Tuesday, December 9, 2025

Puisi “Percaya” dari Hein Pragt


Hein Pragt adalah seorang musisi Belanda yang kemampuannya dia peroleh dari autismenya. Pada tahun 2000, ia kembali menulis puisi di masa yang sangat sulit dan rumit dalam hidupnya sebagai motivasi bagi dirinya sendiri. Karena puisi ini telah sering dikutip dan ia telah menerima banyak tanggapan mengenainya selama dua puluh tahun terakhir, ia memutuskan untuk menempatkan puisi ini di laman terpisah dari situs Webnya, www.heinpragt.com, untuk menambahkan sedikit konteks. Puisi berikut ia terbitkan pada 8 November 2023.




Geloven                                   

Soms overdenk ik in mijn bed, wat het leven eigenlijk is, over geluk, pijn en verdriet en alles wat ik mis. Maar je ervaring maakt je sterk, en je toekomst wordt bepaald, door wat je vandaag beleeft, en uit je leven haalt.

Denk goed na over wat je wilt, en bepaal je nieuwe doelen, als je verleden kunt vergeten, dan kun je echt weer voelen. Wees oprecht en eerlijk voor jezelf, en in het algemeen, verplaats je in gevoelens van mensen om je heen.

Leer je grenzen te bewaken, en durf anders te zijn, je aan principes houden, geen water bij de wijn. Je werkelijke kracht, om gelukkig te kunnen leven, is niet bang of boos te blijven, maar berusten of vergeven.

Leer als je geluk wilt vinden, al heb je nog zo'n pijn, alsof je nooit gekwetst bent, weer verliefd te kunnen zijn. Al heb je nu veel zorgen, hou de toekomst in je hoofd, en zie dat alles mogelijk is, als je er maar in gelooft.

Hein Pragt


Terjemahannya:

Percaya

Kadang-kadang aku merenungkan di tempat tidurku, apa sebenarnya hidup itu, tentang kebahagiaan, rasa sakit, dan kesedihan dan semua yang kurindukan. Tetapi pengalamanmu membuatmu kuat, dan masa depanmu ditentukan, oleh apa yang kamu alami hari ini, dan yang kamu dapatkan dari hidupmu.

Pikirkan baik-baik tentang apa yang kamu inginkan, dan tentukan tujuan barumu, jika kamu dapat melupakan masa lalu, maka kamu benar-benar dapat merasakan lagi. Jujurlah dan tuluslah pada dirimu sendiri, dan secara umum, tempatkan dirimu dalam perasaan orang-orang di sekitarmu.

Belajarlah untuk menjaga batas-batasmu, dan berani untuk berbeda, berpegang pada prinsip-prinsipmu, jangan berkompromi. Kekuatanmu yang sebenarnya, untuk dapat hidup bahagia, adalah tidak tetap takut atau marah, tetapi pasrah atau memaafkan.

Belajarlah jika kamu ingin menemukan kebahagiaan, meskipun kamu merasa sangat sakit, untuk dapat jatuh cinta lagi, seolah-olah kamu tidak pernah terluka. Meskipun kamu sekarang memiliki banyak kekhawatiran, ingatlah masa depan di benakmu, dan lihatlah bahwa semuanya mungkin, asalkan kamu memercayainya.

Hein Pragt

Saturday, December 6, 2025

Mengikuti Arahan Latihan

SEJAK tahun lalu, saya menjadi kontributor Subud Voice untuk berita-berita atau artikel-artikel terkait Subud Indonesia. Kadang pemimpin redaksinya meminta saya menulis tentang suatu event di lingkungan Subud Indonesia. Bagi saya hal itu sangat mudah, hanya bila saya sendiri menghadirinya.

Yang tidak terlalu mudah adalah bila saya tidak menghadirinya. Masalahnya, orang Indonesia kebanyakan tidak terlalu suka membagi cerita secara tertulis, sehingga yang muncul di media sosial mereka yang menghadiri acara-acara Subud jarang sekali—jika tidak bisa dikatakan “tidak sama sekali”—berupa tulisan yang bercerita secara detail mengenai acara tersebut. Biasanya, hanya foto-foto, yang bahkan tidak mencantumkan caption.

Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa orang Indonesia mungkin tidak terlalu suka bercerita secara tertulis:

1. Indonesia memiliki tradisi lisan yang kuat, di mana cerita dan pengalaman seringkali dibagikan secara langsung melalui percakapan atau pertunjukan seni seperti wayang kulit atau teater tradisional.

2. Bahasa Indonesia memiliki struktur yang kompleks, sehingga beberapa orang mungkin merasa tidak nyaman menulis dalam bahasa yang tidak mereka kuasai sepenuhnya.

3. Menulis tidak selalu menjadi kebiasaan sehari-hari bagi banyak orang Indonesia, sehingga mereka mungkin merasa tidak percaya diri atau tidak tahu bagaimana memulai.

4. Kebanyakan orang Indonesia (anehnya, saya menemukan kecenderungan itu sangat kuat di antara anggota Subud) takut salah dan menghindari kemungkinan harus mempertanggungjawabkan suatu pernyataan. Yang terucap bisa cepat dilupakan, tetapi yang tertulis akan terus diingat, dan hal itu menakutkan seandainya pernyataannya keliru.

5. Bercerita secara terbuka tentang segala sesuatu, termasuk ketidaksetujuan, atau kegagalan, bisa dianggap mengganggu harmoni kelompok atau membuat orang lain merasa tidak nyaman. Sehingga, orang Indonesia sering memilih untuk menyimpan cerita yang berpotensi menimbulkan ketegangan.

Baru-baru ini, saya mencari cerita apapun mengenai Musyawarah Wilayah VI Subud Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, yang diselenggarakan di Bali pada 1-2 November 2025. Saya telusuri satu per satu akun Facebook dari semua anggota Subud yang berasal dari kawasan itu, terutama yang sedang menjabat sebagai pengurus atau bertugas sebagai pembantu pelatih. Yang saya temukan hanya sedikit sekali foto—semua tanpa caption yang menjelaskan apa yang terjadi dalam foto tersebut, selain tulisan “MusWil VI di Bali”.

Saya kemudian meminta keterangan ke satu pengurus cabang di Jawa Timur, melalui WhatsApp, dan dia menjawabnya dengan mengirim tautan Google Drive berisi 195 foto tanpa keterangan apapun. Anggota lainnya hanya mengirimkan PDF satu halaman surat undangan resmi mengenai acara tersebut. Saya enggan mendesak orang untuk memberikan lebih dari yang saya minta di awal, jadi baik foto-foto maupun surat undangan itu saya terima tanpa komentar lebih lanjut.

Selanjutnya, saya gunakan Latihan saja untuk memproses data yang tidak disertai rincian itu. Saya memiliki banyak sekali pengalaman dalam hal ini, puji Tuhan, termasuk salah satunya pada tahun 2008 dimana saya harus menulis naskah narasi untuk sebuah film dokumenter yang di-shoot di Papua, sedangkan saya saat itu berada di Jakarta dan tidak pula mendapatkan gambar adegan-adegannya. Naskah yang saya emailkan menimbulkan ketercengangan para kru film yang berada di Papua, pasalnya urutan narasinya sama persis dengan urutan gambar yang telah diedit secara offline!

Dengan cara yang hampir sama, saya merasakan bagaimana Latihan mengarahkan saya untuk menuliskan cerita berdasarkan foto-foto acara Musyawarah Wilayah di Bali itu, lengkap dengan atmosfer gegap gempitanya, suasana keakraban antar peserta, rapat-rapat pengurus dan pembantu pelatih. Ajaibnya, saya seperti tersedot ke momen itu, hingga dapat “mendengar” suara-suara para peserta dan keriuhan di dalam aula di saat acara pembukaan dan penutupan.

Saya membayangkan, jika semua orang yang bekerja menggunakan bimbingan Latihan, dunia ini akan menjadi lebih indah dengan karya-karya yang menyenangkan dan menenangkan.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 7 Desember 2025

Thursday, December 4, 2025

Para Penggembira

“Saya tidak tahu acara ini tentang apa, tapi yang jelas wajah saya ada di foto yang diunggah di media sosial panitia.”

~Motto Penggembira


KETIKA saya pertama kali masuk Subud pada bulan Maret 2004, saya mulai mengenal organisasi Subud Indonesia dengan menghadiri Musyawarah Wilayah (Muswil) pertama saya untuk Komisariat Wilayah VI (meliputi Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi) di sebuah daerah resor di Jawa Timur. Meskipun saat itu saya tidak terlalu tertarik dengan urusan organisasi, saya tetap menuruti saran para pembantu pelatih di cabang asal saya—Surabaya, Jawa Timur—hanya untuk merasakan seperti apa Muswil itu.

Yang memotivasi saya untuk ikut serta adalah kenyataan bahwa organisasi Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Subud, khususnya di Indonesia, merupakan ciptaan Bapak. Untuk benar-benar mengenal Subud dan Bapak, saya merasa perlu memahami “cara kerja internalnya”—organisasi yang telah memungkinkan Subud untuk tetap eksis hingga saat ini.

Muswil tersebut ternyata tidak seperti yang saya bayangkan; agenda acaranya minim urusan organisasi. Dari sekitar 200 peserta yang hadir dari Komwil VI, yang pada saat itu meliputi 18 cabang di seluruh Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi, hanya segelintir yang menghadiri sesi-sesi pengurus, karena mereka adalah delegasi cabang yang ditunjuk. Satu delegasi biasanya terdiri dari pembantu pelatih daerah pria dan wanita, ketua cabang, serta sekretaris dan/atau bendahara cabang. Sisanya, yang merupakan mayoritas peserta Muswil, adalah “penggembira”—orang-orang yang hadir hanya untuk menikmati suasana baru (karena Muswil biasanya diadakan di daerah resor) dan untuk bertemu dengan anggota dari cabang-cabang lain.

Selama dua hari Muswil VI pada Juli 2004 itu—Muswil selalu diadakan pada akhir pekan—saya menghabiskan sebagian besar waktu saya hanya berkeliling di lokasi tersebut. Saya sama sekali tidak tahu apa yang tengah berlangsung di sejumlah ruangan di hotel tempat diselenggarakannya Muswil. Saya hanya mengetahuinya kemudian, seminggu setelah Muswil, ketika buku laporan hasil Muswil dibagikan kepada siapa saja yang berminat membacanya. Lokasi Muswil itu sendiri adalah tempat wisata yang populer di Jawa Timur: Telaga Sarangan, yang terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Telaga ini menyuguhkan pemandangan indah, udara sejuk, dan beragam kegiatan seperti menunggang kuda, naik speedboat, atau sekadar menikmati kuliner lokal sambil menikmati pemandangan telaga.

Dalam konteks acara-acara Subud seperti kongres atau pertemuan pengurus dan pembantu pelatih, muncul jenis “penggembira” yang baru dan tidak terlalu buruk. Mereka adalah peserta yang datang bukan untuk mendengarkan sambutan-sambutan, menghadiri sesi-sesi teknis, atau memperoleh wawasan kejiwaan yang mendalam dari ceramah Ibu Rahayu, baik yang disampaikan langsung maupun yang direkam. Mereka datang demi suasana, jejaring, dan kesenangan murni dari kesempatan berkumpul.

 

Suasana keakraban di antara para peserta Musyawarah Wilayah III Jakarta, 6 Desember 2025 di Sekolah Cita Buana, Jagakarsa, Jakarta Selatan.


Kelompok peserta ini, yang dapat kita sebut secara santai sebagai Penggembira Acara (Event Joyriders), mungkin tidak memiliki kepentingan dalam jalannya acara, tetapi kehadiran mereka menyoroti kebenaran mendasar tentang pertemuan manusia: koneksi atau hubungan sering kali sama berharganya dengan konten atau isi acara itu sendiri.

Para Penggembira Acara Subud hadir dalam berbagai bentuk, semuanya disatukan oleh sebuah motivasi utama, yaitu pengalaman sosial di atas kebutuhan organisasi:

·        Si Kupu-Kupu Sosial (The Social Butterfly): Agenda mereka penuh sesak dengan janji temu minum kopi, rencana makan malam, dan pesta setelah jam acara resmi. Mereka adalah penghubung antar manusia, sering kali mengenal semua orang dan memperkenalkan cabang-cabang yang berbeda. Acara resmi itu sendiri hanyalah latar belakang organisasi yang nyaman untuk sirkuit sosial pribadi mereka.

·        Si Pencari “Bersenang-senang Sambil Bekerja” (The “Bleisure” Seeker): Orang ini mungkin berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan pengurus atau dewan pembantu pelatih, tetapi tujuan sebenarnya adalah perjalanan “bisnis-plus-rekreasi” (bleisure). Acara resmi adalah pembenaran mereka untuk menjelajahi tempat baru, menikmati hotel mewah, dan menerima kupon makan yang lumayan. Saya pernah menjadi jenis penggembira ini ketika menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pengurus Nasional Subud Indonesia untuk periode 2009-2011.

·        Si Peserta Kebetulan (The Accidental Attendee): Mereka ikut dibawa oleh anggota pengurus, pembantu pelatih, atau mungkin cabang mereka memiliki tiket berlebih yang harus digunakan. Mereka berkeliling di lokasi acara untuk mendapatkan barang gratis dan menikmati suasana, tetapi urusan keorganisasian sama sekali tidak mereka pahami.

·        Si Penebar Jaringan Demi Jaringan (The Networker for the Sake of Networking): Mereka mengumpulkan kartu nama seperti mengoleksi kartu dagang, dimotivasi bukan oleh tujuan bisnis tertentu melainkan lebih karena kenikmatan murni bertemu orang baru dan memperluas daftar kenalan pribadi mereka.

Meskipun mereka mungkin tidak berkontribusi pada wacana resmi Subud, para penggembira ini jauh dari kata merugikan. Faktanya, mereka secara tidak sengaja menjalankan fungsi yang krusial dan sering diremehkan: Mereka adalah pelumas sosial dalam acara tersebut. Mereka adalah yang pertama tertawa, yang memulai percakapan di sudut yang sepi, dan yang menjaga energi tetap tinggi selama gathering kejiwaan. Mereka mengubah pertemuan organisasi yang kaku menjadi pengalaman sosial yang dinamis.

 

Para peserta Musyawarah Wilayah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta (22-23 November 2025) menyempatkan diri berwisata ke Bukit Sekipan di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Dengan menghubungkan orang-orang di berbagai bagian dari pengurus Subud, badan sayap (wing bodies), atau bahkan para pembantu pelatih, para penggembira ini sering kali memicu percakapan yang paling tidak terduga dan berharga. Perkenalan santai saat rehat kopi bisa mengarah pada kemitraan di masa depan dengan lebih mudah daripada pertemuan formal yang terjadwal. Kehadiran mereka mengingatkan semua orang bahwa Subud terdiri dari manusia. Mereka menyuntikkan dosis kemanusiaan, kesenangan, dan keceriaan yang sangat diperlukan ke dalam lingkungan yang jika tidak, bisa menjadi sangat serius dan penuh tekanan.

Meningkatnya jumlah Penggembira Acara menggarisbawahi sifat evolusioner acara-acara organisasi Subud. Dalam dunia yang semakin digital, daya tarik terbesar dari acara tatap muka (in-person) bukanlah informasi (yang sering kali dapat ditemukan secara daring) melainkan koneksi IRL (in-real-life/di kehidupan nyata). Pengurus Nasional Subud Indonesia dan panitia pelaksana acara organisasi resmi yang ditunjuk olehnya sudah menyadari hal ini ketika Pengurus Nasional diketuai oleh Luthfie Hadiyin (2009-2011). Mereka sengaja menggabungkan lebih banyak elemen interaktif, menyenangkan, dan sosial—mulai dari pengalaman mendalam (immersive experiences) hingga hiburan setelah jam acara yang berkualitas—untuk menarik dan memuaskan segmen peserta yang terus berkembang ini.

Meskipun kongres-kongres Subud harus tetap menjadi platform untuk pembahasan-pembahasan yang serius dan pemecahan masalah, para penggembira membuktikan bahwa imbalan tak berwujud dari keakraban (camaraderie) dan pengalaman bersama sama pentingnya. Mereka adalah pengingat yang menyenangkan bahwa kadang-kadang, alasan terbaik untuk hadir hanyalah untuk menikmati perjalanannya saja.

 

Musyawarah Wilayah VI Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, pada 1-2 November 2025 digelar di destinasi wisata utama dunia, Bali. Tepatnya di Denpasar..


Bapak pernah menyebut acara-acara organisasi Subud, seperti Musyawarah Nasional (MuNas) dan Kongres Nasional, sebagai “kendurinya anggota”. Saya juga merasakan bahwa semua acara Subud yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan perkumpulan terasa seperti sebuah kenduri atau pesta, tempat para anggota bertemu untuk melepaskan kerinduan satu sama lain. Itulah sebabnya tidak jarang kita melihat anggota mengadakan pertemuan sampingan yang tidak resmi di sekitar lokasi acara-acara besar seperti MuNas dan Kongres.

“Kenduri” adalah pesta komunal atau ritual tradisional yang diadakan untuk berbagai tujuan, seperti mengungkapkan rasa syukur, memperingati peristiwa penting, atau mendoakan orang yang telah meninggal. Acara ini biasanya dipimpin oleh tokoh atau tetua yang dihormati dan berfungsi sebagai waktu bagi orang-orang untuk berkumpul, mempererat kebersamaan, dan memohon berkah atau memanjatkan doa.

 

Acara kenduri yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di Jawa.


Suasana “kenduri” atau pesta ini ditemukan di semua acara Subud di Indonesia karena masyarakat Indonesia sangat suka berkumpul. Kecintaan orang Indonesia untuk berkumpul didorong oleh budaya kolektivisme dan kekeluargaan yang kuat, yang didorong oleh nilai gotong royong, kebutuhan akan identitas sosial, jaringan pertemanan untuk dukungan emosional, dan kebiasaan yang mengakar untuk mencari kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan masyarakat yang lebih individualistis, berkumpul bagi orang Indonesia adalah bagian inti dari karakter budaya mereka, yang menekankan hubungan sosial yang erat dan saling mendukung.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 5 Desember 2025

Monday, December 1, 2025

Pelajaran Sabar

 


SEBUAH pengumuman dari akun Instagram Subud Youth Indonesia, tentang kegiatan gathering bertopik “Sabar”, yang difasilitasi Dewan Pembantu Pelatih Nasional (DPPN) Subud Indonesia, menggelitik ingatan saya pada sebuah insiden 11 tahun lalu.

Saat itu, saya sedang mudik ke Surabaya dalam rangka Idulfitri. Kakak ipar saya, laki-laki, curhat ke saya bahwa dia sedang berada di titik terendah hidupnya akibat kebangkrutan yang dihadapi perusahaan ekspedisi muatan kapal laut yang dia gawangi.

Dia minta saran saya tentang keinginannya untuk masuk Subud. Saya tidak tahu dari mana ia mendapat pemikiran untuk masuk Subud, karena saya tidak menyarankannya dan dia juga tidak tahu bagaimana Subud bisa membantu dia. Tetapi karena dia bersikeras, saya persilakan dia untuk mengikuti prosedurnya, yaitu melalui masa kandidatan selama tiga bulan.

“Saya ingin belajar sabar,” kata dia berulang kali. Dia terperangah ketika saya bilang bahwa di Subud tidak ada orang yang akan mengajarnya, karena di Subud tidak ada pelajaran dan teori, dan bahwa kita belajar dari kenyataan melalui pengalaman hidup kita. Kakak ipar saya, meski sempat terheran-heran, tetap memastikan diri bahwa dia ingin masuk Subud.

“Pelajaran sudah dimulai sejak masa kandidatan itu. Sebaiknya Mas siap menghadapinya,” kata saya, mengingatkan.

Pada suatu hari Kamis malam, jadwal reguler Latihan dari Cabang Surabaya, kakak ipar saya mengekor motor saya dengan motornya sendiri menuju Wisma Subud Surabaya. Saya perkenalkan dia ke salah satu pembantu pelatih, yang lantas mengajak dia ke ruangan khusus kandidatan. Saya tidak nimbrung bersama ipar saya; saya biarkan dia lebur bersama para pembantu pelatih dan sesama kandidat.

Beberapa saat kemudian, saya sempat melihat satu pembantu pelatih senior, yang baru tiba di Wisma Subud Surabaya, melangkah tertatih-tatih ke arah ruangan kandidatan. Sekitar 15 menit kemudian, saya lihat kakak ipar saya melangkah keluar dari ruangan tersebut, dengan wajah merah menahan marah dan mengumpat. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi pembantu pelatih pertama yang sebelumnya mengajak ipar saya ke ruangan kandidatan kemudian duduk di sebelah saya, dan berbisik, “Mas, ada suatu insiden... Kakak ipar panjenengan tidak terima dan marah. Tapi panjenengan nanti tidak perlu menegurnya, biarkan dia redam dulu amarahnya."

Keesokan paginya, kakak ipar saya menyampaikan ke saya dan istri saya (yang juga di Subud) bahwa para pembantu pelatih itu “tidak benar agamanya”. Jadi, si pembantu pelatih senior itu rupanya menanyakan ipar saya, apa pekerjaannya, tetapi jawaban ipar saya dinilai oleh si pembantu pelatih sebagai “bohong”, ditambah dengan penegasan bahwa perusahaannya bangkrut—suatu fakta yang tidak diketahui oleh siapapun selain kakak ipar saya, istri saya dan saya sendiri.

“Kamu yang tidak benar agamanya,” kata istri saya, membentak kakak laki-lakinya yang jebolan pesantren. “Kalau kamu benar agamamu, kamu tidak akan mudah marah oleh sebab hal sepele begitu.”

Saya menambahkan, “Mas katanya ingin belajar sabar. Saya kan sudah ingatkan bahwa di Subud tidak ada pelajaran, tidak ada teori. Semua pelajaran diperoleh dari praktik langsung. Jadi, PP itu sejatinya sedang dibimbing Tuhan untuk mengajari Mas bersabar... Nyatanya, Mas gagal dalam hal itu.”

Kakak ipar saya kaget dan kemudian tercenung. Akhirnya, ia memutuskan untuk melanjutkan kandidatannya—meski ia tidak pernah dibuka lantaran ia tidak sabar melalui prosesnya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 2 Desember 2025

Sunday, November 30, 2025

The Colorful Black-and-White Side of Arifin

 


LAST night, at his apartment in the Cipete Selatan area of South Jakarta, my Subud brother, Dino, was experimenting with the effects of black-and-white photography. He took pictures of me with his phone camera while I was sitting on the couch, absorbed in my smartphone. This is how the photo came out. To strengthen the narrative of these images, I decided to create a story about myself, which is as follows:

Arifin Dwi Slamet, a man whose gaze held the depth of three decades in the demanding world of branding, leaned back, a silent testament to a life richly lived. His hands, though casually at rest, had crafted countless narratives, shaping perceptions and forging connections for brands big and small. A historian by training from the esteemed University of Indonesia, Arifin’s strategic mind is a tapestry woven with the threads of the past, allowing him to see patterns and predict futures where others see only chaos.

 


Beyond the work desk, his passions paint a vivid portrait of a soul constantly seeking wonder. The rhythmic clatter of trains on tracks spoke to his railway enthusiast heart, a metaphor perhaps for the journey of life itself, with its many stations and unexpected detours. The disciplined world of the military, a stark contrast to the fluidity of advertising, offers another facet of his multifaceted curiosity. And for 22 years, his dedication to Subud had grounded him, providing a spiritual anchor amidst the ever-shifting currents of his professional life.

In this quiet moment, holding his phone, Arifin isn’t just a strategist; he is a storyteller, a seeker, a man whose every experience, every interest, fueled the boundless creativity that defined him. His story isn’t just about crafting campaigns; it is about crafting a life—a masterpiece of passion, intellect, and unwavering spirit.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 1 December 2025

Kepribadian Akademik

 


KEMARIN, saat ngopi-ngopi di Kopi Bar Jl. Margonda Raya No. 417-E (sebelah selatan Kampus D Universitas Gunadarma), Depok, Jawa Barat, saya bersama tiga rekan alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; sejak 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI) yang, seperti saya, semuanya berprofesi praktisi komunikasi, membahas perilaku anak-anak Milenial (Gen Y) dan Gen Z dalam memilih perguruan tinggi.

 

Pilihan generasi Y-Z sering kali bukan bersifat akademik atau keilmuan tetapi menyangkut kelengkapan fasilitas hiburan yang tersedia di intra dan ekstra kampus, dan juga “gaya hidup” yang ditawarkan perguruan tinggi. Sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, tren anak-anak Jabodetabek untuk kuliah di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur semakin meningkat. Sampai dekade 1990an, UI masih jadi favorit—dipandang sebagai kampus prestisius yang menjadi jaminan masa depan super cerah. Ada kawan saya bahkan pernah berujar, “Gue kalo nggak diterima di UI, mending kuliah di luar negeri!”






Standar akademik UI kala itu memang fantastis. Kalau sekarang Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,50, yang dianggap bagus karena memenuhi kriteria predikat “Memuaskan” (cum laude), dapat dicapai dengan begitu mudah, dulu hanya UI yang “pelit” IPK setingkat itu. Kami dulu sudah bersyukur dengan IPK 2,50. Seorang dosen Sastra Jepang FSUI bahkan menyatakan bahwa nilai C di UI setara dengan nilai A di perguruan tinggi paling bergengsi di Jepang, Universitas Waseda.

 

Tetapi saya memilih kuliah di UI bukan karena UI dapat meningkatkan gengsi saya. Saya memilih UI karena saat itu (1987) orang tua saya tidak memperbolehkan saya kuliah di luar Jakarta lantaran biaya yang harus beliau-beliau keluarkan akan sepantar dengan biaya kuliah di swasta. Orang tua saya tidak kaya harta, dan mengajarkan hidup sederhana serta selalu bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki.

 

Kalau saat itu orang tua saya memberi saya kebebasan memilih, saya sebenarnya ingin kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, yang kajian sejarah sosialnya menjadi kiblat para sejarawan Indonesia dan luar negeri, diajar oleh dosen-dosen yang namanya sohor di negeri ini. Saya juga terpaksa memilih UI karena ada matakuliah-matakuliah yang mendukung kegemaran saya pada militer. Di Jurusan Sejarah FSUI saat itu, matakuliah sejarah militer diajar oleh seorang militer—seorang perwira TNI Angkatan Darat berpangkat Kolonel Infanteri.

 

Bagaimanapun, sebagaimana yang selalu ditanamkan oleh orang tua saya—agar saya mensyukuri apa yang diberikan oleh Semesta, saya bersyukur pernah kuliah di Universitas Indonesia. UI-lah yang membentuk kepribadian akademik saya, yang sangat berguna dalam melakoni hidup pasca perguruan tinggi.©2025

           

                                          

 

Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 1 Desember 2025

Saturday, November 29, 2025

Ukuran Waktu: Homecoming FIBUI 2025

 


Berkumpul mulai jam 09.00 WIB di Kopi Bar, Jl. Margonda Raya, Depok (sebelah Universitas Gunadarma Kampus D), sebelum menuju lokasi acara Homecoming FIBUI di kampus FIBUI Depok: (dari kiri ke kanan) Andi Zulfikar (Sejarah ’86), Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’87), Dino Musida (Sejarah ’86), dan Edwar Mukti Laksana (Sejarah ’89).

30 November 2025 membawa cahaya yang indah dan jernih ke lingkungan yang akrab dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) di Universitas Indonesia (UI). Melangkah di kampus FIBUI, aroma buku-buku lama dan hujan tropis—aroma yang hanya familiar di kalangan warga FIBUI—langsung menyambut saya. Tiga puluh tahun lebih pun sirna dalam panasnya Depok, Jawa Barat. Saya, seorang sarjana yang bangga dari Jurusan Sejarah, Angkatan 1987, akhirnya pulang untuk acara reuni Homecoming akbar.

Kegembiraan murni siang itu diukur bukan dalam jam, tetapi dalam keterhubungan yang instan. Saya pertama kali tertarik ke wajah-wajah yang akrab dari jurusan saya, Sejarah. Kami adalah penjaga masa lalu, yang kini membandingkan kehidupan kami saat ini—karier tak terduga, kota-kota jauh tempat kami menetap, dan kebijaksanaan yang terukir di sekitar mata yang dulunya begitu bersemangat memperdebatkan mata kuliah di ruang-ruang kuliah tahun 1980-an. Diskusi terasa seperti kelanjutan dari diskusi terakhir kami, meskipun beberapa dekade memisahkannya.

Di selasar Gedung II FIBUI (dulu, Biro Administrasi Pendidikan/BAP). Dari kiri ke kanan: Budi (Sejarah ’91), Pandu Dewanata (Sejarah ’86), Dedeth Dewa (Sastra Jawa ’85), Ceha Bastian (Sastra Cina ’85), Dino Musida (Sejarah ‘8), Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’87), dan Fana Ds (Sejarah ’89).


Di selasar Gedung II FIBUI (dulu, Biro Administrasi Pendidikan/BAP). Dari kiri ke kanan: Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’8), Dr. Mohammad Iskandar (dosen Prodi Ilmu Sejarah), Edwar Mukti Laksana (Sejarah ’89), Pandu Dewanata (Sejarah ’86).


Di depan Gedung IX FIBUI. Dari kiri ke kanan: Kasmadi (mantan petugas Koperasi Mahasiswa FSUI), Zulmartinof (Sastra Rusia ’85), Pandu Dewanata (Sejarah ’86), Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’87), Dino Musida (Sejarah ’86), Ceha Bastian (Sastra Cina ’85), dan Munasik (Sastra Arab ’86).

Pemandangan Gedung II FIBUI dilihat dari kafe tenda Marc, tempat saya, Dino dan Acik Munasik nongkrong sebelum kami pulang pada sekitar pukul 16.30.



Namun, siang itu benar-benar mengesankan ketika saya terhubung dengan teman-teman dari jurusan-jurusan lain—Sastra Cina, Sastra Jawa, Sastra Arab, Sastra Rusia, Sastra Belanda, dan Sastra Indonesia. Kami bukan hanya rekan; kami adalah penyintas era tahun 1990-an yang penuh semangat, terkadang kacau, ketika kami secara resmi memulai kehidupan sarjana kami. Kami berbagi kisah tentang mengarungi era baru Indonesia, membangun keluarga, perubahan karier, dan menemukan kedamaian dalam momen-momen kecil. Setiap cerita, dari awal yang ambisius hingga kenyataan yang puas saat ini, adalah sebuah bukti semangat tangguh yang terbentuk di bangku-bangku kuliah di kampus kami.


Saat hari kian sore, ketika sinar matahari menyepuhkan emas pada kampus FIBUI, hati saya terasa penuh. Kami datang sebagai individu yang berprestasi, tetapi kami pergi sebagai mahasiswa masa lalu yang tak terpisahkan dan bersemangat. Hari itu membuktikan bahwa pengalaman yang dibagikan di FIBUI menciptakan ikatan yang lebih permanen daripada waktu itu sendiri.©2025

                                                     


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 30 November 2025

Friday, November 28, 2025

Perjalanan Seorang Praktisi Branding ke Jantung Papua yang Belum Tersentuh

DI lanskap dunia periklanan Jakarta yang hiruk pikuk, saya menguasai frasa yang ringkas, menarik, dan memenangkan kampanye. Hari-hari saya diukur dalam tenggat waktu dan wawasan kelompok terpumpun (focus group insights). Namun pada Desember 2009, saya menukar kursi ergonomis saya yang ramping dengan perahu motor kayu yang usang, terjun ke dunia di mana satu-satunya “brief” adalah bertahan hidup: hamparan luas berwarna zamrud dari Sungai dan Hutan Hujan Mamberamo di Papua.

Bersiap-siap untuk mengarungi Sungai Mamberamo dengan perahu motor, bersama Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, dan seluruh rombongannya. Total ada enam perahu untuk kunjungan Bupati ke Kampung Aurina II di Distrik Airu, distrik terjauh dan paling terpencil di seluruh Kabupaten Jayapura.

                                       

Dengan panjang 1.102 km, Sungai Mamberamo adalah sungai terpanjang kedua di Indonesia. Perjalanan kami pada akhirnya akan membawa kami masuk ke anak sungai yang disebut Sungai Nawa, yang mengalir tepat di depan Kampung Aurina II.

Petualangan tak terduga saya dimulai ketika saya bergabung dengan Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, dalam perjalanan penting untuk mengunjungi distrik terjauh dan paling terpencil di wilayah kabupaten tersebut. Ini bukanlah perjalanan wisata mewah; ini adalah ekspedisi yang keras dan memakan waktu sembilan jam ke salah satu wilayah yang paling jarang dijelajahi di dunia. Perjalanan kami diatur oleh aliran sungai dan terik matahari yang panas.

Saya seperti ikan yang keluar dari air. Udara tumpat dengan kelembapan dan aroma tanah yang basah. Atmosfer suara, yang biasanya didominasi oleh lalu lintas Jakarta, digantikan oleh dengungan serangga yang tak henti-hentinya, mesin pendorong perahu, dan paduan suara hutan yang primitif.

 

Di hari kedua saya di Aurina II, saya ikut dengan sebuah tim yang terdiri dari personel Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Brigade Mobil (Brimob). Mereka mengenakan pakaian sipil tetapi dipersenjatai dengan senapan serbu, menaiki perahu menuju kawasan berburu.

 

Pria di belakang saya adalah Sersan Numberi, seorang Bintara TNI AD yang bertindak sebagai Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Komando Rayon Militer setempat. Gajinya untuk mempertahankan kedaulatan negara adalah Rp75.000 sebulan.

Saat perahu motor melaju semakin jauh ke pedalaman, struktur kehidupan kota besar yang sudah saya akrabi mulai larut. Tidak ada Wi-Fi, tidak ada komunikasi instan, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi dari keagungan alam yang murni. Saya memperhatikan ketika Bupati dan kru setempat menavigasi arus yang rumit; pengetahuan mereka adalah peta bisu yang diwariskan.

Di kota, saya menulis teks yang menjanjikan kenyamanan, kecepatan, dan kepuasan instan. Di sana, sebaliknya, setiap momen adalah tentang kesabaran, ketahanan, dan hidup sepenuhnya pada saat ini. Kami tidak mencoba menjual apa pun; kami hanya mencoba untuk menjadi apa adanya.

Saya belajar membedakan kicauan burung, menghargai kesempurnaan sederhana dari makanan yang dimasak di atas api unggun, dan memahami kekuatan mendalam dari orang-orang yang hidup dalam komunitas sejati, terhubung bukan oleh teknologi, tetapi oleh upaya bersama dan rasa saling menghormati.

Saya dan Sersan Numberi di tengah hutan saat kami dalam perjalanan berburu rusa. Hutan hujan Mamberamo di Papua adalah rumah bagi kekayaan keanekaragaman spesies, termasuk setidaknya 332 spesies burung dan 80 spesies mamalia di dalam cagar alam tersebut.


Keterasingan adalah wadah ujian. Terlepas dari persona profesional saya, saya mendapati diri saya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar. Apa yang benar-benar penting dalam hidup ini? Apakah saya hanya diwakili oleh kesuksesan materi dan karier?

Jawabannya datang bukan dalam pencerahan yang tiba-tiba, tetapi dalam kekuatan Mamberamo yang abadi dan tenang. Saya menyadari bahwa penguasaan sejati bukanlah dalam memanipulasi kata-kata di layar komputer, tetapi dalam menguasai diri sendiri—dalam mendorong melewati lelah, merangkul ketidaknyamanan, dan menemukan kegembiraan dalam tindakan mendasar untuk bergerak maju.

Saya pergi ke Papua dengan perkiraan bahwa saya mengamati realitas yang jauh. Saya kembali menyadari bahwa saya sejatinya mengamati diri saya sendiri. Sungai itu telah menghilangkan hal-hal yang dangkal, menyisakan arus tujuan yang lebih dalam.

Saya masih menulis naskah iklan di Jakarta, tetapi kata-kata saya sekarang membawa resonansi baru—sebuah koneksi tulus yang ditempa di jantung hutan Papua. Perjalanan itu mengajari saya bahwa kisah-kisah terbaik, seperti orang-orang terkuat, adalah kisah-kisah yang dapat menghadapi arus apa pun. Itu adalah brief terpanjang, tersulit, dan pada akhirnya, yang paling menginspirasi dalam hidup saya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 29 November 2025

Pintu-Pintu Menuju Ketidaktahuan: Bagaimana Saya Menemukan Jiwa Saya di Papua

DI dunia periklanan Jakarta yang ramai, tempat tenggat waktu sangat ketat dan slogan yang sempurna dianggap berharga, saya merancang kampanye yang bergema di seluruh nusantara. Namun, di balik lapisan luar kesuksesan korporat, saya merasakan kerinduan yang sunyi—sebuah panggilan bukan untuk produk yang lebih laris, melainkan untuk kisah yang lebih mendalam.

Kerinduan itu membawa saya ke Papua. Hidup saya mengalami perubahan dramatis pada Mei 2009 ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten Jayapura. Itu merupakan perjalanan yang, bagi penduduk kota seperti saya, terasa seperti menjelajah ke dunia yang berbeda. Saya menggambarkan pengalaman awal yang mengubah hidup itu sebagai tidak kurang dari “membuka pintu-pintu menuju ketidaktahuan” (doors to the unknown). Frasa ini, yang menangkap campuran rasa cemas, kegembiraan, dan keajaiban tertinggi, kemudian menjadi judul yang bergema dari buku pertama saya.

Pemandangan saya berada di luar jendela penerbangan Garuda dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Wing flaps (sayap sirip) telah dikeluarkan dan ketinggian pesawat menurun—sebuah tanda pasti bahwa kami akan segera mendarat di landasan pacu di Bandara Sentani, Jayapura.

Saya berdiri di dermaga Khalkote di Asei Besar, dengan Danau Sentani membentang di belakang saya.

Fokus dari keterlibatan awal saya adalah Sentani, jantung yang berdenyut dari Kabupaten Jayapura, yang dikenal dengan Danau Sentaninya yang megah dan bukit-bukit landai yang membingkainya. Saya tidak hanya berkunjung; saya berpadu dengannya. Saya menghabiskan hari-hari saya dengan mewawancarai para Ondofolo (pemimpin tradisional), mendengarkan ritme kuno dari genderang perang, dan mengamati seni yang teliti dari lukisan kulit kayu. Saya melihat melampaui berita utama dan menemukan tempat yang kaya akan kemanusiaan, keindahan alam yang memukau, dan ketahanan yang merendahkan hati.

 

Warga setempat menyebutnya “Jonson”, yang merujuk pada perahu yang menggunakan motor tempel (outboard motor). Saya menduga Jonson adalah nama merek dari motor itu sendiri. Dalam foto ini, saya bersama pengemudi dari Hotel Sentani Indah dan operator perahu, menyeberangi Danau Sentani dari Kampung Asei (di latar belakang) kembali ke dermaga Khalkote.

Saya mendaki bukit kecil di Kampung Asei. Anda dapat melihat Pegunungan Cyclops, Danau Sentani, dan bukit-bukit di sekitarnya di latar belakang.

Kunjungan perdana pada Mei 2009 itu memicu penulisan yang hebat, sebuah proyek hasrat yang melampaui kehidupan profesional saya. Buku saya tentang Sentani, sebuah eksplorasi yang tulus diisi dengan deskripsi yang menggugah dan wawasan budaya yang mendalam, dirilis hanya sebulan kemudian, pada Juni 2009. Buku itu menandai perpindahan saya dari sekadar menulis naskah iklan, sebuah bukti akan kekuatan penceritaan yang autentik, dan menandai kelahiran sejati saya sebagai seorang penulis perjalanan.

 

Saya difoto di sini bersama rekan saya, Pak Toni Sri, di Kampung Entiyebo, yang juga dikenal sebagai Tablanusu, di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura. Beliau adalah fotografer profesional yang berspesialisasi dalam fotografi pariwisata dan industri. Saya sudah empat kali ke Papua, dan selalu bersama beliau. Beliau memotret, dan saya menulis ceritanya.

Di sini saya berpose di antara rumah-rumah di Kampung Bukisi. Permukiman pesisir ini, yang terletak di Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura, terisolasi dan hanya dapat dicapai melalui jalur air. Saya sampai di kampung ini dengan naik perahu cepat (speedboat) dari Dermaga Tablanusu.

Namun bagi saya, satu kali perjalanan tidak pernah cukup. Papua bukanlah kotak centang dalam daftar keinginan saya; ia adalah inspirasi yang berulang, rumah bagi jiwa saya. Saya telah mengunjungi Kabupaten Jayapura sebanyak empat kali sejak kunjungan pertama itu, dan setiap kunjungan memperdalam keterhubungan saya dengan tanah dan masyarakatnya.

 

Ini saya berpose persis di lokasi di The Plaza di Jakarta, di mana, hanya dua jam kemudian, diadakan konferensi pers dengan Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae. Ini adalah dalam rangka Pameran Foto dan Peluncuran Buku Doors to the Unknown: The Story of Sentani in the Jayapura Regency of Papua, pada 29 Januari 2010.

Saya difoto di sini bersama buku yang saya tulis, yang didasarkan pada pengalaman langsung dari perjalanan pertama saya ke Papua. Foto ini diambil di ruang rapat Sekretariat Pengurus Nasional Subud Indonesia di Wisma Indonesia, yang terletak di dalam kompleks Wisma Subud Cilandak.

Bagi seorang pria yang pernah menjual mimpi kepada konsumen, kini saya menjual mimpi keterhubungan—pentingnya pemahaman akan beragamnya permadani Indonesia. Perjalanan saya dari penulis naskah iklan (copywriter) menjadi penulis perjalanan (travelwriter) yang berdedikasi adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang, perubahan karier yang paling sukses adalah yang mengikuti hati, bahkan jika itu membawa Anda melintasi lautan luas dan masuk ke dalam realitas indah dan merendahkan hati dari suatu tempat yang dulunya sama sekali tidak dikenal.

Kisah saya adalah inspirasi bagi diri saya sendiri: itu menunjukkan kepada saya bahwa pintu-pintu paling mendalam yang dapat saya buka seringkali adalah yang menantang persepsi saya tentang dunia dan, pada akhirnya, tentang diri saya sendiri.©2025

 

Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 29 November 2025