mengikuti apa yang menurutmu benar, alih-alih yang menurut Tuhan itu baik bagimu!”©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 2 November 2025

Thursday, October 30, 2025

Gorengan: Keramahan Sederhana Masyarakat Indonesia

 


GORENGAN. Satu kata, namun memanggil ribuan kenikmatan. Mulai dari tempe goreng tepung yang hangat, bakwan renyah, hingga pisang goreng yang manis legit. Di Indonesia, ia bukan sekadar camilan; gorengan adalah fenomena budaya, penawar lapar di kala darurat, dan teman setia untuk segala suasana. Tak heran, dari pinggir jalan hingga meja makan restoran, posisinya selalu terdepan dan tak pernah sepi peminat.

Apa yang membuat gorengan begitu mendarah daging dalam keseharian masyarakat Indonesia? Jawabannya terletak pada kombinasi tiga hal utama: rasa, aksesibilitas, dan harga.

Gorengan menawarkan perpaduan tekstur dan rasa yang sulit ditolak. Lapisan tepung yang garing di luar, namun lembut dan gurih di dalam, ditambah dengan sentuhan bumbu rempah sederhana seperti bawang putih dan kunyit—semuanya menciptakan cita rasa yang akrab di lidah. Apalagi bila dicocol sambal kacang, saus pedas, atau ditemani gigitan cabai rawit hijau, kenikmatannya langsung naik berlipat ganda.

Di mana pun Anda berada—di sudut kota metropolitan, di pasar tradisional, atau bahkan di depan gang perumahan—pedagang gorengan hampir selalu ada. Mereka ibarat pahlawan kuliner cepat saji lokal. Praktis, sudah matang, dan bisa langsung disantap. Bagi para pekerja, mahasiswa, atau anak kos, gorengan adalah penyelamat saat lapar mendadak atau sebagai menu sarapan yang ringkas.

Dengan harga yang sangat terjangkau, seringkali hanya Rp1.000 hingga Rp3.000 per potong, gorengan mampu menembus semua lapisan ekonomi. Ia adalah camilan demokratis yang dapat dinikmati siapa saja, dari anak kecil hingga orang dewasa, tanpa perlu menguras dompet. Ini menjadikannya camilan "seribu umat" yang sesungguhnya.

Secara historis, kebiasaan menggoreng bukanlah teknik memasak asli Nusantara. Para peneliti dan sejarawan menduga teknik menggoreng deep-fry (goreng rendam minyak) diperkenalkan ke Indonesia melalui budaya kuliner Tiongkok sekitar abad ke-16.

Namun, tradisi ini baru benar-benar menjamur dan menjadi masif di seluruh pelosok negeri sejak abad ke-19, seiring dengan munculnya industri minyak kelapa dan, yang paling signifikan, industri minyak sawit pada era 1970-an. Ketersediaan minyak goreng yang melimpah dan harga yang semakin terjangkau mengubah kebiasaan memasak di dapur rumah tangga dan memicu ledakan variasi gorengan yang kita kenal hari ini.

Meskipun kenikmatan gorengan sulit dibantah, perlu diingat bahwa konsumsi berlebihan memiliki risiko kesehatan. Kandungan minyak yang tinggi sering dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan kolesterol tinggi.

Kuncinya adalah keseimbangan. Menikmati dua potong bakwan renyah di sore hari tentu sah-sah saja, selama diimbangi dengan gaya hidup sehat dan konsumsi makanan bergizi lainnya.

Pada akhirnya, kesukaan pada gorengan bukan hanya tentang memuaskan lidah. Ini adalah sebuah cerminan budaya, sejarah, dan keramahan sederhana yang disajikan hangat di sudut jalan—buktikan bahwa kadang, kenikmatan terbesar datang dalam bentuk yang paling sederhana dan renyah.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 30 Oktober 2025

Saturday, October 25, 2025

Obituari: Harry N.P. Danardojo (8 November 1965-26 Oktober 2025)

 


DIBERITAKAN sebuah mobil mewah Lexus tertimpa pohon yang tertiup angin kencang pada siang hari sekitar pukul 14.15 WIB, 26 Oktober 2025. Pengendaranya tewas akibat kejadian itu. Belakangan saya mengetahui siapa korbannya, yaitu seorang saudara Subud Jakarta Selatan yang sudah lama tidak Latihan.

Saya mengenalnya pertama kali ketika saya balik ke kota kelahiran saya, Jakarta, pada bulan Juli 2005, setelah bergabung dengan sekelompok saudara Subud. Harry Nugroho Prasetyo Danardojo namanya, mantan managing director di PT Danareksa (Persero) saat itu dan juga anggota Subud yang tidak terlalu aktif.

Berusia dua tahun lebih tua dari saya, Mas Harry, begitu saya memanggilnya, memiliki “urat kaya”. “Apa saja yang disentuh Harry berubah menjadi emas,” kata almarhum Pak Mulyono Hardjopramono, pembantu pelatih yang membuka Mas Harry di Subud sekaligus rekan kerja di Danareksa. Bersama saya, almarhum Pak Mul, almarhum Pak Otjo Wiroreno, Armansyah, Achmad As’ad Luthfie, Agus Ichwanto, dan Nugroho Putut Wibowo (semuanya anggota Subud), Mas Harry pada 10 Desember 2005 di Ciganjur, Jakarta Selatan, mendeklarasikan berdirinya Yayasan Nurus Subhi Institute (NSI), sebuah wahana untuk menyebarluaskan mentalitas enterprise yang terbimbing Latihan Kejiwaan.

Kekayaannya membuat saya iri pada Mas Harry, hingga suatu hari di tahun 2006, saya memendam niat untuk menyampaikan kepada beliau betapa irinya saya pada beliau. Saat itu, para pendiri NSI akan bertemu untuk rapat, di kantor saya, Tiga PR, di kompleks Hanggar Teras Pancoran. Yang pertama tiba di Tiga PR adalah Pak Mul, Mas Harry dan saya. Kami menunggu yang lain di ruang rapat. Saat itulah saya mau mengungkapkan rasa iri saya kepada Mas Harry, tapi keduluan Mas Harry bicara ke Pak Mul: “Nyuwun sewu, Pak Mul, saya itu iri pada Mas Anto!”

Bercanda, Pak Mul bilang, “Lho, wong sugih kok iri pada wong kere?!”

Mas Harry berkata dengan serius, “Beneran, Pak. Saya serius. Saya iri pada Mas Anto. Saya lihat Friendster-nya, dia jalan-jalan ke Bali, ke mana-mana, dan dibayar pula! Nyuwun sewu, Pak Mul, saya sudah lima tahun tidak liburan! Saya hanya bekerja menimbun uang tapi tidak punya waktu untuk menikmatinya! Saya iri sama Mas Anto, waktu kerjanya adalah dengan jalan-jalan. Dia dibayar untuk liburan!”

Saya terenyak, tidak menyangka akan mendengar langsung dari seorang super kaya bahwa ia iri pada saya. Saya sepatutnya bersyukur bahwa kekayaan saya adalah waktu yang melimpah untuk menikmati hidup.

Malam ini, saya mendapat kabar bahwa Mas Harry telah dipanggil Sang Pencipta. Saya saksi bahwa almarhum adalah orang yang baik, kaya tetapi tidak sombong. Semoga arwahnya selalu dalam kemurahan Tuhan Yang Maha Esa.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 26 Oktober 2025

Komentar Terhadap Naskah Buku RM

Berikut ini adalah catatan komentar yang saya berikan untuk sebuah naskah buku yang berangkat dari sebuah disertasi dokt0ral yang ditulis oleh seorang wanita anggota Subud Vancouver, Kanada, berinisial RM.


SELAMA dua minggu ini saya mengerjakan penyuntingan dua bab naskah Anda, hanya sebatas membuat kalimat-kalimat panjang jadi singkat dan padat yang juga efektif (bagi pembaca), serta menambahkan keterangan yang saya ambil dari Kata Pengantar saya. Saya merasa naskah itu akan jauh lebih baik ditulis ulang dengan gaya yang “secara akademis populer” terutama bagi generasi pembaca dewasa ini, meski kalangan pascasarjana sekalipun.

14 Oktober lalu, saya diundang oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia untuk menjadi moderator dalam diskusi terpumpun (focus group discussion) antara para sejarawan akademik dengan para sineas, untuk mewujudkan perintah Presiden mengenai apa yang belakangan ini viral (dan cenderung dipelintir oleh pers lebih karena ketidaksukaan subjektif terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kebudayaannya): Penulisan ulang sejarah nasional.

Pada acara tersebut, Menteri Kebudayaan, yang kebetulan adalah yunior saya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan dia sendiri juga M.Sc dari London School of Economics and Political Sciences dan Ph.D dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia, dalam arahannya menyebutkan mengapa sejarah Indonesia kontemporer, di ranah akademik maupun publik/populer, harus ditulis ulang. Karena, menurutnya, penulisan/pengkomunikasian kajian sejarah warisan zaman Orde Baru penuh dengan glorifikasi tokoh, kelompok politik tertentu, atau gagasan, yang sekarang sudah tidak cocok, apalagi di kalangan generasi Milenial yang merasa buku-buku teks akademis SANGAT MEMBOSANKAN, penuh kalimat-kalimat yang tidak mengantarkan pada kejernihan serta tidak membangkitkan motivasi untuk pencarian referensi lebih lanjut.

Menteri minta kepada para sejarawan akademik yang hadir pada diskusi terpumpun itu (semuanya doktor ilmu sejarah dan humaniora) untuk belajar menulis laiknya para wartawan, yang mampu menulis secara populer tetapi tidak menghilangkan kaidah ilmiahnya. Limabelas tahun belakangan ini di Indonesia tren kajian sejarah dan ilmu sosial memang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang akademis dalam kedua disiplin ilmu itu, semata karena kalangan pembacanya tidak suka yang terlalu “berat” (termasuk para pembaca yang berstatus mahasiswa pascasarjana).

Saya amati adanya perkembangan-perkembangan terbaru di kampus-kampus terkemuka di Indonesia, dimana teknologi informasi memainkan peran yang signifikan. Dahulu, ketika saya masih kuliah, satu-satunya saluran penyampaian hasil penelitian akademis atau ilmiah adalah karya tulis (skripsi, tesis, disertasi, artikel di jurnal ilmiah). Kini, ada beberapa universitas di kota-kota besar di Indonesia yang membuka pintu lebar-lebar bagi kebebasan berkarya melalui multimedia: Hasil penelitian boleh dipublikasikan melalui film dokumenter pendek yang menghibur, presentasi audio-visual, animasi, novel, serta buku-buku nonfiksi yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan—tidak berat bagi pembaca awam, dan tidak pula dianggap remeh oleh pembaca dengan aras pengetahuan setara pascasarjana.

Hari Jumat lalu (24 Oktober), saya bertamu ke rumah Stuart Cooke. Tanpa memberitahu nama Anda dan naskah yang Anda tulis, saya bercerita kepadanya masalah sebuah naskah yang sedang saya edit, dan penerimaan saya bahwa naskah tersebut harus ditulis ulang total dan ditulis dengan gaya yang akrab di pembaca dewasa ini.

Menanggapi cerita saya, Stuart pun menceritakan pengalamannya yang mirip dengan saya: Dia pernah diminta untuk mengedit naskah buku yang tebal karya seorang ahli ekonomi yang jenius. “Tulisan dia tidak fokus, penjelasannya lari ke mana-mana, seolah semua yang dia ketahui, meskipun tidak relevan, ingin dia paksakan untuk dimasukkan ke bukunya. Kalimat-kalimatnya juga bertele-tele. Tapi saya tidak peduli, saya buang semua yang tidak perlu. Alhasil, dari naskah yang sangat tebal tersisa hanya puluhan halaman. Teman saya, yang menjadi perantara saya dengan si penulis, bilang ‘Wah! Dia akan tidak suka bila karyanya kamu pangkas habis seperti ini.’ Saya katakan padanya, ‘Kalau begitu, biarkan saya yang tulis ulang.’,” tutur Stuart.

Menurut saya, R., kalau Anda tetap mempertahankan naskah itu dengan gaya seperti di disertasi Anda saya rasa Anda tidak perlu menerbitkannya sebagai buku, tetapi biarkan sebagai disertasi saja, toh akan disimpan di perpustakaan kampus dan pasti kelak menjadi referensi bagi peneliti-peneliti dengan subjek yang sama.

Saya perhatikan topik bahasan dalam naskah Anda bertitik tolak dari pertemuan yang diharmoniskan oleh Anda antara pemikiran Timur dan Barat. Bukankah itu sedikit banyak merepresentasi diri Anda yang melalui kedua orang tua Anda membentuk percampuran budaya (Eropa dan Masyarakat Adat)? Jika saya jadi Anda, saya akan menulis pembukaan buku saya dengan kisah hidup saya—bahwa keberadaan saya saat ini merupakan hasil dari proses pertemuan dua kutub dan percampuran budaya; bahwa sejarah telah membuktikan bahwa dua hal yang berlawanan prinsip bisa berjumbuh untuk mencapai kebermanfaatan. Sehingga sejatinya gagasan Timur bisa berkelindan dengan empirisme Barat.

Menurut hemat saya, tidak apa jika Anda menyebutkan bahwa familiaritas Anda dengan Zat, Sifat, Asma, Af'al (ZSAA) bertolak dari keterlibatan Anda di Subud. Ceritakan sedikit tentang Subud dan tentang Muhammad Subuh serta bahwa latar belakang beliau dengan Sufisme telah membuat sejumlah gagasan dan terminologi Sufisme “dipinjam dengan elaborasi tertentu” oleh Muhammad Subuh dalam ceramah-ceramah beliau, semata untuk menjelaskan yang tidak kasatmata, seperti energi keberadaan, misalnya, yang digunakan dalam konteks metafisika, spiritual, dan filsafat Timur untuk merujuk pada prinsip fundamental yang mendasari dan memberi daya pada semua realitas.

Dalam bab-bab selanjutnya, alangkah menariknya jika ditampilkan studi-studi kasus atau kisah pengalaman hasil pengamatan sehari-hari yang dapat membangun fondasi persepsi pada pembaca bahwa ZSAA memang dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan modern, termasuk pendidikan. Tidak perlu lagi bahasan panjang lebar dan bertele-tele yang teoritis. (Saya jadi ingat nasihat Bapak kepada Varindra Vittachi agar anggota Subud menuliskan pengalaman, jangan teori.)

Anda mencantumkan begitu banyak referensi yang menurut saya seharusnya dipindah ke halaman paling belakang dengan judul “Disarankan untuk Pembacaan Lebih Lanjut”. Tahukah Anda bahwa pembaca Milenial gampang sekali terdistraksi oleh teks yang bertele-tele? Akibatnya, mereka lebih suka visual dan karena itu kehidupan mereka didominasi oleh platform media sosial dan smartphone yang sarat interaksi visual ketimbang tekstual. Nah, generasi itulah yang sekarang mengisi semua level akademis di perguruan tinggi. Suka atau tidak suka, buku-buku sarat teks mulai diabaikan.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 26 Oktober 2025

Friday, October 24, 2025

Satu Aturan Emas

 


SAYA mengawali karir saya di periklanan pada 24 Oktober 1994—itu hari pertama saya menjejakkan kaki di kantor biro iklan terbesar kedua di Indonesia.

Bulan-bulan pertama saya lalui dengan nongkrong di perpustakaan biro iklan itu, yang memiliki koleksi lebih dari 7.000 buku—dia satu-satunya biro iklan di Indonesia yang memiliki perpustakaan yang dikelola oleh seorang pustakawan profesional dan kawakan. Di antara koleksinya terdapat buku di foto di atas, yang ternyata dijuluki oleh para senior saya sebagai “kitab suci”.

Gaya penulisannya sangat menarik, tetapi yang paling saya ingat adalah “10 Aturan Perak, 1 Aturan Emas”-nya. Saya tidak ingat apa saja 10 aturan peraknya, lantaran 1 aturan emasnya, yaitu “Lupakan semua aturan!” Prinsip itu kelak saya praktikkan bukan hanya dalam menciptakan iklan, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan saya. Setelah saya masuk Subud, saya baru paham mengapa melakoni 1 Aturan Emas itu penting dan berguna.

Sembilan bulan bekerja di biro iklan itu, dan berbekal pemahaman berbasis praktik terhadap kiat-kiat yang ditawarkan Alastair Crompton, saya memberanikan diri untuk mencoba peruntungan saya di biro iklan lain. Saya diterima bekerja di sebuah biro iklan multinasional di Jakarta setelah melalui serangkaian wawancara dan tes kemampuan yang kompetitif serta psikotes dan tes kesehatan, tak beda dengan yang dilalui para calon kadet akademi militer.

Saat itu, saya sulit mempercayai bahwa saya bisa diterima, mengingat para pelamar lainnya memiliki pengalaman minimal tiga tahun (sedangkan saya hanya sembilan bulan), mereka lulusan universitas-universitas ternama di luar negeri (sedangkan saya lulusan universitas top di dalam negeri), dan mereka berlatar belakang akademik Ilmu Komunikasi, Periklanan, Pemasaran atau Desain Grafis (sedangkan saya Sejarah, tidak ada hubungannya sama sekali dengan bidang pekerjaan saya).

Dari situ, mulailah saya menjadi “kutu loncat” yang rupanya lumrah di dunia periklanan. Bukan gaji yang dicari, melainkan kesempatan untuk mendapatkan merek-merek besar dan terkenal yang dapat memperindah portofolio para praktisi periklanan. Dalam 31 tahun karir saya, saya pernah bekerja di 13 biro iklan, satu organisasi non pemerintah dan satu firma kehumasan sebagai copywriter, strategic planner, branding strategist, editor, dan sustainability communication specialist. Terlebih setelah masuk Subud, berbagai bidang dapat saya rambah dan lakukan dengan baik. Berkat bimbingan Latihan Kejiwaan, alih-alih berkat membaca buku dan mempraktikkannya bertahun-tahun.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 25 Oktober 2025

Wednesday, October 22, 2025

Keinginan yang Sudah Luntur

 

Sumber: Instagram Universitas Indonesia  @univ_indonesia

SEPTEMBER tahun 2016 lalu, saat reuni Jurusan/Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra (FS)/Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) di kampus FIB UI Depok, saya berjumpa dengan yunior saya yang lulusan S2 di Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Dia menganjurkan saya ambil S2 juga di Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan UI, dimana kebetulan salah satu peminatannya sesuai pengalaman pekerjaan saya sejak 2012, yaitu Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan.

Saya tertarik dan mulai menabung dan mencari dukungan dana untuk itu. Tapi Tuhan berkehendak lain. Dia membimbing saya ke lebih banyak proyek komunikasi keberlanjutan (sustainability communications), yaitu bidang komunikasi dan branding dengan penekanan pada program-program corporate social responsibility (CSR) Community Development (Comdev) berbasis pengelolaan lingkungan, yang otomatis mempertemukan saya dengan banyak praktisi pembangunan berkelanjutan di lapangan yang mumpuni dalam praktik di atas teori, dan juga memberi saya kesempatan blusukan ke daerah-daerah binaan program pembangunan berkelanjutan dari perusahaan-perusahaan. Begitu banyak yang saya dapat dari mereka yang mungkin tidak akan saya dapatkan di bangku kuliah.

Kini, UI meningkatkan kajian pembangunan berkelanjutan dari sekadar peminatan menjadi Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan. Sayangnya, minat belajar terstruktur saya sudah luntur.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2025

Mimpi Melayat Ulama yang Meninggal

TADI malam, saya bermimpi, dimana saya bersama Pak Wardhana (saat ini Pembantu Pelatih Nasional Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta) dan Pak Moel (Moelyono Hardjopramono, Pembantu Pelatih Cabang Jakarta Selatan yang wafat pada 2010) pergi melayat seorang anggota Subud yang meninggal. Dari luar, rumah dukanya tampak kecil, reyot dan sempit, tetapi bagian dalamnya ternyata sangat luas, yang ketika saya jelajahi tidak habis-habis ruangannya.

Di dalam banyak sekali anggota Subud, tetapi terutama dari Komisariat Wilayah VI Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, tetapi dari Surabaya hanya dari Kelompok Latihan Margodadi, sedangkan dari Cabang Surabaya di Manyar Rejo tidak ada yang datang. Terdengar suara-suara yang bertanya tentang anggota-anggota Manyar, dan ada suara-suara yang menjawab, “Manyar nggak ada yang datang!”

Saya disalami Adi Suhendro (wajahnya seperti di-Zoom in ke hadapan saya) tetapi saya lupa namanya, dan bertanya ke beberapa anggota lain; mereka menjawab, “Oh itu Mas Hendro, Subud Surabaya Margodadi.”

Kemudian saya mengambil makanan dan camilan, yang jumlahnya banyak sekali. Kemudian barulah saya memasuki kamar di mana jenazah disemayamkan. Kamarnya dipenuhi orang tetapi ranjang jenazahnya gelap, saya tidak bisa melihat jenazahnya. Yang kemudian muncul malah seorang kyai tua yang mengajak saya keluar kamar. Kyai itu mengatakan bahwa yang meninggal itu beliau sendiri, tetapi sebenarnya beliau tidak meninggal. Beliau menggiring saya keluar kamar dan menutup pintunya.

Lalu saya duduk di ruangan yang sangat luas yang lantainya beralaskan karpet hijau mirip rumput yang lembut. Banyak santri duduk di tepi ruangan. Pak Wardhana duduk di sebelah saya. “Rumahnya luas sekali ya, Pak,” kata saya. Pak Wardhana merespons, “Iya, Mas Arifin, almarhum itu kyai terkenal, ulama besar.”

Kemudian muncul Pak Moel yang mengajak saya dan Pak Wardhana pulang. Selesailah mimpi saya di situ.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2025

Monday, October 20, 2025

Kata Pengantar Skripsi

Berikut isi Kata Pengantar pada naskah asli skripsi (sebelum direvisi pasca sidang skripsi pada 7 Juli 1993) saya, yang saya salin dan memberikan sedikit perbaikan.


PUJI dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Betapapun skripsi ini secara tidak langsung merupakan hasil dari jerih payah penulis dalam mengenyam pendidikan sejarah di perguruan tinggi; hasil dari perasan otak yang terkadang melewati batas kemampuan, hasil dari membanjirnya keringat, air mata, dan tidak jarang pula kekecewaan di hati, serta hasil dari tempaan fisik yang meletihkan, adalah mustahil skripsi ini menjadi ujud yang konkret tanpa bantuan materiel dan dorongan moril dari banyak pihak, individu maupun kelompok. Paling sedikit, mereka menjadi tongkat penuntun bagi penulis untuk menelusuri garis panjang mencapai titik terang dalam karir kemahasiswaan penulis yang berawal dari sosok mahasiswa ingusan yang tidak tahu apa-apa hingga sosok calon sarjana yang dihadapkan ke “meja hijau” untuk mempertahankan skripsinya di hadapan penguji.

Oleh karena itu, adalah layak bagi penulis untuk mencurahkan balasan kepada pihak-pihak itu dalam ujud terima kasih dan penghargaan penulis kepada mereka. Pertama-tama dalam hal ini, terima kasih yang sedalam-dalamnya patut penulis persembahkan kepada dosen-dosen Jurusan Sejarah FSUI yang telah membimbing dan membentuk kepribadian ilmiah penulis hingga dapat menyelesaikan studi pada waktunya. Penulis usungkan penghargaan kepada Ibu Nana Nurliana, S.S., M.A., selaku Ketua Jurusan Sejarah FSUI yang dengan cara beliau yang khas membuat penulis terdorong untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Pula kepada Ibu MPB Manus, S.S., dan Mas Kasijanto, S.S., selaku Pembimbing Akademis penulis mencurahkan penghargaan yang sedalam-dalamnya. Sistem bimbingan akademis dalam bentuk diskusi, bukan hanya untuk urusan kuliah saja, tetapi juga tentang studi sejarah militer yang penulis dalami, dari mereka menjadi masukan yang berarti bagi penulis. Tanpa bimbingan dalam kaitan teknis, metodologis dan teoritis dari pembimbing skripsi penulis, Bapak Kolonel TNI (Inf.) Saleh A. Djamhari, S.S., tentunya skripsi ini menjadi tidak lebih dari sebuah karya sampah yang tidak patut disejajarkan dalam koleksi skripsi sarjana Jurusan Sejarah FSUI. Terima kasih dan penghargaan yang setulusnya, karena itu, patut dihaturkan kepada beliau.

Tidak lupa, penulis mengungkapkan rasa terima kasih kepada Mas M. Iskandar, S.S., M.A., yang mau meluangkan waktu sebagai pembaca skripsi penulis dan Mas Susanto Zuhdi, S.S., M.A., yang terkadang menyediakan waktu untuk diskusi tentang Sejarah Revolusi dengan penulis. Peran Mbak Dwi Mulyatari, S.S., Mbak Siswantari, S.S., dan Mas RediRahmat, S.S., terutama dalam membantu secara administratif “kelangsungan hidup” penulis sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI mendapat tempat tersendiri dalam daftar penghargaan penulis. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Richard H. Chauvel, Ph.D., atas perhatian beliau terhadap minat penulis dalam studi militer selama mengikuti kuliah-kuliah kajian Australia dari beliau.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada petugas-petugas Perpustakaan FSUI, seperti Mas Ade Dahlan den Mas Daksina, yang senantiasa sabar melayani penulis dalam mencari buku-buku yang penulis butuhkan untuk penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penulis mohon maaf, karena kelalaian penulis mengembalikan buku-buku yang dipinjam merepotkan pekerjaan mereka. Turut menjadi penghargaan penulis adalah kesabaran dan kebaikan dari para petugas perpustakaan, arsip dan pusat dokumentasi lainnya yang meringankan beban penulis dalam menemukan sumber-sumber yang dibutuhkan. Dalam kaitan ini, penulis layak mengucapkan terima kasih, antara lain kepada Bapak Pramudjo dari Dinas Dokumentasi ABRI Satria Mandala, Bapak Sokiman dari Perpustakaan Museum Waspada Purba Wisesa, Mas TotoWidyarsono, S.S., Mas Oloan dan Mbak Ami dari Arsip Nasional Republik Indonesia.

Sejak menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, penulis menyadari, bahwa konsep kesetiakawanan dan persahabatan merupakan unsur pokok dalam kehidupan di kampus. Oleh karena itu, penulis mengesampingkan sikap individualisme dan sikap sok mandiri. Tanpa kehadiran teman dan sahabat, kemungkinan besar penulis tidak akan pernah merasakan kebahagiaan dan kebanggaan sebagai mahasiswa Universitas Indonesia. Tanpa kehadiran mereka pula, dapat dipastikan, skripsi ini takkan pernah selesai pada waktunya. Sebab, bagaimanapun, rangkulan kesetiakawanan mereka menjadi tonggak penegak badan penulis untuk bersama-sama menghadapi perjuangan berat yang menanti di muka.

Adalah suatu kebahagiaan tersendiri untuk dapat mengenal sosok-sosok seperti Januar dan Adi Nusferadi dari Angkatan 1986 sebagai sahabat-sahabat sejati yang senantiasa bersedia membantu penulis selama menjadi mahasiswa sampai masa penyusunan skripsi ini. Keterbukaan mereka berdua yang secara tulus menghadapi kelakuan penulis yang sering tidak menentu, menjengkelkan dan konyol adalah bukti kesetiakawanan sejati mereka. Ungkapan terima kasih penulis terukir dalam kalimat berikut: “It’s been so nice to have friends like the two of you.”

Penulis berhutang budi kepada AdiPatrianto, Moh. Zain bin Junoh dan Arfandi Lubis, ketiga-tiganya dari Angkatan 1989, yang telah meminjamkan buku-buku yang penulis butuhkan. Tanpa mereka, barangkali penulisan skripsi ini menjadi tersendat-sendat. Dalam golongan ini, termasuk pula Ali Anwar, S.S., yang selain adalah senior penulis di Jurusan Sejarah juga merupakan kawan dan guru yang baik. Penulis banyak belajar dari dia, terutama tentang tata cara penelitian lapangan. Penulis berterima kasih kepadanya, karena telah diberi kesempatan, kepercayaan serta bantuan untuk mempopulerkan studi sejarah militer dalam wadah Divisi Kajian Militer dari Yayasan Historia Vitae Magistra (YAVITRA) yang diketuainya.

Tidak ketinggalan adalah teman-teman kuliah penulis dari Angkatan 1987, seperti Abdul Jalil, Dwi Puspitasari, Endah Sri Mulatsih, Esterlita Situmorang, Edi Sudarjat, Jaja Najarudin, Maftukhi, Nurlaelah, Pandji Kiansantang, Rasti Suryandani, Syamsul Bachri, Shita Purnamasari, Tien Hartati, Zaenal Abidin, Zainurlis dan Zali Abubakar. Kesempatan untuk mendapatkan teman-teman seperti mereka adalah saat-saat yang takkan terlupakan oleh penulis, karena “I know they are always there when I need them to help me.” Selain itu, kesempatan untuk mengenal Agus Syamsuddin, Arif Pradono, Ahmad Jamil S., Endri Gani, Helmy Arief, Herman Effendy, Indra Priamudi, Linda Sunarti, Lusy Wulansari, Niken Probosari, Sarwoto dan Sulardi dari Angkatan 1988 menjadi warna semarak dalam kehidupan penulis. Mereka semua memberi nafas bagi eksistensi penulis dalam lingkaran mahasiswa Jurusan Sejarah secara keseluruhan.

Penulis banyak mendapatkan gagasan-gagasan baru dan masukan-masukan yang turut menatahkan kata-kata dalam skripsi ini berkat diskusi-diskusi yang menarik di sekitar studi militer dengan Bingar Setiawidi (1989) dan R. Taufik (1990). “Thanks, guys.” Terima kasih penulis sampaikan pula untuk Martomo R. Hidayat (Perpustakaan 1987), Taufik (Jerman 1987), Sudirman (Arab 1987), Syarif Thoyib (Sejarah 1984), dan Urip Herdiman Kambali (Sejarah 1984) yang sering menjadi lawan dialog di luar urusan kuliah, yakni terutama obrolan di sekitar soal kaum Наwа.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan penghargaan secara khusus kepada sahabat pena tercinta Josephien Jolanda (Yola) di Surabaya. Surat-suratnya yang senantiasa memberi dorongan dan doa-doa telah mengiringi penulis dalam empat semester terakhir masa kuliah penulis di Universitas Indonesia. Penghargaan itu penulis berikan untuk pemahamannya atas konsep persahabatan sejati. Dalam keadaan-keadaan penulis di saat suka dan di saat duka, is menyempatkan diri untuk menelepon interlokal ke penulis.

Persiapan efektif menuju ke arah penulisan skripsi ini telah dilakukan sejak lebih dari dua tahun yang lalu. Persiapan itu antara lain mencakup kegiatan penulis dalam melakukan perjalanan guna mengadakan penelitian lapangan pada salah satu daerah yang turut menjadi pembahasan dalam skripsi ini, yakni Kabupaten Banyumas. Kiranya penulis akan menghadapi berbagai hambatan dalam kegiatan penelitian itu, seandainya penulis tidak memperoleh uluran tangan dari pihak-pihak yang berkepentingan langsung. Pertama-tama, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak pimpinan Bagian Hukum pada Kantor Kabupaten Banyumas, di Purwokerto, yang secara spesifik menjelaskan prosedur pengadaan penelitian di wilayah Kabupaten Banyumas. Tidak kurang perannya, dalam hal ini, adalah Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas yang “melicinkan” jalan bagi penulis dengan pemberian rekomendasi guna penelitian penulis. Karena itu, patut pula penulis berterima kasih kepada beliau. Tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada Komandan Resort Militer 071/Purwokerto atas kesediaan beliau memberi fasilitas kepada penulis selama melakukan penelitian. Secara khusus, penulis melimpahkan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Mayor TNI Purn. Pdt. Atmosugondo, Ketua Tim Penyusun Sejarah KOREM 071/Purwokerto, yang dengan ramah menyambut kedatangan penulis di rumah beliau di Berkoh, Purwokerto, untuk berdiskusi tentang sejarah Banyumas pada masa Revolusi.

Penulis berhutang budi kepada dewan redaksi majalah Teknologi & Strategi Militer (TSM) yang secara tidak langsung telah menumbuhkan kepercayaan diri penulis untuk menggeluti dunia tulis-menulis. Perluasan dari Bab I dan II skripsi ini pernah dimuat secara terpisah sebagai artikel dalam edisi September dan Oktober 1992 dari majalah itu.

Dari segi materiel dan moril, penulis sangat berhutang budi kepada Papa dan Mama tercinta. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada Papa tercinta, Mayor TNI Purn. Slamet, yang telah mengalirkan darah militer dalam tubuh penulis dan telah menanamkan semangat untuk mendalami studi militer. Juga untuk kakak dan adik-adik tersayang, RinaWidiyanti, S.S., Dini Triasrini dan Shanti Meiliasari, penulis sampaikan terima kasih dan cinta atas dukungan mereka selama penulis menyusun skripsi ini. Tidak luput dari rasa terima kasih penulis adalah sepupu penulis, Tris Feriatno, yang bandel namun dapat menghibur penulis di saat-saat kesuntukan menghadapi buku, kertas dan mesin tik. Semoga Allah SWT membalas jasa baik mereka dengan rahmat dan karunia-Nya.

Akhir kata, penulis berharap, bahwa skripsi ini akan memiliki manfaat bagi segenap mahasiswa, peminat dan pembaca sejarah Indonesia umumnya serta menambah khasanah sejarah militer khususnya. Amin.


Jakarta, Mei 1993

Anto Dwiastoro Slamet

Naskah asli skripsi saya saat diujikan oleh sidang penguji di FSUI pada 7 Juli 1993.



Bentuk skripsi saya pasca direvisi, dibuat sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah asli saya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia).