|
Di saat saya harus menunggu lama di lobi kantor klien saya, misalkan karena mendadak klien saya harus rapat, saya manfaatkan momen menunggu itu untuk menenangkan diri, agar dapat sabar, tawakal, dan ikhlas dengan kenyataan bahwa saya harus menunggu lama. |
SETAHU
saya, agama-agama yang berpondasi pada akhlak mengajarkan umatnya untuk
senantiasa bersabar. Dahulu, saya menerima mentah-mentah ajaran agama saya
untuk bersabar, meskipun hingga lebih dari 15 tahun lalu saya tidak memahami
mengapa sabar itu perlu.
Menurut
Wikipedia, yang juga merupakan pengertian secara umum, “[S]abar adalah suatu
sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit dengan
tidak mengeluh. Sabar merupakan kemampuan mengendalikan diri yang juga
dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan
jiwa orang yang memilikinya. Semakin tinggi kesabaran yang seseorang miliki
maka semakin kokoh juga ia dalam menghadapi segala macam masalah yang terjadi
dalam kehidupan.”
Di luar
ajaran agama, sabar juga menjadi kebutuhan manusia yang seringkali tidak
disadari. Sabar adalah sikap yang seharusnya dimiliki setiap orang bila ia
menginsafi bahwa hidup sejatinya adalah sebuah proses yang tidak bisa
dipercepat. Bila kita mengikuti prosesnya dengan berperasaan sabar, maka kita akan
tersadar pada jalan yang harus kita lalui atau arah-arah yang harus kita tuju
untuk mencapai yang kita inginkan. Bila dipercepat prosesnya akan membuat kita
laksana mobil yang melaju sangat kencang di jalan bebas hambatan, yang saking nikmatnya akan membuat kita
terlena di belakang setir, lalu jatuh tertidur, dan berakibat mobil kita
menjadi tidak terkendali. Akhirnya, kita pun celaka.
Proses
perwujudan keinginan kita itu berjalan sesuai kemampuan kita. Sebagaimana
diungkapkan oleh YM Bapak Subuh dalam ceramah di Detroit, Michigan—Amerika Serikat
pada 6 Agustus 1063: “Sudah tentu
pelaksanaannya hal-hal yang saudara inginkan, saudara perlu sabar, perlu
percaya kepada Tuhan, perlu mengikhlaskan segala sesuatunya. Karena semua itu
diatur dan dikerjakan oleh kekuasaan Tuhan seukur dengan kekuatan saudara,
jangan sampai rasa diri saudara atau anggota-anggota saudara baik dalam maupun
lahir menjadi terusak karenanya. Dan sebabnya itu pula, ialah dari banyaknya
kesalahan-kesalahan, dari banyaknya kekotoran-kekotoran yang telah meresap
dalam rasa diri saudara. Tetapi meskipun demikian, saudara sendiri tidak akan
dapat mengetahui dan menginsafinya, selain Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu,
baiklah apabila saudara sekalian menyerahkan segala sesuatunya itu kepada
Tuhan. Meskipun agak lama atau lama, saudara perlu percaya kepada kebesaran
Tuhan, bahwa Tuhan akan menolongnya.”
Kepahaman
bahwa proses yang harus saya (atau kita) lalui tidak bisa dipercepat saya
peroleh melalui pengalaman-pengalaman gerak hidup saya yang tertuntun oleh Latihan
Kejiwaan. Jika menurut agama sabar adalah suatu sikap menahan keinginan, di
SUBUD sebaliknya: Kita boleh berkeinginan, asal kita sabar mengikuti urutan proses
yang membawa kita, pada akhirnya, tiba pada apa yang kita inginkan.
Sabar
itu bukan hanya sikap menahan diri kita atas keadaan-keadaan atau orang-orang
di luar diri kita, tetapi juga terhadap diri kita sendiri. Cara bekerjanya
kekuasaan Tuhan dalam mewujudkan keinginan kita seringkali tidak sejalan dengan
yang kita pikirkan, apalagi pikiran kita sudah sedemikian terkontaminasi oleh
ajaran-ajaran bahwa Tuhan hanyalah kebaikan dan menuntun kita melalui jalan
yang baik. Sehingga ketika kita dihadapkan pada keburukan, kita cenderung
menjadi tidak sabar dengan keadaan itu dan menjauh atau menghindar.
Saya
ingat pada suatu pengalaman beberapa tahun silam. Saat itu, saya dan istri
tengah mudik ke Surabaya, dan menginap di rumah mertua saya, di mana juga ada
kakak ipar saya, yaitu kakak tertua dari istri saya. Kakak ipar saya, yang
sudah pernah mengenyam pendidikan agama di sebuah pondok pesantren di Nganjuk,
Jawa Timur, suatu ketika mendatangi saya untuk bertanya-tanya tentang SUBUD dan
Latihan Kejiwaan. Ia ingin belajar sabar, dan ia pernah mendengar bahwa di
SUBUD orang melakukan Latihan Kejiwaan untuk mampu sabar, tawakal, dan ikhlas.
“Setahu
saya, sabar nggak bisa dipelajari,
Mas,” komentar saya setelah kakak ipar saya mengutarakan maksudnya mendatangi
saya. “Sabar adalah pemberian Tuhan kepada mereka yang Dia kehendaki.”
Kakak
ipar saya tetap ngotot ingin ikut saya
ke Wisma SUBUD Surabaya untuk ngandidat.
Maka, pada suatu malam di hari Kamis, dia dan saya beriring-iringan dua sepeda
motor dari rumah mertua di kawasan Perak Barat, Surabaya Utara, ke Wisma SUBUD
Cabang Surabaya di Jl. Manyar Rejo 18-22, Surabaya Timur. Saya perkenalkan
kakak saya ke salah satu pembantu pelatih (PP), yang kebetulan juga seorang
ustad. Sang PP mengajak kakak ipar saya ke ruangan kandidat, sebuah ruangan
kecil yang menyambung pada sisi selatan bangunan Hall Latihan SUBUD Cabang
Surabaya. Saya tidak menemani kakak ipar saya, melainkan tetap duduk lesehan di
teras timur Hall Latihan Surabaya, yang memang lazim digunakan sebagai tempat
para anggota SUBUD Cabang Surabaya berinteraksi sebelum dan sesudah melakukan
Latihan Kejiwaan.
Dari
teras itu, saya melihat satu PP sepuh datang dari arah pelataran parkir mobil
dan berjalan tertatih-tatih ke arah ruangan kandidat. Saya mengenal beliau
sebagai Pak Nardi, mantan PP Nasional Pria untuk Komisariat Wilayah VI Jawa
Timur-Bali-Sulawesi. Beberapa saat setelah Pak Nardi memasuki ruangan tersebut,
saya melihat kakak ipar saya tergopoh-gopoh keluar dari ruangan dan berjalan
dengan tampang cemberut ke arah parkiran sepeda motor, di mana dia menaiki
sepeda motornya dan segera berlalu dari pekarangan Wisma SUBUD Surabaya.
Keesokan
harinya, kakak ipar saya menemui saya. Dia dengan suara keras bernada jengkel
mengatakan bahwa Pak Nardi itu bukan orang yang beragama. “Pasti dia nggak beragama dan nggak punya adab,” kata kakak ipar saya. Usut punya usut, rupanya
Pak Nardi, yang baru belakangan nimbrung
dengan PP lainnya yang melayani kakak ipar saya, bertanya pada kakak ipar saya
apa pekerjaannya. Dijawab oleh kakak ipar saya, “Saya marketing, Pak.” Dikomentari oleh Pak Nardi, “Kamu jangan bohong ya
ke saya. Saya bisa melihat kalau kamu bohong. Apa pekerjaan kamu?”
“Saya
sudah jelaskan tadi, Pak. Pekerjaan saya di marketing
EMKL (ekspedisi muatan kapal laut—ADS),” jawab kakak ipar saya, mulai kesal.
“Bohong
kamu!” bentak Pak Nardi. Hal itu membuat kakak ipar saya tersinggung dan segera
pergi meninggalkan Wisma SUBUD Surabaya.
Saya
terdiam tapi dalam hati saya tertawa dan membatin, “Sukurin!”
Saya
kemudian berkata kepada kakak ipar saya, “Kan
Mas katanya mau belajar sabar. Naah tuuh, dikasih Tuhan langsung
prakteknya. Sabar nggak ada teorinya,
Mas. SUBUD juga nggak ada ajaran
apalagi teori. Semua serba kenyataan. Mas mau belajar sabar, dikasih Tuhan
kesempatan belajar yang bagus, lewat praktek langsung, kok ya malah kabur dari kenyataan?!”
Kakak ipar
saya terpana dan diam membisu, tidak berani berkomentar. Tampaknya dia amat
malu, karena telah “tertangkap basah” oleh saya bahwa dia tidak mampu bahkan
untuk belajar sabar.
“Maaf,
Mas, menurut saya malah Mas yang nggak beragama.
Buktinya, nggak bisa bersabar dengan
kenyataan yang ada,” kata saya dengan rileks.
Setelah
hari itu, kakak ipar saya masih empat kali lagi menjalani masa kandidatan di
Wisma SUBUD Cabang Surabaya. Selanjutnya, tidak ada kabar beritanya lagi.
Tampaknya dia belum memiliki energi yang memadai untuk belajar sabar melalui
kenyataan hidup sehari-hari.©2019
Jl.
Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang Selatan, 19 Juni 2019