TAHUN 1986 dan 1987, saya ikut ujian Sipenmaru (Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru) Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Tanpa gembar-gembor
saat itu, saya belajar tiap malam, saya lawan kantuk dan lelah, selama sebulan
penuh mempersiapkan diri menghadapi Sipenmaru. Tak lupa sholat lima waktu,
sholat Tahajud dan Hajat, yang juga dibantu Ibu saya dengan sholat-sholat yang
sama serta doa-doa yang terus beliau panjatkan. Saya teringat pada pesan guru
ngaji saya saat itu, almarhum Ust. Khaeruddin Bakri, “Percuma kamu sholat kalau
hal itu tidak mengubah sikap dan perilakumu; kalau itu tidak mendorong kamu
untuk berusaha ke arah yang lebih baik.”
Alhasil, dua tahun berturut-turut saya
diterima di perguruan tinggi negeri. Pertama di IKIP Negeri Jakarta (sekarang
Universitas Negeri Jakarta), kedua di Universitas Indonesia. Yang paling saya
ingat waktu itu, Ibu saya menitikkan air mata dan memuji syukur kepada Tuhan
karena telah membimbing saya untuk tekun berusaha maupun beribadah.
Ibu saya bersama Ayah saya di rumah Pondok Jaya VII tahun 1995, saat Lebaran. |
Saya membayangkan pagi ini, setelah
membaca status-status teman Facebook dan Instagram yang anak-anaknya ikut
SMBPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) hari ini, mendoakan dan
menyemangati anak-anak mereka, jika semasa Ibu saya masih hidup sudah ada media
sosial apakah beliau akan gembar-gembor tentang saya ikut Sipenmaru dan
bagaimana beliau tiap tengah malam bangun buat sholat Tahajud dan mendoakan
saya. Saya kira, beliau akan tetap sesunyi malam yang mengiringi saya belajar
ekstra keras—sebagaimana yang beliau lakukan waktu itu.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 8 Mei 2018