Thursday, June 27, 2024

Subud Turunan dan Subud Tanjakan

BEBERAPA waktu lalu saya melontarkan lelucon di sebuah grup WhatsApp Subud di Indonesia, mengenai adanya dua jenis anggota Subud. Yaitu “Subud Turunan” dan “Subud Tanjakan”.

Di Indonesia, terutama di daerah-daerah pinggiran kota yang permukaan tanahnya lebih tinggi daripada di pusat kota, terdapat jalan-jalan raya yang menurun (turunan) dan menanjak (tanjakan). Bagi para pengendara sepeda, turunan merupakan jalan paling menyenangkan karena mereka tidak perlu mengayuh pedal karena adanya daya dorong alami. Mereka menghindari tanjakan, karena itu berarti mereka harus mengerahkan segenap tenaga pada kaki mereka untuk membuat laju sepeda tetap stabil. Kaki mudah pegal saat mengayuh sepeda di tanjakan.

Subud Turunan mengacu pada anggota Subud yang merupakan keturunan dari orang tua, kakek-nenek, dan/atau kakek-nenek buyut yang juga di Subud. Proses kejiwaan mereka, menurut saya, relatif lebih mudah, ibarat kendaraan yang meluncur kencang di jalan turunan, yang terjadi dengan mudah dan tanpa mengeluarkan banyak tenaga, karena mendapat “dorongan dari leluhur mereka yang sudah menerima Latihan”.

Kalau saya termasuk Subud Tanjakan. Saya generasi pertama di keluarga biologis saya yang masuk Subud. Saya sering berbagi dengan para anggota Subud Tanjakan lainnya, dan terungkap proses kejiwaan mereka kurang lebih sama dengan saya: Berat, seperti mengayuh sepeda di jalan tanjakan dengan menggunakan tenaga sendiri. Bahkan, jika ada malaikat yang membantu mendorong sepeda kami pastilah mereka kelelahan.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 Juni 2024

Tuesday, June 25, 2024

Teringat Saat Melayat


TAHUN 2019 lalu, salah satu senior saya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) Angkatan 1984, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sub Dinas Sejarah TNI Angkatan Laut (Subdisjarahal) di Markas Besar TNI Angkatan Laut (Mabesal) Cilangkap, Jakarta Timur, Kolonel Laut Drs. Syarif Thoyib, M.Si, mendapat perintah dari atasannya untuk mencarikan seorang penulis yang memiliki keahlian dalam berbahasa Inggris termasuk penulisan dan penerjemahan serta editor yang cakap dengan latar belakang akademik di bidang sejarah dan memiliki wawasan yang mumpuni dalam strategi militer dan pertahanan. Atasan Kolonel Syarif saat itu adalah Laksamana Pertama TNI Moch. Zaenal yang menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI AL, dinas yang menaungi antara lain Sub Dinas Sejarah.

Kolonel Syarif memutar otak, mencoba mengingat siapa gerangan di antara orang-orang yang dia kenal yang memiliki semua kriteria yang ditetapkan atasannya. Sang atasan pun sedang meneruskan perintah dari Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) saat itu, Laksamana TNI Siwi Sukma Adji, untuk membuat majalah berbahasa Inggris yang mengetengahkan kiprah TNI AL di dalam dan luar negeri serta pertahanan maritim. Kolonel Syarif dan staf-stafnya di Subdisjarahal, termasuk, salah satunya, satu yunior saya di Jurusan Sejarah FSUI, Adi Patrianto namanya, disibukkan untuk memenuhi permintaan atasan mereka. Loyalitas kepada atasan adalah segalanya di TNI AL—gagal dalam hal itu berarti karir Anda di TNI AL berakhir.

Suatu saat, Kolonel Syarif mendapat kabar duka: Yunior dia di Jurusan Sejarah FSUI, yang adalah senior saya, meninggal dunia. Kolonel Syarif menyempatkan diri untuk melayat di saat prosesi pemakamannya. Saat khidmat mengikuti prosesi pemakaman si yunior, Kolonel Syarif melarik para alumni Jurusan Sejarah FSUI yang juga hadir melayat. Dia perhatikan satu per satu dengan saksama wajah-wajah mereka. Lalu pada satu titik, dia tersentak, karena tiba-tiba teringat pada satu alumnus yang justru tidak datang melayat—dan sempat membuat dia heran karena si alumnus juga mengenal baik almarhum.

Alumnus yang absen dari melayat seniornya itu adalah saya. Dan itulah yang membuat Kolonel Syarif tersentak. Dia langsung teringat di saat melayat itu bahwa sayalah yang memenuhi semua kriteria dari Kadispenal, Laksamana Pertama TNI Moch Zaenal. Sekembalinya di kantornya, Kolonel Syarif menanyakan Adi Patrianto apakah dia memiliki nomor WhatsApp saya. Adi memberikan nomor saya dan selanjutnya Kolonel Syarif menelepon saya. Itulah kontak pertama kami sejak saya lulus dari FSUI tahun 1993.

Sejak hari itu hingga Kolonel Syarif pensiun tahun 2022 (terakhir menjabat Sekretaris Dinas Sejarah TNI AL; Subdisjarahal direvitalisasi menjadi Disjarahal dengan kepalanya berpangkat Laksamana Pertama pada tahun 2020), saya—melalui perusahaan branding saya, li9ht Brand—melayani kebutuhan Dispenal dan Disjarahal dalam pembuatan media komunikasi internal dinas.

Kolonel Syarif adalah pribadi yang baik, ramah, rendah hati dan selalu mendukung saya secara moril dan materiil. Di TNI AL sendiri, para bawahannya sangat menghormatinya sebagai pemimpin yang mengemong, peduli dan suka memberi nasihat bijak alih-alih memarahi bawahan yang berbuat kesalahan. Sejak dia pensiun, saya belum sempat bertemu kembali dengan Kolonel Syarif, namun saya masih mengiriminya pesan WhatsApp, bertanya kabar dan ucapan Idulfitri. Harapan saya untuk bertemu Kolonel Syarif Thoyib pagi ini pupus seiring kabar dari Adi Patrianto bahwa senior yang kembali teringat saya pada saat melayat telah berpulang ke pangkuan Ilahi pada Rabu ini, 26 Juni 2024, pukul 08.03 WIB di RSAL dr. Mintohardjo, Jakarta, karena sakit.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memurahi almarhum dalam perjalanan selanjutnya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Juni 2024

Tuesday, June 18, 2024

Desiderium (Doa Rindu)

Andai kau tahu

Namamu kusebut dalam doaku

Doa sunyi yang mengisi lamunanku

Rinduku bersalut diam membisu

Ekstase diriku yang membeku

Asmara ini menenggelamkanku...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 Juni 2024

Monday, June 17, 2024

Sepanjang 15 Cabang

ADA sebuah ungkapan yang populer di kalangan anggota Subud Indonesia bahwa “kata-kata hanya membatasi rasa”. Kata-kata seringkali mendegradasi rasa sebuah pengalaman kejiwaan, sehingga kebanyakan anggota enggan bercerita kepada saudara Subudnya atau kepada pembantu pelatih karena khawatir getar pengalaman yang menggugah rasa akan sirna.

Bagaimanapun, saya akan tetap mencoba untuk bercerita melalui kata-kata—karena hanya itu sarana yang saya punya untuk menyampaikan pengalaman saya bersama empat saudara Subud Jakarta Selatan dan satu saudara Subud Bogor menempuh perjalanan sejauh 2.359,5 kilometer, mengunjungi 15 cabang yang tercakup dalam dua Komisariat Wilayah PPK Subud Indonesia.

Perjalanan “sepanjang 15 cabang” ini dilakukan oleh enam anggota, salah satunya adalah saya, yang terdiri dari lima pria dan satu wanita, mulai dari 9 Juni hingga 16 Juni 2024. Kami hanya anggota biasa, tidak ada yang berstatus pembantu pelatih, yang sedang mengemban tugas sebagai pengurus dari Subud Enterprise Services (SES) dan Subud International Cultural Association (SICA) Indonesia. Lamanya keberadaan masing-masing dari kami di Subud bervariasi, mulai dari 23 tahun hingga delapan bulan.

 


Satu-satunya anggota perempuan di antara kami adalah yang paling muda usianya, belum genap 19 tahun, dan baru dibuka pada Oktober 2023. Meskipun ia putri dari pasangan Subud, perjalanan kejiwaan sepanjang 15 cabang ini merupakan pengalaman pertamanya, dan tentunya cukup mengkhawatirkan bagi saya, mengingat tidak ada pembantu pelatih pendamping dalam rombongan kami. Saya khawatir terhadap perkembangan-perkembangan dramatis dalam dirinya, yang normalnya dialami anggota yang telah melakukan Latihan selama minimal lima tahun.

Apalagi selama perjalanan ini, kami selalu diundang untuk Latihan bersama di tiap cabang yang kami kunjungi. Dengan rata-rata dua cabang yang kami kunjungi setiap hari, tidak dapat dihindari kenyataan bahwa kami melakukan Latihan lebih dari sepuluh kali dalam seminggu. Terlalu melewati batas!

Tujuan dari kunjungan sepanjang 15 cabang ini adalah untuk mendiseminasi program kerja dari SES dan SICA Indonesia masa bakti 2023-2025. Program kerja yang berasaskan “Kebudayaan Hidup yang Dienterprisekan” ini rupanya memberi wawasan baru kepada para anggota, pengurus dan pembantu pelatih di tiap cabang. Betapa tidak, bagi kebanyakan anggota, pengurus maupun pembantu pelatih, “kebudayaan” semata diartikan sebagai “kegiatan seni untuk kesenangan” belaka, dan “enterprise” semata dipraktikkan sebagai kegiatan usaha berbasis keuntungan materi, yang melaluinya anggota “mencari uang”, alih-alih “dicari uang” sebagaimana yang kerap dinasihatkan Bapak.


Karena menganggapnya “baru” dan menjadi pembuka mata, para anggota, pengurus dan pembantu pelatih dari sebagian besar cabang yang kami kunjungi menyambut kunjungan pengurus SES dan SICA Indonesia ini dengan gembira dan antusias. Mereka bahkan menyatakan akan mengawal program ini hingga tersebar luas ke cabang-cabang lainnya yang belum kami kunjungi.

Ada sembilan cabang di Komisariat Wilayah 5 (Jawa Tengah dan Yogyakarta: Batang, Jepara, Semarang, Surakarta, Sleman, Kota Yogya, Kulonprogo, Temanggung dan Purwokerto), dan enam cabang di Komisariat Wilayah 6 (Jawa Timur: Madiun, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Probolinggo dan Malang) yang dikunjungi The Six Pack (sebutan pribadi saya untuk enam pengurus SES dan SICA Indonesia yang menempuh perjalanan sepanjang 15 cabang itu). Di Wilayah 5 sendiri sebenarnya ada 14 cabang (dan sembilan ranting serta satu kelompok), tapi kami menyeleksi sembilan cabang di antaranya berdasarkan informasi bahwa cabang-cabang itu sebelumnya telah melakukan kegiatan-kegiatan budaya dan (berpotensi) mengimplementasi enterprise cabang (bukan enterprise anggota cabang) yang ke depannya diharapkan dapat mandiri dalam menyokong kegiatan cabang, tidak lagi bergantung pada donasi atau dana dari pengurus nasional Subud Indonesia atau pihak-pihak lainnya.

Perjalanan kami berkembang menjadi perjalanan yang sarat pengalaman dengan Latihan. Tubuh fisik kami yang normalnya akan cepat lelah malah sebaliknya bertahan kuat dan mantap—vibrasi Latihan terasa terus-menerus! Sepanjang perjalanan, dalam mobil yang menyisakan sedikit ruangan untuk bergerak leluasa, karena memang berkapasitas enam penumpang, satu-satunya yang terasa sakit hanyalah perut kami. Itupun lantaran kami terlalu banyak tertawa. Tidak ada momen mengobrol yang berlalu tanpa canda dan tawa, dan itu membuat segala tantangan yang kami hadapi di perjalanan terasa ringan.


Perjalanan sepanjang 15 cabang ini telah mengubah masing-masing dari enam anggota yang melakukannya, sesuai dengan keadaan diri kami ketika kami mengawali perjalanan ini. Terlepas dari “krisis sesaat” akibat terlalu banyak Latihan dalam seminggu, kami mensyukuri kami telah melakukannya dan memetik mutiara-mutiara pembelajaran yang bernilai darinya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Juni 202

Monday, June 3, 2024

Di Level Pembantu Pelatih

BARU-baru ini, saya menceritakan kepada salah satu pembantu pelatih (PP) yang menyaksikan pembukaan saya, melalui WhatsApp chat, tentang dampak dari pekerjaan menerjemahkan dokumen-dokumen atau literatur Subud. Saya telah melakukannya sejak 18 tahun yang lalu; pertama kali ketika diminta bantuan untuk menerjemahkan dokumen-dokumen dari World Subud Association (WSA).

Tampaknya hanya pekerjaan sepele—semua orang yang memiliki pemahaman bahasa asing, selain bahasa induknya, dianggap pasti bisa melakukannya. Tetapi, ternyata tidak demikian halnya dengan menerjemahkan dokumen/literatur Subud sebagai orang yang sudah menerima Latihan. Dalam pengalaman saya, setiap kali menerjemahkan teks yang ditulis oleh seorang saudara Subud, saya harus masuk ke dimensi si penulis. Dengan begitu, “kedirian” si penulis dan suasana atau keadaan di saat dia menuliskan teks itu serta topik atau setting yang melatari tulisannya akan mengisi diri saya. Hal itu menjadikan setiap proses pengerjaan terjemahan tidak selalu mudah dan menyenangkan.

Kepada PP tersebut saya ceritakan pengalaman saya ketika harus menerjemahkan cuplikan satu alinea dari ceramah Bapak, dari bahasa Inggris ke Indonesia. Saya cari ceramah utuhnya di Subudlibrary.net maupun di koleksi saya sendiri, tidak ada. Ternyata itu ceramah yang tidak direkam; seseorang telah mencatatnya dengan stenografi langsung ke dalam bahasa Inggris. Karena itu penerimaan Bapak, tak ada cara lain selain saya harus masuk ke dimensi Bapak. Hal itu cukup menakutkan bagi saya, mengingat wadah saya belum sebesar Bapak, tapi saya mohon bimbingan Tuhan untuk kesiapan dan ketenangan.

Saya berhasil melalui prosesnya. Hanya satu alinea, tapi saya mengalami krisis selama tiga hari, yang saya gambarkan kepada si PP sebagai berikut: “Rasanya separo nyawaku melayang. Selama tiga hari, aku tiduran sambil Latihan dengan nyanyi-nyanyi dan melantur, supaya aku tetap sadar dan separo lagi dari nyawaku tidak melayang.”

Saya teringat bahwa saya pernah diingatkan oleh seorang PP di Kalimantan bahwa penerjemah dokumen/literatur Subud haruslah seorang PP atau jika bukan seorang PP, seperti saya, paling tidak, sudah berada di level pembantu pelatih. Level intermediate dan advance dalam penguasaan bahasa tidak cukup bila Anda adalah seseorang yang telah menerima Latihan Kejiwaan.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 4 Juni 2024

Saturday, June 1, 2024

Mengatasi “Writer’s Block”

SEMUA penulis, tak terkecuali yang berpengalaman sekalipun, pernah mengalami situasi yang disebut writer’s block atau white paper syndrome. Situasi ini menempatkan seorang penulis dalam posisi tidak mampu memulai kalimat pertama pada karya tulisnya.

Ada beragam cara dalam mengatasi writer’s block, dan tidak ada penulis yang terpaku pada satu cara saja—terserah mana yang dia sukai atau cocok dengan keadaan dirinya.

Tahun 2007 lalu, saya mendapat permintaan untuk menerjemahkan buku memoar Subudnya Siti Muti’ah Lestiono, Finding the Light: A Personal Account of Discovering the Meaning of Life. Diceritakan dalam buku tersebut, atas petunjuk dari YM Bapak ia melamar pekerjaan sebagai wartawan, suatu bidang yang belum pernah dilakukan Carol Ann Glassman (nama asli Ibu Siti Muti’ah) sebelumnya, tetapi berkat Latihan Kejiwaan ia mampu melakukannya dan bahkan berkarir hingga pensiun dalam bidang jurnalistik. Di awal karirnya, Carol mengalami hambatan yang dikenal sebagai writer’s block. Dibimbing oleh Latihan, Carol menemukan bahwa cara dia untuk mengatasinya adalah mengawali setiap artikel dengan sebuah kutipan (quote) terkait tema tulisan. Cara itu selalu berhasil bagi Carol, tetapi belum tentu dapat diterapkan oleh penulis-penulis lainnya.

Saya pribadi tidak jarang mengalami sindrom kertas putih, dan memiliki cara saya sendiri untuk mengatasinya. Ada beberapa cara berbeda, namun yang sering saya andalkan adalah menceritakan pengalaman pribadi saya terkait tema artikelnya. Contohnya, ketika menulis tentang kereta api Gaya Baru Malam Selatan, saya mengawalinya dengan menuangkan kisah pengalaman saya naik KA Gaya Baru Malam Selatan selama 24 jam pada Januari 1994 akibat mogoknya lokomotif penarik rangkaian KA GBMS di Stasiun Mojokerto.

Saya menumpahkan pengalaman saya menonton film Saving Private Ryan ketika menulis alinea pembuka pada buku TNI Angkatan Laut dalam Operasi Seroja (2015). Mengetengahkan operasi amfibi pasukan KKO (cikal-bakal Korps Marinir TNI AL) yang mengawali Operasi Seroja di Timor Timur, 7 Desember 1975, saya merasakan alinea pembukaan bukunya lebih tepat jika menggambarkan suasana operasi sejenis yang diperagakan para aktor dan ratusan figuran dalam film Saving Private Ryan (1996). Dari situ, tulisan pun mengalir alinea demi alinea, yang menggiring pembaca untuk memahami perihal operasi amfibi dan, akhirnya, tiba pada inti tulisan—tentang mengapa Operasi Seroja diawali dengan misi intai amfibi KKO di pantai Dili.

Kadang pula saya menggunakan teknik quote ala Ibu Siti Muti’ah, atau menjabarkan pemikiran/teori dari seorang atau lebih pakar terkait tema yang kita tulis, yang saya kutip dari literatur lainnya. Namun hingga saat ini mengawali tulisan dengan penceritaan pengalaman pribadi saya jauh lebih mudah untuk mengatasi writer’s block. Terlebih karena YM Bapak menganjurkan anggota Subud untuk menuliskan pengalaman pribadinya, jangan menuliskan teori, saya jadi lebih menyukai pendekatan ini untuk melibas writer’s block.

Di awal karir saya sebagai copywriter, atasan saya, seorang creative director berkebangsaan Selandia Baru yang juga berlatar belakang copywriter, menyarankan agar saya banyak membaca literatur apapun, mendengarkan genre musik apapun, menonton film apapun, sering berjalan-jalan jauh dari rumah (lebih baik lagi, keluar kantor) untuk mengeksplorasi kehidupan, bertemu banyak orang tanpa memandang siapa mereka dan berdialog dengan mereka tentang kehidupan mereka, mencicipi berbagai jenis kuliner dengan rasa ingin tahu mengenai asal-usulnya, dan selalu penasaran untuk mencoba hal-hal baru. Semua ini akan memberi kita, para penulis, pengalaman-pengalaman yang ketika waktunya tiba akan bermetamorfosa menjadi ide-ide cemerlang, yang akan membantu kita mengatasi sindrom kertas putih atau writer’s block. Dengan bimbingan Latihan Kejiwaan, saya, yang pada dasarnya introvert dan “orang rumahan”, saran tersebut dapat saya praktikkan tanpa hambatan.©2024

 

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Juni 2024