SAYA kerap menyaksikan—entah nyata atau cuma halusinasi saya
saja—bahwa diri pribadi saya mengikuti atau beradaptasi dengan situasi,
kondisi, atau lingkungan di mana saya berada. Seperti pengejawantahan dari
pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, saya menjadi pribadi
yang sama sekali berbeda ketika saya berada di suatu tempat yang “mensyaratkan”
saya untuk memiliki pembawaan tertentu; berbeda dari diri saya di tempat-tempat
lainnya. Seakan saya memiliki kepribadian ganda.
Adaptasi itu, sebagaimana saya rasakan, bukan secara sengaja—bukan
dibuat-buat, melainkan secara otomatis, tanpa saya harus mengusahakannya dengan
bantuan nilai-nilai yang tertanam di akal pikiran saya. Bahkan acap kali saya
tidak menyadari perubahan itu. Dan fenomena ini saya alami sejak saya dibuka di
Subud, menerima Latihan Kejiwaan untuk pertama kalinya. Saya yakin, kekuasaan
Tuhan melalui Latihan Kejiwaanlah yang memampukan saya demikian, karena sebagai
manusia saya terlalu lemah untuk membuat diri pribadi saya berubah-ubah
sewaktu-waktu, sesuai situasi, kondisi, dan lingkungan di mana saya berada pada
suatu ketika.
Suatu ketika, di bulan Januari 2018, seorang saudara Subud
dari Cabang Jakarta Selatan yang telah menerima dari saya buku berjudul Bakti Bagi Bumi: Kampung-Kampung Pelindung
dan Pengelola Lingkungan (2017), yang kontennya saya yang tulis dan desain
hingga cetaknya digarap LI9HT Brand—The IDEAS Company, berkomentar, “Om, saya
sudah baca buku yang Om Anto tulis. Tulisannya kok beda ya di buku dengan di grup WhatsApp.”
Di perkumpulan persaudaraan kejiwaan Subud, terutama di Cabang
Jakarta Selatan, saya memang dikenal sebagai orang yang suka membuat kekacauan,
suka bikin ribut dan pertengkaran (walaupun di dunia maya), dengan menggunakan
kata-kata yang tidak pantas, vulgar. Sehingga sebagian saudara Subud beranggapan
bahwa saya tidak tahu hal lain selain membuat kekacauan dan berkata kotor.
Sungguh amat berkebalikan dengan apa yang dibaca saudara Subud di atas dalam
buku yang saya tulis—membahas tentang pemberdayaan kampung sebagai bagian dari
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Komentar saudara Subud tadi membuat saya merenung: “Iya-ya, kok kepribadian saya bisa berbeda di
satu dan lain tempat?”
Sebagai konsultan penjenamaan (branding), bertemu dengan klien bukan hal baru bagi saya. Saya
telah menghadapi yang namanya “klien” sejak saya berkarir di dunia komunikasi
pemasaran, korporat, dan pembangunan berkelanjutan (sustainability communication) sejak tahun 1994. Di dunia
profesional saya, saya tampil profesional sejalan dengan yang disyaratkan oleh
tempat, situasi, dan kondisinya. Sebelum menerima Latihan Kejiwaan,
bagaimanapun, sedikit banyak kepribadian saya di dalam maupun di luar ranah
pekerjaan tidak jauh berbeda: Temperamental, ngototan, sulit menerima kritik dan hanya suka pujian, ngambekan, serta kurang bersemangat. Pokoknya,
sama sekali tidak mencerminkan profesionalisme!
Nah, kepribadian seperti itu berubah sama sekali sejak saya aktif
berlatih kejiwaan Subud. Baiklah, tidak “sama sekali”, karena di luar ranah
pekerjaan, kadang saya masih menyuratkan kepribadian “negatif” seperti yang
saya paparkan di atas. Tetapi di ranah pekerjaan, terutama saat berinteraksi
dengan klien atau tim kerja, saya bisa menjadi pribadi yang sama sekali
berbeda. Tidak saya buat-buat atau sengaja saya lakukan sebagai pencitraan,
tapi benar-benar “dibuat seperti itu” tanpa melibatkan usaha dari pihak saya,
alias otomatis, seakan ada dua atau lebih makhluk menghuni ruang di balik
kemasan tubuh saya.
Perubahan kepribadian itu berlangsung dalam sekejap, dalam
sekedip mata. Misalnya, saat bertemu klien yang ingin berkonsultasi menyangkut
penjenamaan saya tampil benar-benar profesional, dengan segudang informasi
berdasar pengetahuan dan pengalaman saya tumpahkan dengan lancar. Begitu
pertemuan itu selesai dan saya sejenak menekuni diskusi-diskusi di grup WhatsApp
(WA) Subud atau pasca meeting dengan
klien saya pergi menjumpai orang-orang dalam situasi, kondisi, maupun
lingkungan yang berbeda, bisa lho saya
menjadi pribadi yang berbeda seratus delapan puluh derajat.
Di grup WA Subud, saya “kembali” menjadi pribadi yang luar
biasa jahilnya, luar biasa vulgarnya, sampai saya dipersepsikan oleh para
anggota grup tersebut sebagai pribadi monster yang kelakuan buruknya membuat
mereka emoh berurusan dengan saya.
Saya pernah menghadiri sebuah seminar sejarah di gedung
konvensi di kompleks Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 14
Februari 2018 lalu, di mana saya berjumpa dengan dua saudara Subud yang cukup
sepuh. Satu adalah pengelola publikasi Subud Indonesia—sebut saja “Pak Wal”,
sedangkan satunya lagi, “Ibu Sut”, hadir dalam kapasitasnya sebagai pakar ilmu
sejarah bergelar doktor yang sehari-harinya berprofesi dosen di sebuah
perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Saat rehat makan siang, Ibu Sut minta
izin ke saya untuk menanyakan sesuatu. Saya persilakan, dan beliau pun mulai
menanyakan kebenaran dari apa-apa yang beliau dengar dari satu saudara Subud
yang selama ini tidak suka pada saya. Saudara Subud itu memperlihatkan postingan-postingan
vulgar saya di sebuah grup WA beranggotakan anggota Subud dari berbagai cabang
se-Indonesia, yang saya buat dan kelola. Ibu Sut mempersepsikan saya selama ini
sebagai “sosok intelektual dengan analisis akademik yang mumpuni”, yang membuat
beliau menaruh respek pada saya. “Sungguh berbeda Mas Anto yang saya kenal
selama ini dengan Mas Anto dalam grup WhatsApp tersebut,” kata Ibu Sut.
Dalam kesempatan itu pun, saya meluruskan semua yang
menyangkut diri saya dan apa maksud saya memposting hal-hal vulgar di grup WA
tersebut. Pak Wal, yang mengenal pribadi saya berdasarkan apa yang beliau
persepsikan dari postingan-postingan saya di grup WA Subud, turut mendengarkan
penjelasan saya dengan saksama. Beliau yang tadinya “kurang berkenan” terhadap
diri saya, akhirnya mengangguk-angguk sambil tertawa. Seorang saudara Subud,
yang menjadi salah satu panitia penyelenggara seminar tersebut dan nimbrung dengan saya, Ibu Sut, dan Pak
Wal, berseloroh, “Seharusnya publikasi Subud menampilkan profil Mas Anto, yang
berhasil membuat semua orang Subud tertipu dengan kepribadian gandanya.”
Di kalangan teman-teman saya semasa kuliah di Universitas
Indonesia dahulu, saya dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan jarang
tersenyum, dan persepsi itu bertahan di benak mereka. Namun, ketika mereka
berinteraksi dengan saya dewasa ini, baik di dunia nyata maupun maya, mereka
tidak menyangka bahwa saya bukanlah pribadi yang pernah mereka kenal di bangku
kuliah dahulu. Saya yang sekarang, di mata mereka, merupakan pribadi menarik
yang murah senyum, tetap sulit bersikap serius dalam waktu yang lama namun
memiliki opini-opini cerdas yang membuka mata mereka.
Dari serangkaian pengalaman dengan “kepribadian ganda” yang
telah saya lalui, saya berkesimpulan, zat kekuasaan Tuhan yang hidup dalam diri
saya, yang terbangkitkan oleh Latihan Kejiwaan yang saya tekuni dalam kurun
waktu lebih dari 15 tahun terakhir ini, menata diri pribadi saya sesuai
situasi, kondisi, dan lingkungan di mana saya berada. Bagaimanapun, saya terus
memohon kepada Tuhan, agar saya dapat merengkuh budi pekerti yang utama sejalan
dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga kepribadian saya tidak lagi
merugikan orang lain. Amin!©2019
GPR 3, Jl. Pondok Cabe III, Tangerang
Selatan, 30 Desember 2019
No comments:
Post a Comment