DAHULU, saya mencari Tuhan. Sejak kecil, saya telah dikaruniai
bakat kritisisme yang membuat saya senantiasa mempertanyakan dan meragukan
ajaran agama yang diturunkan orang tua saya, yaitu Islam. Bagaimanapun, saya
tetap menjalankan syari’at agama tersebut, agar saya memahami terlebih dahulu
apa sih yang hendak disampaikan Nabi
Muhammad SAW melalui ajaran Islam. Jadi, saya tidak serta-merta tidak
menyukainya, tanpa dasar yang jelas. Semakin saya mempertanyakannya, semakin
terkuak “rahasia” yang tidak pernah dijelaskan oleh ustad mana pun. Puji Tuhan,
saya mendapat kesempatan itu, karena saya tidak mau menjadi penganut agama yang
taqlid (ikut-ikutan). Dengan memahami
hakikat ajaran Islam, saya menjadi penganut yang tahqiq (sadar/insaf).
Puncak pencarian saya adalah pada tahun 2003, yaitu ketika saya
dikenalkan oleh salah satu mitra kerja saya di Surabaya kepada pribadi bernama
Istiadji Wiryohudoyo, atau “Mas Adji”. Beliau adalah cucu tiri dari pendiri
Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (SUBUD), RM Muhammad
Subuh Sumohadiwidjojo (22 Juni 1901-23 Juni 1987). Saya dipertemukan dengan Mas
Adji oleh orang yang kelak menjadi saudara SUBUD saya, bernama Mas Heru Iman
Sayudi, salah satu pembantu pelatih (helper)
di PPK SUBUD Cabang Surabaya.
Saat itu, saya berada di titik balik dari penolakan saya terhadap
eksistensi Tuhan Yang Maha Esa. Saya telah menobatkan diri saya sendiri sebagai
seorang atheis pada tahun 2002, hanya karena semua ibadah syari’at yang saya
lakoni tidak membuat Tuhan menjadikan saya kaya-raya sesuai doa yang saya
panjatkan setiap harinya saat itu. Saat itu, saya membandingkan diri dengan
seorang pengusaha kelas kakap kenalan bos saya, yang berkelakuan bejat tetapi
memiliki kekayaan materi yang berlimpah. Karena marah dan kecewa, saya
memutuskan meninggalkan agama saya satu paket dengan konsep Tuhan (Allah) yang
diajarkannya. Saya pun meniru gaya hidup pengusaha kelas kakap kenalan bos saya
itu, hanya saja di “kelas teri”-nya.
Mabuk-mabukan alkohol dan berselingkuh dengan wanita lain
merupakan dosa utama saya saat itu, dalam kaidah agama Islam. Sampai suatu
ketika, saya berkenalan dengan apa yang kelak menjadi “jalan hidup” saya:
Latihan Kejiwaan SUBUD. Bagaimanapun, meski saya telah dibuka (pertama kali menerima
Latihan Kejiwaan disaksikan oleh sejumlah pembantu pelatih) pada 11 Maret 2004
di Wisma SUBUD Cabang Surabaya, Jl. Manyar Rejo 18-22, Surabaya, Jawa Timur,
keyakinan saya pada SUBUD belumlah paripurna. Saya masih terus mempertanyakan,
apakah SUBUD benar-benar wahyu dari Tuhan yang diterima Bapak (panggilan
anggota SUBUD terhadap RM Muhammad Subuh); apakah Latihan Kejiwaan benar-benar
terisi zat kekuasaan Tuhan. Kekhawatiran saya saat itu bukanlah bahwa SUBUD ternyata
“sesat”, melainkan bahwa SUBUD ternyata hanya merupakan “kembangan” dari agama
Islam yang dianut pendirinya, atau aliran eklektis dari tasawuf Islam yang
pernah dipelajari Bapak sebelum beliau menerima wahyu Latihan Kejiwaan.
Saat itu, hingga sekarang, terus terang saja saya kapok dengan
agama Islam. Saya menghargai Nabi Muhammad SAW, pembawa ajaran agama ini,
tetapi saya tidak mau lagi berpegang teguh pada agama ini. Islam sudah
terdistorsi di sepanjang lebih dari 1.500 tahun sejarahnya, tidak lagi murni
sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad shallahu
‘alaihi wassalam.
Sebuah pengalaman—dari sekian banyak pengalaman berkilauan emas
yang pernah saya lalui setelah dibuka di SUBUD—memastikan hati, diri, dan jiwa
saya pada kebenaran SUBUD. Pengalaman istimewa inilah yang memastikan kebenaran
Latihan Kejiwaan yang saya terima empat belas setengah tahun yang lalu itu.
Pengalaman itu saya lalui pada tahun 2007, antara bulan April hingga 1 Juni
2007.
Suatu ketika, dalam Latihan yang saya lakukan di Hall Latihan
Cilandak, Jl. RS Fatmawati 52, Jakarta Selatan, pada 9 April 2007, saya
menerima bahwa saya harus mendampingi paman saya di Baturraden, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah, yang tengah sakit keras dan sudah tidak ada harapan
untuk sembuh. Paman saya itu adalah adik kandung ayah saya, nomor dua di antara
tujuh bersaudara di mana ayah saya adalah anak tertua. Beberapa waktu
sebelumnya, saya mendapat kabar bahwa paman saya itu—saya memanggilnya “Om
Darisan”—menderita kanker usus stadium akhir, dan dokter sudah angkat tangan.
Saya cukup dekat dengan beliau, bahkan saya anggap ayah saya
sendiri sepeninggal ayah kandung saya pada tahun 1995. Kepada beliau saya tak
jarang berkonsultasi terkait urusan keluarga besar kakek saya dari garis ayah,
Eyang Tamihardjo. Tetapi penerimaan saya untuk mendampingi beliau sungguh tidak
masuk akal. Saya tidak punya pengetahuan maupun keahlian medis untuk dapat
membantu beliau mengatasi penyakitnya. Saya tidak punya pengetahuan agama yang
mumpuni untuk dapat membuat beliau tenang menghadapi keadaan tersebut. Saya
bingung: Mengapa saya harus mendampingi beliau, sebagaimana penerimaan saya
dalam Latihan di Hall Cilandak pada Senin malam, 9 April 2007?
Selama berhari-hari setelah itu, saya hanya memikirkan penerimaan
tersebut, tetapi saya tidak membahasnya dengan siapa pun kecuali istri saya—yang
juga anggota SUBUD. Sampailah pada tanggal 14 April, di mana saya dan istri
menghadiri suatu acara pertemuan anggota dan pembantu pelatih SUBUD Jakarta
Selatan di Hall Latihan Ciganjur, Jl. Moh. Kahfi I, Jakarta Selatan. Hall
tersebut berada di lahan yang sama dengan rumah Pak Mulyono Hardjopramono,
seorang pembantu pelatih sepuh yang dihormati di kalangan SUBUD karena wawasan
spiritualnya yang mumpuni.
Kepada Pak Mul—demikian saya memanggil pensiunan presiden-direktur
PT Reksasentosa Dinamika, anak perusahaan PT Danareksa itu—saya bercerita
tentang penerimaan saya dalam Latihan di Hall Cilandak, bahwa saya harus
mendampingi paman saya yang sakit keras di Purwokerto. Pak Mul mengomentari, “SUBUD
ini kenyataan, To. Untuk tahu arti dari penerimaan itu kamu harus
menyatakannya. Kamu harus melakukannya untuk memahami. Sudahlah, besok kamu dan
Nana (istri saya) pergi saja ke Purwokerto.”
Keesokan harinya, saya dan Nana telah berada di dalam kereta api
menuju Purwokerto. Saya ditelepon Pak Mul, yang cukup kaget juga begitu
mengetahui bahwa saya melakukan apa yang beliau nasihatkan, yaitu berangkat ke
Purwokerto untuk mencari tahu arti dari penerimaan saya itu. Saya juga
ditelepon Ibu Tati Wardhana (Prof. DR Ir. Suhartati, SU), pembantu pelatih dan
pembina SUBUD Cabang Purwokerto, yang telah diberitahu tentang kepergian saya
dan Nana ke kota di kaki Gunung Slamet, yang juga merupakan kampung asal ayah
saya. Saya mengenal Bu Tati dan suaminya, Prof. DR Ir. Wardhana Suryapratama
MS, pada Oktober 2005, ketika saya diajak Pak Mul ke Purwokerto dalam rangka soft opening Hall Latihan SUBUD
Purwokerto.
Bu Tati menawarkan untuk menjemput saya dan Nana di Stasiun
Purwokerto, tetapi saya menolak, karena kedatangan saya dan istri ke Purwokerto
adalah untuk urusan keluarga, bukan untuk urusan SUBUD. Bu Tati menghargai
penolakan saya. Saya dan Nana pun menumpang taksi ke Desa Karangmangu,
Kecamatan Baturraden, di mana rumah paman saya berada.
Betapa terkejutnya saya menjumpai paman saya di rumahnya. Saya
hampir tidak mengenalinya dari tubuhnya yang sudah sangat kurus dan lemah,
berbaring tak berdaya di dipan yang dipasang di ruang keluarga di rumah
tersebut. Om Darisan yang saya kenal sebelumnya bertubuh gemuk dan sehat, penuh
semangat dan humoris. Sosok yang saya temukan di hari ketibaan saya di Desa
Karangmangu itu jauh dari gambaran Om Darisan yang ada di persepsi saya selama
ini.
Malam harinya, salah satu putra dari Om Darisan datang ke rumah
paman saya itu. Dia tinggal bersama istri dan anak-anaknya di Desa Sumampir,
Purwokerto Utara. Malam itu, saya sedang menyendiri di teras rumah paman saya,
sedangkan paman saya sedang berbaring di tempat tidur di kamarnya. Putranya
kemudian menemui saya. Dia mengatakan bahwa Om Darisan ingin apa yang saya
punya. Jadi, ceritanya, Heru, putra beliau, begitu datang ke rumah orang tuanya
langsung menengok Om Darisan di kamar beliau. Heru menanyakan ayahnya apa yang
beliau inginkan, ingin dibelikan apa (maksudnya, makanan).
“Saya ingin yang Anto punya itu, lho. SUBUD,” jawab Om Darisan menanggapi pertanyaan anaknya.
Karena itulah, Heru pergi menemui saya di teras rumah. Saya lalu
menemui Om Darisan di kamar beliau, untuk memastikan apakah benar yang
dikatakan Heru—bahwa paman saya itu menginginkan SUBUD. Om Darisan mengiyakan.
Pada momen itulah saya merinding. Bagaimana beliau bisa tahu SUBUD
itu apa, sehingga beliau menginginkannya? Sebelum-sebelumnya, setelah saya
masuk SUBUD dan berlibur ke Purwokerto saya pasti menginap di rumah
Karangmangu. Om Darisan hanya pernah mendengar saya menyebut “SUBUD” ketika
saya dan istri pamit hendak Latihan ke Hall Purwokerto. Beliau tidak menanyakan
SUBUD itu apa, dan apa yang saya lakukan di Wisma SUBUD Purwokerto. Pernah
sekali saya mengatakan bahwa saya melakukan “Latihan Kejiwaan” di Hall
Purwokerto di Desa Kutasari, tetapi saya tidak menerangkan apa itu Latihan
Kejiwaan dan beliau juga tidak menanyakannya.
Menanggapi keinginan paman saya yang terasa mengherankan itu, saya
mengatakan kepada beliau bahwa saya akan mengontak Pak Wardhana untuk bagaimana
saya harus menyikapi permintaan orang sakit keras yang tidak punya harapan lagi
itu. Pak Wardhana pun saya telepon, dan selanjutnya, keesokan sorenya, beliau
datang bersama Bu Tati ke rumah paman saya. Bertempat di ruang tamu, Pak
Wardhana memberi penerangan tentang asas dan tujuan SUBUD, serta tentang sabar,
tawakal, dan ikhlas. Saat diterangkan tentang sabar, tawakal, dan ikhlas, paman
saya mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. “Betul itu,” ucap beliau. Saya
tertawa dalam hati, pasalnya pagi di hari yang sama itu telah datang seorang ustad
dari Desa Karangmangu, yang menasihati Om Darisan agar ikhlas menerima penyakit
yang diderita beliau, malah ditanggapi Om Darisan dengan sinis, “Ah, kamu
gampang ngomongnya. Kamu juga nggak
bisa ikhlas kalau kamu di posisi saya!”
Pak Wardhana dan Bu Tati lantas mohon diri. Pak Wardhana
mempersilakan Om Darisan untuk mengendapkan dahulu apa saja yang beliau terima
dari Pak Wardhana; tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan. Malam itu,
kembali Heru memanggil saya ke kamar ayahnya. Om Darisan menyatakan sudah
berketetapan hati untuk menerima Latihan Kejiwaan. Malam itu pula saya
mengontak Pak Wardhana terkait keputusan paman saya.
Sore keesokan harinya, Kamis, 19 April 2007, Pak Wardhana datang
ke rumah Karangmangu bersama Pak Aris Subagyo. Pak Aris saat itu masih menjadi
pembantu pelatih daerah (PPD) SUBUD Cabang Purwokerto. Pak Wardhana meminta
kamar yang cukup luas untuk melakukan pembukaan terhadap seseorang yang
berkeinginan untuk menerima Latihan Kejiwaan. Sebuah kamar di tengah rumah,
yang pintunya menghadap ke ruang tamu, sesuai dengan permintaan Pak Wardhana,
dan ke situlah saya dan bibi saya memapah Om Darisan yang sudah sangat lemah.
Beliau dibaringkan di ranjang yang ada di kamar itu dan kemudian saya dan bibi
saya meninggalkan kamar itu. Pintu kamar saya tutup dan saya duduk menanti di
ruang tamu, di kursi yang langsung berhadapan dengan pintu kamar. Tidak lama
kemudian, Pak Wardhana membuka pintu dan memunculkan kepalanya, memanggil saya,
“Monggo, Mas Anto, dampingi Pak
Darisan.”
Di situ saya menahan haru dan merinding. Ya Tuhan, itu arti dari
penerimaan saya dalam Latihan pada 9 April di Hall Cilandak. Saya harus mendampingi paman saya sebagaimana
pembantu pelatih mendampingi dan menyaksikan seorang kandidat ketika akan
dibuka. Saat itu hingga saya menuliskan pengalaman ini saya belum menjadi
pembantu pelatih, tetapi Tuhan menghendaki saya mendampingi paman saya yang
sudah kritis penyakitnya di saat akan menerima Latihan Kejiwaan untuk pertama
kalinya. Puji Tuhan, paman saya dapat menerima getaran Latihan Kejiwaan
menjalar di sekujur tubuhnya.
Sejak sore itu, setiap hari saya mendampingi paman saya melakukan
Latihan Kejiwaan di kamar beliau. Ketika saya dan istri sudah kembali ke
Jakarta pun saya tetap mendampingi beliau Latihan dari jarak jauh, dibantu Pak
Wardhana juga dari jauh. Paman saya, Darisan Imam Gunarto, mengembuskan napas
terakhirnya pada 1 Juni 2007, dalam kondisi yang, menurut cerita bibi saya,
sangat damai, usai menunaikan sholat Subuh di ranjang rumah sakit. Napas
terakhirnya keluar seiring ucapan lirih “laa
ilaha ilallah”. Semoga arwah beliau diterima di tempat terbaik di sisiNya.
Amin.
Di titik inilah saya menerima kebenaran sejati dari Latihan
Kejiwaan SUBUD, yaitu bahwa Latihan ini benar-benar berasal dari kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana seseorang yang belum tahu SUBUD dan Latihan
Kejiwaan itu apa tetapi menginginkannya, itulah yang memastikan keyakinan saya
bahwa Tuhan Maha Menuntun pikiran dan perasaan, perkataan dan perbuatan
ciptaanNya.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan,
22 September 2018