Monday, October 14, 2024

Subud Kata-Kata

BELAKANGAN ini, generasi pasca Bapak yang lebih muda sering mendapat teguran keras dari pengurus maupun pembantu pelatih Subud Indonesia, yang disebabkan oleh kesalahpahaman terhadap penggunaan kata-kata, di media sosial atau lingkaran-lingkaran yang terbatas (seperti di grup WhatsApp). Bahkan ketika disodorkan acuan dari ceramah Bapak, mereka menuntut “tafsiran yang benar” dari sebuah kata atau kalimat jika mereka tidak sependapat.

Apakah ditulis tangan atau diketik, tulisan mengandung kalimat-kalimat yang menyampaikan pesan kepada pembaca. Kalimat terdiri dari kata-kata, dan kata-kata tercipta dari susunan huruf-huruf.

Huruf adalah karakter dalam tulisan yang terdiri dari anggota abjad dan mewakili bunyi bahasa. Bahasa berbasis kata berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antar manusia, dan bahasa merupakan produk budaya, yang tercipta melalui proses berpikir. Sebagaimana sifat pikiran yang memiliki keterbatasan, bahasa yang berbasis kata-kata tidak mampu menjangkau rasa.

Rasa tidak bisa diterjemahkan seutuhnya melalui bahasa yang tertulis. Para pejalan spiritual di masa lampau cenderung mempuisikan ekspresi kedalaman rasa mereka, karena prosa sangat terbatas dalam menarasikan yang gaib.

Subud biasanya terkait erat dengan ranah rasa. Di ranah ini tidak ada benar-salah, baik-buruk, positif-negatif, yang sebaliknya merupakan produk akal pikiran. Ketika sesuatu dianggap (oleh pikiran) sebagai salah, sementara orang lain menganggapnya benar, maka alih-alih memperdebatkannya, kedua belah pihak seharusnya merasakan diri saja. Jika cocok, silakan; jika tidak, ikhlaskan. Dengan begitu, seharusnya tidak perlu saling menyalahkan, merasa tersinggung, atau marah atau protes berkepanjangan.

Subud saat ini telah berkembang menjadi Subud yang banyak bicara, atau Subud kata-kata, di mana khususnya para pembantu pelatih sangat mudah terpengaruh oleh daya kata-kata. Saat ini, anggota Subud sangat mudah terprovokasi oleh misinformasi yang tidak disengaja atau disengaja dan sangat suka membuat kehebohan. Hanya karena kata-kata, pertengkaran tidak dapat dihindari, yang membuat kerukunan di ujung tanduk.

Di mana rasa? Mengapa para pembantu pelatih khususnya tidak lagi mengedepankan rasa dewasa ini?

Dalam sejumlah literatur tentang memetika, atau kajian meme (ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam suatu budaya, yang mereplikasi diri mereka sendiri melalui peniruan), tidak jarang merekomendasikan meditasi sebagai cara untuk menangkis serangan gagasan kata. Jadi mengapa banyak anggota Subud yang telah menerima Latihan—yang dikatakan melampaui meditasi—malah mudah dikalahkan oleh kata-kata?©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 12 Oktober 2024

Friday, October 11, 2024

Puncak Wijaya


AYAH saya terlahir dengan nama Kislam, gabungan dari kata “ki” dan “islam”. Beliau sendiri yang menceritakannya ke saya, jauh sebelum beliau wafat pada 1 November 1995.

“Ki” adalah sebutan atau gelaran yang dikenal dalam masyarakat Jawa. “Ki” berhubungan dengan kata “aki” yang berarti laki-laki atau bapak. Sebutan “ki” setara dengan kata “nyi” yang berhubungan dengan kata “nyai” untuk menyebut perempuan atau ibu. “Islam” adalah nama agama yang dianut ayah saya. Mungkin kakek saya (ayah dari ayah saya) berharap ayah saya kelak menjadi ulama atau kyai.

Tetapi—yang lazim menjadi latar belakang kisah orang-orang hebat di Jawa—nama “Kislam” rupanya memberatkan keadaan diri ayah saya secara lahir. Akibatnya, ayah saya semasa kecil sering sakit dan memiliki kepribadian yang lemah. Ayah saya menuturkan bahwa karena itulah nama beliau harus diganti. Beliau tidak merinci apakah kakek saya yang mengganti nama beliau atas keputusan sendiri atau atas saran “orang pintar”.

Nama beliau diganti menjadi “Slamet Wijaya”. Kabarnya, nama Slamet diambil dari Gunung Slamet yang siluetnya terlihat jelas dari arah pintu depan rumah kakek saya di Desa Sumampir, Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dan “Wijaya” ditambahkan di belakangnya, tetapi ayah saya tidak sampai ke detail mengapa nama “Wijaya” yang digunakan sebagai tambahan.

Harapan kakek saya adalah agar ayah saya tumbuh menjadi pribadi yang tegar, kuat dan berwibawa sebagaimana orang Jawa, khususnya di daerah Banyumas dan sekitarnya, melihat sosok Gunung Slamet. Dan sebagaimana yang dipercayai masyarakat Jawa terhadap penggantian nama, ayah saya memang merupakan pribadi yang tegar, kuat dan berwibawa. Bayangkan, di usia 15 tahun beliau nekat bergabung sebagai anggota TNI yang baru dibentuk (1947) dan sudah keluyuran di hutan dan gunung dengan memanggul senjata, siap menghadapi musuh yang merongrong eksistensi Republik Indonesia.

Beliau sebenarnya kelahiran 15 Agustus 1933, tetapi demi bisa diterima sebagai anggota TNI, yang syarat usianya minimal 17 tahun, beliau palsukan tanggal lahir beliau menjadi 26 Januari 1930. Konon, tanggal 26 Januari beliau comot dari tanggal lahir Jenderal Douglas MacArthur (26 Januari 1888), panglima Sekutu untuk Pasifik Barat Daya, yang diidolakan ayah saya. Tanggal itu terus melekat pada diri beliau, tertera di nisan beliau, dan kami anak-anaknya senantiasa memperingati 26 Januari sebagai hari ulang tahun beliau.

Sesuai nama barunya, di usia yang tergolong belia itu beliau sudah meninggalkan rumah dan menjadi pria yang mandiri dengan berkarier di ketentaraan, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan tidak melulu bercokol di kampung halaman beliau, Purwokerto.

Baru-baru ini, sebuah akun Instagram mengunggah video pendakian Gunung Slamet, yang ketika mencapai salah satu puncaknya menampakkan papan bertuliskan “Puncak Wijaya”. Di 3.248 meter di atas permukaan laut (mdpl), Wijaya merupakan puncak tertinggi kedua Gunung Slamet (3.432 mdpl)—puncak tertingginya, Puncak Surono namanya, berada di 3.428 meter di atas permukaan laut. Yang terlihat dari arah rumah kakek saya tampaknya adalah Puncak Wijaya.

Bagi masyarakat Jawa, puncak (gunung) melambangkan Yang Maha Tinggi. Jadi lengkap pengertian saya mengenai nama ayah saya: tegar, kuat, dan berwibawa tetapi tak pernah lupa untuk berpasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 12 Oktober 2024

Thursday, October 10, 2024

Bertukar Tempat: Perjalanan Saya ke Subud

Ditulis aslinya dalam bahasa Inggris atas permintaan dari Pemimpin Redaksi majalah Subud Voice, Harris Smart.

 

BANYAK dari keluarga besar saya, teman-teman non Subud, maupun saudara-saudari Subud sendiri, yang menganggap saya Subud-minded, atau orang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di dan untuk Subud. Mereka menilainya dari apa yang mereka lihat di media sosial saya—postingan-postingan tulisan dan foto kegiatan sehari-hari saya—serta kehidupan sehari-hari saya. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa sebelum masuk Subud saya sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada perkumpulan spiritual ini.                                   

Justru sahabat dan rekan saya sesama praktisi branding yang begitu penasaran dengan Subud. Agus namanya. Kami pernah sekantor, sama-sama menjadi copywriter di sebuah biro iklan papan atas di Jakarta. Dan ketika kami sama-sama melanjutkan karier di Surabaya, Jawa Timur, pada awal 2000an, ia bahkan berhasil membujuk bosnya untuk membajak saya untuk menjadi creative director di biro iklan tempatnya bekerja yang bersaing keras dengan biro iklan dimana saya bekerja.

Agus memiliki ketertarikan yang sungguh mendalam pada spiritualitas. Ia pernah menekuni tasawuf model Persia hingga mistikisme Jawa dan aliran kebatinan yang mengajarkan ilmu tenaga dalam serta perdukunan. Sedangkan saya putra tunggal dalam keluarga yang beribukan seorang wanita asli Aceh, sebuah provinsi di Indonesia yang secara historis menjadi pusat penyebaran agama Islam, terkenal dengan julukan “Serambi Mekah” serta sangat kuat berakar pada syariat Islam. Saya hanya menjalankan syariat, menekuni salat lima waktu dan salat Jumat serta salat-salat sunah, berpuasa di bulan Ramadan, serta, sebagaimana kaum muslim awam lainnya, saya sangat takut masuk neraka. Saya tidak mengetahui apapun tentang spiritualitas, meskipun mungkin saya pernah atau sering melakukannya tanpa saya sadari.

Bagaimanapun setianya saya pada ajaran agama Islam, pada awal dekade 2000an saya terperosok ke ateisme. Kecewa pada bagaimana hidup saya berjalan, selalu kekurangan uang, dan bernafsu mengejar jabatan tinggi di kantor, telah membuat saya menanggalkan agama dan kepercayaan saya pada Tuhan. Lucunya, saya tetap hobi berpuasa, namun hal itu tidak saya kaitkan dengan ibadah. Berpuasa 100 hari berturut-turut tetap saya lakukan tiap tahun, tetapi mengabaikan puasa Ramadan.

Pada suatu hari di pertengahan pertama tahun 2003, saya berkunjung ke rumah kontrakan Agus di Surabaya. Dia sedang tergila-gila pada ilmu hakikat, hingga Tuhan-pun ia urai hakikatNya. Dia berhasil membuat sejumlah tamunya terpikat (tampaknya begitu) pada apa yang dia presentasikan dengan menggunakan whiteboard di ruang tamu rumahnya. Dia membedah hakikat Tuhan, surga dan neraka, dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (salah satu dari Sembilan Wali {Wali Sanga} Islam di Indonesia). Saya, yang sama sekali tidak tertarik, nyelonong saja menuju kamar tidurnya Agus. Saya hanya basa-basi menyapa para tamunya sambil berlalu dari ruang tamu.

Di antara tamu-tamunya, terdapat satu pria paruh baya yang bertubuh langsing, berkumis tipis dan berkulit langsat. Pakaiannya pun sangat rapi, perlente. Saya perhatikan sekilas bahwa ia tak begitu tertarik pada presentasi Agus, dan terfokus hanya pada rokok kretek yang diisapnya serta menyeruput kopinya. Suatu hari, pria bernama Heru itu mengajak saya makan siang, tetapi saya tampik lantaran saya sedang berpuasa. “Apa yang membuatmu berpuasa?” tanyanya ke saya.

“Ada sesuatu di dalam diri saya mendorong saya melakukannya,” jawab saya. Hal itu menjadi dasar Heru untuk mengkritik Agus, yang pernah mengatakan ke Heru bahwa ia tidak pernah membagi pemahaman spiritualnya dengan saya, lantaran saya tidak tertarik dengan spiritualitas.

“Kamu hanya berteori, Gus. Anto (nama asli saya; Arifin adalah nama Subud) itu sudah praktik langsung. Meskipun mungkin dia tidak sadar, dia sedang mengikuti bimbingan jiwanya untuk berpuasa. Dia lebih spiritual daripada kamu,” kata Heru kepada Agus suatu hari.

Pada pertengahan kedua tahun 2003, saya dan Agus dipecat dari biro iklan tempat kami bekerja. Dia kembali ke Jakarta, sedangkan saya menetap di Surabaya dan menjadi copywriter lepasan untuk biro iklan milik Heru yang sudah di ambang kebangkrutan. Karena belum tersedia ruang kerja buat saya, Heru mempersilakan saya untuk menempati ruang rapat. Di ruang rapat itu terdapat sebuah lemari buku yang menyimpan koleksi buku-buku bertema pemasaran, periklanan, branding, dan desain grafis. Mengetahui bahwa saya hobi membaca, Heru mempersilakan saya mengakses buku-buku miliknya itu, yang tentu saja saya sambut gembira.

Dua buku menarik perhatian saya, karena tampak berbeda lantaran bukan bertema periklanan atau pemasaran. Terjepit di sudut lemari, kedua buku itu masing-masing menampakkan judul-judulnya: Susila Budhi Dharma dan Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Saya mengambil Susila Budhi Dharma. Foto seorang pria dalam busana tradisional pria Jawa di bagian muka buku membuat jantung saya berdebar. Saya mengira Heru adalah pengikut Kejawen atau aliran sesat. Saya segera menutup buku tersebut dan mengembalikannya di tempat semula. Buku Autobiografi lebih ramah bagi saya, kecuali tulisan “Khusus untuk Anggota” di bagian bawah kulit buku tampak mengintimidasi.

Karena Heru sedang pergi ke kantor kliennya, dan saya hanya berdua dengan pegawai administrasi di kantor biro iklan miliknya itu, saya memberanikan diri membaca Autobiografi. Jantung saya berdebar kencang membaca jalinan kalimat di buku tersebut, terasa hidup dan seolah menyedot saya ke dalam kisah-kisah yang diceritakannya. Saya ingin melanjutkan membacanya malam itu, tetapi khawatir Heru tidak akan membolehkan saya membawa buku itu pulang saya pun diam-diam memasukkannya ke dalam tas saya. Malam itu, sambil berbaring di ranjang, saya larut dalam pembacaan Autobiografi. Perlahan-lahan, kepercayaan saya kepada Tuhan mulai muncul kembali, dipicu oleh dialektika pribadi saya selama membaca buku tersebut.

Pada akhirnya, Heru mengetahui bahwa saya telah diam-diam membawa pulang buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo miliknya. Baginya, tidak apa-apa saya melakukan itu, tetapi ia sedikit khawatir bila “sesuatu” terjadi pada diri saya dalam proses pembacaan. Mungkin Heru khawatir saya mengalami krisis. Tetapi saya meyakinkan dia bahwa saya baik-baik saja, dan bahwa saya percaya semua yang tertulis di dalamnya, walaupun saya tidak begitu mengerti mengapa saya mempercayainya. “Jika Tuhan menghendaki, aku rasa ya bisa saja terjadi,” kata saya, singkat.

Kehadiran Maha Besar

PADA suatu ketika, masih di tahun 2003, Heru mengajak saya ke kantor kliennya, sebuah lembaga amil zakat nasional di Surabaya, untuk mendapatkan brief pengerjaan delapan iklan cetak, yang diharapkan si klien dapat menyuguhkan ide-ide kreatif yang out-of-the-box. Sepulang dari kantor klien, karena hari sudah malam Heru menyuruh saya pulang. Ia berpesan, begitu sampai di rumah agar saya mandi dan kemudian tidur. “Sebelum tidur, kamu mohon pada Tuhan, ‘Ya Allah, jika proyek ini memang rezekiku tolong aku diberi petunjuk. Jika tidak ya tidak apa-apa.’ Jangan kamu paksa Tuhan, pasrahkan saja,” pesan Heru.

Saya melakukan semua yang Heru sampaikan ke saya. Sekitar jam dua dini hari, saya terbangun oleh sebuah kilasan visual, antara tidur dan terjaga. Saya membatin, “Apakah itu?” Suara diri saya berkata, “Lakukan salat Tahajud dulu.”

Saya pun menunaikan salat Tahajud sebanyak dua raka’at, namun saya kecewa karena saya tidak mendapat apa-apa lagi setelahnya. Saya lalu duduk sendirian di dapur, termenung sambil mengisap beberapa batang rokok berturut-turut. Nah, saat itulah saya merasakan kepala saya terbelah dan sebuah cahaya memasuki ruang bagian dalam kepala saya, mengucurkan delapan ide cemerlang untuk kedelapan iklan cetak yang diminta kliennya Heru. Saya serasa didikte oleh sesuatu yang gaib untuk mencatat masing-masing ide, baik secara tekstual maupun visual.

Ketika saya mempresentasikan ide-ide dari sumber gaib itu ke Heru, ia memegang dada kirinya, sembari mengatakan bahwa bila dadanya bergetar, maka itu adalah pertanda baginya bahwa ide-ide itu memang luar biasa. Ia lantas menyuruh desainer grafisnya untuk me-layout ide-ide itu menjadi iklan cetak.

Beberapa hari kemudian, kami berdua pergi ke kantor klien untuk mempresentasikan dummy iklannya. Karena demam panggung, saya minta Heru yang mempresentasikannya, tetapi ia menolak, dengan alasan bahwa sayalah yang menerima ide-ide itu pertama kalinya. Heru menyuruh saya, yang duduk di sebelahnya, untuk memejamkan mata dan menghentikan pikiran saya. Sesaat kemudian saya merasakan suatu keberadaan yang maha besar duduk persis di sebelah saya, merangkul saya dan menenangkan saya. Seolah ia berkata ke saya agar saya rileks, tidak perlu takut. Lalu ia berkata, “Mulai!” Seketika saya mulai berbicara, mempresentasikan ide-ide itu. Saya tidak berpikir sama sekali dan menyaksikan bagaimana mulut saya bergerak sendiri, mengucapkan kalimat demi kalimat yang menggambarkan rasional kreatif dari dummy iklan-iklan itu.

Di luar dugaan saya maupun Heru, klien sangat senang dengan ide-idenya dan untuk pertama kalinya dalam karier Heru ia baru mengalami saat itu klien menyetujui konsep kreatifnya justru di presentasi pertama, tanpa ada revisi sama sekali. Iklan-iklan itu ditayangkan di koran nasional yang berbasis di Surabaya selama bulan Ramadan 2003, untuk menarik zakat, infak dan sedekah dari umat Islam. Dan dampak dari kampanye iklan cetak itu, klien kami berhasil mengumpulkan jumlah terbesar dalam sejarah keberadaan lembaga amil zakat itu: Rp1,8 miliar dalam satu hari, sehari sebelum Idulfitri tahun 2003!

Ketika saya mengutarakan kekaguman saya yang luar biasa atas pengalaman itu, Heru berkomentar, “Itulah yang sering aku alami sejak aku melakukan Latihan Kejiwaan Subud.”

Perusahaan Pertambangan

SEKITAR tiga minggu setelah Idulfitri, Agus datang ke Surabaya, mengunjungi biro iklan milik Heru dan menemui kami. Agus masih orang yang sama, yang suka membedah hakikat Tuhan dan mengulas ajaran-ajaran spiritual. Heru memberitahunya bahwa hari itu akan ada saudara Subud dari Jakarta yang bertamu ke Wisma Subud Surabaya, dan mengajak Agus ke sana bila ia masih berminat untuk mengetahui lebih banyak tentang Subud. Saya sendiri berharap tidak diajak, tetapi Heru tiba-tiba berkata, “Kamu ikut juga ya?!”

Awalnya saya menolak, karena saya merasa mengantuk dan ingin segera pulang. Heru tahu benar bahwa saya sangat suka makan, sehingga ia melakukan pendekatan yang unik untuk mengajak saya, “Ada banyak makanan enak di Subud!” Saya terbujuk rayuannya dan mengiyakan ajakannya. Lucunya, yang terjadi di Wisma Subud Surabaya adalah saya dan Agus malah bertukar tempat: Dia yang mendatangi meja makan dan mengambil makanan serta asyik menikmatinya, sedangkan saya terpaksa berdiri di hadapan seorang pria berbadan besar yang duduk di teras Hall Latihan.

Heru memperkenalkan saya kepada pria tersebut, “Mas Adji, ini teman saya ingin tahu tentang Subud.”

Tentu saja saya membantah tetapi di dalam hati, karena sejatinya bukan saya yang ingin masuk Subud, melainkan Agus. Bagaimanapun, saya berusaha menemukan alasan yang tepat ketika Mas Adji bertanya, apa yang sudah saya ketahui tentang Subud. Dengan gugup saya menjawab bahwa yang saya tahu adalah bahwa Subud adalah sebuah perusahaan pertambangan.

Saya pernah bersama seorang teman berada dalam kendaraan umum yang melewati Wisma Subud Cilandak di Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan, dan teman itu dengan sok taunya memberitahu saya, “Lihat, itu Subud, sebuah perusahaan pertambangan. Lihat itu banyak orang asing yang bekerja di situ!”

Ketika saya mengarahkan pandangan saya ke gerbang Wisma Subud memang tampak beberapa orang kulit putih berjalan keluar, jadi saya yakin Subud memang seperti yang dikatakan teman saya. Bagi masyarakat Indonesia, perusahaan yang memperkerjakan orang asing pastilah perusahaan besar, dan kebanyakan perusahaan besar di Indonesia memang bergerak di bidang pertambangan dan migas.

Mendengar jawaban saya, Mas Adji tertawa terbahak-bahak sampai bahunya bergoncang. Matanya menyipit ketika tertawa, membuatnya segera mengingatkan saya pada aktor Hong Kong, Chow Yun Fat. Mas Adji kemudian berkata bahwa Subud memang memiliki tambang, tetapi Subud bukan itu. “Subud adalah pendidikan jiwa,” katanya. Ia lantas mempersilakan saya dan Agus memasuki Hall Latihan, di mana sejumlah anggota dan pembantu pelatih Cabang Surabaya telah berkumpul, duduk lesehan di lantai Hall beralaskan karpet. Mas Adji mengambil tempat di depan mereka semua, duduk di kursi. Pemandangan itu mengingatkan saya pada ruangan besar di istana kerajaan, di mana raja yang duduk di singgasana kebesarannya bertemu dengan rakyatnya yang bersikap penuh hormat dan segan.

Masih segar di ingatan saya saat ini tentang malam itu, ketika Mas Adji membacakan salah satu bab dari buku Susila Budhi Dharma. Yang tidak saya ingat adalah ucapannya, karena saya terlalu sibuk dengan merasakan kepala saya tiba-tiba membesar lalu mengecil dan kemudian serasa dijepit dari kedua sisi oleh dua tangan raksasa, dan jantung saya serasa jatuh ke perut. Beberapa pembantu pelatih telah berusaha meminta saya dan Agus agar meninggalkan ruangan, karena kami dianggap belum dibuka, bahkan belum mengandidat. Tetapi para pembantu pelatih itu hanya mendapat hardikan keras dari Mas Adji, yang memberitahu mereka bahwa sebagai anggota Subud mereka wajib menjelaskan kepada siapapun yang berminat.

Akhirnya, Mas Adji sendiri yang meminta saya dan Agus untuk meninggalkan ruangan, karena acara selanjutnya hanya untuk anggota. Mas Adji menyatakan ingin bersalaman dengan “Mas Anto dan temannya” (dia sejak semula tidak pernah menyebut nama Agus). Ketika Mas Adji menggenggam tangan kanan saya dengan erat, ia berkata, “Semoga kita menjadi saudara, ya.” Saya tidak paham apa maksudnya, saat itu.

Takut Mati

KEPERGIAN saya ke Wisma Subud Surabaya malam itu (19 Oktober 2003) tanpa memberitahu istri saya via SMS atau telepon telah membuat istri saya sangat marah dan menghukum saya keesokan harinya dengan menyuruh saya mencuci semua pakaian kotor kami, yang telah menumpuk selama seminggu, sementara ia pergi ke rumah orang tuanya.

Saya biasa mencuci pakaian dengan kedua tangan saya, tetapi pada hari Sabtu, 20 Oktober 2003, itu terjadi sesuatu yang aneh. Saat mendengar kumandang azan Dzuhur, saya tiba-tiba menangis dan sekujur tubuh saya bergetar, seperti tersengat listrik. Lalu, saya mendengar suara diri saya menyuruh saya untuk salat Dzuhur—sesuatu yang sudah lama tidak saya lakukan karena sempat tidak percaya agama dan Tuhan. Usai dua salam yang menutup prosesi salat saya, saya tiba-tiba terjengkang ke belakang dan merasakan sesuatu mendesak keluar dari diri saya.

Saya tiba-tiba ketakutan, takut mati. Apalagi kepada saya secara gaib diperlihatkan sebuah rangkaian visual menyerupai film yang menampilkan deretan perbuatan-perbuatan buruk saya di masa lalu. Hal itu membuat saya menangis sekaligus semakin ketakutan. Saya sangat takut mati saat itu, apalagi membayangkan istri saya nanti pulang lalu menemukan saya sudah menjadi mayat. Dengan panik, saya mengirim SMS ke Heru (kelak saya baru tahu bahwa ia adalah pembantu pelatih Subud Surabaya), menceritakan kejadian itu, dan Heru lantas menelepon saya, menyuruh saya untuk berbaring di ranjang dengan tenang dan tidak melawan apapun yang datang kepada saya. Saya lakukan persis yang ia suruh. Saya merasa badan saya melayang, terbang di atas permukaan kasur, lalu saya tertidur.

Saya terbangun karena mendengar pemberitahuan dari telepon seluler saya tentang adanya telepon masuk. Dari Heru, yang menginformasikan bahwa ia sudah berkonsultasi dengan Dewan Pembantu Pelatih Cabang Surabaya, dan mereka menantikan kedatangan saya di Wisma Subud Surabaya pada hari Senin, 22 Oktober 2003, untuk memulai masa tunggu saya selama tiga bulan. Karena berbagai kesibukan, saya baru dibuka lebih dari empat bulan kemudian, yaitu pada 11 Maret 2004.

Agus sendiri dibuka satu setengah tahun setelah saya, di Jakarta. Dia hanya sebentar di Subud. Kini dia sudah tidak pernah lagi datang Latihan.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Oktober 2024


Tuesday, September 24, 2024

Buku Pengingat Ikrar

MENANTI hari pernikahan bagi pasangan yang saling mencintai merupakan kegiatan yang membangkitkan semangat. Bagi saya, sebagai copywriter, masa penantian itu menjadi momen mengekspresikan kreativitas tanpa batas yang menyenangkan, yang saya wujudkan dengan mengajak kekasih saya menorehkan pena untuk mengungkapkan segala harapan kami ketika sudah resmi menjadi suami-istri.

Untuk itu, saya membeli buku catatan yang terbuat dari bahan daur ulang, yang berkali-kali menempuh perjalanan Jakarta-Surabaya pergi pulang agar calon istri saya juga dapat turut mengisinya. Terpisah dari 144 pucuk surat saya yang diterima kekasih saya dan 142 pucuk yang saya terima darinya selama masa pacaran kami yang berlangsung secara jarak jauh (long-distance relationship/LDR) dalam kurun waktu tiga tahun dan delapan bulan, buku inilah yang menjadi pengingat hingga kini tentang apa-apa yang telah kami ikrarkan.

Saya menuliskannya mulai 13 April 1997 atau 164 hari sebelum saya mengucapkan ijab kabul di hadapan ayah dari calon istri saya serta penghulu. Tulisan terakhir bertanggal 17 Agustus 1997 atau 38 hari menuju hari pernikahan kami, dan selanjutnya komunikasi dilakukan via telepon interlokal, karena masing-masing dari kami sudah sangat sibuk dengan segala persiapan.

Pada 25 September 1997 jarak lebih dari 780 km antara Jakarta dan Surabaya diperpendek menjadi hanya beberapa sentimeter, yaitu ketika saya dan mempelai wanita duduk bersebelahan di hadapan penghulu.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 September 2024









Tuesday, September 10, 2024

POR-TU-GAL


SECARA historis dan budaya, masyarakat Indonesia sangat suka membuat akronim dari berbagai hal. Baik untuk maksud serius, untuk menyindir, atau sekadar sebagai hiburan populer. Budaya ini bahkan telah berakar dalam segala bidang kehidupan, mulai dari politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, militer sampai pendidikan, untuk mendiseminasi program atau gagasan kepada khalayak. Biasanya, akronim-akronimnya merepresentasi nilai-nilai atau pesan yang terkandung di dalamnya, agar pemangku kepentingan tidak lupa.

Bahkan akronim memperkaya kamus Bahasa Indonesia sebagai kata-kata yang oleh generasi terkini tidak diketahui bahwa kata-kata itu aslinya merupakan akronim. Misalnya “tilang” (speeding ticket) yang sebenarnya merupakan akronim dari “bukTI peLANGgaran” (evidence of violation).

Juni 2024 lalu, seorang pembantu pelatih senior di Surabaya, Jawa Timur, bercerita ke saya bahwa “SUBUD” tadinya hanya kata tanpa arti yang dituliskan di papan tulis oleh seorang pembantu pelatih atas perintah Bapak. Setelah didaftarkan ke PAKEM (Pengawas Kepercayaan Masyarakat) pada tahun 1947, barulah Bapak menerima kepanjangan dari kata tersebut dan artinya: SUsila BUdhi Dharma.

PORTUGAL, sebagai negara yang terpilih untuk lokasi penyelenggaraan Kongres Dunia 2028, pun tak luput dari kecenderungan “aneh” ini, sebagai lelucon yang kini telah beredar luas di kalangan anggota Subud Indonesia, terutama generasi yang lebih muda: Itu merupakan singkatan dari PORsi TUkang GALian (the Excavation Worker’s [meal] Portion), yang mengacu pada porsi makanan yang sangat besar di piring seseorang.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 10 September 2024

Wednesday, September 4, 2024

Nasi Goreng Spesial


SEKITAR tahun 1992, saat menghadapi cewek yang menetapkan standar tertentu tentang cowok yang akan dia terima sebagai pacarnya, saya katakan bahwa saya bisa memasak—ketika si cewek menyatakan bahwa dia suka cowok yang bisa memasak. Dia tanya lagi, saya bisa memasak apa?

“Nasi goreng,” jawab saya.

“Ah, nasi goreng semua orang juga bisa!” kata si cewek, melecehkan keahlian saya. Saya meresponsnya dengan tertawa, karena saat itu saya juga percaya bahwa semua orang bisa memasak nasi goreng, bahwa nasi goreng bukanlah jenis masakan yang spesial.

Lama kemudian, saya bertanya-tanya, kalau memang nasi goreng bukan masakan yang spesial dan semua orang bisa membuatnya, lantas kenapa nasi goreng termasuk salah satu menu di restoran mahal atau hotel?

Bertahun-tahun kemudian, terutama setelah saya aktif melakukan Latihan Kejiwaan, saya dimampukan Gusti Alah untuk membuat nasi goreng yang memang benar-benar spesial, yang saya yakin tidak semua orang bisa membuatnya. Seperti nasi goreng yang saya buat pagi ini untuk semua penghuni rumah saya. Saya namakan Nasi Goreng Oregano. Selain menaburkan oregano di nasi yang sedang saya aduk di wajan, sejumlah bumbu rahasia dan bimbingan rasa diri menyertai proses pembuatannya, dan membuat semua pemakannya menggelinjang nikmat dan terus menambah porsi makannya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2024

Friday, August 16, 2024

Tanda Jasa Untuk Akhlak Mulia


KETIKA ayah saya meninggal dunia pada 1 November 1995, seorang perwakilan dari Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) datang ke rumah orang tua saya di Jl. Pondok Jaya VII, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Mengatasnamakan asosiasi dimana ayah saya selaku purnawirawan perwira menengah TNI Angkatan Darat menjadi anggotanya, bapak tua yang pengurus Pepabri Cabang Jakarta Selatan itu menawarkan jasa Pepabri secara cuma-cuma untuk membantu agar ayah saya dapat dimakamkan dengan upacara kehormatan militer di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.

Syaratnya, keluarga yang ditinggalkan dapat menunjukkan tanda jasa Bintang Gerilya yang mungkin pernah diperoleh ayah saya. Meskipun ayah saya memiliki tanda jasa tersebut, tetapi kepada perwakilan Pepabri itu saya katakan “tidak ada”. Salah satu pesan yang pernah disampaikan ayah saya jauh sebelum wafat, adalah bahwa beliau tidak menghendaki dimakamkan di TMP Kalibata, agar keluarga bisa kapan saja menziarahi makam beliau.

Bintang Gerilya adalah tanda kehormatan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menghormati jasa seseorang dalam mempertahankan negara dengan cara bergerilya. Bintang ini salah satunya diberikan kepada rakyat Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi antara tahun 1945-1950, terutama saat Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947-22 Februari 1948) dan Agresi Militer Belanda II (18 Desember 1948-27 Desember 1949). Penghargaan ini ditetapkan secara resmi pada tahun 1949. Bintang ini berada setingkat di bawah Bintang Mahaputera dan tidak memiliki kelas di dalamnya.

Sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga, tentu saja sayalah yang kerap menjadi teman berbagi ayah saya ketika beliau menceritakan kisah-kisah perjuangan semasa Perang Kemerdekaan RI 1945-1949 yang beliau alami sendiri—sebagai anggota Brigade XVII Tentara Pelajar Cie (Kompi) Purwokerto dan kemudian, ketika dibentuk pada 3 Juni 1947, bergabung di Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal inilah yang kelak menginspirasi saya untuk menulis skripsi di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia/FIBUI) dengan judul “Aksi-Aksi Gerilya dan Anti Gerilya di Jawa Tengah Bagian Barat Selama Agresi Militer Belanda II, 1948-1949: Studi Awal Terhadap Perang Urat Saraf Selama Perang Kemerdekaan RI” (1993).

Beliau pernah memperlihatkan sederet tanda jasa yang beliau peroleh selama berkarir di TNI, mulai dari medan juang gerilya hingga pasca periode Perang Kemerdekaan, antara lain Bintang Gerilya, Satyalancana Wira Dharma, dan Bintang Kartika Eka Paksi Utama. Tanda-tanda jasa itu beliau simpan dalam tas kopor terkunci rapat yang beliau sembunyikan jauh di sudut lemari paling bawah. Ayah saya mengatakan, tanda jasa itu hanya untuk menunjukkan peran seseorang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tapi tidak bisa menjadi saksi atas niat dan kegigihannya. Singkat kata, beliau menekankan, tanda jasa itu hanya pengakuan pemerintah dan tidak bisa mewakili sebenar-benarnya kiprah pemegangnya di medan juang.

Sebagai anggota TNI yang merintis karirnya di Staf Teritorial dan kemudian di Intelijen (mulai dari Staf Umum Angkatan Darat [SUAD]-1 Intelijen Markas Besar Angkatan Darat [MBAD] hingga Badan Koordinasi Intelijen Negara [BAKIN]), ayah saya menutup mulut rapat-rapat berkenaan dengan peran dan jasa beliau sebagai pribadi. Karena itu pula, beliau tidak pernah mengobral aksi heroik yang pernah beliau lakukan selama bergerilya. Beliau hanya bercerita tentang sulitnya kehidupan gerilya, keluar-masuk hutan, naik-turun gunung, kadang menyamar sebagai petani atau pedagang sayuran untuk menyelundupkan senjata ke para anggota gerilya yang bertahan di kota Purwokerto, melalui akses-akses ke kota yang dijaga ketat oleh tentara Belanda. Bila ketahuan, bisa dipastikan nyawa si pejuang sudah ditentukan akhirnya.

Ayah saya (kanan) menyambut uluran tangan Jenderal Gatot Subroto yang baru mendarat di Bandara Safdurjang (Delhi), India, tahun 1960. Menurut cerita ayah saya, keduanya sempat mengobrol akrab selaku mantan pejuang gerilya yang sama-sama berasal dari daerah Banyumas.


Setelah Indonesia Merdeka, setiap tahun ayah saya menghadiri upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI. Mulai dari yang ke-1 hingga yang ke-44. Saat peringatan HUT ke-45, tahun 1990, beliau hanya duduk di depan televisi di rumah, menonton siaran langsung pelaksanaan upacara di Istana Negara dengan raut muka yang mewakili keengganan. Karena penasaran, saya, yang waktu itu duduk di sebelah beliau, bertanya mengapa beliau tidak menghadiri upacara di kantor beliau, di markas BAKIN Senopati, Jakarta Selatan.

“Bapak ini,” ucap ayah saya dengan nada datar, “menghadiri upacara Hari Kemerdekaan yang pertama sampai yang keempatpuluh empat. Bapak ini mempertaruhkan nyawa menembus blokade tentara Belanda di Banyumas demi menghadiri upacara bendera dan nyanyi Indonesia Raya.”

Begitu saja kalimat-kalimat yang keluar dari mulut ayah saya sebagai respons atas pertanyaan saya. Tidak ada elaborasi, tetapi saya tidak bertanya lebih lanjut, melainkan larut dalam pengembaraan pikiran, mencoba menghayati semangat rela berkorban apa saja bahkan nyawa dari para pejuang kala itu demi mempertahankan kemerdekaan negeri kita. Kemerdekaan yang saat ini mungkin dinikmati oleh generasi terkini yang tak pernah merasakan kesulitan dan tantangan bertaruh nyawa sebagai pejuang di medan gerilya.

Saat itu, saya membatin, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang dapat membalas akhlak mulia para pahlawan kita.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 16 Agustus 2024