“Kaya-raya sering diidentikkan dengan tidak usah bekerja lagi.
Padahal bekerja memperkaya jiwa. Apa artinya kaya, kalau jiwanya miskin?” (Anto
Dwiastoro, 1 Januari 2018)
“Anak—dimanja sekarang, disiksa hidup di masa mendatang.”
(Anto Dwiastoro, 16 Januari 2018)
“Standar ‘sukses’ bersifat personal, tolak ukurnya pribadi.
Jadi, jangan merasa tidak sukses karena melihat pencapaian orang lain.” (Anto
Dwiastoro, 17 Januari 2018)
“Semua Dia biarkan terwujud sesuai keinginanmu. Tapi waspada:
Ada yang Dia kehendaki dan ada yang tidak.” (Anto Dwiastoro, 22 Januari 2018)
“Bahkan usaha yang sukses pun harus diwaspadai: Apakah Nafsu
dan Akal Pikiran yang dikedepankan atau Jiwa?” (Anto Dwiastoro, 24 Januari
2018)
“Level tertinggi komunikasi adalah kita ‘bicara’ bahkan saat
kita diam.” (Anto Dwiastoro, 27 Januari 2018)
“Kehilangan paling kejam di dunia ini adalah mengetahui orang
yang dicintai itu ada di sisi kita, tapi tidak bisa memilikinya.” (Anonim)
“Sunah batin Nabi Muhammad SAW hanya satu, yaitu berserah diri
kepada Allah SWT dengan sabar, ikhlas, dan tawakal.” (Anto Dwiastoro, 1
Februari 2018)
“Orang yang menuntut kesempurnaanmu sesungguhnya
berkepribadian sebaliknya. Kesempurnaanmu dijadikannya tameng untuk
ketidaksempurnaannya.” (Anto Dwiastoro, 2 Februari 2018)
“Sukses tidak usah diraih, karena sudah terintegrasi dengan
dirimu sejak kamu diciptakan. Yang harus diraih adalah kesadaranmu akan
keberadaannya.” (Anto Dwiastoro, 4 Februari 2018)
“Uang—semakin gampang didapat, semakin bikin dirimu sengsara
kalau kamu menginsafinya.” (Anto Dwiastoro, 7 Februari 2018)
“Layani pelanggan untuk Tuhan, dengan begitu kamu melayani
Tuhan.” (Anto Dwiastoro, 12 Februari 2018)
“Sesat itu artinya ‘tidak sejalan dengan pikiran’
individu/kelompok yang tidak mengerti.” (Anto Dwiastoro, 13 Februari 2018)
“Kamu tidak bisa atur pikiran orang lain tentang dirimu. Tapi
kamu bisa atur pikiranmu tentang orang lain.” (Anto Dwiastoro, 19 Februari
2018)
“Alih-alih membuang energi buat cari alasan di balik
pengingkaran janjimu, mending kerahkan untuk meminta maaf.” (Anto Dwiastoro, 21
Februari 2018)
“Ke mana pun kamu pergi sejatinya kamu tidak ke mana-mana,
melainkan pikiranmu yang mengembara.” (Anto Dwiastoro, 3 Maret 2018)
“Dalam memberi nasihat itu ada tanggung jawab yang berat,
karena kamu harus memberi keteladanan sesuai kata-kata yang kamu sampaikan.
Makanya, sebelum kamu menasihati orang lain, nasihatilah dirimu sendiri
terlebih dahulu.” (Anto Dwiastoro, 4 Maret 2018)
“The usefulness of the cup is its emptiness—Cangkir berguna
ketika ia kosong.” (Bruce Lee)
“Jangan tidak menyukai sesuatu dengan perasaan terisi
nafsu/amarah, nanti kamu jadi berstandar ganda.” (Arifin Dwiastoro, 15 Maret
2018)
“Bagaimana kita akan mendapat kenyataan akan tuntunanNya bila
tidak berani melangkah?” (Arifin
Dwiastoro, 18 Maret 2018)
“Ada dua jenis orang: Yang suka pamer dan yang suka iri. Yang
satu eksis karena yang lainnya. Kalau dua-duanya sudah tidak ada, media sosial
kehilangan peminat.” (Arifin Dwiastoro, 19 Maret 2018)
“Kebenaran sejati, ketika kamu tuangkan dalam kata-kata, akan
menjadi semu.” (Arifin Dwiastoro, 21 Maret 2018)
“Kadang, diam adalah solusi terbaik bagi masalahmu.” (Arifin
Dwiastoro, 21 Maret 2018)
“Jadilah diri sendiri, terserah seluruh dunia mau bilang apa.
Yang mengkritikmu toh tidak menggajimu, tidak membayarmu. Kritik itu gratis,
tapi menjadi diri sendiri itu mahal.” (Arifin Dwiastoro, 23 Maret 2018)
“Siapa suruh mencontoh kelakuan saya? Jadi diri sendiri saja,
Bung! Agar tidak gelisah.” (Arifin Dwiastoro, 25 Maret 2018)
“Warisan leluhur kadang tidak perlu dipelihara. Adakalanya dia
datang kepadamu untuk minta agar dibuang.” (Arifin Dwiastoro, 26 Maret 2018)
“Tiap kali saya belajar hal baru, satu prinsip yang saya
pegang: ‘Selama masih bikinan orang, kamu pasti bisa!’.” (Arifin Dwiastoro, 26
Maret 2018)
“Kepedulian sosial
seseorang/badan usaha menunjukkan kekuatan finansialnya.”
(Arifin Dwiastoro, 7 April 2018)
“Hal paling gila dari ide gilamu adalah bahwa kamu takut
mewujudkannya.” (Arifin Dwiastoro, 12 April 2018)
“Jangan cemaskan perutmu, tapi cemaskan jiwamu.” (Jason Yeoh
“Axian”, Asian Food Channel)
“Umur panjang ditentukan oleh gaya hidup sehat. Tapi keabadian
muncul dari semangat hidup yang tidak pernah luntur.” (Arifin Dwiastoro, 24
April 2018)
“Jangan biarkan segala teori mematikan rasadiri.” (Arifin Dwiastoro,
27 April 2018)
“Sometimes, the right
kind of no is better than the wrong kind of yes.” (Abby Clark, 9-1-1 series on Fox)
“’Kata orang’ walaupun benar bagi orang itu, hanya ‘setengah
benar’ bagimu.” (Arifin Dwiastoro, 3 Mei 2018)
“Ketika dikatakan kepadamu, kamu belum ‘sampai’, buat apa
bertahan di kendaraan itu? Tinggalkan, atau kamu ambil alih kemudinya. Kamu
yang seharusnya memegang kendali atas semua rute yang kamu tempuh dan
tujuanmu.” (Arifin Dwiastoro, 5 Mei 2018, 06.25 WIB)
“Teori menghasilkan ajaran.
Keinsafan menghasilkan ajakan.”
(Arifin Dwiastoro, 5 Mei 2018, 07.37 WIB)
“Kamu tidak usah mengikuti ajaran maupun percaya padanya, tapi
tidak usah pula membencinya. Karena benci menunjukkan kamu percaya padanya.”
(Arifin Dwiastoro, 5 Mei 2018, 08.42 WIB)
“Jadilah nol dalam
penerimaanmu terhadap apa pun dan siapa pun. Tidak menghakimi maupun memuji.” (Arifin
Dwiastoro, 6 Mei 2018)
“Kalau sukses jangan takabur. Kalau gagal juga tak kabur.”
(Arifin Dwiastoro, 7 Mei 2018)
“Apa pun yang kamu makan, jangan memakannya dengan pikiran
yang kusut.” (Arifin Dwiastoro, 9 Mei 2018, 22.08 WIB)
“Silaturahmi menambah rezeki, tapi jangan sekali-sekali
bersilaturahmi karena ingin menambah rezeki.” (Arifin Dwiastoro, 10 Mei 2018)
“Hal terbaik dalam hidup ini adalah izinNya untuk melakukan
kesalahan dan kesempatan untuk memperbaikinya.” (Arifin Dwiastoro, 11 Mei 2018)
“Sukses, bahagia, cinta—sampai saya menemukan makna sejatinya, ketiga hal itu tidak
saya kejar.” (Arifin Dwiastoro, 12 Mei 2018)
“Mencintai itu mudah. Yang sulit itu ‘berani mencintai’.”
(Arifin Dwiastoro, 20 Mei 2018)
“Jangankan memaki sembahan-sembahan orang lain, menghancurkannya
saja tidak boleh.” (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, MetroTV 21 Mei 2018)
“Jalan yang lurus, mulus, dan mapan itu membosankan, juga
mengikis kepekaan rasa.” (Arifin Dwiastoro, 26 Mei 2018)
“Pemimpin yang ideal adalah yang bisa ngemong, bukan yang jago ngomong.”
(Arifin Dwiastoro, 28 Mei 2018)
“There will always be dark days until you realize that you are the li9ht.” (Arifin Dwiastoro,
29 Mei 2018—Vesak Day 2562 BE)
“Ketika aku beritahu keluargaku aku telah menjadi Buddhis
(beragama Buddha), mereka menjauhiku. Ketika aku menjadi Buddha (yang tercerahkan),
mereka mencintaiku.” (Ajahn Brahm)
“Dahulu, saya mencari Tuhan. Kini, saya biarkan Dia yang
menemukan saya.” (Arifin Dwiastoro, 30 Mei 2018)
“Sehebat apa pun kata-katamu, mereka takkan bisa melampaui
rasa yang membangun pengertian pembaca.” (Arifin Dwiastoro, 1 Juni 2018)
“Orang yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik itu karena
dia tidak pernah berkomunikasi dengan Tuhan.” (Arifin Dwiastoro, 3 Juni 2018)
“Seseorang dikenal karena citra dirinya yang terbentuk di
benak orang lain. Jadi, pencitraan adalah alami dan dilakukan semua orang, tak terkecuali.” (Arifin
Dwiastoro, 6 Juni 2018)
“Air dan Minyak kabarnya tidak bisa bersatu. Tapi di semangkuk
mie ayam, keduanya memberi satu
kelezatan.” (Arifin Dwiastoro, 7 Juni 2018)
“Bersabarlah sampai sabar itu kehilangan kesabaran.” (Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 8 Juni 2018, pk 03.00-04.00 WIB)
“Jangan sekali-kali jadi lawan
bicara. Jadilah kawan bicara.”
(Arifin Dwiastoro, 13 Juni 2018)
“Politik itu bermakna ‘cara mengatur’. Jadi, jangan anti
politik. Karena dalam berumahtangga pun perlu politik.” (Arifin Dwiastoro, 13
Juni 2018)
“Sehebat-hebatnya ahli komunikasi, belum hebat kalau belum
mampu komunikasi lintas agama.” (Arifin Dwiastoro, 16 Juni 2018)
“Sungguh mulia orang yang tidak membenci seseorang yang tidak
ia dukung.” (Arifin Dwiastoro, 17 Juni 2018)
“Jika kamu pikir masalahmu lebih berat dari siapa pun, maka
jangan kamu pikir masalahmu akan terselesaikan.” (Arifin Dwiastoro, 19 Juni
2018)
“Kecuali Anda mau bikin skripsi, tesis atau disertasi, Anda
tak perlu referensi untuk inspirasi.” (Arifin Dwiastoro, 21 Juni 2018)
“Pisau bukan senjata; ia menjadi senjata hanya ketika orang
memakainya utk tujuan itu.” (Arifin Dwiastoro, 22 Juni 2018)
“Mereka yang mengandalkan ‘gaji tetap’ lupa bahwa hidup
tidaklah tetap.” (Arifin Dwiastoro, 26 Juni 2018)
“Hidup itu sebuah lelucon. Sampai kita kehilangan selera humor
kita.” (Arifin Dwiastoro, 26 Juni 2018)
“Masih terus latihan SBMPTn (Sabar Berserah Manut Pada
Tuhan).” (Arifin Dwiastoro, 3 Juli 2018)
“Tiap masalah ada jalan keluarnya. Benar, tapi hanya jika
menghadapinya dengan sabar, tawakal, ikhlas, dan berani.” (Arifin Dwiastoro, 6
Juli 2018)
“Saya tidak perlu membuktikan apa pun ke siapa pun. Saya hanya
mau membuktikan saya mampu hanya kepada diri saya sendiri.” (Arifin
Dwiastoro, 9 Juli 2018)
“Perlakuan Nazi terhadap mereka dulu telah membuat kaum Yahudi kini
kuat dan tangguh. Badai hebat membuat pohon kuat.” (Arifin Dwiastoro, 10 Juli
2018)
“Masalah dengan orang-orang yang kelamaan tinggal di suatu
tempat adalah mereka menjadi seperti ikan laut yang tidak tahu laut itu seperti
apa.” (Arifin Dwiastoro, 22 Juli 2018)
“It doesn’t take a hero to order men into battle. It takes a
hero to be one of those men who goes into battle.” (Gen. Norman Schwarzkopf,
USA Ret.)
“Berserah diri itu
bukan aktif atau pasif, tapi tergantung bimbinganNya yang datang pada totalitas
penyerahan diri kita tanpa ini-itu. BimbinganNya itulah bisa berupa gerak
usaha, tapi bisa juga dengan kehendakNya diam kita menjadi saluran rezekiNya.”
(Arifin Dwiastoro, 28 Juli 2018)
“Jadi, yang masuk SUBUD itu dua jenis orang: Dia yang dasar
agamanya tidak kuat dan dia yang ilmu agamanya sangat mumpuni sehingga yakin bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa mampu
berbuat apa saja dan manusia hanya harus berserah diri kepada kehendakNya.”
(Arifin Dwiastoro, 29 Juli 2018)
“Bekerjalah dengan tuntunanNya yang terbarukan setiap saat. Bukan
dengan patokan baku yang begitu saja selamanya.” (Arifin Dwiastoro, 30 Juli
2018)
“Di titik tertentu dalam proses spiritual/kejiwaan, kita bisa
ngomong atau berbuat ‘porno tanpa parno’.” (Arifin Dwiastoro, 3 Agustus 2018)
“Pikiran itu paling suka kemapanan dan kenyamanan. Jadi,
biarpun tahu sedang terpedaya meme,
pikiran tidak mau berubah haluan.” (Arifin Dwiastoro, 5 Agustus 2018)
“Branding sukses
adalah ketika dua orang yang bersaing tapi malah para pemujanya yang berantem
di media sosial.” (Arifin Dwiastoro, 7 Agustus 2018)
“Orang gagal yang tidak mau mengakui kegagalannya biasanya
marah bila apa pun yang terkait dirinya diremehkan.” (Arifin Dwiastoro, 7
Agustus 2018)
“Masa lalu kupelajari. Masa kini kulalui. Masa depan kunanti.
Masa bodo kucueki.” (Arifin Dwiastoro, 8 Agustus 2018)
“Agama itu dijalani supaya kamu temukan sendiri kebenaran
ajarannya. Bukannya dibahas atau dibayangkan.” (Arifin Dwiastoro, 9 Agustus
2018)
“Kamu pusing bukan karena banyak pekerjaan, tapi banyak
pikiran. Tenangkan pikiranmu, lalu bekerjalah.” (Arifin Dwiastoro, 10 Agustus
2018)
“Seperti sebuah naskah, hidup harus melalui berbagai perbaikan
agar sempurna. Kadang menyenangkan, tapi seringnya menyakitkan.” (Arifin
Dwiastoro, 16 Agustus 2018)
“Kegagalan terburuk dalam bisnis adalah tidak pernah
memulainya.” (Arifin Dwiastoro, 16 Agustus 2018)
“Keindahan hidup terletak pada pikiran yang bebas dari meme tentang kebahagiaan dan
kesuksesan.” (Arifin Dwiastoro, 19 Agustus 2018)
“Wanita kalau sudah menikah makin sedikit teman prianya. Pria kalau sudah menikah makin banyak teman wanitanya.” (Arifin
Dwiastoro, 21 Agustus 2018)
“Kemalasan kita untuk menghayati hakikat dari kisah
pengorbanan Nabi Ibrahim membuat pembantaian berdarah itu terjadi tiap tahun.”
(Arifin Dwiastoro, 22 Agustus 2018—Idul Adha 1439 H.)
“Ada dua tipe orang kaya: Dia yang diperbudak hartanya dan dia
yang dilayani hartanya. Tipe pertama biasanya paling buruk silaturahminya.”
(Arifin Dwiastoro, 22 Agustus 2018)
“Bangsa yang hebat adalah yang individu-individunya dapat
memimpin dirinya sendiri.” (Arifin Dwiastoro, 26 Agustus 2018)
“Jangan berubah. Perbaiki diri saja.” (Arifin Dwiastoro, 30
Agustus 2018)
“Untuk mengetahui seberapa jauh kita telah melangkah, lihatlah
ke belakang. Jangan ke depan.” (Arifin Dwiastoro, 1 September 2018)
“Culinary Quotient
(Kecerdasan Kuliner) 500: Lidah dan lambung bisa menyesuaikan diri dengan
makanan setempat di mana pun berada.” (Arifin Dwiastoro, 1 September 2018)
“Keuntungan diomongi jelek oleh orang lain adalah bahwa mereka
menyerap energi negatifmu. Kamu bila ikhlas saja malah makin bersih.” (Arifin
Dwiastoro, 2 September 2018)
“Olahraga dan musik yang bisa mempersatukan. Politik dan
makanan tidak bisa.” (Arifin Dwiastoro, 3 September 2018)
“Hidup menjadi lebih nikmat apabila kamu tidak berusaha
mengerti segala sesuatu tentang Hidup.” (Arifin Dwiastoro, 5 September 2018)
“Apa pun tantangannya, jangan pernah berhenti percaya pada
kemampuanmu. Ada unsur tuntunanNya di dalamnya, asal kamu percaya.” (Arifin
Dwiastoro, 9 September 2018)
“Kalau kamu tidak percaya pada kemampuanmu sendiri, bagaimana
Tuhan akan memberimu kesempatan?” (Arifin Dwiastoro, 9 September 2018)
“Dengan bersabar dengan diri sendiri, kamu akan bisa bersabar
dengan orang lain.” (Arifin Dwiastoro, 10 September 2018)
“Saya pengelana masa lalu yang membawa saya ke masa depan dengan
menjalani hidup masa kini.” (Arifin Dwiastoro, 11 September 2018)
“Apa pun yang kamu lakukan, jangan karena didikte oleh ajaran,
lingkungan, atau keadaan. Ikuti tuntunan pribadimu.” (Arifin Dwiastoro, 11
September 2018)
“A historian is someone
who writes history until someday he’s history.” (Arifin Dwiastoro,
September 11, 2018—RIP Peter Kasenda)
“Tradisi agama langgeng karena pikiran memang senang di zona
nyaman. Berbeda dengan jalan spiritual yang serba tidak pasti.” (Arifin
Dwiastoro, 12 September 2018)
“Kemunduran di jalan yang benar lebih baik daripada kemajuan
di jalan yang salah.” (Arifin Dwiastoro, 13 September 2018)
“Yang mementingkan ego
cenderung bego.” (Arifin Dwiastoro,
19 September 2018)
“Jangan percaya katanya.
Berpeganglah pada kanyatan
(kenyataan).” (Arifin Dwiastoro, 19 September 2018)
“Berusaha keras bukan bekerja keras, tapi melakukan apa saja
yang dibimbing olehNya untuk kamu lakukan dalam mencapai apa yang kamu tuju.”
(Arifin Dwiastoro, 20 September 2018)
“Di saat kamu berpikir kamu sudah sampai, di saat itulah kamu
tersesat.” (Arifin Dwiastoro, 21 September 2018)
“Kamu tidak akan pernah bisa mendekati Tuhan, selama pikiranmu
masih dipenuhi ajaran-ajaran lama tentang eksistensiNya.” (Arifin Dwiastoro, 21
September 2018)
“Yang dalam menghidupi yang luar atau yang luar menghidupi
yang di dalam? Tentukan pilihanmu.” (Arifin Dwiastoro, 22 September 2018)
“Dulu, pekerjaan dan karya adalah kebanggaan saya. Kalau
sekarang, waktu bermain yg lebih banyak.” (Arifin Dwiastoro, 22 September 2018)
“Jalani hidupmu dengan keinsafan pribadi. Jangan ikut-ikutan,
karena yang cocok bagi orang lain belum tentu pas bagimu.” (Arifin Dwiastoro,
23 September 2018)
“Hidup itu dirayakan, bukan direcoki.” (Arifin Dwiastoro, 23
September 2018)
“Cinta memang bukan untuk dimiliki. Ia adalah energi yang akan
semakin kuat bila dilepas bebas ke alam semesta. Ia menghapus derita, dan
menyuburkan damai di setiap hati yang merindukannya.” (Arifin Dwiastoro, 23
September 2018)
“Banyak orang mengklaim percaya Tuhan Maha Bisa, tapi begitu
menyaksikan kejadian tak terduga mereka berkomentar: ‘Kok bisa?!’.” (Arifin
Dwiastoro, 24 September 2018)
“Kalau kuman saja merupakan petunjukNya, bagaimana mungkin
kamu bisa tersesat, kecuali oleh persepsimu?” (Arifin Dwiastoro, 26 September
2018)
“Cinta itu pasrah. Benci itu pertanda hatimu tak bisa
bersujud tawakal.” (Arifin Dwiastoro, 26 September 2018)
“Cinta saya tidak pernah habis. Ada yang benci saya, saya
tetap mencintainya. Saya jadi lebih sehat karena penyakit saya diserap
olehnya.” (Arifin Dwiastoro, 29 September 2018)
“Kata-kata nasihat itu hanya memuaskan akal pikir. Yang
memuaskan rasa adalah diam dalam sabar, tawakal, dan ikhlas.” (Arifin
Dwiastoro, 12 Oktober 2018)
“Rasa melampaui kata-kata yang terbaca. Jadi, kalau cepat
baper gegara satu kata, ketahuan kamu mengedepankan egomu.” (Arifin Dwiastoro,
15 Oktober 2018)
“Syariat itu sejatinya gerak hidup Nabi Muhammad yang terisi
bimbinganNya. Menjadi ritual karena ditiru tanpa isi sama sekali.” (Arifin
Dwiastoro, 18 Oktober 2018)
“Rezeki tidak harus berwujud materi. Rezeki datang dari
Langit, sedangkan materi dari Bumi.” (Arifin Dwiastoro, 19 Oktober 2018)
“Orang yang berserah diri itu mampu mendikte, bukan didikte,
oleh keadaan.” (Arifin Dwiastoro, 20 Oktober 2018)
“Kemelekatan pada sesuatu/seseorang menyebabkan baper tingkat
tinggi giliran sesuatu/seseorang itu diperlakukan tidak baik.” (Arifin
Dwiastoro, 21 Oktober 2018)
“Justru di saat berhenti dari segala usaha yang terbimbing
akal pikir, semuanya menjadi mudah dan lancar.” (Arifin Dwiastoro, 21 Oktober
2018)
“Proses pertumbuhan spiritual: Dari PaHam menjadi HamPa.”
(Arifin Dwiastoro, 25 Oktober 2018—penerimaan dalam Latihan Kejiwaan di Hall
Cilandak)
“Tidak ada yang
tidak berguna dalam hidup ini, termasuk yang dianggap tidak berguna.” (Arifin
Dwiastoro, 31 Oktober 2018)
“Pemuja Tuhan dan pembenci Tuhan punya satu kesamaan: Mereka percaya Tuhan.” (Arifin Dwiastoro, 3
November 2018)
“Rukun bukanlah ‘bersatu dalam damai’, tapi ‘hal-hal
bertentangan yang saling melengkapi, saling mengisi’.” (Arifin Dwiastoro, 6
November 2018)
“Semua yang ada punya alasan yang baik untuk keberadaannya,
bahkan yang dipandang tidak baik.”
(Arifin Dwiastoro, 9 November 2018)
“Merek yang jangkauannya semakin luas dan mendalam, menyentuh
segala lapisan cenderung kehilangan eksklusivitasnya.” (Arifin Dwiastoro, 10
November 2018)
“Sabar-tawakal-ikhlas itu hidayahNya, hanya diberi kepada
orang-orang yang dimurahiNya. Tidak bisa dipelajari meski diberi contoh
sekalipun.” (Arifin Dwiastoro, 11 November 2018)
“Multi-tasking
menghilangkan kesempatan untuk berkegiatan secara meditatif.” (Arifin
Dwiastoro, 15 November 2018)
“Tidak ada kedamaian dalam kerukunan yang dipaksakan.” (Arifin
Dwiastoro, 19 November 2018)
“Kaum fundamentalis agama, yang anti agama, dan mereka yang
suka bicara agama bertemu di satu titik: Pemahaman agamanya dangkal.” (Arifin
Dwiastoro, 20 November 2018)
“Gelap adalah sarana pengantar mencapai terang.” (Arifin
Dwiastoro, 21 November 2018)
“Dengan kata ‘guru’, yang teringat selalu pengajar di sekolah.
Tidak ada yang ingat eksistensi Guru Sejati di balik kecerdasan makhlukNya.”
(Arifin Dwiastoro, 25 November 2018—Hari Guru Nasional)
“Story-telling has become a trend concerning mental health
these days. Most of the stories told are fictitious, made as if they were real
by replacing the characters in the story with the story-teller’s relatives.
Anyway, it’s a good approach for many people who are not seeking the truth, but
rather something that touches their inner." (Arifin Dwiastoro, November
27, 2018—commenting Nadya Holland’s posting in FB)
“Berserah diri kepada Tuhan di rumah ibadah dan pada
waktu-waktu tertentu sih biasa. Yang seru berserah diri kepadaNya di kantor
atau saat jalan-jalan di mall selama 24 jam.” (Arifin Dwiastoro, 28 November
2018)
“Sejarah itu mengerikan bagi mereka yang mapan di zona
nyaman.” (Arifin Dwiastoro, 30 November 2018)
“Kaya tanpa usaha membawa celaka. Kaya dengan usaha tapi tidak
tahu kapan cukupnya juga membawa celaka.” (Arifin Dwiastoro, 30 November 2018)
“Lebih baik dibenci, daripada takut menjadi diri sendiri.”
(Arifin Dwiastoro, 1 Desember 2018)
“There is no greater failure in life than being rich in money,
but poor in health.” (Anonim, 2 Desember 2018)
“Pengusaha/pebisnis tidak otomatis entrepreneur. Seorang entrepreneur
mempraktikkan nilai-nilai ekonomi, sosial, dan spiritual sekaligus.” (Arifin
Dwiastoro, 4 Desember 2018)
“Entrepreneurship bergerak atas dasar mengisi kekurangan di
masyarakat. Bukan untuk mengisi dompet sendiri.” (Arifin Dwiastoro, 4 Desember
2018)
“Mengalirlah seperti oli. Tenang, tidak terburu-buru.
Meredakan friksi-friksi dalam hidup dan menciptakan kedamaian yang awet.”
(Arifin Dwiastoro, 6 Desember 2018)
“Sebagian tentang diri saya adalah image yang saya ciptakan dengan sengaja. Jadi, kalau Anda baper,
Anda telah terpedaya.” (Arifin Dwiastoro, 6 Desember 2018)
“Kalau kehilangan, kita harus ikhlas, kata ustaz. Tapi ada
satu kehilangan, yang tidak mungkin ikhlas. Yaitu, kehilangan ikhlas.” (Arifin
Dwiastoro, 8 Desember 2018
“Dengan berserah diri, kamu akan dapat tahu di mana batas
kemampuanmu.” (Arifin Dwiastoro, 9 Desember 2018)
“Berserah diri tidak ada hubungannya dengan percaya atau tidak
percaya Tuhan.” (Arifin Dwiastoro, 9 Desember 2018)
“Seringnya, jarak hubungan kita dengan orang lain ditentukan
oleh nilai-nilai yang kita anut. Bukan oleh tuntunan rasadiri.” (Arifin
Dwiastoro, 16 Desember 2018)
“To be there when a person is soaring high is an easy
relationship. To be there during hard times requires deep friendship.” (Michael
A. Singer, The Surrender Experiment,
hlm.131)
“Kita sekarang yang kurang adalah dzauq (rasa). Orang yang tidak punya dzauq jangan diajak bicara soal rahmatan
lil ‘alamin. Rahmatan itu rasa.
Kalau orang tidak punya rasa, maka tidak punya perasaan.” (KH Mustofa Bisri, “Berislam,
Kita Butuh Sastra”)
“Jabatan/atribut sosial membatasi ruang gerakmu, seakan dunia
ini punya ‘wilayah yurisdiksi’.” (Arifin Dwiastoro, 26 Desember 2018)
“Tak ada gunanya mengajarkan anak Anda tentang kerasnya hidup
ketika Anda sudah kaya. Karena dia tidak menyaksikan kerasnya hidup Anda
sebelum kaya.” (Malcolm Gladwell, David
and Goliath: Ketika si Lemah Menang Melawan Raksasa (Jakarta: Gramedia,
2013)
“Kebenaran akan berkurang nilainya ketika kita selalu berusaha
mencari alasan untuk keberadaannya.” (Arifin Dwiastoro, 31 Desember 2018)