Monday, November 18, 2024

Sikap Menghadapi Cemoohan

DUA hari berturut-turut, 16 dan 17 November 2024, saya menghadiri acara kumpul keluarga besar, masing-masing dari garis ayah (16 November) dan garis ibu (17 November). Ayah-ibu saya berasal dari akar suku yang berbeda. Ayah saya orang Banyumas di Jawa Tengah, sedangkan ibu saya berdarah Melayu yang lahir dan dibesarkan di Aceh, kawasan di ujung barat Kepulauan Indonesia yang terkenal sebagai Serambi Mekah karena kuatnya akar keislaman di sana.

Meski Subud untuk seluruh umat manusia, bagaimanapun, akar atau tempat lahirnya Subud adalah di Jawa. Organisasi Subud dibentuk di Yogyakarta sekitar 22 tahun sejak wahyu Latihan Kejiwaan diterima Bapak Muhammad Subuh di Semarang, juga di Jawa (Tengah).

Kenyataan ini mengherankan saya selama ini. Meskipun keluarga besar ayah saya berasal dari Jawa, tapi justru merekalah yang banyak mencerca keterlibatan saya di Subud. Mereka menyatakan, baik di depan saya maupun di belakang saya, ketidaksukaan mereka terhadap Subud dan keaktifan saya di dalamnya—seringkali dengan perkataan bahwa “agama Islam saja sudah cukup!”

Hal itu berkebalikan dengan sikap-sikap yang ada pada keluarga besar ibu saya, yang Melayu dan bersumber dari daerah di Indonesia di mana penyebaran agama Islam di Nusantara bermula. Para sesepuh menyambut dengan positif begitu mereka tahu bahwa saya anggota Subud. Mereka mengatakan bahwa Subud mengajarkan “ilmu yang tinggi”, yaitu berserah diri dengan perasaan sabar, tawakal dan ikhlas (berserah diri bagi kebanyakan umat Islam bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan). Para sepupu juga banyak yang menanyakan saya tentang apa itu Subud dan memberi penilaian yang baik. Hal ini mungkin disebabkan karena leluhur kami adalah seorang Sufi yang berasal dari Irak dan berdarah Persia.

Tidak ada dari keluarga besar ibu saya—yang non Jawa—yang menilai Subud itu Kejawen atau mistikisme Jawa. Sebaliknya, malah keluarga besar ayah saya—yang notabene Jawa—yang alergi dengan Subud karena mereka anggap Kejawen yang ajarannya dipandang oleh muslim awam sebagai “musyrik”.

Terkait hal itu, saya memiliki pengalaman yang lucu sekaligus mencengangkan saya, karena saya dapatkan setelah akhirnya berserah diri saja menghadapi perlakuan yang meresahkan dari “keluarga Jawa” saya. Tahun 2007 lalu, saya mengunjungi paman saya di Jawa Tengah yang sedang sakit keras. Istrinya, yang mengetahui keaktifan saya di Subud, mengoceh sejak saya tiba di rumah paman saya, mencemooh saya bahwa saya telah melupakan akidah agama saya dan mengatakan bahwa bagi tante saya mengaji Alqur’an saja sudah cukup.

Dengan rileks saya katakan pada tante saya bahwa itu belum cukup bagi saya; bahwa saya masih membutuhkan cara lain untuk mempraktikkan apa yang diajarkan agama saya, yaitu berserah diri. Sejak kecil, sebagai muslim, saya mendapat pendidikan agama yang cukup memadai dalam hal syariat, tetapi tidak ada yang melatih saya dalam praktik berserah diri, yang ironisnya merupakan makna sesungguhnya dari nama agama saya.

Tante saya, hingga tiba saatnya saya pamit untuk pergi ke tempat lain, terus saja mengoceh, menyuruh saya dengan tegas agar segera meninggalkan Subud. Saya menjawab sambil tersenyum, “Baik, Tante, jika Tuhan menghendaki.”

Dari rumah paman saya, saya meluncur ke rumah seorang pembantu pelatih senior, yang mengadakan syukuran karena esoknya beliau akan dikukuhkan sebagai guru besar dari universitas negeri yang ada di kota itu. Di sana saya berjumpa dengan seorang pembantu pelatih wanita yang menanyakan kabar paman saya yang sakit. Saya sebaliknya menanyakan bagaimana beliau mengenal paman saya. “Saya tinggal satu desa dengan paman Mas,” katanya.

Beberapa hari kemudian, saya bertanya ke tante saya apakah beliau kenal dengan si pembantu pelatih itu. Tante saya mengiyakan dan dengan antusias berkata, “Ya, beliau itu guru mengaji saya.”

Saya menahan tawa karena lucu. Tante saya telah mengatakan sebelumnya bahwa baginya mengaji Alqur’an saja sudah cukup, tidak perlu ikut Subud. Ternyata, guru mengajinya sendiri seorang pembantu pelatih Subud.

Pengalaman ini, dan pengalaman-pengalaman lainnya di kemudian hari yang mirip, mengajarkan ke saya agar sabar, tawakal dan ikhlas saja dalam menghadapi cercaan atau cemoohan orang lain terhadap kenyataan bahwa saya anggota Subud.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 November 2024

Tuesday, November 12, 2024

Pendeta Belanda dari Sulawesi

Sebuah cerita oleh Bapak, dicuplik dari buku Luqman Keele (Luqman Mckingley), Journey Beyond the Stars, hlm. 335-341.

 

SELAMA Perang Dunia Kedua, balatentara Jepang menduduki Indonesia. Ribuan orang, termasuk keluarga Bapak, berpindah-pindah tempat, berusaha untuk menghindari wajib militer dari pasukan yang ingin menguasai Kepulauan Indonesia.

Bapak, istri beliau Ibu Siti Sumari, dan anak-anak mereka berjalan melalui hutan dan rimba Jawa ke Wolodono, sebuah desa kecil yang merupakan kampung halaman Ibu. Untuk menghibur Ibu, Bapak sering bercerita. Berikut ini salah satu ceritanya:

Belum lama lalu,  ada seorang pria yang baik, seorang yang ramah dan jujur. Dan ia seorang pendeta Kristen—seorang Belanda berkulit putih.

Pria itu melayani jemaatnya di sebuah desa kecil di Sulawesi dengan pengabdian sepenuh hati; dan ia tetap bersama jemaatnya bahkan setelah Jepang menyerbu Indonesia. Ia tetap tinggal di tempat bahkan ketika tentara Jepang mengepung desa dan semua perlawanan telah diatasi.

Si pendeta tinggal di rumahnya dan menenangkan jemaatnya. Malam telah tiba ketika satu anggota jemaatnya mengetuk pintu depan rumahnya dan buru-buru masuk, sambil berkata, “Bapa, Bapa harus segera pergi! Jika tidak, Bapa akan dieksekusi!”

Tapi si pendeta berkata, “Urusan hidup dan mati bukanlah tergantung pada tentara Jepang; tapi pada Tuhan. Dan saya percaya Tuhan. Jadi, saya akan tetap di sini.”

Penduduk desa itu pun meninggalkan rumah si pendeta, putus asa. Malam pun tiba dan si pendeta berdoa serta berserah diri sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Lewat tengah malam, pintu rumahnya diketuk. Ia pergi membuka pintu. Di depan pintu berdiri seorang perwira Angkatan Darat Jepang dalam seragam yang berkilauan. Si perwira Jepang pun masuk dan si pendeta tetap di tempatnya berdiri, tenang dan pasrah kepada Tuhan.

“Pendeta, besok pagi kamu akan mati,” kata si perwira Jepang.

“Mungkin ya atau mungkin tidak,” jawab si pendeta. “Tapi apa pun alasannya, urusan hidup-matinya manusia ada di tangan Tuhan.”

Si pendeta menunggu keputusan Tuhan. Tiba-tiba, ia mendengar si perwira Jepang berkata, “Hari ini, sebelum subuh, pukul setengah lima pagi tepatnya, kamu harus tinggalkan rumahmu, belok kanan ke jalan, susuri jalan itu sebanyak 400 langkah. Kamu akan sampai di sudut kamp tentara Jepang. Di situ, kamu belok kiri, berlutut dan teruskan perjalanan dengan cara merangkak seperti itu, tanpa menengok ke kiri atau ke kanan. Kamu harus merangkak di sepanjang sebuah pagar. Apa pun yang terjadi, kamu harus terus merangkak. Terus merangkak dan tidak menoleh ke kiri atau kanan. Maka kamu akan sampai di sudut pagar. Belok kanan, terus merangkak, tetap lihat lurus ke depan.

“Kamu akan segera melihat di depanmu, bersandar di dudukan kayunya, sebuah pedang Jepang. Dekati pedang itu sambil berlutut, tidak menengok ke kiri atau ke kanan. Ciumlah pedang itu.

“Lalu, kembalilah ke tempatmu dengan cara yang sama seperti yang saya jelaskan, tapi sebaliknya. Jangan berdiri sampai kamu tiba di jalan. Lalu kamu berdiri, berlari pulang ke rumahmu dan tunggulah. Dan mungkin saja kamu tidak akan mati.”

Si pendeta Belanda, terheran-heran pada saran ini, mengangkat kepalanya dari posisi menunduk. Si tentara Jepang sudah pergi. Tapi pintunya tertutup. Dan si pendeta tidak mendengar pintunya dibuka maupun ditutup.

Pada saat itu, dalam hatinya ia merasakan ketakutan sekaligus ketakjuban atas bekerjanya kekuasaan Tuhan dan malaikat-malaikatNya.

Si pendeta tetap terjaga sampai jam setengah lima pagi, dan selanjutnya ia melakukan persis seperti yang diperintahkan si perwira Jepang. Ia menyusuri jalan, belok kanan, berlutut dan merangkak, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan.

Tapi ketika ia mencapai pagar ia tiba-tiba mendengar jeritan-jeritan memilukan. Ia memaksa dirinya untuk tidak melihat ke arah itu, tapi terus saja merangkak, meluruskan pandangan matanya ke depan. Jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan mulai bermunculan dari segala arah; dan bunyi sepatu boot, bunyi denting bayonet, bunyi tembakan senapan.

Si pendeta terus merangkak, tidak menoleh ke kiri atau ke kanan. Sampai di pagar ia belok kanan. Dan semua keributan itu terus mengikutinya di kedua sisinya, ketika ia merangkak menuju pedang yang bersandar pada dudukan kayunya.

Keriuhan suara dan bunyi itu bertambah ketika ia mendekati pedang; tapi ketika ia menciumnya, suara dan bunyi yang menakutkan itu berubah menjadi tawa yang ramai.

Tawa dan sorakan serta suara-suara keras mengiringi perjalanan si pendeta kembali ke rumah. Tapi akhirnya, setelah memenuhi apa yang diperintahkan kepadanya, ia mencapai jalan semula, berdiri, lalu berlari pulang, dan menunggu.

Subuh pun tiba.

Sekitar pukul delapan pagi, pintu rumah si pendeta diketuk. Lima tentara Jepang masuk, mengikat kedua tangannya dan menyeretnya pergi. Mereka membawanya ke sebuah tempat di dekat pedang yang disandarkan pada dudukan kayunya. Kini, si pendeta bisa melihat, di bawah terangnya sinar matahari pagi, bahwa pedang itu adalah untuk eksekusi penggal kepala.

Si pendeta dipaksa berlutut di depan kaki seorang kolonel Jepang berbadan besar dan berjenggot hitam dengan sepatu boot hitam yang besar. Si kolonel sedang mencuci tangannya. Seseorang baru saja dia eksekusi.

Si kolonel membalikkan badannya dari depan tempat cuci tangan, melihat sepintas ke si pendeta, wajahnya memerah, dan meledaklah tawanya. Ia terus tertawa, sambil menunjuk-nunjuk si pendeta. Akhirnya, ia berhenti tertawa dan berkata dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.

“Jadi! Jadi kamu orang yang mencium pedang ini subuh tadi! Apa yang membuatmu melakukan hal itu? Siapa yang menyuruhmu mencium pedang itu?"

Si pendeta menundukkan kepalanya. Wajah si kolonel berubah serius. “Karena telah mencium pedang itu, nasibmu telah ditentukan,” katanya.

Si pendeta menyerahkan nasibnya ke tangan Tuhan bahkan ketika si kolonel menyampaikan kata-kata tersebut.

“Nasibmu telah diputuskan," kata si kolonel. “Kamu boleh hidup.”

_______

Ibu Sumari terdiam selama beberapa saat. Sinar matahari yang menerangi hutan sudah mulai pudar. “Jadi, si perwira Jepang yang datang ke si pendeta,” ucap Ibu, “dia malaikat?”

Bapak mengangguk, “Dan, kamu harus tahu bahwa mengikuti jalan Latihan adalah lebih berat daripada jalan yang harus diikuti si pendeta.”

Wednesday, November 6, 2024

Soul-to-Soul

 


I found this quote on Facebook and immediately remembered the annoying experience of 2023. That year I met a new member, a woman in her late 20s. Our closeness was very short-lived (one month). She suddenly avoided me for reasons that are still unclear to me (I’ve tested with several different helpers at different times and our receivings were the same, but I won’t share that here).

I contacted her once via WhatsApp after we were reconciled but she didn’t reply, but two days later I received a strong warning from one of the Indonesian International Helpers that I should no longer approach or contact her because her parents threatened to take legal action against me. The IH warned me when I was hanging out with some Subud brothers in a café owned by a South Jakarta helper near Wisma Subud Cilandak, so that they all knew what was happening—so it actually tarnished her reputation.

I was disappointed with the IH’s attitude towards me, because he had treated me unfairly. Solving problems between two members who are at odds should be by bringing the two members together accompanied by a helper(s) and then do Latihan together (in a separate room if they are of different genders). Because of that, I reported the IH to another helper who then took my case to a helpers dewan meeting where the IH received a warning.

One member who was sitting next to me at the café, and therefore knew clearly what the problem was, said to me, “Don’t worry, Mas Arifin. In the kejiwaan, presence or absence is the same. She will still feel your presence even though you are not around her. That’s what we call soul-to-soul connection between Subud brothers and sisters. The important thing is that Mas Arifin doesn’t get offended and remains sabar, tawakal, and ikhlas.”

I went through the following days calmly, relaxed, as if nothing had happened. I have forgotten that woman, but I have not forgotten the main lesson: Never hate other people because in reality there is a soul-to-soul connection between people. Hating other people is essentially hating yourself.©2024

 

Pondok Cabe, South Tangerang, 7 November 2024


Sunday, November 3, 2024

Kampung Pinggiran Tempat Bule Bertempat Tinggal

 


DI awal kepindahan saya ke Jakarta, tahun 2005, saya memesan taksi untuk mengantar saya ke Wisma Subud Cilandak. “Kompleks bule itu, ya?” kata supir taksinya.

Kompleks yang kini terletak di wilayah administrasi Kelurahan Cilandak Barat itu memang sudah lama dikenal sebagai kawasan ekspat. Masyarakat di sekitarnya tidak jarang melihat orang-orang bule atau asing keluar masuk melalui gerbang kompleks yang di bagian tengah gapuranya bertanda tujuh lingkaran. Bagi yang familiar, tujuh lingkaran itu adalah lambang Subud.

Cilandak adalah nama kecamatan dimana kompleks itu berlokasi. Dulu, kompleks ini boleh dibilang “kampung pinggiran” karena terletak di wilayah baru, hasil dari pemekaran kawasan elit Kebayoran Baru. Merujuk pada nama Cilandak, yang dalam bahasa Sunda berarti “sungai landak”, daerah pinggiran Jakarta ini memang dilintasi tiga sungai—Krukut, Pesanggrahan dan Grogol—dan kabarnya ketika daerah ini dibuka untuk pengembangan pemukiman baru ditemukan seekor landak raksasa. Itulah sebabnya dinamai Cilandak.

Sekarang, wajah kampung pinggiran itu sudah ditelan zaman. Cilandak kini dikenal sebagai tempat nongkrong hits anak muda Jakarta Selatan yang tersentuh modernisasi di segala infrastrukturnya. Seorang saudara Subud bercanda mengatakan bahwa Subud tidak bisa maju atau dimajukan lagi, karena di depannya sudah ada jalan dua arah dan jalur mass rapid transit (MRT) terelevasi. Kedua jalan yang dipisah pembatas itu tiap hari, siang dan malam, selalu macet. Para penglaju diselamatkan oleh keberadaan MRT.

Dulu, tergolong sulit menemukan Wisma Subud Cilandak. Satu anggota Surabaya, Jawa Timur, yang dibuka tahun 2005 di Cilandak, bercerita ke saya bahwa dia berkali-kali bolak-balik Jalan RS Fatmawati dengan bus untuk menemukan Wisma Subud yang berdasarkan informasi yang diperolehnya dari kakaknya beralamat di No. 52. Hanya keajaiban ilahi yang akhirnya membantu dia menemukannya: Bus yang ditumpanginya kekurangan penumpang sehingga ia diminta turun untuk pindah ke bus lain. Saat ia turun, ia baru menyadari bahwa bus yang ia tinggalkan ternyata berhenti di depan gerbang Wisma Subud Cilandak.

Kini, berkat Google Maps, Wisma Subud mudah ditemukan. Semua aplikasi taksi dan ojek daring mencantumkan Wisma Subud Jl. RS Fatmawati No. 52 di daftar pencarian destinasinya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 November 2024

Friday, November 1, 2024

Wisma Subud yang Mana?

Sisi utara dari Hall Latihan Cilandak. Difoto pada 1 November 2024.

SEBAGAI warga Jakarta Selatan, saya sudah sejak remaja mengetahui keberadaan sebuah kompleks perumahan di Jalan RS Fatmawati yang dinamai Wisma Subud. Tetapi kala itu saya tidak mempedulikannya karena saya tidak memiliki kepentingan apapun dengan Subud. Saya baru dibuka Maret 2004 dan baru pertengahan tahun 2005 saya mengunjungi Wisma Subud Cilandak, menyusul kepindahan saya ke Jakarta (lebih tepatnya “kembali ke kampung halaman”, karena saya lahir dan dibesarkan di Jakarta) setelah tinggal lima tahun di Surabaya, ibukota provinsi Jawa Timur di mana saya menemukan Subud.

Para anggota Subud luar negeri menyebutnya Wisma Subud karena itulah Wisma Subud yang pertama kali ada. Tampaknya tidak banyak anggota Subud luar negeri yang tahu bahwa semua rumah Subud di berbagai kota di Indonesia pun disebut “Wisma Subud”, dengan diimbuhi nama kota di belakangnya; misalnya “Wisma Subud Medan” terletak di kota Medan, ibukota provinsi Sumatera Utara. Sehingga jika Anda bertanya kepada anggota Subud Indonesia mengenai lokasi Wisma Subud, mereka akan bertanya balik, “Wisma Subud yang mana?”

Dalam bahasa Inggris, kata “wisma” dan “rumah” sama-sama diterjemahkan sebagai “house”, sedangkan dalam bahasa Indonesia pengertiannya berbeda. “Rumah” mengacu pada unit bangunan tunggal untuk hunian satu orang atau satu keluarga. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, “wisma” adalah bangunan untuk tempat tinggal, kantor, dan sebagainya. Wisma oleh kamus itu juga diartikan kumpulan rumah, kompleks perumahan, atau pemukiman. Wisma Subud mengacu pada pengertian kedua.

Di satu kota atau kabupaten hanya boleh ada satu cabang. Cabang membawahi satu atau lebih ranting dan kelompok. Jika di sebuah kota/kabupaten jumlah anggotanya kurang dari setengah anggota cabang, bisa saja perkumpulan Subud setempat berstatus ranting, yang administrasinya dikelola oleh cabang di kota/kabupaten terdekat.

Para anggota dari Kelompok Subud Jatiwaringin. Meskipun Jatiwaringin berlokasi di wilayah Bekasi, Jawa Barat, kelompok ini diasuh oleh Cabang Jakarta Selatan, karena cabang terdekat yang ada di Jawa Barat, yaitu Bogor, berlokasi 40 km dari sini.

Berbeda dengan keorganisasian Subud di luar negeri, dengan grup-grup tersebar tanpa batas wilayah administrasi, sehingga satu kota atau kabupaten bisa memiliki lebih dari satu grup, di Indonesia memiliki hierarki dengan cabang (branch) di strata teratas, disusul ranting (sub-branch) dan kelompok (small group) yang ditentukan oleh jumlah anggotanya. Jumlah 100 anggota membentuk cabang, 25 hingga 50 membentuk ranting, sedangkan kelompok biasanya lebih sedikit daripada 20 orang.

Wisma Subud Purwokerto di pinggiran kota Purwokerto di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, diresmikan oleh almarhum Pak Haryono Sumohadiwidjojo pada 17 Desember 2005.

Wisma Subud di Indonesia hanya terdapat di tingkat cabang, dan biasanya merupakan bangunan permanen yang dinyatakan sebagai aset dari PPK Subud Indonesia, yang tidak dapat dipindah-pindah, kecuali telah terjadi pengalihan karena sesuatu dan lain hal, misalnya telah dibeli oleh pihak lain yang bukan anggota atau organisasi Subud. Ranting dan kelompok biasanya mengadakan Latihan terjadwal atau tidak terjadwal di rumah pembantu pelatih atau anggota yang bersedia rumahnya dijadikan tempat Latihan.

Seperti telah saya tulis di muka, semua Wisma Subud di Indonesia mencantumkan nama kota/kabupaten, di mana wisma berlokasi, di belakangnya. Wisma Subud yang pertama, di Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan, lebih populer di kalangan anggota Subud Indonesia sebagai “Wisma Subud Cilandak”, karena berlokasi di Kecamatan Cilandak di Jakarta Selatan. “Cilandak” dalam bahasa Sunda berarti “sungai landak”. Kabarnya, nama “Cilandak” berasal dari ditemukannya seekor landak raksasa di daerah tersebut, dan karena kecamatan ini dilalui oleh Sungai Krukut di tepi timur serta Sungai Pesanggrahan dan Sungai Grogol di tepi baratnya maka jadilah nama daerah tersebut “Cilandak”.

Wilayah Kecamatan Cilandak baru eksis pada tahun 1974 sebagai pemekaran dari wilayah Kecamatan Kebayoran Baru, sebuah wilayah pemukiman baru yang dirancang pada tahun 1948. Kebutuhan pemukiman cukup mendesak karena Jakarta memerlukan banyak fasilitas publik dalam kedudukannya sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan Indonesia. Konsep yang digunakan adalah “kota taman”, sebuah konsep yang dipakai dalam banyak pengembangan properti modern. Dalam konsep ini, ruang terbuka hijau sebagai ruang milik publik mendapat perhatian khusus.

Pada tahun 1977, Cilandak mengalami pemekaran menjadi dua kelurahan: Cilandak Barat dan Cilandak Timur. Wisma Subud yang pertama berlokasi di Cilandak Barat. Meski sempat dikenal dengan kisah landak raksasa, Cilandak kini telah bertransformasi menjadi tempat nongkrong hits anak muda Jakarta Selatan.

Bentuk Penghargaan

BARU-baru ini, seorang anggota baru wanita dari Cabang Jakarta Timur bercerita ke saya bahwa satu pembantu pelatih wanita di Cabang Jakarta Selatan (Cilandak) tidak tahu keberadaan Wisma Salim dan bertanya apakah itu Subud atau bukan. Suami si anggota baru melalui masa kandidatannya hingga dibuka di Wisma Salim, oleh pembantu pelatih Subud resmi, tetapi karena si pembantu pelatih wanita tampaknya kurang pergaulan ia kebingungan dengan nama Wisma Salim maupun nama-nama para pembantu pelatih yang membuka suami dari si anggota baru.

Wisma Salim adalah satu-satunya wisma Subud di Indonesia yang tidak menggunakan nama “Wisma Subud”, namun itu adalah wisma Subudnya Cabang Jakarta Timur yang keberadaannya sudah lama—melampaui usia keberadaan pembantu pelatih wanita tersebut di atas di Subud. Mengapa dinamai Wisma Salim adalah karena orang yang menyumbangkan rumahnya untuk wisma Subud itu bernama Salim, dan penamaan itu adalah sebagai bentuk penghargaan kepadanya.

Belakangan, mungkin agar tidak membingungkan anggota yang belum pernah ke Wisma Salim, diimbuhi kata “Subud” di belakangnya, menjadi Wisma Subud Salim, atau “Wisma Subud Jakarta Timur”.

Penampungan Orang Krisis

MENURUT seorang pembantu pelatih senior Rungansari, dalam pesan WhatsApp-nya ke saya pada 29 Oktober 2024 lalu, dahulu Bapak menyatakan bahwa kompleks Wisma Subud (Cilandak) merupakan tempat penampungan anggota-anggota yang krisis. Siapapun dia dan dari mana pun dia, anggota luar negeri atau Indonesia, jika datang ke Wisma Subud lalu krisis, dia wajib ditangani oleh pembantu pelatih yang tinggal di kompleks. “Karena itu, penghuni kompleks Wisma Subud Cilandak itu 80 persen adalah pembantu pelatih,” tulis si pembantu pelatih Rungansari dalam pesan WhatsApp-nya.

Dahulu, di Wisma Indonesia, sebuah bangunan fungsional di bagian belakang kompleks Wisma Subud Cilandak, dibuatkan satu kamar khusus (No. 4) untuk menampung anggota yang mengalami krisis kejiwaan yang berat. Jendelanya berjeruji besi, pintunya dirangkap kayu jati tebal yang tahan terhadap pukulan supaya tidak pecah. Langit-langit kamar diberi papan tebal dua rangkap supaya tidak pecah bila dicoba dihancurkan oleh anggota yang krisis—seperti yang sering terjadi saat itu.

Wisma Indonesia pada tahun 1979. Foto milik Matthew des Tombe.

Sekarang, kamar itu sudah tidak ada, mungkin karena dianggap sekarang jarang anggota yang mengalami krisis berat seperti dahulu. Anggapan itu terdengar aneh bagi para helper senior, karena bila anggota tidak pernah krisis atau krisisnya berderajat ringan itu artinya Latihannya tidak tembus. Salah satu penghuni lama Wisma Subud Cilandak, Harris Roberts, pernah bercerita ke saya, bahwa dahulu anggota krisis yang berkeliaran di kompleks dan membuat kekacauan yang meresahkan merupakan pemandangan yang lumrah. Harris lantas bertanya, mengapa dewasa ini tidak pernah lagi ada anggota yang krisisnya sedemikian parah.

“Karena anggota dan PP sekarang pengecut, Pak!” kata saya. “Dulu, mereka berani menerima dan mengikuti penerimaan mereka... Receive and follow. Sekarang, jarang yang mau begitu. Terlalu khawatir dengan dampaknya jika disangkutkan dengan kebutuhan materi mereka.”

Harris mengangguk sambil tersenyum. “Ya, mungkin itu alasannya.”

Selama pandemi Covid-19, mulai pertengahan Maret 2020 hingga beberapa bulan pertama tahun 2022, Hall Latihan Cilandak ditutup berdasarkan keputusan para koordinator Dewan Pembantu Pelatih Daerah Jakarta Selatan dan pengurus Cabang Jakarta Selatan. Latihan dipindah ke rumah masing-masing anggota, dilakukan secara bersama-sama tapi dari jarak jauh pada hari dan jam yang sama. Sejumlah anggota, terutama yang baru dibuka, mengeluhkan kenyataan bahwa mereka tidak bisa Latihan sendiri di rumah, sehingga akhirnya Ketua Umum Pengurus Nasional mengupayakan Latihan bersama secara terbatas (15 orang sekali masuk ruangan) yang bertempat di Pendopo Wisma Indonesia yang kini telah diberi dinding kaca dan berpendingin udara. 

Pendopo Wisma Indonesia pada tahun 1979. Pendopo yang terbuka memberi ruang untuk menghirup udara segar. Foto milik Matthew des Tombe.


Interior Pendopo Wisma Indonesia saat ini: berdinding kaca dan berpendingin udara. Sejak itu, akses dibatasi hanya untuk pertemuan-pertemuan resmi oleh dewan pembantu pelatih dan Pengurus Nasional.


Jika dahulu, Pendopo bisa diakses semua anggota, menjadi tempat anggota berkegiatan sosial serta kamar-kamar di Wisma Indonesia bisa diinapi anggota dari daerah lain yang jauh, kini Pendopo maupun Wisma Indonesia telah menjadi tempat yang “dingin dan kaku”, karena pintu akses Pendopo dikunci dan Wisma Indonesia memiliki sedikit penerangan di waktu malam, yang memberi kesan angker. Beberapa anggota dan pembantu pelatih masih suka nongkrong sepanjang malam di belakang Pendopo yang telah diberi atap, menggelar gathering kejiwaan tidak resmi sambil minum kopi dan makan camilan.

Hingga sebelum pandemi, kompleks Wisma Subud Cilandak tergolong cukup ramai dengan kegiatan dan lalu lalang orang maupun kendaraan. Atmosfernya juga ramah, seolah semua pohon dan bangunan di kompleks itu tersenyum menyambut pengunjung. Tetangga saling berkunjung dan para pejalan kaki saling menyapa merupakan pemandangan yang biasa. Bagi orang yang belum pernah ke Wisma Subud Cilandak, mengunjunginya kala itu serasa masuk ke taman sejuk yang memberi kesegaran baru bagi mereka yang penat dengan kehidupan kota Jakarta yang keras. Kini, keadaan itu sudah luntur. Saya pribadi merasa Wisma Subud Cilandak tak ubahnya kompleks pemakaman dengan Hall Latihan sebagai mausoleum.

Atas: Hall Latihan pada pagi hari 7 Juli 2023. Bawah: Hall di malam hari 18 November 2021. Atmosfer angkernya di malam hari memberi kesan bahwa bangunan itu merupakan sebuah mausoleum.

Tahun 2005, ketika baru kembali ke kota kelahiran saya, Jakarta, dan rutin melakukan Latihan di Hall Cilandak, saya takjub dengan betapa banyaknya anggota yang Latihan pada satu waktu. Alas kaki mereka berjejer dan mengular panjang di depan pintu masuk Hall Latihan. Saya biasa nongkrong di Teras Timur, di mana biasanya para anggota pria bergerombol memasuki hall untuk Latihan bersama. Saya ingat saat itu Latihan dibagi dua gelombang karena demikian banyaknya anggota yang ingin menghadiri Latihan bersama. Alas kaki mereka parkir mulai dari depan pintu hall terus mengular sampai depan pintu toilet pria.

Ketika saya ceritakan hal ini kepada satu anggota baru, baru-baru ini, ia terkesima tak percaya. Pasalnya, sekarang sebaliknya, hanya segelintir pasang alas kaki yang dijumpai di depan pintu. Ke mana perginya para anggota? Entahlah, tapi yang saya saksikan adalah berkurangnya jumlah pembantu pelatih yang berdedikasi penuh dalam melayani anggota, khususnya di Cabang Jakarta Selatan.

Tetangga yang Tak Mengerti

SELAMA ini, hanya satu rumah di kompleks yang penghuninya bukan anggota Subud. Seorang pebisnis Indonesia yang mata rantai bisnisnya merajai industri makanan di negeri ini. Bersama anggota tim pengurus nasional Subud Indonesia lainnya, tahun 2010 saya berkesempatan berkunjung ke kantornya. Ia menceritakan bagaimana ia bisa mendapat rumah di dalam kompleks “eksklusif Subud” sementara ia dan keluarganya bukan anggota Subud. Meskipun bukan anggota Subud, ia memiliki familiaritas yang cukup tentang apa itu Subud. Ia menghargai bilamana lingkungan tempat tinggalnya ramai oleh banyak anggota yang datang ke Wisma Subud pada jadwal-jadwal Latihan—dan ada banyak pula anggota yang tidak tahu bahwa di kompleks itu bertempat tinggal keluarga non Subud.

Guest House pada tahun 1979. Foto milik Matthew des Tombe.


Guest House dewasa ini. Sebuah kedai kopi di sebelahnya telah memberi sedikit keramaian pada hari-hari, dan telah menjadi tempat bagi para anggota untuk menantikan jam Latihan atau untuk nongkrong bersama anggota-anggota lainnya pasca Latihan.


Namun, belakangan semakin banyak penghuni kompleks yang bukan anggota Subud dan tidak mengerti apa itu Subud. Bagaimanapun, Yayasan Subud, yaitu pihak yang dipercayakan Asosiasi Subud Dunia (WSA) untuk mengelola Wisma Subud Cilandak, tampaknya lebih mengutamakan kepentingan mereka ketimbang anggota. Kini, nongkrong sampai jauh malam di teras hall Latihan tidak diperbolehkan, dan akan ada tetangga yang tidak mengerti akan memprotesnya bila dibiarkan. Kini pula, anggota sekuriti yang bukan anggota Subud akan segera mengunci pintu hall begitu dilihatnya hall dalam keadaan kosong pada malam hari, meskipun jam tutup hall belum tiba. Tentu saja ini merugikan anggota yang datang dari daerah lain dan membutuhkan waktu untuk menerobos lalu lintas Jakarta yang padat untuk sampai di Wisma Subud Cilandak, karena begitu mereka tiba hall sudah dikunci dan lampu-lampu teras sudah dimatikan!

Bagi yang pernah mengalami Wisma Subud Cilandak di masa lalu akan bertanya bagi dirinya sendiri: Di mana Wisma Subud sekarang?©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 November 2024




Monday, October 28, 2024

Seorang Ayah Spiritual Lintas Benua


SEORANG saudara Subud yang pernah bertemu dengan beliau di Kongres Dunia 2018 di Freiburg bertanya ke saya bagaimana saya bisa begitu akrab dengan Ruslan Moore, padahal saya belum pernah bertemu beliau secara langsung. Mungkin itu yang namanya hubungan jiwa ke jiwa di antara saudara Subud.

Memang unik hubungan saya dengan Ruslan. Saya mengenal beliau pertama kali di Facebook bertahun-tahun lalu. Dalam konversasi kami via Facebook, email dan sejak 19 Oktober 2020 melalui WhatsApp, terungkap bagi saya bahwa almarhum Ruslan Moore adalah seorang yang oleh Bapak digolongkan sebagai Subud-minded. Beliau sangat setia pada Bapak dan tidak menoleransi mereka yang melakukan mixing sementara mereka sudah dibuka, atau yang menyimpang dari hal-hal yang sudah digariskan Bapak.

Komunikasi yang cukup intensif akhirnya membuat saya merasa bahwa beliau adalah seorang ayah bagi saya. Seorang ayah spiritual lintas benua—sebagaimana Ruslan memperlakukan Bapak Muhammad Subuh bagi beliau sendiri.

Ruslan-lah yang terus menerus memotivasi saya untuk rajin dan tekun Latihan Kejiwaan. Sebagai muslim yang taat, bagaimanapun, beliau tidak mempermasalahkan saya yang berterus terang kepada beliau bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan tidak memeluk agama apapun. Ketika saya krisis, merasa diri seorang Buddhis, pun beliau tidak menilai hal itu buruk. “Apapun jalan yang kamu pilih, jalankan sebaik-baiknya dengan tetap mengikuti bimbingan Tuhan,” tulis Ruslan dalam komentarnya kepada saya di Facebook.

Ruslan tidak keberatan ketika saya menyatakan bahwa beliau saya anggap seperti ayah saya sendiri. Beliau hanya mengingatkan bahwa diri beliau bukanlah manusia yang sempurna; beliau memiliki banyak kesalahan dalam hidupnya. Justru saya senang dengan kejujuran beliau. “Saya banyak belajar dari kesalahan, Ruslan. Saya tidak menghargai orang yang tidak pernah berbuat salah, karena orang seperti itu tidak manusiawi.”

Ruslan sering berbagi cerita tentang grup Subud di Malawi, Afrika Timur, yang beliau rintis. Berawal dari satu orang, grup itu kini telah berkembang pesat dengan keanggotaan mencapai seratusan. Meski sudah berumur dan acap terganggu kesehatannya, beliau tetap rutin terbang dari AS ke benua Afrika untuk mengunjungi grup itu dan tinggal berbulan-bulan di Malawi.

Suatu pengalaman ajaib dan lucu pernah saya lalui terkait kepergian Ruslan ke Malawi. Bulan September 2015, Ruslan menghubungi saya melalui Facebook Messenger untuk meminta tolong dikirimi 22 karton rokok kretek Indonesia yang beliau sukai, Djarum Super 16, karena beliau akan ke Malawi dan tinggal di sana selama empat bulan. Saya menyanggupinya.

Karena mengirim rokok dalam jumlah banyak ke Amerika Serikat tidak memungkinkan, lantaran undang-undang bea cukai yang amat ketat, Ruslan meminta saya untuk mengirimkannya ke Malawi. Beliau mentransfer uang senilai Rp15 juta ke saya via Western Union. “Ambil sisanya untuk kamu,” tulis Ruslan dalam pesan Facebook Messenger-nya.

Berbekal uang itu, saya mendatangi sejumlah toko kelontong di lingkungan rumah saya hingga terkumpul 22 karton Djarum Super 16. Saya kemas dalam kardus besar yang dibungkus dengan rapi dan saya bawa ke cabang DHL terdekat rumah saya di Jakarta Selatan.

Waktu itu jam sebelas malam dan kantor DHL sepi, hanya saya pelanggan yang datang. Seorang petugas menerima paket saya. Dia menanyakan apa isinya. Tanpa ragu—karena saya tidak tahu apapun mengenai peraturan pengiriman barang ke luar negeri—saya jawab, “Rokok, 22 karton.”

Si petugas tidak mempermasalahkan, sehingga saya mengira bahwa UU di Indonesia tidak melarang pengiriman rokok dalam jumlah besar. Ia membuka kardus yang saya bawa untuk memindahkan berbungkus-bungkus rokok itu ke kardus berlogo DHL dan mengemasinya kembali. Ia memberi saya resi pengiriman, yang mencantumkan harga yang harus saya bayar, yang menyisakan Rp4 juta. Saya kemudian pulang.

Lima hari kemudian, Ruslan mengabari saya bahwa paket sudah sampai alamat di Malawi dalam keadaan utuh.

Tahun 2016, kembali Ruslan meminta bantuan saya untuk mengirim 18 karton rokok Djarum Super 16 ke Malawi karena beliau akan ke sana lagi. Kali ini saya tidak menyanggupinya karena saya sedang disibukkan oleh proyek branding dari klien saya. Saya menawarkan E, seorang anggota Subud Jakarta Selatan, yang saya rasa bakal cocok dengan Ruslan (paling tidak, karena E juga mengisap Djarum Super dan fasih berbahasa Inggris). Bagi Ruslan, tidak menjadi soal siapa yang membantunya, yang penting 18 karton rokok bisa terkirim ke Malawi sesuai harapannya. E pun mulai bekerja, mengumpulkan 18 karton rokok dan membawanya ke DHL Pasarminggu (sama dengan tempat pengiriman 22 karton sebelumnya oleh saya).

E mem-WhatsApp saya bahwa dirinya mengalami kendala dalam pengiriman. Pihak DHL menolak barang yang akan E kirimkan, karena ada undang-undang yang melarang pengiriman rokok lebih dari satu setengah karton per hari. Lucunya, UU itu telah berlaku sejak 2013—yang artinya saya seharusnya terkena larangan itu ketika mengirimkan 22 karton pada tahun 2015.

E berargumentasi bahwa sebelumnya ada temannya (yaitu saya) yang pernah mengirim 22 karton ke alamat yang sama dan oleh petugas DHL Pasarminggu diperbolehkan. Tidak percaya dengan argumen E, si petugas meminta resi pengiriman pada tanggal saya mengirimkan 22 karton itu. E lantas menghubungi saya, meminta saya me-WhatsApp foto resinya, yang kemudian segera saya lakukan.

Betapa terkejutnya si petugas DHL ketika melihat foto resi yang saya kirim ke E. Pasalnya, nama petugas yang tercantum pada resi tersebut adalah milik petugas yang menolak melayani E lantaran adanya UU tersebut!

Berpedoman pada UU tersebut, akhirnya E tiap hari mendatangi DHL untuk mengirim satu setengah karton hingga seluruh 18 karton terkirim. Dan hal itu menimbulkan biaya besar.

Ketika saya menceritakan hal itu kepada Ruslan, beliau berkomentar, “Itulah, makanya saya hanya minta bantuan kamu. Kamu punya kekuatan spiritual yang E belum punya.”

Saya memiliki cukup banyak kenangan dengan Ruslan Moore yang belum pernah saya temui secara langsung, melebihi saudara-saudara Subud Indonesia yang sebaliknya pernah bertemu beliau.

Saya ingat beberapa tahun lalu Ruslan menawarkan ke saya bilamana saya mau menjadi pembantu pelatih, beliau akan minta ke Ibu Rahayu. Saya bertanya-tanya pada saat itu, seberapa dekat Ruslan dengan Ibu sampai beliau bisa meminta ke Ibu untuk suatu tugas di Subud yang membutuhkan tanggung jawab yang besar.

Beliau merasa saya sudah pas untuk menjadi pembantu pelatih karena menurut beliau saya selalu jujur dengan penerimaan saya. Saya menolak tapi Ruslan mendesak agar saya melakukan testing dulu. Beliau memberi saya tiga pertanyaan terkait tingkat penyerahan diri saya dan bagaimana Latihan saya. Kami berdua melakukan testing itu, Ruslan di Fort Lauderdale, Florida, dan saya di Jakarta.

Saya menerima bahwa saya belum siap, begitu pula penerimaan Ruslan. Tapi beliau menambahkan, “Tuh kan, kamu jujur dengan penerimaanmu. Itu salah satu tanda dari pembantu pelatih yang baik."

Obrolan-obrolan kami, terutama dalam kejiwaan, banyak menginspirasi saya untuk “kembali ke Bapak”, menelusuri dan mempraktikkan Subud yang orisinal, yang dewasa ini meluntur karena kurangnya kepedulian pembantu pelatih untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi mereka secara bertanggung jawab sebagai “pembantu Bapak” yang sesungguhnya. Setiap kali berkomunikasi, kuat sekali saya rasakan vibrasi kehangatan seorang ayah kepada anaknya yang terpancar dari diri Ruslan. Hal ini menumbuhkan kerinduan yang besar pada diri saya untuk bertemu muka dengan sang ayah spiritual lintas benua.

Pesan WhatsApp Ruslan ke saya pada 6 Agustus 2023, membahas bagaimana bila ia meninggal.


“Jika Tuhan menghendaki, Arifin, dan kamu ikhlas, keinginanmu akan terwujud,” tulis Ruslan dalam pesan WhatsApp beliau. Saya pun menunggu penuh harap akan hari pertemuan itu.

Namun yang datang ke saya pada 28 Oktober 2024 pukul 08.04 (Waktu Indonesia Barat) adalah pesan WhatsApp dari satu saudara Subud asal Indonesia yang tinggal di Gainesville, Florida, AS, bahwa Ruslan Moore wafat pada hari Senin, 28 Oktober 2024, pukul 4.05 pagi US Eastern Standard Time. Selamat jalan, Ayah. Engkau akan selalu kurindukan sampai saatku pun tiba untuk kembali kepada Sang Pencipta.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 29 Oktober 2024

Wednesday, October 23, 2024

Pengampunan, Bermil-Mil Jauhnya

SEBAGAI orang yang lahir dan besar di Jakarta, saya tidak merasa memiliki kepentingan untuk “pulang kampung”, karena bagi saya Jakarta adalah kampung saya. Setiap menjelang akhir Ramadan, karena itu, saya dan saudara-saudara kandung saya tidak terpikir untuk berdesak-desakan di stasiun kereta api, terminal bus, atau bandara, untuk memenuhi hajat kebanyakan orang Indonesia dalam menyambut Idulfitri, yaitu mudik.

Asal-usul istilah “mudik” masih simpang-siur hingga kini. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berasal dari bahasa Jawa Kuno “mudik”, dari kata “udik yang artinya “naik”, “maju (berjalan) ke hulu”, menuju ke darat. Pada zaman dahulu, sebelum di Jakarta terjadi urbanisasi besar-besaran, masih banyak wilayah yang mencantumkan kata udik (utara) atau ilir (hilir) di belakang nama wilayahnya. Beberapa wilayah masih mempertahankan nama itu hingga kini, contohnya kawasan tempat tinggal saya di Tangerang Selatan (sebuah kota di provinsi Banten, 19 mil sebelah baratdaya Jakarta) bernama Pondok Cabe Ilir.

Pada saat Jakarta masih bernama Batavia, yaitu di zaman kolonial Hindia Belanda, suplai hasil bumi untuk Batavia diambil dari wilayah-wilayah di luar tembok kota (pada mulanya, Batavia adalah nama benteng Belanda di wilayah pesisir Jakarta yang kala itu bernama Sundakalapa, dimana hanya orang Eropa boleh bertempat tinggal) di selatan. Para petani dan pedagang hasil bumi tersebut membawa dagangannya melalui sungai. Dari situlah muncul istilah “hilir-mudik”, yang artinya sama dengan bolak-balik. Mudik atau menuju udik saat pulang dari kota kembali ke ladangnya, begitu terus secara berulang kali.

Terdapat juga teori bahwa asal-usul kata “mudik” berasal dari akronim dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu “mulih dhisik”, yang berarti “pulang dahulu”. Walau belum dapat dipastikan kebenarannya, namun teori ini beredar cukup luas, terlebih di kalangan masyarakat Jawa.

Mudik tadinya identik dengan para perantau atau pekerja migran, yang pulang ke kampung halamannya menjelang hari raya besar keagamaan, misalnya menjelang Idulfitri, Iduladha, Natal dan Tahun Baru, serta hari-hari libur nasional yang bersambung dengan akhir pekan. Saat mudik adalah kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara di perantauan, selain tentunya juga sowan dan sungkeman dengan orang tua.

Jumlah pemudik, terutama saat menyambut Idulfitri, bisa mencapai jutaan orang dalam beberapa minggu menjelang Idulfitri. Terminal bus, stasiun kereta api dan bandara yang dipadati calon penumpang menjadi pemandangan yang lumrah. Juga jalan-jalan raya yang diantre barisan kendaraan roda empat yang mengular bermil-mil panjangnya. Hal itu menunjukkan betapa penting makna mudik bagi masyarakat Indonesia. Dahulu, di era Orde Baru Presiden Soeharto, ketika manajemen moda transportasi umum masih di bawah standar, para pemudik harus rela menderita secara fisik dan mental untuk dapat memenuhi keinginan pulang ke kampung halaman. Penumpang rela duduk di atap kereta api atau bergelantungan di pintu kereta atau berpegangan erat pada pagar lokomotif. Dan itu hanya untuk meminta maaf secara lahir dan batin kepada sanak saudara di kampung!

Kedua orang tua saya bukan asli Jakarta. Ayah saya berasal dari sebuah kota kecil di kaki Gunung Slamet di Jawa Tengah, bernama Purwokerto. Ibu saya kelahiran Langsa di provinsi Aceh, dibesarkan di Meulaboh, juga di Aceh, dan melewati masa remaja hingga dewasa di Medan, yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara. Hanya pada musim liburan sekolahlah saya dan saudara-saudara kandung saya dibawa orang tua kami ke Purwokerto atau ke Medan. Tidak pernah mereka memboyong kami mudik ke kampung halaman masing-masing untuk berlebaran dengan para tetua di sana.

Bagi orang tua saya, tidak perlu mudik, karena selain selama musim mudik sulit mendapatkan tiket kereta api atau bus atau pesawat serta berjubelnya calon penumpang di stasiun, terminal, dan bandara, mereka merasa Jakarta sudah menjadi “kampung permanen” mereka. Apalagi ayah saya, sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara, secara tradisi Jawa merupakan orang yang dituakan, yaitu orang yang selama Idulfitri mendapat privilese untuk dikunjungi oleh keluarga yang orang tuanya tergolong lebih muda dari beliau.

Kebiasaan mudik baru saya alami setelah saya menikah dengan istri saya. Istri saya sejak lahir hingga dewasa tinggal di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta dan merupakan ibukota dari provinsi Jawa Timur. Letaknya yang berjarak lebih dari 500 mil di sebelah timur Jakarta, membuat kepulangan ke Surabaya, terutama dengan kereta api atau bus yang memakan waktu lebih lama daripada dengan pesawat terbang, layak disebut “mudik”. Surabaya sendiri bukanlah kampung dalam pengertian kata itu. Surabaya adalah salah satu dari empat kota pusat utama di Indonesia, bersama Jakarta, Medan, dan Makassar. Surabaya telah menjadi salah satu kota pelabuhan perdagangan tersibuk di Asia. Orang yang terbiasa hidup di tengah kemegahan kota metropolitan Jakarta, seperti saya, akan merasa Surabaya sama saja dengan ibukota Republik Indonesia itu.

Namun, Surabaya hanyalah sebuah titik awal dari perjalanan mudik saya dan keluarga inti saya. Dari sana, ibu mertua saya akan mengajak kami melakukan mudik ke sejumlah daerah di Jawa Timur, terutama ke Kediri dan Blitar, tempat ibu mertua saya melalui masa mudanya. Di kedua kota itu bertebaran para kerabat beliau, sebagian yang bahkan istri saya tidak mengenal nama mereka melainkan panggilan mereka menurut hierarki keluarga besar, seperti eyang kakung (kakek), eyang putri (nenek), mas (kakak laki-laki/kata sapaan hormat untuk laki-laki Jawa), atau mbak (kakak perempuan/kata sapaan hormat untuk perempuan Jawa).

Tidak terlalu masalah sebenarnya jika Anda tidak mengenal siapa yang Anda jumpai saat kunjungan sosial dalam rangka Idulfitri itu, yang penting Anda mengulurkan kedua tangan untuk bersalaman dengan tuan rumah dan keluarganya sambil meminta pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah Anda buat, baik secara lahir maupun batin. Kepada orang-orang yang secara usia sudah uzur, permintaan maaf dilakukan mereka yang lebih muda dengan sungkem.

Bagi orang asing, tradisi ini mungkin membingungkan—bagaimana mungkin kita telah berbuat salah terhadap seseorang yang belum tentu kita pernah bertemu dengannya sebelumnya. Anda mungkin merasa tidak pernah berbuat salah pada orang yang tergolong asing bagi Anda, tetapi bukan itu masalahnya. Dalam tradisi Jawa, permintaan maaf secara lahir dan batin pada penutup bulan Ramadan atau selama Idulfitri pada hakikatnya menyalurkan keterhubungan kita dengan leluhur kita. Tindakan meminta maaf itu melambangkan bahwa kita mewakili para leluhur yang sudah tiada untuk mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa mereka semasa hidupnya. Pengampunan itu sangat bernilai bagi semua orang, tak peduli berapa mil jarak yang harus ditempuh.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2024