SAYA bersama empat saudara Subud Indonesia, satu orang kandidat dan satu non anggota Subud pada akhir bulan Mei 2025 menandatangani akte pendirian perseroan terbatas yang bisnis intinya adalah industri kreatif. Kami terkumpul bukan dengan rencana manusiawi kami, melainkan “tak sengaja”, secara terbimbing. Proyek percontohan kami adalah ingin membuat film dan penyertanya (novel dan lagu), yang melalui itu kami ingin menyampaikan nilai-nilai Subud dan Latihan Kejiwaan tanpa sama sekali menyebut kata-kata itu, dengan harapan masyarakat luas akan mempraktikkan sikap sabar, tawakal, ikhlas dan berani sebagai gaya hidup.
Meski bukan anggota (paling tidak, belum), seorang sutradara film Indonesia yang menjadi salah satu pemegang sahamnya, Agung Sentausa, memiliki seabrek pengalaman hidup yang menimbulkan ketakjuban di antara kami yang sudah dibuka, terutama terkait bimbingan dari kekuasaan Tuhan. Bagaimanapun, ia belum menunjukkan minat untuk masuk Subud, tetapi ia memperlihatkan betapa ia mengagumi Subud dan Bapak, terlebih setelah ia kami biarkan membaca Susila Budhi Dharma.
Salah satu ucapannya, saya kutip, adalah bahwa menurut dia Subud adalah satu-satunya perkumpulan spiritual yang tidak berakar pada budaya tertentu, terlepas dari fakta bahwa Bapak adalah orang Jawa. Saya membenarkan pernyataannya, karena saya pernah membaca ensiklopedia Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, yang menyajikan informasi mengenai 300 organisasi spiritual yang terdapat di seluruh Kepulauan Indonesia, salah satunya Subud. Dalam ensiklopedia tersebut memang tidak dicantumkan keterkaitan Subud dengan budaya atau suku apapun di Indonesia, meskipun Bapak berlatarbelakang kebudayaan Jawa yang kental. Dan Subud, tambah Agung berdasarkan pengamatannya, bukan sekte maupun sempalan dari agama-agama atau sistem-sistem kepercayaan yang ada di Indonesia.
Bagaimanapun, masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap Subud sebagai Kejawen, sebuah sistem kepercayaan dan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa, yang secara sederhana dipandang sebagai perpaduan antara kepercayaan asli masyarakat Jawa (seperti animisme dan dinamisme) dengan pengaruh agama-agama besar yang masuk ke Jawa, terutama Hindu, Buddha, dan Islam. Kejawen menekankan pada nilai-nilai spiritual, kearifan lokal, dan praktik-praktik tradisional yang diwariskan dari leluhur.
Kadang, telinga saya panas mendengar komentar
orang-orang Indonesia sendiri yang mengatakan bahwa Subud adalah Kejawen, hanya
karena Bapak berasal dari Jawa dan sebagian anggota melestarikan
artefak-artefak budaya Jawa dalam event-event
Subud. Tetapi, telinga saya kembali sejuk jika mengenang ucapan satu pembantu
pelatih dari Cabang Jakarta Selatan, yang meninggal pada 2010 lalu, “Ya, Subud
memang Kejawen... bagi orang Kejawen. Subud adalah Islam... bagi orang Islam.
Subud adalah Kristen... bagi orang Kristen. Subud adalah apapun latar belakang
budayamu.”©2025
Pondok Ranji,
Ciputat Timur, Tangerang Selatan, 12 Juli 2025