Sunday, May 4, 2025

Latihan di Subud Ranting Pamulang

 

Pendopo Wisma Barata Pamulang.

SAYA mulai rutin melakukan Latihan Kejiwaan di Subud Ranting Pamulang pada 14 Desember 2022. Sejak tanggal itu dan seterusnya, tiap Rabu malam dan Sabtu malam saya mengendarai sepeda motor saya dari rumah saya di Pondok Cabe ke Wisma Bharata Pamulang, di Jl. Wisma Barata No. 39, Pamulang Barat, Tangerang Selatan, sejauh 6,9 kilometer.                     

Suasana hening Wisma Barata yang membuat saya senang menyambanginya untuk Latihan rutin saya tiap minggu, sehingga untuk mendapatkan atmosfer itu saya kerap tiba satu jam lebih awal dari waktu Latihan. Kopi hitam nikmatnya sudah tersedia di meja di teras Rumah Bapak. Kabarnya kopi itu sudah melegenda sejak lebih dari 15 tahun lalu, dan uniknya, tidak ada yang tahu, bahkan para asisten rumah tangga Ibu Rahayu, apa nama merek dari kopi tersebut.

Latihan di Pamulang dilakukan berbarengan waktunya untuk pria dan wanita, di dua tempat yang berbeda. Hari Rabu pukul 20.00 s.d. 21.00 WIB pria di Rumah Bapak, sedangkan wanita di Pendopo; dan hari Sabtu pukul 20.00 s.d. 21.00 WIB pria di Pendopo dan wanita di Rumah Bapak.

Lokasi Hall Subud Pamulang dapat ditemukan di Google Maps. Berikut tautannya: https://maps.app.goo.gl/tnW1wwLV1zzJPcnU9?g_st=aw

Tersedia tempat untuk parkir mobil dan sepeda motor di areal Wisma Barata. Karena merupakan kawasan residensial, maka para anggota Subud yang melakukan Latihan di Wisma Barata Pamulang tidak diperkenankan untuk nongkrong atau berada lama-lama di sana. Kecuali pada hari Sabtu Wage malam hari, dimana pengurus Ranting Pamulang menggelar Wagean dengan pemutaran rekaman ceramah Bapak atau Ibu Rahayu, Latihan bersama dan ramah-tamah yang diwarnai dengan makan malam secara prasmanan. Itupun dibatasi hanya hingga jam 23.00.

P.S.: Postingan ini untuk menjawab demikian banyaknya pertanyaan dari anggota Subud di berbagai daerah dan negara mengenai jadwal Latihan di Subud Ranting Pamulang.


Latihan at the Pamulang Subud Group

I started doing the Latihan Kejiwaan routinely at the Pamulang Subud Group on December 14, 2022. From that date onwards, every Wednesday and Saturday night I ride my motorbike from my house in Pondok Cabe to Wisma Barata Pamulang, at Jl. Wisma Barata No. 39, West Pamulang, South Tangerang, a distance of 6.9 kilometers (4.2 miles).                     

The quiet atmosphere of Wisma Barata makes me feel delighted to visit it for my weekly routine Latihans, so to get that atmosphere I often arrive an hour earlier than the Latihan time. The tasty aromatic black coffee is already available on the table on the terrace of Bapak’s house. It is said that the coffee has been legendary for more than 15 years, and uniquely, no one knows, not even Ibu Rahayu’s household assistants, what the brandname of the coffee is.

Latihans in Pamulang is done simultaneously for men and women, in two different places. On Wednesdays at 8 to 9 p.m. Western Indonesia Time with men at Bapak’s House, while women at the Pendopo; and on Saturdays at 20.00 to 21.00 WIB with men at the Pendopo and women at Bapak’s House.

The location of the Pamulang Subud Hall can be found on Google Maps. Here is the link: https://maps.app.goo.gl/tnW1wwLV1zzJPcnU9?g_st=aw

There is a space for car and motorcycle parking in the Wisma Barata area. Because it is a residential area, Subud members who do Latihan at Wisma Barata Pamulang are not allowed to hang out or stay there for long after Latihan hours. Except on Wage Saturday evenings, where the Pamulang Group committee holds Wagean with the playing of a recording of talks by Bapak or Ibu Rahayu, group Latihans and a friendly gathering enlivened by a buffet dinner. Even then it is limited to 11 p.m.

P.S.: This post is to answer the inquiries from Subud members in various regions in Indonesia and countries regarding the Latihan schedule at Pamulang Subud Group.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 4 Mei 2025

Stasiun Tua Saksi Bisu LDR

 

Tampak depan Stasiun Wonokromo pada 21 Juni 2020. Foto dibuat oleh Rizal Febri Ardiansyah.

AKHIR bulan Januari 1994, dimulailah karir hubungan jarak jauh atau long-distance relationship (LDR) saya dengan Arek Suroboyo yang kini telah menikah dengan saya selama hampir 28 tahun. Meski menyetujui, tak pelak kedua orang tua saya sempat menggerutu.

Kok jauh sekali? Nggak kasihan kamu sama Mama kalau nanti lamaran?” keluh ibu saya. “Apakah nggak ada cewek lagi di Jakarta sampai harus jauh-jauh ke Surabaya?” kata ayah saya. Itulah reaksi kedua orang tua saya ketika saya umumkan ke beliau-beliau perihal jadiannya saya dengan Nana, arek Tanjung Perak, Surabaya.

Tidak pernah terbayangkan oleh saya bahwa saya bakal melakukan LDR. Ketika menyatakan cinta ke dia, tidak pula saya pertimbangkan jarak jauhnya. Mungkin karena cinta itu buta, jarak lebih dari 780 km dari rumah orang tua saya di Jl. Pondok Jaya VII, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, ke rumah calon mertua saya di Jl. Ikan Mungsing VI, Krembangan, Surabaya Utara, terasa dekat sekali.

Karena fobia terbang, dan juga karena saya pehobi kereta api, maka kereta apilah yang mendekatkan jarak rindu kami. Selama pacaran tiga tahun dan delapan bulan, KA Jayabaya Selatan menjadi tunggangan saya. Ada yang tanya mengapa saya tidak memilih kereta api yang lewat Lintas Utara Jawa, yang terminusnya di Stasiun Surabaya Pasarturi yang notabene dekat dengan rumah pacar saya? Dan ketika naik KA Jayabaya Selatan pun saya turun di Stasiun Wonokromo, bukan di Stasiun Surabaya Kota (Semut) yang juga relatif dekat dengan rumahnya.

Alasannya, karena Stasiun Wonokromo dekat dengan Terminal Joyoboyo, dari mana berangkat bemo-bemo alias angkot menuju rumah famili saya di Pabean, Sedati, di Kabupaten Sidoarjo, dan juga ke Real Estate Wisma Waru Indah (Rewwin), juga di Sidoarjo, di mana rumah famili saya lainnya berlokasi. Di kedua rumah itu secara bergantian saya menginap selama saya mengapeli pacar saya.

Kereta api yang saya tumpangi dari Jakarta biasanya tiba di Stasiun Wonokromo (kode: WO) saat dini hari, sekitar jam dua pagi. Biasanya, saya keluyuran dulu di sepanjang peron WO atau duduk beristirahat di ruang tunggunya. Kadang saya keluar dari areal stasiun untuk mencari sarapan. Ada warung kopi yang menyediakan nasi dan aneka lauk dan ibu-ibu penjual pecel di muka bangunan utama Stasuin Wonokromo. Di situ saya akan mengisi perut, menyeruput kopi, sambil menunggu matahari terbit. Lalu saya akan menyeberangi jalan menuju sisi jalan dimana angkot berbodi hijau tujuan Sidoarjo telah berjejer.

Lalu lintas kereta api di Stasiun Wonokromo cukup ramai, dari pagi hingga dini hari, sehingga bagi saya nongkrong sendirian di peronnya ketika hari masih gelap tidak mengkhawatirkan. Stasiun Wonokromo menjadi saksi bisu seorang bucin yang rela LDR demi cinta.

Mulai beroperasi pada 16 Mei 1878 sebagai bagian dari jalur kereta api pertama yang menghubungkan Surabaya dan Pasuruan, Stasiun Wonokromo dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial.

Meskipun kini merupakan salah satu dari empat stasiun besar di wilayah Kota Surabaya, Stasiun Wonokromo tidak mencantumkan identitas “Surabaya” pada namanya, sebagaimana Stasiun Surabaya Gubeng (SGU), Stasiun Surabaya Kota (SB), dan Stasiun Surabaya Pasarturi (SBI). Ini kemungkinan karena semasa Hindia Belanda Wonokromo tidak masuk wilayah Kota Surabaya, melainkan di Distrik Jabakota. Istilah Jabakota digunakan untuk menyebut wilayah terluar yang menjadi bagian pengawasan, yang dahulu terletak di sekitar Wonokromo.

Ketika baru diresmikan, bangunan Stasiun Wonokromo masih sangat sederhana, karena fungsinya hanya untuk menunjang penyaluran hasil perkebunan dari daerah sekitar Surabaya, seperti Pasuruan, sebelum dikapalkan melalui pelabuhan Tanjung Perak ke Eropa. Tahun 1894, Stasiun Wonokromo menjadi stasiun persilangan yang besar, yang terhubung dengan jalur kereta api Surabaya-Solo yang selanjutnya menyambung ke Batavia.

Ketika kilang minyak Wonokromo dibangun pada tahun 1889 pasca ditemukannya minyak di daerah konsesi Jabakota oleh De Dordtsche Petroleum Maatschappij (1887) dan menghasilkan minyak pelumas juga, Stasiun Wonokromo kian ramai karena digunakan sebagai stasiun untuk mendistribusikan hasil minyak dan pelumas ke sejumlah daerah.

Seiring perjalanan waktu, Stasiun Wonokromo tidak lagi hanya digunakan untuk mendistribusikan hasil perkebunan maupun minyak, namun juga menjadi tempat naik-turunnya penumpang kereta api. Untuk itu, pada tahun 1901, bangunan stasiun yang sederhana dirombak dan diperluas, lalu pada tahun 1918 dilakukan renovasi Stasiun Wonokromo dengan langgam arsitektur yang bisa kita saksikan sekarang ini.

Dewasa ini, Stasiun Wonokromo merupakan pintu menuju ke pusat kota Surabaya dari arah selatan. Kereta api-kereta api kelas Ekonomi dan komuter mendominasi kesibukan stasiun ini. Selain itu, WO telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sebagai bangunan cagar budaya (BCB) sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/504/436.1.2/2013, dan pihak PT Kereta Api Indonesia (Persero) telah melengkapi plakat yang dipasang oleh Pemkot Surabaya dengan membuat prasasti yang diletakkan di bawah plakat, yang mempertegas bahwa bangunan Stasiun Wonokromo ini merupakan bangunan bersejarah milik PT KAI yang dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 4 Mei 2025

Wednesday, April 30, 2025

Berkah Sampah

MELENGKAPI program “Siapa Aku?”, pada 5 Mei 2024 lalu Subud International Cultural Association (SICA) Indonesia meluncurkan 14 komunitas yang dimaksudkan sebagai wadah bagi anggota Subud Indonesia untuk menyelami atau menggali bakat mereka atau menemukan jatidiri mereka, yang pada gilirannya bisa di-enterprise-kan. Komunitas-komunitas itu menawarkan berbagai bidang yang dapat diikuti anggota sesuai kesukaannya masing-masing, dan grup-grup WhatsApp dibuat untuk masing-masing komunitas dimana anggota dapat berbagi pengetahuan atau pengalaman dalam mempraktikkan bidang khas mereka dengan bimbingan Latihan. Masing-masing komunitas juga mengadakan workshop daring atau luring untuk memperkuat kapasitas atau kompetensi anggota dalam bidang-bidang yang mereka pilih.                    

Tujuan lainnya dari pengadaan komunitas-komunitas ini adalah untuk menjembatani Subud dengan masyarakat pada umumnya, memberi kebermanfaatan yang lebih signifikan dari hadirnya Subud. Seperti dinyatakan oleh Ibu Ismana Haryono kepada saya pada tahun 2012 lalu, “Jangan jadi jago kandang. Pergilah keluar, bergiat dengan masyarakat.” “Jago kandang” adalah kiasan dalam Bahasa Indonesia yang mengacu pada “seseorang yang hanya berani atau hanya hebat di lingkungannya sendiri”.

Salah satu dari komunitas-komunitas itu adalah Semesta Bhumi Raya, sebuah komunitas yang menghimpun para anggota Subud Indonesia yang memiliki kepedulian pada pelestarian lingkungan. Komunitas ini diketuai oleh seorang anggota wanita grup Subud Jakarta Selatan yang sedang menyusun disertasi doktornya dalam Kajian Ilmu Lingkungan di Universitas Leiden, Belanda. Di bawah kepemimpinan Sekar Mira, begitu namanya, komunitas Semesta Bhumi Raya (SBR) telah menggelar sejumlah kegiatan yang inovatif untuk mengedukasi masyarakat, baik di lingkungan Subud maupun di luar Subud, dalam pengelolaan lingkungan.

Program-program kegiatan SBR sejalan dengan tren yang sedang berkembang di Indonesia saat ini, yaitu maraknya kepedulian terhadap keberlanjutan lingkungan yang melibatkan kalangan anak muda. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mencanangkan gerakan Mitigasi dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim sejak lebih dari 15 tahun lalu, yang pemerintah harapkan dapat diimplementasi semua warga masyarakat dengan sokongan dari swasta atau lembaga swadaya masyarakat. Pelaksanaannya mengambil berbagai bentuk, antara lain pengelolaan sampah rumah tangga melalui bank sampah.

Bank sampah merupakan solusi Indonesia untuk mengatasi masalah sampah sekaligus menerapkan konsep ekonomi sirkular (sebuah alternatif untuk ekonomi linier tradisional (buat, gunakan, buang) di mana pelaku ekonomi menjaga agar sumber daya dapat dipakai selama mungkin, menggali nilai maksimum dari penggunaan, kemudian memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan pada setiap akhir umur layanan). Bank sampah bermanfaat bagi keberlanjutan masyarakat dan alam. Bank sampah merupakan konsep pengumpulan dan pemilahan sampah padat yang melibatkan sistem seperti perbankan, namun yang ditabung bukanlah uang melainkan sampah. Para penabung yang juga disebut nasabah mendapatkan buku/kartu tabungan dan dapat meminjam uang yang nantinya akan dikembalikan dengan sampah padat senilai uang yang dipinjam. Sampah yang dititipkan nasabah akan ditimbang dan dinilai dengan sejumlah uang, kemudian sampah tersebut akan dijual ke pabrik atau agen daur ulang atau bisa juga diserahkan ke agen upcycling setempat untuk diolah.

Beberapa manfaat bank sampah yang patut dipertimbangkan antara lain (1) pengelolaan sampah yang efisien; (2) pendapatan tambahan bagi masyarakat; (3) mengurangi pencemaran lingkungan; (4) mendorong praktik ramah lingkungan di masyarakat; (5) kesehatan masyarakat yang lebih baik; dan (6) mendorong inovasi dan kreasi.

Bank sampah yang dirintis SBR, salah satu komunitas binaan SICA Indonesia, diluncurkan pada 27 April 2025, yang ditandai dengan pengguntingan pita oleh Ibu Ismana Haryono. Menyandang nama “Berkah Sampah”, bank sampah SBR ini masih bersifat semi bank sampah, yaitu baru menjadi perantara penyaluran sampah kering yang disumbangkan para penghuni Wisma Subud Cilandak dan kampung-kampung di sekitarnya. Petugas bank sampah SBR akan memilah sampah tersebut sesuai sifatnya, lalu membawanya ke bank sampah murni atau agen daur ulang terdekat. Uang yang diperoleh dari penjualan sampah akan digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan SBR, termasuk membayar upah mereka yang menjalankan Berkah Sampah sehari-hari.

 


Menurut informasi yang saya peroleh dari salah satu sponsor Berkah Sampah, bank sampah SBR ini akan segera memperoleh mesin pencacah sampah, yang dapat digunakan untuk membuat biomassa. 


Sekretariat Berkah Sampah masih berupa tenda yang didirikan di lahan kosong di dalam kompleks Wisma Subud Cilandak, yang merupakan milik keluarga Des Tombe. Roderick des Tombe hadir pula saat peresmian Berkah Sampah dan membawa pula satu goodie bag berisi sampah rumah tangga berupa botol-botol plastik. Yayasan Subud, sebagai pengelola Wisma Subud Cilandak, menyumbang meja untuk keperluan sekretariat tersebut. Untuk mengedukasi tim SBR dalam pengoperasian bank sampah, tiga anggota Subud Jakarta Selatan yang telah berpengalaman dalam bank sampah menyumbangkan waktu dan tenaga mereka.

 



Ke depannya, diharapkan Berkah Sampah dapat lebih mengoptimalkan kinerjanya dalam menciptakan berkah dari sampah yang disumbangkan masyarakat, serta programnya direplikasi oleh grup-grup Subud lainnya di seluruh Indonesia.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 30 April 2025

Sunday, April 27, 2025

Dari Teman Facebook ke Saudara Subud

SEBUAH foto muncul di Kenangan Facebook saya, bertanggal 27 April 2014. Menampilkan momen pertemuan saya dengan teman Facebook yang kemudian menjadi saudara Subud di Stasiun Bandung, sekitar satu jam sebelum pemberangkatan KA Parahyangan yang akan membawa saya dan istri balik ke Jakarta.

Perkenalan saya dengan Andy (bukan nama sebenarnya) unik. Tadinya, dia memusuhi saya karena cewek yang dia taksir malah dekat dengan saya. Kami sama-sama kenal si cewek via FB, tapi saya pernah kopdar dengan si cewek.

Andy terus menerus menjelek-jelekkan saya ke si cewek, tapi si cewek bergeming. Sampai akhirnya si cewek masuk Subud, Andy bukan saja menjelek-jelekkan saya tetapi juga Subud. Saya tak pernah menanggapi aksi Andy. Mungkin karena itu, suatu ketika Andy mengirim Permintaan Pertemanan ke akun FB saya, dan saya Terima.

Sikap dia mulai berubah positif, sering memberi komentar yang menyejukkan kepada postingan-postingan saya. Suatu hari, dia menanyakan alamat rumah saya karena dia ingin mengirim paket ke saya. Paket berisi album foto. Jadi, Andy, sebelum pindah ke rumahnya saat ini di Cimahi, bertempat tinggal bersama ibunya di kompleks rumah dinas pegawai PT Kereta Api Indonesia (Persero) di kawasan dekat Stasiun Bandung. Kompleks itu digusur ketika KAI dipimpin Ignasius Jonan, dan para penghuninya, yang bukan pegawai KAI melainkan orang tua mereka yang sudah meninggal, harus mencari tempat tinggal lain.

Saat bersiap-siap pindah rumah, Andy membersihkan gudang dengan memilah barang-barang yang akan dia bawa atau harus dia buang. Di antara barang-barang itu terdapat dua album foto milik ayahnya yang dahulu pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Foto-foto kuno perkeretaapian Indonesia hasil jepretan kamera ayahnya Andy maupun fotografer-fotografer lain serta kliping dari majalah perkeretaapian lama Indonesia ada dalam dua album foto itu. Andy berkata ke saya melalui FB Messenger, “Mau saya buang tapi sayang. Ini kenangan almarhum ayah saya. Tapi saya simpan juga tidak ada gunanya. Lantas saya berpikir, siapa kira-kira yang cocok untuk saya kasih album itu. Saya teringat Mas Anto kan hobi kereta api, saya lihat postingan kereta apinya di Facebook keren-keren. Makanya saya mau kirim album itu ke Mas Anto saja.”

Jadilah, Andy memaketkan dua album foto perkeretaapian itu ke saya. Dua pegawai Unit Pelestari Sejarah dari KAI sempat datang menemui saya untuk menawar album-album itu dengan nilai nominal yang tinggi, tapi saya tidak mau menyerahkannya ke KAI, karena saya merasa mendapat amanat dari Andy untuk menyimpan kenangan ayahnya itu. Satu pegawai KAI melihat postingan saya mengenai album-album itu di Beranda FB saya dan berminat ingin membelinya dari saya.

Yang lebih menakjubkan adalah ketika Andy menyatakan ingin masuk Subud. Saya tanya mengapa dia ingin masuk Subud. “Belum pernah saya menjumpai orang yang begitu berdedikasinya kagum pada hobinya seperti Mas Anto,” katanya. Saya sulit mempercayainya, tapi ya sudahlah.

Andy memanfaatkan peluang saat harus menemani kakaknya di Jakarta, dengan ngandidat di Wisma Subud Cilandak. Saat itu, saya belum pernah bertatap muka dengan Andy. Bahkan selama dia ngandidat tiga bulan hingga dibuka, belum sekali pun kami bertemu. Kami baru bertemu secara fisik beberapa bulan setelah dia dibuka, dan kejadiannya unik: Saat saya sedang Latihan di Hall Besar Cilandak pada Minggu siang, tiba-tiba badan saya dipeluk erat oleh seseorang selama beberapa saat.

Usai Latihan, dan saat mengambil tas saya di rak dekat pintu akses Hall, seseorang, kurus dan berkaca mata serta bertopi merah, dengan senyum lebar menghampiri saya dan serta-merta memeluk saya dengan erat. Saya sudah familiar dengan sosoknya, karena sering saya lihat di akun Facebooknya. Saya merasakan getaran kebahagiaan memancar dari diri orang itu. Dia kemudian memperkenalkan dirinya, “Saya Andy, Mas Anto. Aduuh, akhirnya saya ketemu juga dengan Mas. Maafkan saya, tadi saking senangnya saya peluk Mas pas lagi Latihan. Saya dimarahi tuh sama Pak Ridwan Umar ((Pembantu Pelatih Daerah Jakarta Selatan saat itu), ‘Heh! Orang Latihan jangan dipeluk-peluk!’.”©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 April 2025

Wednesday, April 23, 2025

Mendekati Orang Lain

TAHUN 2001, sebagai creative director sebuah biro iklan di Surabaya, saya memimpin tim kreatif membuat iklan televisi (TV) untuk minyak goreng berlabel “Ikan Mas”. Klien kami adalah pasangan suami-istri pemilik perusahaan produsen minyak goreng di kawasan Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Delapan kali konsep kreatif yang kami ajukan ditolak. Yang kesembilan, strategi kreatifnya saya ganti: Menampilkan seorang ibu yang membuat masakan istimewa kesukaan anak-anaknya dengan minyak goreng spesial yang aroma dan rasanya familiar di keluarganya.

Pemikiran ini bertitik tolak dari keberadaan istri pemilik perusahaan, seorang wanita anggun mantan pramugari maskapai penerbangan Jerman dan ibu dari dua anak yang telah beranjak dewasa. Sosok beliau yang keibuan menginspirasi kami.

Iklan TV berdurasi 30 detik itu hanya berisi adegan ibu di dapur, ibu menghidangkan makanan di meja dan anak-anaknya yang sudah dewasa satu per satu pulang ke rumah masa kecil mereka, berkumpul dan makan bersama sang Ibu, dilatari ilustrasi musik Bunda (Melly Goeslaw/Potret). Istri pemilik perusahaan minyak goreng itu sangat terkesan dengan konsep yang saya ajukan, dan langsung menyetujuinya. Saya mempresentasikan papan cerita (storyboard) dan memperdengarkan lagu Bunda dari tape yang kami bawa serta ke kantor klien.

Moral of the story: Dekati orang lain dengan menjunjung cara hidup mereka, alih-alih menggurui mereka dengan apa yang Anda anggap benar.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 24 April 2025

Monday, April 21, 2025

Tingkatan Hati (Surat Prio Hartono Kepada Michael Rogge)

 




SAYA menemukan surat dua halaman yang ditulis tangan oleh Prio Hartono ini di buku memoar Michael Rogge, Leven Met Subud (Hidup Dengan Subud). Meskipun merupakan surat pribadi, isinya mengandung nasihat Bapak kepada anggota (dalam hal ini, Rogge) mengenai kejiwaan. Ijsbrand C. Rogge (atau Michael Rogge) adalah orang Barat pertama yang dibuka di luar Indonesia, oleh Husein Rofé. Hingga akhir hayatnya pada tahun 2023, pada usia 95 tahun, Rogge tinggal sendirian di apartemennya di luar kota Amsterdam, Belanda. Berkat hobinya dengan kamera foto dan film, ia telah menghasilkan dokumenter-dokumenter mengenai kehidupan Bapak dan tentang keadaan Indonesia pada umumnya.

 

Dengan bantuan kaca pembesar dan Optical Character Recognition (OCR) daring, saya dapat menyalin tulisan tangan yang sulit dibaca ini.

 

Isi suratnya:

 

Djakarta, 1 – 9 – ‘55

 

Kepada

Jth. Sdr. J.C. Rogge

di Nederland

Sdr. Rogge,

Baru sekaranglah kiranja saja berkesempatan menulis surat kepada sdr. Hal ini disebabkan karena udjian2 sekolah jg harus saja hadapi. Sjukurlah bahwa itu semua telah dapat saja atasi, dan pd tgl 8 Agustus jang lalu saja telah berhasil menamatkan peladjaran saja dgn mendapat gelar Meester in de Rechten. Malam ini kami sedang memperingati hari ke-40 wafatnya Mas Harjadi. Surat ini saja tulis setelah pulang berselamatan di Djl. Djawa.

Bagaimanakah keadaan Sdr. di Nederland? Mudah2an dalam keadaan sehat wal’afiat.

Pada tgl 19 Juni 1955 saja telah dianugerahi lagi seorang Putera, dan oleh Pak Soeboeh diberi nama Handojo.

Bagaimanakah halnja dengan latihan kedjiwaan Sdr.?

Setelah selesai beladjar, saja merasa lebih madju dalam latihan saja.

Pada malam saja hampir menjelesaikan peladjaran saja, Pak Soeboeh ada memberi keterangan [kurang lebih] sebagai berikut:

“Nak Hartono ini sedang mengalami krisis/udjian. Pada waktu ini nak sedang dalam phase “hati pinter”; peladjaran jg mestinja diselesaikan dalam 5 bulan, dapat difahaminja dalam waktu 2 minggu. Tetapi bagus hal jg demikian diterima dgn tenang sadja. Ada djuga orang jg lalu merasa sombong, mengaku pinter sendiri kalau menerima kepandaian jg demikian. Kalau orang mendjadi mabok karena kepandaiannja, sehingga melupakan “Jang memberi kepandaian” kepadanja, jaitu “Tuhan”, maka djatuhlah ia dalam udjiannja. Nak telah mengalami krisis demikian lebih dari 1 tahun. Krisis hati melalui 7 phasen, jaitu 1: Phase 'hati bodoh', 2: Phase 'hati bimbang', 3: Phase 'hati gembira', 4: Phase 'hati penelangsa' (sedih), 5: Phase 'hati pinter' (pandai), 6: Phase 'hati waspada' (tahu membedakan mana jg baik dan mana jg tidak, 7: Phase 'hati wening' = bersih, tidak ada siapa2 jg dipikirkan, melainkan Tuhan.”

Demikianlah keterangan Bapak jg mungkin perlu djuga sdr. ketahui. Kenjataan bahwa Bapak telah suka mengatakan demikian pada saja, menjebabkan saja mengambil kesimpulan bahwa udjian itu telah hampir selesai saja alami. Kesimpulan itu diperkuat lagi oleh kenjataan bahwa pada waktu saja mempeladjari mata peladjaran terachir, fikiran saja tidak setadjam lagi seperti pada waktu2 sebelum itu. Dan menurut theorie, setelah phase “hati pinter”, saja memasuki phase “hati waspada”; mudah2an sungguh demikian keadaannja.

Setelah selesai beladjar ini, oleh Pak Soeboeh saja diperintahkan untuk mengaso, karena meskipun badan saja telah sehat, tetapi belum mempunjai tjukup kekuatan untuk bekerdja setjara aktief. Saja telah mengadjukan permohonan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia supaja dpt diangkat sebagai advocaat di Djakarta. Oleh Pak Soeboeh, nantinja saja akan ditempatkan sebagai penghubung (coordinator) dari usaha2 Subud jg nantinja akan digabungkan dalam suatu concern, dgn nama “Dharma Concern”. (Apakah sdr. djuga telah menerima surat edaran Pengurus Pusat mengenai usaha2 Subud?) dan pekerdjaan sebagai advocaat akan saja lakukan dgn sambil lalu, dus termasuk dalam urgensi ke-2. Sambil menunggu pengangkatan saja sebagai advocaat dan perintah2 Bapak lebih landjut, kini saja hanja mengerdjakan pekerdjaan Sekertariaat Pengurus Pusat, dan jg penting: terus-menerus latihan.

Surat ini meskipun bersifat privé, saja tulis diatas kertas resmi Pengurus Pusat, karena ada hubungannja dgn pembitjaraan kita di Djakarta dahulu. Bagaimanakah pendapat sdr. mengenai briefhoofd ini? Apakah sdr. masih berniat akan mentjetak briefhoofd Subud jg lebih baik di Nederland? Terutama matjam dan perbandingan (verbonding) huruf2nja saja rasa masih perlu diperbaiki.

Sekianlah dahulu, dan sampaikan salam saja untuk keluarga Rogge di Nederland.

Wassalam

[tanda tangan Prio Hartono]


Sunday, April 20, 2025

Negeri Kaya Nilai-Nilai Spiritual

 



BELAKANGAN, beredar banyak video Pak Harto (Presiden RI 1967-1998) memberi wejangan yang arif dan bijaksana. Saya tidak heran dengan hal itu.

Semasa kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra/FS (sejak 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB) Universitas Indonesia, saya pernah mengambil matakuliah pilihan Filsafat Jawa, di Jurusan Sastra Jawa, yang diajar oleh seorang tua berpangkat militer dari TNI Angkatan Laut (Laksamana Pertama Purnawirawan). Beliau kabarnya penasihat spiritualnya Pak Harto.

Segala yang diajarkan dalam matakuliah tersebut tidak dapat saya cerna saat itu, terutama karena saya memang mengambilnya lantaran untuk “memadatkan” jumlah kredit semester saya saja. Namun, ketika kini saya melakukan retrospeksi dengan latar Subud saya, semuanya menjadi jelas. Budaya Nusantara memang sangat kaya akan nilai-nilai religi yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan dan pandangan dunia, serta nilai-nilai spiritual.

Kebijaksanaan spiritual Pak Harto sangat mumpuni. Itu karena fondasi mistikisme asli Nusantara beliau juga sangat kokoh, ditanamkan sejak kecil. Berbicara yang cerdas dan arif yang tergambar pada diri Pak Harto itulah hasil dari olah spiritual beliau.

Tetapi, bukan hanya Pak Harto yang seperti itu. Memperhatikan pikiran dan perkataan kakek dan ayah saya, yang bertempat tinggal di kaki Gunung Slamet di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang semasa hidup mereka merupakan kawasan yang kondusif untuk olah spiritual, saya yakin memastikan bahwa semua orang Indonesia tradisional memiliki kearifan spiritual yang semumpuni Pak Harto.

Saya bersyukur sekali ditakdirkan sebagai orang Indonesia.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 April 2025


Friday, April 11, 2025

Jangan Sok Tahu Kepada yang Sudah Berpengalaman

 

Foto: Seorang kakek tak lepas dari pemeriksaan yang dilakukan oleh tentara Belanda usai pasukan Belanda melancarkan Operasi Product pada 21 Juli 1947, yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Sebuah pemandangan di kawasan Sumedang, Jawa Barat. (Sumber foto: Arsip Nasional Belanda)

AYAH saya mengalami zaman yang digambarkan dalam foto di atas sebagai pejuang gerilya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Beliau masuk TNI ketika baru dibentuk, tahun 1947, dan karena usia asli beliau saat itu 15 tahun (kelahiran 15 Agustus 1933) beliau palsukan menjadi 17 tahun dengan tanggal kelahiran 26 Januari 1930 (kabarnya beliau mencomot tanggal lahirnya jenderal Sekutu idola anak muda saat itu, Douglas MacArthur, yaitu 26 Januari 1888).

Ayah saya ikut bergerilya di wilayah Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, yang merupakan tanah kelahiran beliau. Beliau lahir di Purwokerto, sebuah kota kecil di kaki Gunung Slamet. Beliau pernah berkisah ke saya bahwa nama beliau, Slamet, memang berasal dari nama gunung terbesar di Pulau Jawa itu, yang dahulu tampak siluetnya dari arah pintu depan rumah kakek saya di Desa Sumampir, Kecamatan Purwokerto Utara.

Sebelum bergabung dengan TNI, beliau adalah anggota Brigade XVII Tentara Pelajar Cie (Kompi) Purwokerto, ketika masih berstatus siswa SMA 2 Purwokerto. Karena di TNI beliau berdinas sebagai staf teritorial, beliau sering harus menyusup ke daerah musuh. Salah satu pengalaman beliau yang cukup unik adalah ketika 17 Agustus 1947, dimana beliau ditugasi untuk mengajak masyarakat di daerah yang diduduki pasukan Belanda, untuk mengadakan upacara bendera.

Menyamar sebagai petani beliau melewati barikade penjagaan di pinggir kota Purwokerto yang dijaga ketat oleh tentara Belanda. Beliau membagi-membagikan buah-buahan yang beliau bawa dalam keranjang ke para tentara Belanda, sehingga alih-alih diperiksa beliau malah dibiarkan lewat. Padahal di dasar keranjang beliau menyembunyikan senjata api. Bila ketahuan, bisa saja saat itu ayah saya langsung dieksekusi.

Pengalaman ini beliau ceritakan ke saya dengan nada tegas dan sinis ketika saya tanyakan pada 17 Agustus 1985 mengapa beliau tetap berada di rumah dan bukannya ikut upacara—saya saat itu baru pulang dari upacara bendera di sekolah. Saat itu, beliau baru pensiun dari TNI dan sepertinya kecewa dengan kurangnya penghargaan pemerintah terhadap pensiunan pejuang kemerdekaan.

“Bapak ini menerobos barikade Belanda, mempertaruhkan nyawa, hanya untuk mengerek bendera dan nyanyi Indonesia Raya. Jangan kamu ingatkan Bapak untuk upacara, Bapak sudah tahu!”©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 April 2025


Monday, March 31, 2025

Idulfitri Gaya Indonesia

SALING meminta maaf lahir dan batin adalah tradisi perayaan Idul Fitri yang hanya ada di masyarakat Indonesia dan Malaysia. Meskipun demikian, manfaatnya besar sekali secara spiritual, karena meminta dan memberi maaf adalah proses untuk menjadi suci, dimana seluruh kesombongan manusia dipendam agar menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. 

Acara formal untuk bermaaf-maafan ini disebut “halalbihalal”, yang diadakan pada hari terakhir Ramadan, seperti di Wisma Subud Cilandak pada malam 30 Maret 2025 setelah berbuka puasa bersama. Meski berasal dari serapan bahasa Arab, tapi di Arab sendiri tidak ada tradisi ini. Berasal dari kata “halal” (yang berarti halal) dengan sisipan “bi” (yang berarti “dengan”). 

Lucunya, asal-usul istilah halalbihalal bermula dari pedagang martabak asal India di Solo, Jawa Tengah, yang mempromosikan dagangannya dengan kata-kata “martabak Malabar, halal bin halal”, sekitar tahun 1935-1936. Pada saat itu, martabak tergolong makanan baru bagi masyarakat Indonesia.

Pada malam terakhir Ramadan 2025, ada seorang asing datang ke Hall Latihan Cilandak dan bertanya ke saya jam berapa Latihan pria. Saya katakan padanya, bahwa Latihan pria hari Minggu adalah siang hari. Saya jelaskan juga bahwa Hall Besar sedang disiapkan untuk acara “meminta maaf” di antara para anggota. Si orang asing yang ternyata berasal dari Inggris dengan bercanda menyatakan bahwa meminta maaf seharusnya setiap saat, bukan hanya malam itu.

Pernyataannya itu melempar ingatan saya pada suatu insiden lebih dari 35 tahun lalu di kampus almamater saya, Universitas Indonesia. Saat itu tanggal 14 Februari, Hari Valentine. Dua mahasiswa yang saling mengenal bersalaman sambil berucap, “Selamat Hari Kasih Sayang.”

Seorang mahasiswa lainnya, yang dari penampilannya menyiratkan seorang muslim garis keras, mencibir dengan sinis, “Kasih sayang itu setiap hari, bukan pada satu hari tertentu saja.”

Saya yang duduk di dekat si mahasiswa sinis itu, dan mengenalnya cukup baik, menimpali, “Betul sekali, saya sependapat dengan kamu! Seperti meminta maaf itu harusnya tiap hari, bukan hanya saat Idulfitri.” Sebal mendengar ucapan saya, si mahasiswa sinis segera menjauh dari saya.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 31 Maret 2025

Wednesday, March 26, 2025

Ramadan Generasi Muda Subud Indonesia

 


Pada 25 Maret 2025, saya menerima email dari Harris Smart, Pemimpin Redaksi majalah Subud Voice, yang menandai di Facebook mengenai adanya acara Ramadan Pemuda Subud Indonesia di Pendopo Wisma Indonesia, Wisma Subud Cilandak, pada 23 Maret 2025. Sesuatu yang lucu, karena saya sendiri tidak hadir di acara tersebut, dan pada saat saya menerima email tersebut, saya baru bertekad tidak akan berurusan dengan Subud Youth Indonesia selama dikoordinatori Koordinator SYI 2025-2027 karena ia membawa masalah pribadi ke ranah jabatannya tersebut. Sebagai solusi, saya membuat artikel ini (versi terjemahannya), tanpa menyebut nama si Koordinator, dan menjadikan Ketua SICA Indonesia sebagai narasumber, karena ia juga hadir di acara tersebut.


JIWA tidak mengenal usia. Orang muda bisa saja memiliki jiwa tua, begitu pula sebaliknya. Namun, khususnya di abad ke-21, asosiasi pemuda Subud semakin dibutuhkan untuk menjembatani generasi terdahulu dengan generasi sekarang. Saya teringat salah seorang rekan kerja saya di sebuah biro iklan beberapa tahun lalu, seorang desainer grafis yang kala itu masih berstatus mahasiswa sebuah perguruan tinggi desain di Jakarta. Sebagai seorang pemuda berusia dua puluhan tahun, ia sangat menyadari bahwa kebutuhan fisik dan spiritualnya sangat berbeda dengan mereka yang jauh lebih tua darinya. Ketika ia akhirnya dibuka di Subud, ia juga pilih-pilih tempat untuk melakukan Latihan rutinnya. Ia tidak mau melakukan Latihan di Cilandak, yang katanya penuh dengan orang-orang tua. Ia sering mengunjungi S. Widjojo Centre di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, untuk Latihan terjadwalnya, karena di sana banyak anggota yang seusia dengannya.

Wajah Pemuda Subud Generasi Z bisa dibilang sudah sangat berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Pada generasi-generasi sebelumnya, saat teknologi komunikasi belum semaju sekarang, kekompakan antar-anggota Subud Youth Indonesia (SYI) sangat kuat. Mereka mempelopori berbagai penyelenggaraan acara Subud, termasuk perayaan hari ulang tahun Bapak, secara terkoordinasi dengan baik namun spontan, sehingga pengurus cabang, wilayah, maupun nasional tidak perlu membentuk panitia pelaksana khusus untuk itu. “Kami dipertemukan oleh bimbingan Latihan,” tutur seorang anggota di Jakarta Selatan yang tergabung dalam kelompok mantan Pemuda Subud yang menamakan diri mereka “Youth Jadul”. “Jadul” merupakan singkatan dari “Jaman Dulu”, bahasa gaul yang dipopulerkan oleh kaum Millenial Indonesia.

Di masa keemasan Gen Z, yang mempersatukan warga SYI adalah kegiatan-kegiatan fisik ala Pramuka, seperti perkemahan, pendakian gunung, dan juga workshop peningkatan kapasitas diri. Kegiatan-kegiatan tersebut sering kali dikritik oleh generasi tua karena dianggap tidak mencerminkan Subud. Sedangkan media penyebaran informasi yang paling dekat dengan gaya hidup mereka adalah grup WhatsApp dan Instagram.

Sebagai generasi yang tumbuh pascareformasi politik 1998 di Indonesia dan bagian dari apa yang disebut sebagai digital native, Gen Z tentunya memiliki sikap dan perilaku yang berbeda dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Hal ini sangat kental terwakili oleh anggota SYI saat ini. Sebagian besar Pemuda Subud saat ini bukanlah anak-anak anggota Subud, dan sebagian dari mereka masuk Subud sebagai “korban kehidupan modern yang makin sarat dengan pengaruh daya kebendaan”. Mereka sebagian besar berasal dari keluarga berada, kelas menengah ke atas, berpendidikan universitas, memiliki pekerjaan yang relatif stabil di berbagai badan usaha milik negara atau perusahaan swasta terkemuka, dan menikmati masa mudanya dengan berlibur ke luar negeri bersama teman-temannya. Secara fisik mereka stabil, tetapi tidak demikian dengan mental dan spiritual.                                    

Salah satu Pemuda Subud Gen Z yang dibuka pada tahun 2020, membenarkan pandangan saya bahwa banyak anak muda yang bergabung dengan Subud selama dan setelah pandemi memiliki masalah kesehatan mental. Gangguan kecemasan akibat putus cinta, kecanduan narkoba, keterikatan berlebihan pada gawai, konflik pribadi, dan ketidakmampuan mental untuk mengantisipasi tantangan zaman menjadi latar belakang perjalanan mereka menemukan Subud.

Karena generasi tertua di antara mereka memasuki usia dewasa muda di tengah pasar kerja pascapandemi, bahkan Gen Z di Subud Indonesia membutuhkan bimbingan dan dukungan dari para senior mereka. Generasi yang lebih muda juga masih bergantung pada keluarga, guru, atau figur yang lebih tua untuk membimbing mereka menjalani hidup. Di tengah banyaknya stereotip negatif seputar Gen Z, sebuah realitas yang juga ada di Subud, faktanya mereka adalah individu dengan perjuangan dan harapan pribadi mereka sendiri.

Saya baru-baru ini berbincang dengan dua Pemuda Subud Gen Z dari Jakarta Selatan di Pamulang, dan terungkap bahwa mereka telah mengalami banyak hal dengan Latihan, meskipun mereka tidak memahami apakah pengalaman mereka merupakan manifestasi dari Latihan yang mereka lakukan dua kali seminggu atau tidak. Mereka berharap agar pengurus dan dewan pembantu pelatih menyediakan lebih banyak ruang untuk gathering pemuda, di mana mereka dapat mengekspresikan diri dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Salah satu kegiatan tersebut adalah acara Ramadan SYI pada tanggal 23 Maret 2025. Meskipun agenda utamanya adalah “buka puasa bersama”, acara ini terbuka untuk seluruh anggota SYI, tanpa memandang agama dan tidak terbatas pada Pemuda Subud Jakarta, baik yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Menurut Elias David, Ketua SICA Indonesia, yang juga merupakan Pemuda Subud Gen Z karena usianya yang belum genap 25 tahun, yang turut hadir dalam acara Ramadan SYI, makna penting dari acara ini adalah untuk menjalin silaturahmi, mempererat tali silaturahmi antar anggota muda Subud di seluruh Indonesia, tidak hanya di Jakarta.

“Kepercayaan dan tradisi budaya sangat penting bagi rasa identitas, penyembuhan, dan rasa memiliki kaum muda. Kemampuan untuk menjalankan praktik keagamaan mereka di tempat yang mendukung dapat memberikan kenyamanan dan keterhubungan,” imbuh Elias saat membalas pesan WhatsApp saya terkait acara tersebut.

Ramadan adalah waktu untuk merenung, meningkatkan iman, dan berkumpuk, dan SYI telah berupaya keras untuk memastikan bahwa anggota muda Subud Indonesia merasa diperhatikan dan didukung. Dua Pemuda Jakarta Selatan yang menghadiri perayaan Ramadan SYI tersebut berbagi bahwa mereka disambut dengan kehangatan, pengertian, dan sumber daya yang memungkinkan mereka merayakan Ramadan dengan cara yang bermakna.

Menciptakan ruang yang inklusif dan meneguhkan iman bagi kaum muda merupakan inti dari apa yang dilakukan Subud Indonesia saat ini. Setiap anggota muda berhak untuk merasa betah, terutama pada saat-saat yang memiliki makna budaya dan spiritual.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Maret 2025

Thursday, March 20, 2025

Dari Resah ke Pasrah

PADA 16 Maret 2025, pulang dari acara buka puasa bersama sekaligus arisan keluarga di rumah orang tua saya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, sepeda motor saya mendadak mogok karena kampas koplingnya aus di dekat pos sekuriti Villa Cinere Mas. Jam menunjukkan pukul 22.40 WIB dan jalan lumayan sepi. Saya panik dan resah, membayangkan jarak ke rumah saya masih sekitar 2 km lagi. Bila saya harus menuntun motor saya pun akan sangat menyulitkan karena jalannya menanjak cukup panjang sedangkan motor saya lumayan berat. Pikiran saya berkecamuk, membayangkan hal-hal yang meresahkan.

Akhirnya, jiwa saya memperingatkan saya, “Sudah, jangan mengeluh. Kerjakan saja dengan perasaan pasrah, jangan mendahului kehendak Tuhan.” Saya pun men-switch perasaan resah saya ke pasrah, dan segera pertolonganNya datang. Ketika saya baru beberapa langkah menuntun motor saya, datang sebuah motor matic Nmax yang ditumpangi pasangan pria dan wanita. Si pria, yang masih muda dan duduk di belakang kemudi, bertanya apa yang terjadi dengan motor saya. Saya jelaskan apa yang terjadi, dan dengan sigap si pria menawarkan bantuan untuk mendorong motor saya dengan satu kakinya. Dia meminta saya naik ke sadel motor saya, dan motor saya pun meluncur dengan tenaga pendorongnya berasal dari Nmax itu, hingga depan gerbang klaster rumah saya.

Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas bantuan si pria itu. Saya menanyakan di mana ia tinggal. “Di Jalan Kentang, Pak.” Jalan Kentang itu dekat dengan sekolah dasar anak saya, sekitar 750 m dari rumah saya. Saya lupa menanyakan namanya, tapi saya membatinkan doa semoga ia dan pasangannya diberkati Tuhan.

Keesokan paginya, saya menuntun motor saya ke bengkel langganan saya, sekitar 300 meter dari rumah saya. Pemilik bengkel yang kebetulan datang dengan mobilnya untuk mengantar stok suku cadang dari distributor menanyakan apa masalah pada motor saya. Saya jelaskan bahwa masalahnya pada kampas kopling yang sudah aus dan harus diganti. Dia mengungkapkan bahwa harga kampas baru sekitar Rp300 hingga Rp400 ribu. Saya merasa resah seketika, mengingat bahwa uang di dalam dompet saya hanya Rp200.000.

Ketika seorang mekanik bengkel, yang merupakan satu-satunya spesialis kopling di situ, menangani motor saya, saya masih diliputi resah. Makin menjadi-jadi ketika si mekanik menawarkan untuk sekalian ganti oli mesin. Saya tak dapat menolak tawaran itu, meski biayanya pasti membengkak, karena si mekanik telah mengeluarkan oli mesin motor saya untuk merendam kampas kopling yang baru—sebuah cara untuk membuat daya tahan kampas lebih lama dari rata-rata dua tahun.

Jiwa saya kembali mengingatkan saya untuk pasrah. Dalam sekejap setelah saya men-switch dari resah ke pasrah, muncullah keajaiban. Ketika si mekanik selesai menangani motor saya, kepadanya saya tanyakan berapa yang harus saya bayar. Dia menyebut angka Rp120.000; Rp70.000 untuk oli mesinnya dan Rp50.000 untuk jasa si mekanik.

Penasaran, saya tanya berapa harga kampas koplingnya. “Itu gratis, Pak,” kata si mekanik. Saya bengong cukup lama dan kemudian bertanya lagi untuk memastikan. Si mekanik memastikan bahwa kampas kopling itu memang gratis.

Saya tidak habis pikir, tapi itulah kenyataan dari bimbingan Tuhan; bahwa pertolonganNya tidak bisa dijangkau dengan akal pikir.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Maret 2025

Wednesday, March 19, 2025

Antara Saya dan Tuhan

MANUSIA itu kadang aneh, suka sekali berstandar ganda. Orang-orang yang pernah bilang ke saya bahwa Subud itu sesat, atau keluarga dari teman atau kerabat saya yang mau ikut Subud melarang dengan alasan yang sama, justru dalam keseharian mereka mencampuradukkan agama-agama dengan praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran agama mereka. Saya ingat di Surabaya dulu, ada teman saya yang sudah sempat minta penjelasan ke pihak Subud Cabang Surabaya lantas dilarang orang tuanya, yang mengatakan, “Sudah, nggak usah ikut-ikut kayak gitu deh. Agama sudah cukup!”

Tapi saya sih cuek, saya ikhlaskan saja. Suatu malam, saya ke rumah teman itu dan memergoki orang tuanya yang aktif di organisasi Islam mayoritas di Surabaya itu membakar dupa dan melakukan ritual layaknya perdukunan sambil mendaraskan ayat-ayat suci. Kata teman saya, itu ritus orang tuanya tiap malam sebelum pergi berdagang, supaya dagangannya laris. Saya hanya tertawa dalam hati dan membatin, “Jancuukk!!! Bilang gue sesat karena ikut Subud, lha itu apa, Pak-Bu?! Weleh-weleeh!”

Teman dan kerabat saya lainnya yang menuding saya sesat juga masih doyan berkonsultasi ke dukun atau berbuat syirik—yang menurut standar mereka tidak demikian. Tapi saya tidak ambil pusinglah, malah jadi pemandangan lucu yang menghibur saya. Terima kasih, Tuhan, atas itu semua.

Pada akhirnya, semua ini hanya antara saya dan Tuhan. Peduli amat apa kata orang, yang penting tetap melakukan kebaikan dan bermanfaat bagi orang lain.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Maret 2025

Friday, March 7, 2025

Menapaktilasi Perjalanan Pak Subuh Dari Stasiun ke Stasiun (Revisi)

Tulisan ini merupakan revisi dari tulisan dengan judul yang sama yang diterbitkan di blogspot ini pada 22 Juni 2016.


BELAKANGAN ini saya kerap harus meluruskan anggapan banyak sekali anggota Subud Indonesia bahwa Bapak pernah bekerja di Stasiun Kedungjati, mungkin dengan pemikiran bahwa Bapak pernah menjadi pegawai NIS dan rumah orang tua beliau terletak berdekatan dengan Stasiun Kedungjati. Buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo nyatanya tidak menyebutkan hal itu.

Setiap tahun, pada tanggal 22 Juni, para anggota Subud memperingati hari lahirnya Bapak Muhammad Subuh. Bapak lahir di Kedungjati, sebuah desa di kecamatan bernama sama, yang berlokasi di Karesidenan Semarang (sekarang masuk Kabupaten Grobogan), Jawa Tengah.

Sebagai pehobi kereta api (railfan) yang juga anggota Subud, saya lebih tertarik untuk memperingati hari lahir Bapak dengan menapaktilasi perjalanan beliau “dari stasiun ke stasiun”. Ya, di samping menyebarluaskan Latihan Kejiwaan ke lebih dari 75 negara di dunia sejak tahun 1957, Pak Subuh sebenarnya lekat dengan sejarah perkeretaapian Indonesia, karena beliau sempat berkarir cukup lama di badan usaha kereta api swasta Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij (NIS).

Berkantor pusat di Kota Semarang, menempati bangunan yang kini dikenal sebagai “Lawang Sewu”, NIS memainkan peran signifikan dalam sejarah perkeretaapian Indonesia, karena perusahaan itulah yang pertama kali membangun jaringan kereta api di Nusantara. Dimulai dari pembukaan jalur antara Stasiun Kemijen di Semarang dan Stasiun Tanggung di Grobogan sepanjang 27,7 kilometer pada tanggal 10 Agustus 1867, NIS memicu revolusi transportasi berbasis rel di Hindia Belanda. Jalur itu kemudian diperpanjang hingga tiga kota di Jawa Tengah—Semarang, Solo, dan Jogjakarta—melalui Kedungjati, sebuah tempat terpencil di pedalaman Jawa Tengah di mana Pak Subuh dilahirkan.

 

Kantor Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) di Semarang sekitar tahun 1930. (KITLV)

Paling tidak ada enam stasiun warisan Hindia Belanda (heritage) disebut-sebut dalam buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (diterbitkan pertama kali pada 1991), yaitu Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, Stasiun Bojonegoro, Stasiun Buyaran, Stasiun Pamotan, dan Stasiun Kedungjati.

Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, Stasiun Bojonegoro dan Stasiun Kedungjati dikelola oleh NIS, sedangkan Stasiun Buyaran dan Stasiun Pamotan pada masanya merupakan halte trem (kereta api jarak dekat) bertenaga uap yang dimiliki oleh Samarang-Joana Stoomtrammaatschappij (SJS), atau Perusahaan Trem Uap Semarang-Juwana yang juga berkantor pusat di Semarang.

Stasiun Telawa(h) berada di jalur kereta api Brumbung-Gundih, tepatnya di Desa Pilangrejo, Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Jalur kereta api Brumbung-Gundih merupakan jalur heritage yang oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebisa mungkin dipelihara keasliannya sebagaimana keadaannya pada masa kolonial Hindia Belanda, antara lain dengan tidak mengganti sistem persinyalan mekanik dengan sistem elektrik. Tiga stasiun di jalur ini sudah non-aktif/mati, yaitu Gedangan, Jetis, dan Jambean.

 

Stasiun Telawa pada tahun 2020.

Dalam Autobiografi, disebutkan bahwa karir beliau di NIS dimulai ketika beliau diterima bekerja di Stasiun Kalitidu, berkat bantuan Pak Reksodiharja, adik dari eyang putri beliau yang menjabat sebagai “sep” (kepala) Stasiun NIS Kalitidu. Stasiun Kalitidu (KIT, +24 mdpl) di jalur kereta api Gambringan-Kandangan masih aktif hingga kini, berlokasi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dan merupakan salah satu stasiun di Lintas Utara Jawa yang dilalui kereta api-kereta api relasi Jakarta-Surabaya pp, antara lain Argo Bromo Anggrek dan Jayabaya.

 

Stasiun Kalitidu pada tahun 2020.

Di petak jalur rel antara Kalitidu dan Kapas terdapat Stasiun Bojonegoro (BJ, +15 mdpl). Di Autobiografi diceritakan bahwa Pak Subuh ditempatkan di Stasiun Bojonegoro sebentar setelah beliau diangkat menjadi pegawai resmi NIS. NIS mendapat konsesi pembangunan jalur kereta api baru yang melayani rute Gundih-Gambringan-Bojonegoro-Surabaya pada tanggal 24 September 1896. Stasiun Bojonegoro mulai beroperasi pada 1 Maret 1902 sebagai bagian dari pengoperasian jalur kereta api ruas Bojonegoro-Babat (Lamongan), sedangkan proyek jalur kereta api Gundih-Gambringan-Bojonegoro-Surabaya NIS (kini Stasiun Surabaya Pasarturi) tuntas pengerjaannya pada 1 Februari 1903.

 

Stasiun Bojonegoro pada tahun 2020.

Diceritakan dalam Autobiografi, bahwa Pak Subuh dimutasi ke NIS di Surabaya. Tidak dirinci dalam buku tersebut apakah itu stasiun atau kantor perwakilan NIS, namun bila memang stasiun maka dalam sejarah perkeretaapian Indonesia satu-satunya stasiun NIS di Surabaya adalah Stasiun Surabaya Pasar Turi (SBI, +1 mdpl). Stasiun Semut/Surabaya Kota dan Stasiun Surabaya Gubeng dikelola oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda. Stasiun Pasarturi beserta jalur kereta api lintas Lamongan-Surabaya mulai beroperasi sejak 1 April 1900.

 

Emplasemen Stasiun Surabaya Pasar Turi dilihat dari Pasar Grosir Surabaya, tahun 2017.

Dalam perjalanan pencarian spiritualnya, Pak Subuh dan beberapa teman beliau diceritakan dalam Autobiografi meninggalkan rumah seorang kyai dan menuju Stasiun Buyaran, naik kereta api pagi yang datang dari Demak menuju Semarang. Stasiun Buyaran (BYA) yang berlokasi di Desa Pulosari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah dibangun pada tahun 1885 di jalur kereta api Semarang Tawang-Demak oleh SJS, sebuah perusahaan swasta trem uap yang dahulu mengelola jalur kereta api sepanjang 417 kilometer di Kabupaten-Kabupaten Demak, Kudus, Pati, Rembang, Jepara, Blora, dan Grobogan, di Jawa Tengah, dan sebagian Tuban di Jawa Timur. Stasiun Buyaran ditutup Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada tahun 1986 bersama stasiun-stasiun lainnya di jalur kereta api Semarang Tawang-Demak. Bangunan bekas Stasiun Buyaran kini menjadi toko.

 

Bangunan bekas Stasiun Buyaran sudah berubah fungsi menjadi toko.

Stasiun Pamotan melekat di kenangan Bapak lantaran di stasiun inilah beliau melihat perempuan yang kelak diperistri beliau turun dari kereta trem SJS yang ditumpangi Bapak. Ibu Rumindah, istri pertama Bapak memang bertempat tinggal di Pamotan. Dibuka pada tahun 1900, Stasiun Pamotan kini tinggal bangunan tua yang merana, dengan area stasiun digunakan sebagai pangkalan truk. Papan penanda “Aset Milik PT KAI” yang dijumpai di muka bangunan menegaskan bahwa di Desa Pamotan, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pernah ada stasiun kereta api. Stasiun Pamotan ditutup oleh PJKA pada tahun 1989.

Peta jalur-jalur Samarang Joana Stoomtrammaatschappij (SJS) pada bulan Mei 1902. (KITLV)

Bangunan bekas Stasiun Pamotan.

Bapak boleh dibilang beruntung dengan lokasi rumah di mana beliau dilahirkan hanya berjarak sekitar 200 meter dari Stasiun Kedungjati (KEJ, +36 mdpl). Selama bersekolah di Ambarawa, pagi dan sore Bapak menumpang kereta api dari Stasiun Kedungjati melalui jalur Kedungjati-Secang dengan delapan stasiun persinggahan (Kedungjati, Ngombak, Tempuran, Gogodalem, Bringin, Telogo, Tuntang, dan Ambarawa). Jalur rel yang menyambungkan Kedungjati dengan Ambarawa ini masih bisa dilihat di selatan Stasiun Kedungjati, yang sempat direncanakan untuk direaktivasi pada tahun 2015 namun terhambat pembebasan lahan.

Dibuka pada 19 Juli 1868, Stasiun Kedungjati awalnya berwujud bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu jati—yang melimpah di daerah itu. Tahun 1907, stasiun ini mengalami perombakan dengan dibangunnya bangunan yang menggunakan bata berplester. Juga dipasangi atap peron dengan bentang 14,65 m yang terbuat dari seng bergelombang yang cenderung landai menyesuaikan iklim tropis.

 

Lokomotif CC206 dinas KA Semen Tiga Roda di Jalur 1 Stasiun Kedungjati pada tahun 2016.

Meski penampakan fisiknya besar dengan lima jalur rel (dua di selatan sudah tidak aktif), Stasiun Kedungjati tergolong stasiun kelas III/kecil. Bagaimanapun, semasa masih dioperasikan oleh NIS, Kedungjati merupakan stasiun besar yang dilengkapi depo lokomotif dan pemutar rel, yang kini tidak tersisa lagi bekas-bekasnya selain fondasinya. Sebuah bangunan gudang juga masih ada di seberang utara stasiun.

Rumah kelahiran Bapak bersebelahan dengan bangunan rumah dinas pegawai kereta api yang saat ini dipasangi papan penanda “Aset Milik PT KAI”; artinya, Desa Kedungjati merupakan bagian dari kompleks Stasiun Kedungjati. Stasiun Kedungjati juga masih aktif saat ini di jalur Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) atau yang dikenal sebagai Lintas Tengah Jawa. Kereta Api Matarmaja, Joglosemarkerto, dan KA Semen Tiga Roda rutin meniti jalur ini dalam perjalanan mereka pergi-pulang Semarang-Solo.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Maret 2025