Thursday, January 24, 2019

Virtual Mind Mapping


-->

SEORANG guru penulisan skenario yang saya kenal pertama kali tahun 2009 memperkenalkan ke saya suatu metode yang memudahkan dalam menulis skenario (screenwriting) atau skrip (scriptwriting) untuk film atau video. Metode itu dinamakan “mind-mapping” (pemetaan pikiran). Pemetaan pikiran adalah suatu metode untuk memaksimalkan potensi pikiran manusia dengan menggunakan otak kanan dan otak kirinya, yang dikembangkan Tony Buzan pada tahun 1974.

Dengan pemetaan pikiran, penulis skenario dapat mendata alur (flow) dari plot-plot yang ingin ia rangkai dalam suatu film atau video. Plot mengacu pada sekuens kejadian dalam suatu cerita yang mempengaruhi kejadian-kejadian lain melalui prinsip sebab dan akibat. Dengan bantuan peta pikiran, yang mencatat semua gagasan cerita yang ingin saya tuangkan, alur ceritanya tidak akan loncat ke sana ke mari. Saran dari si guru penulisan skenario tersebut adalah agar saya membuat mind map saya sendiri secara kasatmata dengan peranti lunak yang bisa saya install di komputer saya.

Contoh peta pikiran untuk teknologi pendidikan.

Saat saya mengenal si guru ini, saya memang sengaja menemuinya di kantornya di Jl. Zainul Arifin, Jakarta Pusat, bukan karena saya ingin belajar penulisan skenario, melainkan karena sebagai pengarah kreatif (creative director) saya dibutuhkan oleh mitra bisnisnya yang seorang musisi jazz eksentrik, yang ingin berkonsultasi dalam kaitan penjenamaan pribadi (personal branding). Untuk urusan penulisan skenario atau skrip, saya telah mempelajarinya sekian lama melalui pekerjaan saya sebagai penulis naskah iklan (copywriter) yang tidak jarang menerima order pekerjaan pembuatan naskah materi komunikasi pemasaran dan korporat untuk media audio-visual. Bagaimanapun, saran dari si guru penulisan skenario itu berharga dan memberi wawasan baru bagi saya.

Tetapi, nyatanya, saya tidak pernah menggunakan metode pemetaan pemikiran setiap kali saya ketiban order penulisan skrip untuk film maupun profil video, baik sebelum maupun sesudah saya mengenal si guru penulisan skenario. Hal ini terutama sejak saya sudah menerima Latihan Kejiwaan, di mana penggunaan pikiran yang berlebihan akan terasa sangat mengganggu saya. Seperti “keajaiban” yang baru-baru ini saya alami.

Pada tanggal 23 Januari 2019 lalu, saya bersama seorang sutradara dan seorang produser pergi menghadiri suatu sesi pembadaian otak (brainstorming) dengan seorang coach bisnis di kantornya di lantai 11 Menara Citicon di bilangan Slipi, Jakarta Barat. Sang coach adalah pendiri dan pemilik firma konsultasi bisnis yang telah membantu banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) meraup keuntungan yang besar dengan laju pertumbuhan usaha yang signifikan. Ia ingin membuat film-film pendek yang menampilkan perjalanan usaha dari para kliennya, yaitu pelaku-pelaku UMKM tersebut.

Ada tiga film yang ingin dibuat oleh sang coach, masing-masing mewakili tiga golongan bisnis yang paling sering ia dan timnya bantu kembangkan, yaitu bisnis keluarga, bisnis yang dijalankan oleh suami-istri, dan bisnis yang dirintis melalui pertemanan. Sang coach bertanya kepada kami—saya selaku scriptwriter, dan rekan-rekan saya masing-masing sebagai sutradara dan produser—apakah mungkin jika ketiga golongan bisnis tersebut disatukan dalam satu film, alih-alih membuat tiga film yang berbeda, dengan konsekuensi anggarannya pun akan membengkak. Suara di dalam diri saya menjawab “Bisa!” tetapi saya tak dapat menyuarakannya, seakan tercekat di kerongkongan saya, entah mengapa. Tetapi, sutradara menjawab “Tidak bisa!”, dengan pertimbangan bahwa jalinannya plotnya akan rumit dan, efeknya, akan sulit dicerna oleh pemirsa. Produser mendukung alasan si sutradara.

Saya me-niteni diri saya saat sesi pembadaian otak dengan pemilik perusahaan dan jenama (brand) yang berlangsung dari pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB di ruang rapat kantor dari firma business coaching and mentoring itu. Biasanya, saya mencatat semua hal penting yang disampaikan klien di ponsel cerdas saya atau buku catatan, atau merekamnya dengan alat perekam. Namun, di momen sesi brainstorming tertanggal 23 Januari 2019 itu, saya tidak mencatat maupun merekam. Saya hanya memotret dengan kamera ponsel saya dinding kaca ruang rapat yang digoresi tulisan sang coach—dan tulisannya tidak banyak, tidak memadai untuk menjadi taklimat yang bisa saya andalkan. Lihat sendiri fotonya di bawah ini.


Bagaimanapun, semua pembicaraan selama berlangsungnya sesi pembadaian otak tersebut bagaikan “terserap” ke diri saya. Saya tidak berusaha memahami atau mengingat setiap bagian yang diutarakan baik oleh coach maupun oleh sutradara dan produser. Terjadi suatu proses menakjubkan—yang tidak bisa saya jelaskan karena kata-kata terlalu dangkal untuk dapat menjabarkannya secara sempurna—yang merangkum keseluruhan pembicaraan sore itu menjadi satu paket pengertian yang ringkas, padat, dan jelas, yang kelak melahirkan sang Gagasan Besar (big idea) cerita yang akan saya paparkan dalam skrip.

Usai brainstorming, tepat pada pukul 17.00 WIB, saya bersama kedua rekan saya mohon diri. Sebelum pulang, kami masih membahas proyek tersebut di sudut belakang gedung Menara Citicon yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin merokok. Sambil menikmati beberapa batang rokok (kecuali sang produser yang mengisap rokok elektrik), kami membahas langkah-langkah menangani proyek tersebut. Sang produser baru bisa menghitung anggarannya bila sudah ada skrip atau storyline dari pihak saya; artinya, saya harus bekerja ekstra cepat, karena pertemuan berikutnya dengan sang coach untuk membahas ide dan alur cerita telah dijadwalkan pada tanggal 30 Januari 2019.

Bagi saya, sebagai copywriter dan scriptwriter yang saat ini telah mengantongi pengalaman selama 24 tahun, menulis merupakan pekerjaan yang sangat mudah. Yang sulit itu adalah proses menemukan idenya. Sebuah tulisan tanpa ide adalah seperti tubuh tak bernyawa. Nah, sejak aktif melakukan Latihan Kejiwaan, kesulitan menemukan ide relatif berkurang, bahkan menjadi sangat mudah, dikarenakan ide datangnya dari ketiadaan (seorang creative director terkenal asal Australia menyebut, “Ide datang dari langit”). Berpikir keras tidak akan mendekatkan saya atau membantu saya membuka pintu menuju ruang persembunyian ide.

Sejak aktif melakukan Latihan Kejiwaan, saya dimampukan untuk melakukan proses “berpikir tanpa berpikir”. Seorang desainer grafis muda yang pernah bekerja sama dengan saya pada tahun 2006 menjabarkan kesaksiannya atas proses kreatif saya: “Mas Anto hanya memejamkan mata, tersenyum sendiri, lalu Mas bilang sudah dapat idenya. Tanpa berpikir sama sekali!” (Ia membandingkan dengan dirinya yang perlu nongkrong berjam-jam di kafe, menenggak bir atau minum kopi dan mengisap rokok untuk dapat menggapai gagasan yang cemerlang. Menyaksikan bagaimana saya dengan mudahnya memperoleh ide akhirnya mendorong desainer grafis muda itu masuk SUBUD.)

Keesokan harinya, saya nyalakan komputer portabel (sebutan para penggemar  jenama Apple untuk “laptop” MacBook) saya dan saya buka Microsoft Word. Seperti penulis pada umumnya, saya sempat mengalami sindrom kertas putih (white paper syndrome) atau sindrom halaman kosong (blank page syndrome), yaitu momen ketika kita membuka dokumen kosong dan lupa apa yang akan kita tulis atau tidak bisa mulai menulis karena tidak ada kata-kata di halaman yang baru kita buka. Untuk mengatasi sindrom tersebut, saya pun menyingkir dari depan komputer portabel di meja kerja saya dan pergi keluar rumah, di mana saya duduk bertemankan sebatang rokok, dan menenangkan pikiran. Secara ajaib, muncul peta pikiran tankasat mata atau virtual (virtual mind map) di hadapan saya, yang dengan “ramah” menjelaskan kepada saya setiap detail ide cerita yang harus saya tuliskan dalam storyline.

Pengalaman dengan “virtual mind mapping” bukan sekali itu saya alami. Sejak menerima Latihan Kejiwaan, peta pikiran gaib itu hampir selalu hadir ketika saya dihadapkan pada pekerjaan penulisan naskah. Saya seperti membaca suatu peta pikiran yang lengkap dan detail. Kadang berupa “film jadi” yang saya tonton dari awal hingga akhir, yang menginspirasi saya. Dan selalu ada unsur kebaruan dalam ide cerita yang disajikan Langit kepada saya, sehingga ide itu benar-benar kreatif, mampu mengundang ketakjuban dari klien.

Yang membuat saya takjub terhadap ide cerita yang disuguhi oleh virtual mind mapping itu adalah bahwa ia merangkum ketiga golongan bisnis itu secara logis dalam satu film, dengan kemungkinan untuk dikembangkan menjadi tiga film yang terpisah, sebagai sekuel atau prekuel. Logikanya terletak pada kisah tentang bisnis keluarga yang dijalankan oleh suami-istri dan dua anak mereka. Plotnya berkembang karena masing-masing anak ternyata memiliki niat berbisnis bukan bersama orang tuanya, melainkan satu anak ingin membangun bisnis bersama teman-temannya, dan anak lainnya memiliki masalah kepemimpinan—yang pelatihannya juga disediakan oleh si coach. Jelang akhir cerita, konflik orang tua dan anak membuat bisnis keluarga itu terseret ke ambang kehancuran, sekaligus mengancam keutuhan rumah tangga suami-istri itu, karena sang suami lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan sampai melupakan istri dan anak-anaknya. Meskipun akhirnya bisnisnya berkembang, sang suami dihadapkan pada kesepian akibat hubungannya yang retak dengan istri dan anak-anaknya.

Sang istri dan anak-anak mereka juga mengembangkan kisah sendiri-sendiri, dengan si istri harus berusaha menjaga keutuhan rumah tangga sekaligus bisnis yang ia jalankan bersama suami, sementara anak-anaknya menghadapi problem di bisnisnya masing-masing. Menjelang akhir film, keluarga itu berkumpul kembali di kantor firma konsultasi bisnis milik si coach, lantaran tanpa saling tahu, masing-masing anggota keluarga tertuntun langkahnya untuk menemukan solusi di firma konsultasi bisnis itu.

Ajaib benar sumber gaib di balik penyusunan virtual mind mapping itu! Idenya benar-benar perfect. Masalahnya hanya pada eksekusi; belum tentu sutradara dan awak produksi film mampu menerjemahkan ide tersebut ke dalam visualisasi cerita yang sama memukaunya dengan versi gaib yang saya tonton. Bagaimanapun, kekecewaan saya atas eksekusi sebuah ide yang tidak sepadan dengan nilai idenya seringkali terobati dengan pengalaman virtual mind mapping yang terus saja mengemuka dalam pekerjaan saya menulis naskah audi-visual. Tak jarang peta pikiran gaib itu memberi saya solusi atas masalah-masalah yang sedang saya hadapi sehari-hari.©2019



Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 25 Januari 2019

Monday, January 21, 2019

Mengundang Pembersihan


-->
SENIN, 21 Januari 2019, menjadi “hari kejiwaan” yang bersejarah bagi saya. Berawal dari saya mem-posting undangan lewat WhatsApp (WA) di empat grup WA yang beranggotakan saudara-saudara SUBUD dari berbagai cabang se-Indonesia—“4G Back to Bapak (B2B)”, “SUBUD Halan-Halan Itu Top”, “Pancaran Sinar Pribadi”, dan “Sumeleh... Sedulur”.

Bunyi undangan yang saya posting pada pukul 09.37 WIB itu adalah:

MEET, GREET & EAT

Dalam rangka Kongres Nasional di Bandung 1-3 Februari 2019 mendatang, para international helpers (IH) dari Area 1 (Asia dan Australasia) akan berkumpul di Jakarta sebelum meluncur ke Bandung. Momen istimewa ini dimanfaatkan oleh PPK Subud Kelompok Tebet untuk meramu silaturahmi dengan para IH tersebut dan semua anggota Subud dalam acara bertema “Meet, Greet & Eat” (berjumpa, saling menyapa, dan bersantap bersama).

Acara akan digelar di kediaman Bpk Ustaz

di Jl. Regensi Tebet Mas III No. 16, Jakarta Selatan

pada hari Selasa, 29 Januari 2019

jam 19.00 WIB sampai selesai.

Kita akan Latihan bersama, makan-makan, kemudian gathering, dan berbagi cerita pengalaman dengan YM Bapak. Dijamin memuaskan, dengan kesan tak terlupakan.

Ini UNDANGAN TERBUKA untuk semua cabang/ranting/kelompok, bebas biaya, tidak perlu nametag untuk dapat hadir, karena kita semua bersaudara! Love you all!

NB: Bagi pelanggan LKS di Tebet, berhubung tuan rumah, PP dan beberapa anggota Kelompok Tebet menghadiri Kongres Nasional di Bandung mulai Jumat, 1 Februari 2019, maka Latihan rutin hari Jumat digeser ke Selasa, 29 Januari 2019.

Dari keempat grup WA tersebut, undangan ini viral ke banyak grup WA SUBUD lainnya, salah satunya adalah grup “PP Pria Jaksel”, yang beranggotakan para pembantu pelatih PPK SUBUD Cabang Jakarta Selatan. Kontan, undangan tersebut dikecam, terutama oleh Koordinator Dewan Pembantu Pelatih Nasional (DPPN), yang juga PPN Pria untuk Komisariat Wilayah (Komwil) III DKI Jakarta. “Demit Cangklong” namanya—tentu bukan nama sebenarnya, melainkan julukan saya terhadapnya lantaran dia tipe PP yang lebih suka mengurusi pipa cangklongnya daripada memperhatikan dan mengayomi anggota.

Demit Cangklong mempermasalahkan undangan tersebut mengatasnamakan satu kelompok SUBUD, yang secara struktural berada di bawah naungan Cabang Jakarta Selatan, dan melibatkan pribadi-pribadi yang menyandang “jabatan” PP, IH, dan pengurus. Dia dan beberapa PP lainnya di grup WA tersebut juga mempermasalahkan tuan rumah, Ustaz (bukan nama sebenarnya), yang kebetulan adalah PP Daerah (PPD) Pria Cabang Jakarta Selatan, yang menurutnya seharusnya mengurusi cabang, bukan kelompok. Intinya, Demit Cangklong mempermasalahkan undangan yang mengundang IH, yang secara keorganisasian seharusnya menjadi urusan DPPN dan Pengurus Nasional (Pengnas), karena wilayah tugas IH adalah internasional, khususnya di negara-negara yang menjadi tanggung jawabnya.

Tetapi, dalam hal keberadaan para IH—yang tiga di antaranya berasal dari Australia dan Selandia Baru, sedangkan tiga lainnya dari Indonesia—di Jakarta pada hari-hari sebelum Kongres Nasional, DPPN dan Pengnas tidak berinisiatif untuk mengundang atau memberdayakan mereka untuk kemaslahatan anggota, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Melihat kesempatan yang dilewatkan oleh DPPN dan Pengnas, maka pengurus Kelompok Tebet (yang saya ketuai) dan para PP-nya berniat untuk menjalinkan tali silaturahmi para anggota dengan keenam IH tersebut.

Bagaimanapun, Demit Cangklong tidak melihatnya begitu. Entah apa yang merasuki dirinya—benar demit (makhluk halus yang penampakannya hampir mirip makhluk hidup) atau hanya orang biasa yang cemburu dengan perbuatan baik orang lain, atau orang yang gila hormat dan haus kekuasaan. Dia menuntut undangan itu diganti kontennya; bukan silaturahmi atau kunjungan resmi IH, tetapi “pertemuan informal”, dan kembali diviralkan ke semua anggota. Atas arahan dari satu PP Kelompok Tebet—yang saya kenal baik sebagai pribadi yang tegas namun ramah, humoris, dan rendah hati, sebut saja namanya “Pak Kusir” (karena pandai mengendalikan anggota yang rusuh seperti saya), saya menyunting konten undangan tersebut, menjadi:

MEET, GREET & EAT

Dalam rangka Kongres Nasional di Bandung 1-3 Februari 2019 mendatang, para international helpers (IH) dari Area 1 (Asia dan Australasia) akan berkumpul di Jakarta sebelum meluncur ke Bandung. Memanfaatkan waktu luang para IH tersebut, anggota Kelompok Tebet berkeinginan mengadakan silaturahmi dengan para IH tersebut dan semua anggota Subud dalam acara bertema “Meet, Greet & Eat” (berjumpa, saling menyapa, dan bersantap bersama).

Pertemuan informal ini atas prakarsa anggota Kelompok Tebet yang ingin bersilaturahmi dalam semangat persaudaraan kejiwaan dengan saudara-saudara Subud dari dalam dan luar negeri dengan rasa saling asih, asah, asuh. Dalam hal ini, kapasitas kehadiran para IH tersebut sebagai anggota biasa, bukan sebagai pembantu pelatih internasional. Begitu pula PP-PP lainnya yang ada di Kelompok Tebet maupun dari cabang-cabang lain.

Acara akan digelar di kediaman Bpk Ustaz

di Jl. Regensi Tebet Mas III No. 16, Jakarta Selatan

pada hari Selasa, 29 Januari 2019

jam 19.00 WIB sampai selesai.

Kita akan Latihan bersama, makan-makan, kemudian gathering, dan berbagi cerita pengalaman dengan YM Bapak. Dijamin memuaskan, dengan kesan tak terlupakan.

Ini UNDANGAN TERBUKA untuk semua saudara Subud. Love you all!

Undangan versi tersunting tersebut saya posting pada pukul 11.35 WIB. Namun, perubahan itu belum memuaskan Demit Cangklong dan antek-anteknya. Mereka menuntut perubahannya harus drastis. Saya mencium niat mereka adalah agar acara tersebut batal. Mereka mendakwa Ustaz (yang adalah PPD Pria Cabang Jakarta Selatan) telah melanggar aturan yang digariskan oleh Bapak Subuh, tetapi ketika ditanya balik, “Aturan yang mana?”, tidak ada yang menjawab!

Demit Cangklong menuntut agar tidak ada sebutan atau embel-embel jabatan “PP, PPD, dan IH”, dan bahwa acara tersebut merupakan inisiatif pribadi yang ingin mengundang “anggota-anggota SUBUD dari luar negeri” bertamu ke rumahnya.

Pak Kusir membujuk saya yang mulai naik pitam, dan mengancam akan merisak (bullying) serta menantang Demit Cangklong untuk duel fisik, agar menenangkan diri dan mengikuti arahannya. Tujuan dari sikap nrimo Pak Kusir ini adalah untuk untuk mencari “jalan tengah”, “mengamankan” Ustaz yang rumahnya ketempatan acara silaturahmi dengan para IH dan satu cucunya Bapak Subuh yang menjadi salah satu IH dan sehari-hari bertugas sebagai PP di Cabang Jakarta Selatan. Pak Kusir meminta saya untuk menyederhanakan konten undangannya dan memviralkannya kembali setelah saya mem-posting pernyataan berikut ini, pada pukul 20.00 WIB:

Dengan ini diberitahukan bahwa undangan Kelompok Tebet kepada anggota Subud di Jakarta dan sekitarnya untuk menghadiri silaturahmi dengan para IH pada 29 Januari 2019 yang telah disampaikan dinyatakan undangan tersebut batal. Terima kasih.

a.n.
Kelompok Tebet

Setelah beberapa saat, pada pukul 20.07 WIB, saya kembali mem-posting undangan versi “maunya Demit Cangklong”, yaitu dengan Pak Kusir sebagai tuan rumah, menggantikan Ustaz sebagai “pemilik asli” dari rumah di kompleks Regensi Tebet Mas, Jakarta Selatan, yang setiap Jumat malam menjadi tempat bagi para anggota untuk melakukan Latihan Kejiwaan. Bunyinya adalah sebagai berikut:

Saya, PAK KUSIR, anggota Subud Cabang Jakarta Selatan, akan mengadakan silaturahmi dengan anggota Subud dari Australia dan New Zealand, yaitu Hermina Flynn, Rohmana Friend, dan Hussein Rawlings, yang akan berkunjung ke Jakarta.

Silaturahmi ini akan diadakankan pada 29 Januari 2019, bertempat di Jl. Regensi Tebet Mas III No. 16, Jakarta Selatan pada pukul 19.00 WIB sampai selesai.

Saudara-saudara yang berkeinginan hadir, saya persilakan.

Ketika ditelepon Pak Kusir yang mengarahkan apa yang harus saya lakukan, saya menahan tangis. Air mata mulai mengalir di sudut-sudut mata saya. Saya menahan beban yang teramat berat. Saya merasa diri saya tak ubahnya seorang tersangka pelaku kejahatan yang dipaksa untuk menandatangani berita acara pidana di bawah todongan senjata. Sakit sekali rasanya! Setelah menutup telepon, saya benar-benar menangis dalam diam, sembari menyusun kata-kata yang menyatakan bahwa undangan atas nama Kelompok Tebet untuk acara tanggal 29 Januari 2019 batal.

Bagaimanapun, ada sesuatu yang saya rasakan seperti ditarik keluar dari diri saya yang kemudian membuat saya merasa ringan dan bersih. Kasus undangan yang dipermasalahkan Demit Cangklong dan oknum-oknum pengurus Cabang Jakarta Selatan maupun Pengnas telah mengundang pembersihan rasa diri saya. Saya merasakan ringan dan bahagia yang begitu kuatnya sampai saya santai dan gembira saat menerobos hujan deras dalam perjalanan ke Wisma SUBUD Cilandak tadi malam. Latihan Kejiwaan yang saya lakukan di hall Cilandak juga sangat kuat dan, akhirnya, beban kesedihan saya sebelumnya, serta beban-beban lainnya, yang telah terpendam sekian lama di dalam diri saya, terangkat.

Jadi, memang bagus jika saya harus melalui fase “dihantami” oleh perbuatan-perbuatan tidak masuk akal (jika tidak dapat dikatakan “buruk”) dari orang-orang seperti Demit Cangklong. Belakangan, saya menginsafi bahwa orang lain tidak sama dengan saya, karena perjalanan hidup masing-masing orang berbeda. Melalui proses yang digerakkan oleh Latihan Kejiwaan, kita akan mengalami perubahan tatanan dan susunan dalam diri kita menuju kesejatian diri sebagai manusia. Hal itu memang tidak mudah, karena beban dalam diri kita datang dari sikap hidup kita sendiri maupun dari leluhur kita yang kita tidak tahu bagaimana sikap hidupnya di masa lalu.

Menggaunglah di benak saya, pesan Bapak Subuh agar anggota SUBUD menekuni Latihan Kejiwaan yang telah diterimanya dan me-niteni dirinya sendiri, karena semua “catatan kehidupan”nya ada pada dirinya sendiri. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kita dapat memperbaiki dan mengembangkan diri kita; kita hanya perlu dengan sabar, tawakal, dan ikhlas mengikuti bimbinganNya. Latihan Kejiwaan itu merupakan jawaban yang mutlak dan langsung dari Tuhan yang menciptakan manusia, bagi makhluk ciptaanNya.©2019



Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 22 Januari 2019

Tuesday, January 8, 2019

Pembantu Pelatih

Pekerjaannya bukan sebuah pekerjaan,
melainkan sebuah pengabdian
Jabatannya tiada banding;
tinggi tapi tak bergaji, rendah pun ia tetap berarti
bagi dia yang berserah diri kepada Ilahi

Jam kerjanya tak terbatasi waktu dan ruang
Mengayomi penuh kasih sayang
Mengutamakan rasa, alih-alih bahasa
Tak berpamrih bagi dia yang berserah diri kepada Ilahi

Tanggung jawab besar dipikulnya
Maju mundur anggota adalah pedulinya
Menemani sepanjang jalan dia yang berserah diri kepada Ilahi

Membantu sang pelatih menerima Latihan Kejiwaan
Hanya membantu, tapi tak kurang-kurang setianya...

Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 8 Januari 2019

Wednesday, January 2, 2019

Arifin Dwiastoro’s Quotes 2018


“Kaya-raya sering diidentikkan dengan tidak usah bekerja lagi. Padahal bekerja memperkaya jiwa. Apa artinya kaya, kalau jiwanya miskin?” (Anto Dwiastoro, 1 Januari 2018)

“Anak—dimanja sekarang, disiksa hidup di masa mendatang.” (Anto Dwiastoro, 16 Januari 2018)

“Standar ‘sukses’ bersifat personal, tolak ukurnya pribadi. Jadi, jangan merasa tidak sukses karena melihat pencapaian orang lain.” (Anto Dwiastoro, 17 Januari 2018)

“Semua Dia biarkan terwujud sesuai keinginanmu. Tapi waspada: Ada yang Dia kehendaki dan ada yang tidak.” (Anto Dwiastoro, 22 Januari 2018)

“Bahkan usaha yang sukses pun harus diwaspadai: Apakah Nafsu dan Akal Pikiran yang dikedepankan atau Jiwa?” (Anto Dwiastoro, 24 Januari 2018)

“Level tertinggi komunikasi adalah kita ‘bicara’ bahkan saat kita diam.” (Anto Dwiastoro, 27 Januari 2018)

“Kehilangan paling kejam di dunia ini adalah mengetahui orang yang dicintai itu ada di sisi kita, tapi tidak bisa memilikinya.” (Anonim)
“Sunah batin Nabi Muhammad SAW hanya satu, yaitu berserah diri kepada Allah SWT dengan sabar, ikhlas, dan tawakal.” (Anto Dwiastoro, 1 Februari 2018)

“Orang yang menuntut kesempurnaanmu sesungguhnya berkepribadian sebaliknya. Kesempurnaanmu dijadikannya tameng untuk ketidaksempurnaannya.” (Anto Dwiastoro, 2 Februari 2018)

“Sukses tidak usah diraih, karena sudah terintegrasi dengan dirimu sejak kamu diciptakan. Yang harus diraih adalah kesadaranmu akan keberadaannya.” (Anto Dwiastoro, 4 Februari 2018)

“Uang—semakin gampang didapat, semakin bikin dirimu sengsara kalau kamu menginsafinya.” (Anto Dwiastoro, 7 Februari 2018)

“Layani pelanggan untuk Tuhan, dengan begitu kamu melayani Tuhan.” (Anto Dwiastoro, 12 Februari 2018)

“Sesat itu artinya ‘tidak sejalan dengan pikiran’ individu/kelompok yang tidak mengerti.” (Anto Dwiastoro, 13 Februari 2018)

“Kamu tidak bisa atur pikiran orang lain tentang dirimu. Tapi kamu bisa atur pikiranmu tentang orang lain.” (Anto Dwiastoro, 19 Februari 2018)

“Alih-alih membuang energi buat cari alasan di balik pengingkaran janjimu, mending kerahkan untuk meminta maaf.” (Anto Dwiastoro, 21 Februari 2018)

“Ke mana pun kamu pergi sejatinya kamu tidak ke mana-mana, melainkan pikiranmu yang mengembara.” (Anto Dwiastoro, 3 Maret 2018)

“Dalam memberi nasihat itu ada tanggung jawab yang berat, karena kamu harus memberi keteladanan sesuai kata-kata yang kamu sampaikan. Makanya, sebelum kamu menasihati orang lain, nasihatilah dirimu sendiri terlebih dahulu.” (Anto Dwiastoro, 4 Maret 2018)

“The usefulness of the cup is its emptiness—Cangkir berguna ketika ia kosong.” (Bruce Lee)

“Jangan tidak menyukai sesuatu dengan perasaan terisi nafsu/amarah, nanti kamu jadi berstandar ganda.” (Arifin Dwiastoro, 15 Maret 2018)

“Bagaimana kita akan mendapat kenyataan akan tuntunanNya bila tidak berani melangkah?” (Arifin Dwiastoro, 18 Maret 2018)

“Ada dua jenis orang: Yang suka pamer dan yang suka iri. Yang satu eksis karena yang lainnya. Kalau dua-duanya sudah tidak ada, media sosial kehilangan peminat.” (Arifin Dwiastoro, 19 Maret 2018)

“Kebenaran sejati, ketika kamu tuangkan dalam kata-kata, akan menjadi semu.” (Arifin Dwiastoro, 21 Maret 2018)

“Kadang, diam adalah solusi terbaik bagi masalahmu.” (Arifin Dwiastoro, 21 Maret 2018)

“Jadilah diri sendiri, terserah seluruh dunia mau bilang apa. Yang mengkritikmu toh tidak menggajimu, tidak membayarmu. Kritik itu gratis, tapi menjadi diri sendiri itu mahal.” (Arifin Dwiastoro, 23 Maret 2018)

“Siapa suruh mencontoh kelakuan saya? Jadi diri sendiri saja, Bung! Agar tidak gelisah.” (Arifin Dwiastoro, 25 Maret 2018)

“Warisan leluhur kadang tidak perlu dipelihara. Adakalanya dia datang kepadamu untuk minta agar dibuang.” (Arifin Dwiastoro, 26 Maret 2018)

“Tiap kali saya belajar hal baru, satu prinsip yang saya pegang: ‘Selama masih bikinan orang, kamu pasti bisa!’.” (Arifin Dwiastoro, 26 Maret 2018)

“Kepedulian sosial seseorang/badan usaha menunjukkan kekuatan finansialnya.” (Arifin Dwiastoro, 7 April 2018)

“Hal paling gila dari ide gilamu adalah bahwa kamu takut mewujudkannya.” (Arifin Dwiastoro, 12 April 2018)

“Jangan cemaskan perutmu, tapi cemaskan jiwamu.” (Jason Yeoh “Axian”, Asian Food Channel)

“Umur panjang ditentukan oleh gaya hidup sehat. Tapi keabadian muncul dari semangat hidup yang tidak pernah luntur.” (Arifin Dwiastoro, 24 April 2018)

“Jangan biarkan segala teori mematikan rasadiri.” (Arifin Dwiastoro, 27 April 2018)

“Sometimes, the right kind of no is better than the wrong kind of yes.” (Abby Clark, 9-1-1 series on Fox)

“’Kata orang’ walaupun benar bagi orang itu, hanya ‘setengah benar’ bagimu.” (Arifin Dwiastoro, 3 Mei 2018)

“Ketika dikatakan kepadamu, kamu belum ‘sampai’, buat apa bertahan di kendaraan itu? Tinggalkan, atau kamu ambil alih kemudinya. Kamu yang seharusnya memegang kendali atas semua rute yang kamu tempuh dan tujuanmu.” (Arifin Dwiastoro, 5 Mei 2018, 06.25 WIB)

“Teori menghasilkan ajaran. Keinsafan menghasilkan ajakan.” (Arifin Dwiastoro, 5 Mei 2018, 07.37 WIB)

“Kamu tidak usah mengikuti ajaran maupun percaya padanya, tapi tidak usah pula membencinya. Karena benci menunjukkan kamu percaya padanya.” (Arifin Dwiastoro, 5 Mei 2018, 08.42 WIB)

“Jadilah nol dalam penerimaanmu terhadap apa pun dan siapa pun. Tidak menghakimi maupun memuji.” (Arifin Dwiastoro, 6 Mei 2018)

“Kalau sukses jangan takabur. Kalau gagal juga tak kabur.” (Arifin Dwiastoro, 7 Mei 2018)

“Apa pun yang kamu makan, jangan memakannya dengan pikiran yang kusut.” (Arifin Dwiastoro, 9 Mei 2018, 22.08 WIB)

“Silaturahmi menambah rezeki, tapi jangan sekali-sekali bersilaturahmi karena ingin menambah rezeki.” (Arifin Dwiastoro, 10 Mei 2018)

“Hal terbaik dalam hidup ini adalah izinNya untuk melakukan kesalahan dan kesempatan untuk memperbaikinya.” (Arifin Dwiastoro, 11 Mei 2018)

Sukses, bahagia, cinta—sampai saya menemukan makna sejatinya, ketiga hal itu tidak saya kejar.” (Arifin Dwiastoro, 12 Mei 2018)

“Mencintai itu mudah. Yang sulit itu ‘berani mencintai’.” (Arifin Dwiastoro, 20 Mei 2018)

“Jangankan memaki sembahan-sembahan orang lain, menghancurkannya saja tidak boleh.” (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, MetroTV 21 Mei 2018)

“Jalan yang lurus, mulus, dan mapan itu membosankan, juga mengikis kepekaan rasa.” (Arifin Dwiastoro, 26 Mei 2018)

“Pemimpin yang ideal adalah yang bisa ngemong, bukan yang jago ngomong.” (Arifin Dwiastoro, 28 Mei 2018)

“There will always be dark days until you realize that you are the li9ht.” (Arifin Dwiastoro, 29 Mei 2018—Vesak Day 2562 BE)
“Ketika aku beritahu keluargaku aku telah menjadi Buddhis (beragama Buddha), mereka menjauhiku. Ketika aku menjadi Buddha (yang tercerahkan), mereka mencintaiku.” (Ajahn Brahm)

“Dahulu, saya mencari Tuhan. Kini, saya biarkan Dia yang menemukan saya.” (Arifin Dwiastoro, 30 Mei 2018)

“Sehebat apa pun kata-katamu, mereka takkan bisa melampaui rasa yang membangun pengertian pembaca.” (Arifin Dwiastoro, 1 Juni 2018)

“Orang yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik itu karena dia tidak pernah berkomunikasi dengan Tuhan.” (Arifin Dwiastoro, 3 Juni 2018)

“Seseorang dikenal karena citra dirinya yang terbentuk di benak orang lain. Jadi, pencitraan adalah alami dan dilakukan semua orang, tak terkecuali.” (Arifin Dwiastoro, 6 Juni 2018)

“Air dan Minyak kabarnya tidak bisa bersatu. Tapi di semangkuk mie ayam, keduanya memberi satu kelezatan.” (Arifin Dwiastoro, 7 Juni 2018)

“Bersabarlah sampai sabar itu kehilangan kesabaran.” (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 8 Juni 2018, pk 03.00-04.00 WIB)

“Jangan sekali-kali jadi lawan bicara. Jadilah kawan bicara.” (Arifin Dwiastoro, 13 Juni 2018)

“Politik itu bermakna ‘cara mengatur’. Jadi, jangan anti politik. Karena dalam berumahtangga pun perlu politik.” (Arifin Dwiastoro, 13 Juni 2018)

“Sehebat-hebatnya ahli komunikasi, belum hebat kalau belum mampu komunikasi lintas agama.” (Arifin Dwiastoro, 16 Juni 2018)

“Sungguh mulia orang yang tidak membenci seseorang yang tidak ia dukung.” (Arifin Dwiastoro, 17 Juni 2018)

“Jika kamu pikir masalahmu lebih berat dari siapa pun, maka jangan kamu pikir masalahmu akan terselesaikan.” (Arifin Dwiastoro, 19 Juni 2018)

“Kecuali Anda mau bikin skripsi, tesis atau disertasi, Anda tak perlu referensi untuk inspirasi.” (Arifin Dwiastoro, 21 Juni 2018)

“Pisau bukan senjata; ia menjadi senjata hanya ketika orang memakainya utk tujuan itu.” (Arifin Dwiastoro, 22 Juni 2018)

“Mereka yang mengandalkan ‘gaji tetap’ lupa bahwa hidup tidaklah tetap.” (Arifin Dwiastoro, 26 Juni 2018)
“Hidup itu sebuah lelucon. Sampai kita kehilangan selera humor kita.” (Arifin Dwiastoro, 26 Juni 2018)

“Masih terus latihan SBMPTn (Sabar Berserah Manut Pada Tuhan).” (Arifin Dwiastoro, 3 Juli 2018)

“Tiap masalah ada jalan keluarnya. Benar, tapi hanya jika menghadapinya dengan sabar, tawakal, ikhlas, dan berani.” (Arifin Dwiastoro, 6 Juli 2018)

“Saya tidak perlu membuktikan apa pun ke siapa pun. Saya hanya mau membuktikan saya mampu hanya kepada diri saya sendiri.” (Arifin Dwiastoro, 9 Juli 2018)

“Perlakuan Nazi terhadap mereka dulu telah membuat kaum Yahudi kini kuat dan tangguh. Badai hebat membuat pohon kuat.” (Arifin Dwiastoro, 10 Juli 2018)

“Masalah dengan orang-orang yang kelamaan tinggal di suatu tempat adalah mereka menjadi seperti ikan laut yang tidak tahu laut itu seperti apa.” (Arifin Dwiastoro, 22 Juli 2018)

“It doesn’t take a hero to order men into battle. It takes a hero to be one of those men who goes into battle.” (Gen. Norman Schwarzkopf, USA Ret.)

Berserah diri itu bukan aktif atau pasif, tapi tergantung bimbinganNya yang datang pada totalitas penyerahan diri kita tanpa ini-itu. BimbinganNya itulah bisa berupa gerak usaha, tapi bisa juga dengan kehendakNya diam kita menjadi saluran rezekiNya.” (Arifin Dwiastoro, 28 Juli 2018)

“Jadi, yang masuk SUBUD itu dua jenis orang: Dia yang dasar agamanya tidak kuat dan dia yang ilmu agamanya sangat mumpuni sehingga yakin bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa mampu berbuat apa saja dan manusia hanya harus berserah diri kepada kehendakNya.” (Arifin Dwiastoro, 29 Juli 2018)

“Bekerjalah dengan tuntunanNya yang terbarukan setiap saat. Bukan dengan patokan baku yang begitu saja selamanya.” (Arifin Dwiastoro, 30 Juli 2018)

“Di titik tertentu dalam proses spiritual/kejiwaan, kita bisa ngomong atau berbuat ‘porno tanpa parno’.” (Arifin Dwiastoro, 3 Agustus 2018)

“Pikiran itu paling suka kemapanan dan kenyamanan. Jadi, biarpun tahu sedang terpedaya meme, pikiran tidak mau berubah haluan.” (Arifin Dwiastoro, 5 Agustus 2018)

Branding sukses adalah ketika dua orang yang bersaing tapi malah para pemujanya yang berantem di media sosial.” (Arifin Dwiastoro, 7 Agustus 2018)

“Orang gagal yang tidak mau mengakui kegagalannya biasanya marah bila apa pun yang terkait dirinya diremehkan.” (Arifin Dwiastoro, 7 Agustus 2018)

“Masa lalu kupelajari. Masa kini kulalui. Masa depan kunanti. Masa bodo kucueki.” (Arifin Dwiastoro, 8 Agustus 2018)

“Agama itu dijalani supaya kamu temukan sendiri kebenaran ajarannya. Bukannya dibahas atau dibayangkan.” (Arifin Dwiastoro, 9 Agustus 2018)

“Kamu pusing bukan karena banyak pekerjaan, tapi banyak pikiran. Tenangkan pikiranmu, lalu bekerjalah.” (Arifin Dwiastoro, 10 Agustus 2018)

“Seperti sebuah naskah, hidup harus melalui berbagai perbaikan agar sempurna. Kadang menyenangkan, tapi seringnya menyakitkan.” (Arifin Dwiastoro, 16 Agustus 2018)

“Kegagalan terburuk dalam bisnis adalah tidak pernah memulainya.” (Arifin Dwiastoro, 16 Agustus 2018)

“Keindahan hidup terletak pada pikiran yang bebas dari meme tentang kebahagiaan dan kesuksesan.” (Arifin Dwiastoro, 19 Agustus 2018)

“Wanita kalau sudah menikah makin sedikit teman prianya. Pria kalau sudah menikah makin banyak teman wanitanya.” (Arifin Dwiastoro, 21 Agustus 2018)

“Kemalasan kita untuk menghayati hakikat dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim membuat pembantaian berdarah itu terjadi tiap tahun.” (Arifin Dwiastoro, 22 Agustus 2018—Idul Adha 1439 H.)

“Ada dua tipe orang kaya: Dia yang diperbudak hartanya dan dia yang dilayani hartanya. Tipe pertama biasanya paling buruk silaturahminya.” (Arifin Dwiastoro, 22 Agustus 2018)

“Bangsa yang hebat adalah yang individu-individunya dapat memimpin dirinya sendiri.” (Arifin Dwiastoro, 26 Agustus 2018)

“Jangan berubah. Perbaiki diri saja.” (Arifin Dwiastoro, 30 Agustus 2018)

“Untuk mengetahui seberapa jauh kita telah melangkah, lihatlah ke belakang. Jangan ke depan.” (Arifin Dwiastoro, 1 September 2018)
Culinary Quotient (Kecerdasan Kuliner) 500: Lidah dan lambung bisa menyesuaikan diri dengan makanan setempat di mana pun berada.” (Arifin Dwiastoro, 1 September 2018)

“Keuntungan diomongi jelek oleh orang lain adalah bahwa mereka menyerap energi negatifmu. Kamu bila ikhlas saja malah makin bersih.” (Arifin Dwiastoro, 2 September 2018)

“Olahraga dan musik yang bisa mempersatukan. Politik dan makanan tidak bisa.” (Arifin Dwiastoro, 3 September 2018)

“Hidup menjadi lebih nikmat apabila kamu tidak berusaha mengerti segala sesuatu tentang Hidup.” (Arifin Dwiastoro, 5 September 2018)

“Apa pun tantangannya, jangan pernah berhenti percaya pada kemampuanmu. Ada unsur tuntunanNya di dalamnya, asal kamu percaya.” (Arifin Dwiastoro, 9 September 2018)

“Kalau kamu tidak percaya pada kemampuanmu sendiri, bagaimana Tuhan akan memberimu kesempatan?” (Arifin Dwiastoro, 9 September 2018)

“Dengan bersabar dengan diri sendiri, kamu akan bisa bersabar dengan orang lain.” (Arifin Dwiastoro, 10 September 2018)

“Saya pengelana masa lalu yang membawa saya ke masa depan dengan menjalani hidup masa kini.” (Arifin Dwiastoro, 11 September 2018)

“Apa pun yang kamu lakukan, jangan karena didikte oleh ajaran, lingkungan, atau keadaan. Ikuti tuntunan pribadimu.” (Arifin Dwiastoro, 11 September 2018)

A historian is someone who writes history until someday he’s history.” (Arifin Dwiastoro, September 11, 2018—RIP Peter Kasenda)

“Tradisi agama langgeng karena pikiran memang senang di zona nyaman. Berbeda dengan jalan spiritual yang serba tidak pasti.” (Arifin Dwiastoro, 12 September 2018)

“Kemunduran di jalan yang benar lebih baik daripada kemajuan di jalan yang salah.” (Arifin Dwiastoro, 13 September 2018)

“Yang mementingkan ego cenderung bego.” (Arifin Dwiastoro, 19 September 2018)

“Jangan percaya katanya. Berpeganglah pada kanyatan (kenyataan).” (Arifin Dwiastoro, 19 September 2018)

“Berusaha keras bukan bekerja keras, tapi melakukan apa saja yang dibimbing olehNya untuk kamu lakukan dalam mencapai apa yang kamu tuju.” (Arifin Dwiastoro, 20 September 2018)

“Di saat kamu berpikir kamu sudah sampai, di saat itulah kamu tersesat.” (Arifin Dwiastoro, 21 September 2018)

“Kamu tidak akan pernah bisa mendekati Tuhan, selama pikiranmu masih dipenuhi ajaran-ajaran lama tentang eksistensiNya.” (Arifin Dwiastoro, 21 September 2018)

“Yang dalam menghidupi yang luar atau yang luar menghidupi yang di dalam? Tentukan pilihanmu.” (Arifin Dwiastoro, 22 September 2018)

“Dulu, pekerjaan dan karya adalah kebanggaan saya. Kalau sekarang, waktu bermain yg lebih banyak.” (Arifin Dwiastoro, 22 September 2018)

“Jalani hidupmu dengan keinsafan pribadi. Jangan ikut-ikutan, karena yang cocok bagi orang lain belum tentu pas bagimu.” (Arifin Dwiastoro, 23 September 2018)

“Hidup itu dirayakan, bukan direcoki.” (Arifin Dwiastoro, 23 September 2018)

“Cinta memang bukan untuk dimiliki. Ia adalah energi yang akan semakin kuat bila dilepas bebas ke alam semesta. Ia menghapus derita, dan menyuburkan damai di setiap hati yang merindukannya.” (Arifin Dwiastoro, 23 September 2018)

“Banyak orang mengklaim percaya Tuhan Maha Bisa, tapi begitu menyaksikan kejadian tak terduga mereka berkomentar: ‘Kok bisa?!’.” (Arifin Dwiastoro, 24 September 2018)

“Kalau kuman saja merupakan petunjukNya, bagaimana mungkin kamu bisa tersesat, kecuali oleh persepsimu?” (Arifin Dwiastoro, 26 September 2018)

Cinta itu pasrah. Benci itu pertanda hatimu tak bisa bersujud tawakal.” (Arifin Dwiastoro, 26 September 2018)

“Cinta saya tidak pernah habis. Ada yang benci saya, saya tetap mencintainya. Saya jadi lebih sehat karena penyakit saya diserap olehnya.” (Arifin Dwiastoro, 29 September 2018)

“Kata-kata nasihat itu hanya memuaskan akal pikir. Yang memuaskan rasa adalah diam dalam sabar, tawakal, dan ikhlas.” (Arifin Dwiastoro, 12 Oktober 2018)

“Rasa melampaui kata-kata yang terbaca. Jadi, kalau cepat baper gegara satu kata, ketahuan kamu mengedepankan egomu.” (Arifin Dwiastoro, 15 Oktober 2018)

“Syariat itu sejatinya gerak hidup Nabi Muhammad yang terisi bimbinganNya. Menjadi ritual karena ditiru tanpa isi sama sekali.” (Arifin Dwiastoro, 18 Oktober 2018)

“Rezeki tidak harus berwujud materi. Rezeki datang dari Langit, sedangkan materi dari Bumi.” (Arifin Dwiastoro, 19 Oktober 2018)

“Orang yang berserah diri itu mampu mendikte, bukan didikte, oleh keadaan.” (Arifin Dwiastoro, 20 Oktober 2018)

“Kemelekatan pada sesuatu/seseorang menyebabkan baper tingkat tinggi giliran sesuatu/seseorang itu diperlakukan tidak baik.” (Arifin Dwiastoro, 21 Oktober 2018)

“Justru di saat berhenti dari segala usaha yang terbimbing akal pikir, semuanya menjadi mudah dan lancar.” (Arifin Dwiastoro, 21 Oktober 2018)

“Proses pertumbuhan spiritual: Dari PaHam menjadi HamPa.” (Arifin Dwiastoro, 25 Oktober 2018—penerimaan dalam Latihan Kejiwaan di Hall Cilandak)

Tidak ada yang tidak berguna dalam hidup ini, termasuk yang dianggap tidak berguna.” (Arifin Dwiastoro, 31 Oktober 2018)

“Pemuja Tuhan dan pembenci Tuhan punya satu kesamaan: Mereka percaya Tuhan.” (Arifin Dwiastoro, 3 November 2018)

“Rukun bukanlah ‘bersatu dalam damai’, tapi ‘hal-hal bertentangan yang saling melengkapi, saling mengisi’.” (Arifin Dwiastoro, 6 November 2018)

“Semua yang ada punya alasan yang baik untuk keberadaannya, bahkan yang dipandang tidak baik.” (Arifin Dwiastoro, 9 November 2018)

“Merek yang jangkauannya semakin luas dan mendalam, menyentuh segala lapisan cenderung kehilangan eksklusivitasnya.” (Arifin Dwiastoro, 10 November 2018)

“Sabar-tawakal-ikhlas itu hidayahNya, hanya diberi kepada orang-orang yang dimurahiNya. Tidak bisa dipelajari meski diberi contoh sekalipun.” (Arifin Dwiastoro, 11 November 2018)

Multi-tasking menghilangkan kesempatan untuk berkegiatan secara meditatif.” (Arifin Dwiastoro, 15 November 2018)

“Tidak ada kedamaian dalam kerukunan yang dipaksakan.” (Arifin Dwiastoro, 19 November 2018)

“Kaum fundamentalis agama, yang anti agama, dan mereka yang suka bicara agama bertemu di satu titik: Pemahaman agamanya dangkal.” (Arifin Dwiastoro, 20 November 2018)

“Gelap adalah sarana pengantar mencapai terang.” (Arifin Dwiastoro, 21 November 2018)

“Dengan kata ‘guru’, yang teringat selalu pengajar di sekolah. Tidak ada yang ingat eksistensi Guru Sejati di balik kecerdasan makhlukNya.” (Arifin Dwiastoro, 25 November 2018—Hari Guru Nasional)

“Story-telling has become a trend concerning mental health these days. Most of the stories told are fictitious, made as if they were real by replacing the characters in the story with the story-teller’s relatives. Anyway, it’s a good approach for many people who are not seeking the truth, but rather something that touches their inner." (Arifin Dwiastoro, November 27, 2018—commenting Nadya Holland’s posting in FB)

“Berserah diri kepada Tuhan di rumah ibadah dan pada waktu-waktu tertentu sih biasa. Yang seru berserah diri kepadaNya di kantor atau saat jalan-jalan di mall selama 24 jam.” (Arifin Dwiastoro, 28 November 2018)

“Sejarah itu mengerikan bagi mereka yang mapan di zona nyaman.” (Arifin Dwiastoro, 30 November 2018)

“Kaya tanpa usaha membawa celaka. Kaya dengan usaha tapi tidak tahu kapan cukupnya juga membawa celaka.” (Arifin Dwiastoro, 30 November 2018)

“Lebih baik dibenci, daripada takut menjadi diri sendiri.” (Arifin Dwiastoro, 1 Desember 2018)

“There is no greater failure in life than being rich in money, but poor in health.” (Anonim, 2 Desember 2018)

“Pengusaha/pebisnis tidak otomatis entrepreneur. Seorang entrepreneur mempraktikkan nilai-nilai ekonomi, sosial, dan spiritual sekaligus.” (Arifin Dwiastoro, 4 Desember 2018)

“Entrepreneurship bergerak atas dasar mengisi kekurangan di masyarakat. Bukan untuk mengisi dompet sendiri.” (Arifin Dwiastoro, 4 Desember 2018)

“Mengalirlah seperti oli. Tenang, tidak terburu-buru. Meredakan friksi-friksi dalam hidup dan menciptakan kedamaian yang awet.” (Arifin Dwiastoro, 6 Desember 2018)

“Sebagian tentang diri saya adalah image yang saya ciptakan dengan sengaja. Jadi, kalau Anda baper, Anda telah terpedaya.” (Arifin Dwiastoro, 6 Desember 2018)

“Kalau kehilangan, kita harus ikhlas, kata ustaz. Tapi ada satu kehilangan, yang tidak mungkin ikhlas. Yaitu, kehilangan ikhlas.” (Arifin Dwiastoro, 8 Desember 2018

“Dengan berserah diri, kamu akan dapat tahu di mana batas kemampuanmu.” (Arifin Dwiastoro, 9 Desember 2018)

“Berserah diri tidak ada hubungannya dengan percaya atau tidak percaya Tuhan.” (Arifin Dwiastoro, 9 Desember 2018)

“Seringnya, jarak hubungan kita dengan orang lain ditentukan oleh nilai-nilai yang kita anut. Bukan oleh tuntunan rasadiri.” (Arifin Dwiastoro, 16 Desember 2018)

“To be there when a person is soaring high is an easy relationship. To be there during hard times requires deep friendship.” (Michael A. Singer, The Surrender Experiment, hlm.131)

“Kita sekarang yang kurang adalah dzauq (rasa). Orang yang tidak punya dzauq jangan diajak bicara soal rahmatan lil ‘alamin. Rahmatan itu rasa. Kalau orang tidak punya rasa, maka tidak punya perasaan.” (KH Mustofa Bisri, “Berislam, Kita Butuh Sastra”)

“Jabatan/atribut sosial membatasi ruang gerakmu, seakan dunia ini punya ‘wilayah yurisdiksi’.” (Arifin Dwiastoro, 26 Desember 2018)

“Tak ada gunanya mengajarkan anak Anda tentang kerasnya hidup ketika Anda sudah kaya. Karena dia tidak menyaksikan kerasnya hidup Anda sebelum kaya.” (Malcolm Gladwell, David and Goliath: Ketika si Lemah Menang Melawan Raksasa (Jakarta: Gramedia, 2013)

“Kebenaran akan berkurang nilainya ketika kita selalu berusaha mencari alasan untuk keberadaannya.” (Arifin Dwiastoro, 31 Desember 2018)