“Berterima kasih adalah sambungan paling langsung kita ke Tuhan dan malaikat.
Jika kita bersabar, tak peduli betapa pun gila dan susahnya perasaan kita,
kita dapat menemukan sesuatu untuk kita syukuri.”
—Terry Lynn Taylor, penulis Messengers of Love, Light, and Grace:
Getting to Know Your Personal Angels (California: HJ Kramer/New World Library, 2005)
Jika kita bersabar, tak peduli betapa pun gila dan susahnya perasaan kita,
kita dapat menemukan sesuatu untuk kita syukuri.”
—Terry Lynn Taylor, penulis Messengers of Love, Light, and Grace:
Getting to Know Your Personal Angels (California: HJ Kramer/New World Library, 2005)
Salah seorang saudara Subud saya di Surabaya, ketika saya masih berstatus ‘calon anggota Subud’, mengalami cobaan hidup yang di mata saya tergolong sangat berat -- yang sempat membuat saya ragu untuk masuk Subud, karena terusik pemikiran bahwa anggota Subud pasti mendapat cobaan seberat itu. Bayangkan saja: istrinya berselingkuh dan menuntut cerai; ia kalah di pengadilan dalam memperebutkan putri semata wayangnya; bisnisnya bangkrut, meninggalkan hutang segunung, hingga ia dikejar-kejar penagih hutang dengan ancaman akan dibunuh; dan ia terlunta-lunta di jalanan -- tidur di emperan masjid atau di rumah teman-temannya, sampai harus mengemis buat bisa makan paling tidak sekali sehari. Namun, saya perhatikan, setiap kali ia hendak makan, ia berucap, "Terima kasih, aku masih bisa makan." Ia senantiasa mengucapkan terima kasih untuk apa pun yang ia lakukan dan yang ia terima, termasuk untuk cobaan yang tengah mendera dirinya sedemikian rupa. Saya pun bertanya kepadanya, mengapa ia berbuat demikian.
Ia mengingatkan saya, bahwa ada orang-orang yang tidak bisa/sulit makan, walaupun kekayaannya segudang. Bisa saja orang itu menderita penyakit yang membuat mulutnya pahit atau susah menelan, atau berpantang berbagai macam makanan. Ada pula sejumlah kawan saya yang kaya-raya tetapi tak pernah bisa menikmati kekayaan mereka. Mereka tak pernah menikmati liburan bersama keluarga, karena waktunya habis untuk mengumpulkan kekayaan.
Saudara Subud saya yang tengah ditimpa kemalangan itu juga berterima kasih, karena masih bisa tidur, walaupun di emperan masjid atau di sembarang tempat. Ia memberi saya gambaran tentang orang-orang yang punya ranjang mewah nan empuk, tetapi setiap malam mereka tak dapat memejamkan mata, berhubung uang buat beli ranjang itu adalah hasil korupsi, atau mereka terlalu takut rumahnya disantroni maling, atau masalah di kantor belum selesai. Saudara Subud saya itu juga berterima kasih karena masih bisa salat. “Banyak orang yang sembahyang tetapi gagal mendapatkan kekhusyukan,” katanya mencontohkan. Dirinya, sebaliknya, berkat berterima kasih sepanjang jalan, kekhusyukan mewarnai salatnya selalu.
Contoh-contoh itu membawa saya ke alam permenungan, dan bergidik, merasa ngeri. Benar juga, saudara Subud saya ini. Saya rasa, dengan ia senantiasa berterima kasih sepanjang jalan hidupnya yang sedang dicoba ia ‘menerima kasih’ yang demikian besar dari Tuhan.
Amalan saudara Subud saya itu kini tengah saya terapkan. Berat memang. Rasanya susah untuk berterima kasih kepada orang yang telah menyakiti hati saya, misalnya. Atau berterima kasih atas kegagalan yang menimpa saya. Saya hampir selalu lupa untuk berterima kasih bilamana saya hendak makan, karena merasa setiap hari saya bisa makan – tak terpikir bahwa suatu saat saya bisa saja menderita penyakit seperti yang dicontohkan di atas.
Kemarin, 22 April 2009, saya berkeluh-kesah akibat cuaca panas yang menyengat sepanjang hari. Tidak sedikit pun saya menginsafi bahwa panas bisa menyejukkan hati saya saat saya menerima kepahaman mengenainya. Malamnya, udara panas masih juga menyertai hari, sehingga saya terdorong untuk menenggak sebotol air mineral. Tiba-tiba sebuah keinsafan mengguyur diri saya: beberapa jam sebelumnya, saya ditelepon oleh seorang saudara Subud saya yang ayahnya menderita gagal ginjal sehingga mesti cuci darah. Ayahnya itu pantang minum terlalu banyak, karena dapat mengakibatkan ginjalnya kepenuhan cairan – dan itu dapat membahayakan jiwanya. Saat itulah, ketika bayangan tentang ayah si saudara Subud itu memenuhi benak saya, spontan saya berucap, “Terima kasih, aku masih bisa minum.” Udara panas itu juga mengingatkan saya agar sering minum air putih, agar kesehatan ginjal saya terpelihara. Terima kasih, wahai udara panas...
Bukan main. Pengalaman ini membuat saya dan Anda sepatutnya berterima kasih sepanjang jalan untuk apa pun yang kita terima dalam hidup ini. Modalnya hanyalah niat dan kemauan untuk menginsafi bahwa segala sesuatu yang menghampiri kita datang dari dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Memberi.©