Gedung utama di bagian depan kompleks pabrik Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang saya foto pada 5 April 2018. |
SETELAH dua hari berturut-turut (5-6
April 2018) blusukan ke desa-desa
binaan maupun bukan binaan Sritex untuk memetakan persoalan lingkungan alam,
ekonomi dan sosialnya, saya menemukan bahwa betapa pun hebatnya kontrak
produksi yang pernah diperoleh perusahaan tersebut dari berbagai negara dan
pemilik merek (mark-loan), tanggung
jawab perusahaan Sritex terhadap lingkungan alam, lingkungan sosial, dan
lingkungan ekonomi di sekitar kawasan pabriknya di Sukoharjo, Jawa Tengah patut
diacungi jempol terbalik
kali 1.000!
Saya bandingkan dengan
perusahaan-perusahaan berskala sedang dari klien-klien terdahulu saya, yang
melaksanakan pengelolaan lingkungan (tanggung jawab lingkungan) dan
pemberdayaan masyarakat (tanggung jawab sosial) dengan sebaik-baiknya,
mengalokasikan sebagian dari keuntungan usaha bagi kemaslahatan masyarakat dan
lingkungan di mana mereka beroperasi, sebagaimana diatur pemerintah dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 2007.
Hal itu terjadi, setelah pendiri PT
Sri Rejeki Isman Tbk., Haji Mohammad Lukminto, yang jiwa sosialnya tinggi,
wafat, dan tampuk kekuasaan tertinggi perusahaan diwariskan ke putra tertuanya.
Benarlah anekdot tentang perjalanan bisnis: Kakek memulai usaha, ayah
mengembangkan usaha, anak/cucu menghancurkan usaha. Fenomena tersebut biasanya
disebabkan karena filosofi pendirian perusahaan (kalau Sritex: “Berbakti bagi
Tanah Air”) tidak benar-benar diajarkan pendiri kepada keturunannya, melalui
praktik langsung. Anak-cucu hanya melihat kenyataan sekarang bahwa orang tua/kakek-nenek mereka sudah sukses dan
kaya-raya, tanpa menyadari bahwa kenyataan dahulu
orang tua/kakek-nenek mereka berjuang keras benar-benar dari bawah.©2018
Jl. Kalibata Selatan
II, Jakarta Selatan, 7 April 2018
No comments:
Post a Comment