SEJAK Jumat lalu (5 Juli 2019) saya terserang
flu berat tapi pada saat yang sama saya dikejar tenggat waktu (deadline) pekerjaan dari satu klien,
sampai saya harus lembur di kantornya. Lembur hari Minggu pula (7 Juli).
Padahal lagi kliyengan, tapi saya
harus bawa motor menempuh jarak 25 km antara Pondok Cabe-Tebet Barat (kantor
klien) sekali jalan; pergi pulang jadi 50 kilometer.
Seharusnya saya beristirahat total,
tapi malah digeber pekerjaan. Yang bikin saya sempat memaki-maki Tuhan adalah
kenyataan bahwa pekerjaannya mudah sekali: Membuat materi presentasi dengan
Powerpoint untuk klien yang jadi pembicara seminar pada 11 Juli. Mudah, tapi
oleh Tuhan dibuat penuh kesulitan dengan saya sakit; anak saya ketularan sakit;
istri saya kelelahan mengurus anak sakit bebarengan dengan melakukan pekerjaan
rumah tangga ditambah tugas-tugas menyangkut perusahaan kami; desainer grafis
yang sulit dihubungi dan sekalinya bisa dihubungi dia terpecah konsentrasinya
karena anaknya sakit; ditambah internet yang digunakan si desainer (dia bekerja
dari rumah karena anaknya sakit) lemot,
dan lain-lain kendala silih berganti.
Ditambah saya juga harus menyelesaikan
penerjemahan naskah 32 halaman berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dan
dua halaman dari bahasa Belanda ke Indonesia, yang saya terima dari Dinas
Penerangan TNI Angkatan Laut (DispenAL) sebelum tanggal 10 Juli—yang ini bisa
saya selesaikan lebih cepat karena dijanjikan honornya cepat turun.
Senin malam saya lembur, masih dalam
keadaan payah karena sakit, dan saya baru tidur jam 2.30 dinihari karena harus
mengirim pekerjaan ke klien yang karena ukuran file-nya besar (553 MB) pengunggahan ke emailnya (via WeTransfer)
memakan waktu sampai lebih dari setengah jam. Saya terpaksa membatalkan tiga
janji meeting dengan klien-klien
lain, karena flu yang saya derita semakin parah.
Ketika semua sudah selesai, Rabu pagi
(10 Juli), baru saya bisa rebah di kasur dan tidur dengan tenang. Rabu siang,
staf DispenAL mengabari honor saya sudah ditransfer. Puji Tuhan.
Pelajaran apa yang saya peroleh melalui
serangkaian peristiwa ini? Apakah berarti saya harus banyak beristirahat di
momen sehat saya? Atau justru banyak bergerak agar badan saya kuat? Apakah saya
harus rajin minum obat atau rajin mencari tahu tentang pengobatan tradisional?
Ketika saya tengah menuntaskan tulisan
ini, pada 16 Juli 2019, saya masih batuk, walau tidak separah pada 6-8 Juli.
Hidung saya masih meler layaknya orang pilek, dan badan saya mudah lelah. Saya
tidak dapat melawan datangnya penyakit, meskipun anggapan secara umum mengatakan
saya kurang istirahat dan suka mengonsumsi makanan yang tidak sehat. Bila Tuhan
menghendaki, tentunya saya diberiNya jalan untuk beristirahat total di tempat
tidur. Nyatanya tidak; Dia malah “mendorong” saya untuk terus menjalani
keseharian saya sebagai orang yang tidak sakit. Pencipta tentu lebih tahu
daripada apa yang diketahui ciptaannya, kan?
Saya tidak dapat melawan kenyataan;
saya hanya harus menerima kenyataan dengan perasaan sabar, tawakal, dan ikhlas.
Saya merasakan langkah saya menjadi ringan dengan cahaya petunjukNya ini.
“Baiklah, Tuhan,” saya membatin, “Aku
ikuti apa mauMu. Aku yakin Engkau tahu apa yang terbaik bagiku. Sakit ini
hanyalah beban pikiranku. Badanku sakit, tapi jiwaku sehat, dan ia bergembira
dengan kenyataan bahwa Engkau tak berhenti membimbingku.” Puji Tuhan!@2019
Jl. Pondok Cabe III
Gang Buntu, Tangerang Selatan, 16 Juli 2019
No comments:
Post a Comment