SATU hal yang saya petik dari pengalaman Latihan Kejiwaan Subud
adalah bahwa saya (dan semua anggota Subud) harus senantiasa merasakan diri
sebelum berpikir dan berperasaan, berkata dan berbuat. Bagi orang yang belum
menerima Latihan Kejiwaan, hal ini dipandang sebagai suatu sikap pasif yang
menggemaskan—mereka inginnya cepat, inginnya segera melakukan apa harus
dilakukan. Tetapi, dalam kejiwaan, percepatan proses hanya menghasilkan celaka.
Saya memiliki pengalaman terkait bersabar dalam bertindak. Ini bukan
satu-satunya, tetapi banyak pengalaman sejenis, tetapi yang akan saya ceritakan
ini cukup “ajaib”.
Pada 17 Juli 2019 lalu, seorang yunior saya di Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang kini menjadi dosen di almamater
kami, minta satu eksemplar buku meja kopi (coffee-table
book) Citeureup: Menapak Masa Lalu,
Menata Masa Kini, Menatap Masa Depan (2015) yang digarap LI9HT Brand—The IDEAS
Company atas pesanan dari Departemen CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.,
dalam rangka ulang tahun ke-40 perusahaan produsen semen terbesar di Indonesia
itu. Dia melihat foto buku tersebut di akun Instagram saya dan tertarik untuk
memilikinya.
Dia minta saya mengirimkan buku tersebut ke rumahnya di Kompleks
Universitas Indonesia, Daksinapati, Rawamangun, Jakarta Timur, dan mentransfer
uang senilai Rp50.000 pada 6 Agustus 2019 untuk ongkos GoSend. Anehnya, saya kok tidak tergerak sama sekali untuk
segera bertindak mengirimkan buku tersebut dengan menggunakan jasa GoSend.
Bukunya sudah saya siapkan, tapi greget atau dorongan tidak ada untuk melakukan
hal yang relatif mudah tersebut. Istri saya sampai heran, mengapa saya kok menunda-nunda pengiriman buku
tersebut, sedangkan ongkos kirim sudah ditransfer. Saya tidak mengerti mengapa
begitu.
Pada suatu Kamis malam di Teras Timur Hall Latihan Subud Cilandak, di Kompleks Wisma Subud Cilandak, Jl.
RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan, saya pun menceritakan perihal penundaan
pengiriman buku kepada seseorang yang sudah memesannya dan bahkan mengirimkan
ongkos kirim buku tersebut ke rekening saya. Saya menceritakannya kepada
seorang helper, seorang Amerika yang
sudah sejak 1968 tinggal di Indonesia. Beliau mengatakan bahwa beliau juga
memiliki pengalaman yang mirip dengan apa yang saya alami. Beliau bahkan lebih
aneh bin nyeleneh: Email dari seorang relasi yang seharusnya dapat segera
beliau balas, malah tertunda sampai tiga hari.
Lantaran merasa tidak enak terhadap yunior saya itu, saya mengirim
pesan WhatsApp ke dia, beralasan bahwa saking sibuknya saya belum sempat
mengirimkan buku tersebut. Alasan itu sebenarnya konyol; apa sih susahnya mengirim buku lewat GoSend?
Suatu hari, tanggal 11 November 2019, tiada angin tiada hujan,
saya terbangun pagi sekitar pukul 06.00 WIB, dengan “mendengar” pemberitahuan
dari dalam, bahwa hari itu saatnyalah saya harus mengirim buku tersebut. Saya
pun segera mengerjakan prosesnya: Membungkus buku tersebut dalam paperbag, memesan GoSend—yang datang
lima menit kemudian tepat di depan rumah saya, membayar Rp80.000 untuk jasa
GoSend (saya lebihkan sedikit; seharusnya Rp74.000). Segera setelah pemotor GoSend-nya
berlalu dari depan rumah saya, saya WA yunior saya itu dengan berita bahwa buku
pesanannya sudah meluncur ke rumah dia.
Saya masih bertanya-tanya, mengapa harus menunggu sekian lama
hanya untuk melakukan sesuatu yang seharusnya mudah. Beberapa saat kemudian,
saya memeriksa akun Facebook saya. Sebuah notifikasi muncul, mengabari saya
bahwa yunior saya itu hari itu berulang tahun! Apakah Tuhan menghendaki buku
tersebut saya kirim sebagai sebentuk kado ulang tahun buat yunior saya, saya
tidak tahu. Yang jelas, bersabar dalam bertindak memberi keuntungan bagi saya.©2019
GPR 3, Jl. Pondok Cabe III, Tangerang
Selatan, 22 November 2019