“Bukan yang paling
kuat yang dapat sintas, bukan pula yang paling cerdas yang dapat sintas. Tapi hanya
dia yang paling mudah beradaptasi dengan perubahan.”
—Charles Darwin
TAHUN
2009, saat saya—yang baru menerima kepercayaan untuk menjadi Wakil Sekretaris
Nasional di Pengurus Nasional (Pengnas) Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK)
SUBUD Indonesia untuk masa bakti 2009-2011—sowan
ke Ibu Rahayu Wiryohudoyo selaku pemimpin kejiwaan SUBUD, bersama jajaran
Pengnas lainnya, saya berjumpa dengan Kohar Sillem, seorang anggota SUBUD Belgia
asal Belanda yang telah lama bermukim di Indonesia. Saya tergolong baru
mengenal Kohar saat itu, melalui proyek branding
Rungan Sari Meeting Center and Resort (RSMCR), yang saya tangani bersama
saudara SUBUD saya, Toni Sri Agustono, yang menjadi fotografer dan desainer
grafis untuk materi branding-nya.
Kohar mewakili pemilik RSMCR dalam pertemuan-pertemuan dengan saya dan Pak Toni
selaku konsultan branding untuk
RSMCR.
Usai
acara ramah-tamah dengan Ibu Rahayu di rumah beliau di Wisma Barata, Pamulang,
Tangerang Selatan, para tetamu pun menikmati hidangan makan malam yang
disediakan. Saat itulah, saya melihat Kohar. Saya menghampirinya dan kami mengobrol.
Saya bertanya padanya, bagaimana ia bisa masuk SUBUD. Dalam bahasa Inggris
beraksen Belanda, Kohar menuturkan bahwa ia berasal dari keluarga SUBUD, karena
itu ia dibuka saat usianya memasuki 17 tahun. Tetapi Kohar tidak menganggap serius
pengalaman itu maupun SUBUD. Ia pun menjadi malas melakukan Latihan Kejiwaan
dengan rutin dan tekun.
Sampai
suatu ketika ia bergabung dengan Peace Corps—program relawan yang dikelola oleh pemerintah Amerika Serikat untuk membantu
pembangunan sosial dan ekonomi di luar negeri. Sebagai relawan, Kohar dikirim
ke sebuah negara Afrika, sebuah negeri yang amat berbeda dari tempat ia
dilahirkan dan dibesarkan. Sebagai seseorang dengan latar belakang budaya Barat
yang maju, Kohar merasa terasing di sebuah negara berkembang. Ia segera merasa
tidak betah, karena tidak suka dengan cuacanya yang panas, makanannya yang
berminyak, dan orang-orangnya yang angkuh. Karena tidak betah, Kohar pun
menelepon ibunya, untuk memberitahunya bahwa ia akan pulang ke Belgia dan mencari
pekerjaan yang lebih baik, yang memberinya kenyamanan hidup.
Alih-alih
gembira menerima kabar dari putranya, ibunda dari Kohar malah menyuruhnya untuk
bertahan dengan semua keadaan yang membuatnya tidak nyaman itu. Ibunya
menyampaikan nasihat Bapak Subuh untuk selalu sabar, tawakal, dan ikhlas
menghadapi keadaan seberat apa pun. Dipesan seperti itu oleh ibunya, Kohar pun
mencoba untuk tekun berlatih kejiwaan, dan melalui semua tantangan serta derita
hidup di negeri asing dengan perasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Kenyataan
yang didapat Kohar sungguh membuatnya terkejut: Tiba-tiba cuacanya tidak lagi
terasa panas, tiba-tiba makanan setempat berasa lezat, dan tiba-tiba semua
orang lokal bersikap ramah padanya.
Sejak
itu, Kohar pun menyikapi SUBUD dengan serius; ia rajin dan tekun melakukan
Latihan Kejiwaan. Alhasil, ia berhasil menyelesaikan masa tugasnya sebagai
relawan Peace Corps.
Kisah
pengalaman SUBUD dari Kohar Sillem ini benar-benar terpatri di ingatan saya
sekaligus menginspirasi saya. Menurut saya, apalagi setelah saya alami sendiri,
Latihan Kejiwaan memudahkan kita memperoleh pribadi yang adaptif dengan segala
situasi dan kondisi.
Sebelum saya masuk SUBUD, saya sulit sekali beradaptasi,
sementara lingkungan baru dan perubahan adalah sesuatu yang harus saya hadapi
setiap saat dalam hidup saya. Saya kira, bahkan dalam hidup semua orang.
Beradaptasi
dengan lingkungan baru tidak selalu merupakan cara yang mudah, apalagi untuk
mereka yang minder atau introvert
seperti saya. Ketika kecil, terutama semasa sekolah dasar hingga menengah atas,
saya adalah pribadi yang amat pemalu. Di sekolah, saya tidak bergaul; tiap jam
istirahat saya isi dengan duduk sendirian di dalam kelas atau di depan pintu
kelas, diam memperhatikan teman-teman saya bersosialisasi dengan rekan-rekan
sebaya. Saya merasa tidak mampu memerangi rasa malu dan takut saya akan penolakan
dari rekan-rekan sebaya atau lingkungan baru di mana saya masuk ke dalamnya. Di
setiap keadaan atau lingkungan yang baru, perasaan saya amat terusik oleh
ketakutan melampaui batas yang wajar. Saya gamang dengan keadaan atau
lingkungan yang baru.
Latihan
Kejiwaan seakan mengulurkan tangan Tuhan ke saya untuk saya gandeng, sementara
Dia membimbing saya menuju keadaan atau lingkungan yang baru dengan santai dan gembira.
Sejak saya menerima Latihan Kejiwaan, beradaptasi dengan keadaan dan/atau
lingkungan yang baru atau terasa asing bagi saya semudah membalikkan tangan. Paling
lambat, menurut pengalaman saya selama ini, saya dapat beradaptasi dengan
keadaan atau lingkungan baru dalam waktu kurang dari tiga hari.
Latihan
Kejiwaan memercik sesuatu di dalam diri saya, yang berhasil mengalahkan tekanan
ketakutan saya, dan menjadikan saya pribadi yang adaptif. Saya menjadi percaya
diri dan berani, tapi bukan nekat. Kepercayaan diri dan keberanian di dalam
diri saya ini sepertinya dikontrol oleh suatu kekuatan yang berada di luar
kendali pikiran saya. Ia akan sewaktu-waktu muncul untuk memberi saya bantuan
menjadi pribadi yang adaptif.©2019
Jl.
Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 17 Juni 2019
1 comment:
Saya Juga sudah buktikan dengan Latihan KeJiwaan banyak yg terjadi dalam hidup Saya.
Miracle
Post a Comment