SEBAGAI warga Jakarta Selatan, saya sudah sejak remaja mengetahui keberadaan sebuah kompleks perumahan di Jalan RS Fatmawati yang dinamai Wisma Subud. Tetapi kala itu saya tidak mempedulikannya karena saya tidak memiliki kepentingan apapun dengan Subud. Saya baru dibuka Maret 2004 dan baru pertengahan tahun 2005 saya mengunjungi Wisma Subud Cilandak, menyusul kepindahan saya ke Jakarta (lebih tepatnya “kembali ke kampung halaman”, karena saya lahir dan dibesarkan di Jakarta) setelah tinggal lima tahun di Surabaya, ibukota provinsi Jawa Timur di mana saya menemukan Subud.
Para anggota Subud luar negeri menyebutnya Wisma Subud karena itulah Wisma Subud yang pertama kali ada. Tampaknya tidak banyak anggota Subud luar negeri yang tahu bahwa semua rumah Subud di berbagai kota di Indonesia pun disebut “Wisma Subud”, dengan diimbuhi nama kota di belakangnya; misalnya “Wisma Subud Medan” terletak di kota Medan, ibukota provinsi Sumatera Utara. Sehingga jika Anda bertanya kepada anggota Subud Indonesia mengenai lokasi Wisma Subud, mereka akan bertanya balik, “Wisma Subud yang mana?”
Dalam
bahasa Inggris, kata “wisma” dan “rumah” sama-sama diterjemahkan sebagai “house”, sedangkan dalam bahasa Indonesia
pengertiannya berbeda. “Rumah” mengacu pada unit bangunan tunggal untuk hunian
satu orang atau satu keluarga. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, “wisma”
adalah bangunan untuk tempat tinggal, kantor, dan sebagainya. Wisma oleh
kamus itu juga diartikan kumpulan rumah, kompleks perumahan, atau pemukiman.
Wisma Subud mengacu pada pengertian kedua.
Di satu kota atau kabupaten hanya boleh ada satu cabang. Cabang membawahi satu atau lebih ranting dan kelompok. Jika di sebuah kota/kabupaten jumlah anggotanya kurang dari setengah anggota cabang, bisa saja perkumpulan Subud setempat berstatus ranting, yang administrasinya dikelola oleh cabang di kota/kabupaten terdekat.
Berbeda dengan keorganisasian Subud di luar negeri, dengan grup-grup tersebar tanpa batas wilayah administrasi, sehingga satu kota atau kabupaten bisa memiliki lebih dari satu grup, di Indonesia memiliki hierarki dengan cabang (branch) di strata teratas, disusul ranting (sub-branch) dan kelompok (small group) yang ditentukan oleh jumlah anggotanya. Jumlah 100 anggota membentuk cabang, 25 hingga 50 membentuk ranting, sedangkan kelompok biasanya lebih sedikit daripada 20 orang.
Wisma Subud Purwokerto di pinggiran kota Purwokerto di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, diresmikan oleh almarhum Pak Haryono Sumohadiwidjojo pada 17 Desember 2005.
Wisma Subud di Indonesia hanya terdapat di tingkat cabang, dan biasanya merupakan bangunan permanen yang dinyatakan sebagai aset dari PPK Subud Indonesia, yang tidak dapat dipindah-pindah, kecuali telah terjadi pengalihan karena sesuatu dan lain hal, misalnya telah dibeli oleh pihak lain yang bukan anggota atau organisasi Subud. Ranting dan kelompok biasanya mengadakan Latihan terjadwal atau tidak terjadwal di rumah pembantu pelatih atau anggota yang bersedia rumahnya dijadikan tempat Latihan.
Seperti telah saya tulis di muka, semua Wisma Subud di Indonesia mencantumkan nama kota/kabupaten, di mana wisma berlokasi, di belakangnya. Wisma Subud yang pertama, di Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan, lebih populer di kalangan anggota Subud Indonesia sebagai “Wisma Subud Cilandak”, karena berlokasi di Kecamatan Cilandak di Jakarta Selatan. “Cilandak” dalam bahasa Sunda berarti “sungai landak”. Kabarnya, nama “Cilandak” berasal dari ditemukannya seekor landak raksasa di daerah tersebut, dan karena kecamatan ini dilalui oleh Sungai Krukut di tepi timur serta Sungai Pesanggrahan dan Sungai Grogol di tepi baratnya maka jadilah nama daerah tersebut “Cilandak”.
Wilayah Kecamatan Cilandak baru eksis pada tahun 1974 sebagai pemekaran dari wilayah Kecamatan Kebayoran Baru, sebuah wilayah pemukiman baru yang dirancang pada tahun 1948. Kebutuhan pemukiman cukup mendesak karena Jakarta memerlukan banyak fasilitas publik dalam kedudukannya sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan Indonesia. Konsep yang digunakan adalah “kota taman”, sebuah konsep yang dipakai dalam banyak pengembangan properti modern. Dalam konsep ini, ruang terbuka hijau sebagai ruang milik publik mendapat perhatian khusus.
Pada tahun 1977, Cilandak mengalami pemekaran menjadi dua kelurahan: Cilandak Barat dan Cilandak Timur. Wisma Subud yang pertama berlokasi di Cilandak Barat. Meski sempat dikenal dengan kisah landak raksasa, Cilandak kini telah bertransformasi menjadi tempat nongkrong hits anak muda Jakarta Selatan.
Bentuk
Penghargaan
BARU-baru ini, seorang anggota baru wanita dari Cabang Jakarta Timur bercerita ke saya bahwa satu pembantu pelatih wanita di Cabang Jakarta Selatan (Cilandak) tidak tahu keberadaan Wisma Salim dan bertanya apakah itu Subud atau bukan. Suami si anggota baru melalui masa kandidatannya hingga dibuka di Wisma Salim, oleh pembantu pelatih Subud resmi, tetapi karena si pembantu pelatih wanita tampaknya kurang pergaulan ia kebingungan dengan nama Wisma Salim maupun nama-nama para pembantu pelatih yang membuka suami dari si anggota baru.
Wisma Salim adalah satu-satunya wisma Subud di Indonesia yang tidak menggunakan nama “Wisma Subud”, namun itu adalah wisma Subudnya Cabang Jakarta Timur yang keberadaannya sudah lama—melampaui usia keberadaan pembantu pelatih wanita tersebut di atas di Subud. Mengapa dinamai Wisma Salim adalah karena orang yang menyumbangkan rumahnya untuk wisma Subud itu bernama Salim, dan penamaan itu adalah sebagai bentuk penghargaan kepadanya.
Belakangan, mungkin agar tidak membingungkan anggota yang belum pernah ke Wisma Salim, diimbuhi kata “Subud” di belakangnya, menjadi Wisma Subud Salim, atau “Wisma Subud Jakarta Timur”.
Penampungan Orang
Krisis
MENURUT seorang pembantu pelatih senior Rungansari, dalam pesan WhatsApp-nya ke saya pada 29 Oktober 2024 lalu, dahulu Bapak menyatakan bahwa kompleks Wisma Subud (Cilandak) merupakan tempat penampungan anggota-anggota yang krisis. Siapapun dia dan dari mana pun dia, anggota luar negeri atau Indonesia, jika datang ke Wisma Subud lalu krisis, dia wajib ditangani oleh pembantu pelatih yang tinggal di kompleks. “Karena itu, penghuni kompleks Wisma Subud Cilandak itu 80 persen adalah pembantu pelatih,” tulis si pembantu pelatih Rungansari dalam pesan WhatsApp-nya.
Dahulu,
di Wisma Indonesia, sebuah bangunan fungsional di bagian belakang kompleks
Wisma Subud Cilandak, dibuatkan satu kamar khusus (No. 4) untuk menampung
anggota yang mengalami krisis kejiwaan yang berat. Jendelanya berjeruji besi,
pintunya dirangkap kayu jati tebal yang tahan terhadap pukulan supaya tidak
pecah. Langit-langit kamar diberi papan tebal dua rangkap supaya tidak pecah
bila dicoba dihancurkan oleh anggota yang krisis—seperti yang sering terjadi
saat itu.
Wisma Indonesia pada tahun 1979. Foto
milik Matthew des Tombe.
Sekarang, kamar itu sudah tidak ada, mungkin karena dianggap sekarang jarang anggota yang mengalami krisis berat seperti dahulu. Anggapan itu terdengar aneh bagi para helper senior, karena bila anggota tidak pernah krisis atau krisisnya berderajat ringan itu artinya Latihannya tidak tembus. Salah satu penghuni lama Wisma Subud Cilandak, Harris Roberts, pernah bercerita ke saya, bahwa dahulu anggota krisis yang berkeliaran di kompleks dan membuat kekacauan yang meresahkan merupakan pemandangan yang lumrah. Harris lantas bertanya, mengapa dewasa ini tidak pernah lagi ada anggota yang krisisnya sedemikian parah.
“Karena anggota dan PP sekarang pengecut, Pak!” kata saya. “Dulu, mereka berani menerima dan mengikuti penerimaan mereka... Receive and follow. Sekarang, jarang yang mau begitu. Terlalu khawatir dengan dampaknya jika disangkutkan dengan kebutuhan materi mereka.”
Harris mengangguk sambil tersenyum. “Ya, mungkin itu alasannya.”
Selama
pandemi Covid-19, mulai pertengahan Maret 2020 hingga beberapa bulan pertama tahun
2022, Hall Latihan Cilandak ditutup berdasarkan keputusan para koordinator
Dewan Pembantu Pelatih Daerah Jakarta Selatan dan pengurus Cabang Jakarta
Selatan. Latihan dipindah ke rumah masing-masing anggota, dilakukan secara
bersama-sama tapi dari jarak jauh pada hari dan jam yang sama. Sejumlah
anggota, terutama yang baru dibuka, mengeluhkan kenyataan bahwa mereka tidak
bisa Latihan sendiri di rumah, sehingga akhirnya Ketua Umum Pengurus Nasional
mengupayakan Latihan bersama secara terbatas (15 orang sekali masuk ruangan)
yang bertempat di Pendopo Wisma Indonesia yang kini telah diberi dinding kaca
dan berpendingin udara.
Pendopo Wisma Indonesia pada tahun 1979. Pendopo
yang terbuka memberi ruang untuk menghirup udara segar. Foto milik Matthew des
Tombe.
Interior
Pendopo Wisma Indonesia saat ini: berdinding kaca dan berpendingin udara. Sejak
itu, akses dibatasi hanya untuk pertemuan-pertemuan resmi oleh dewan pembantu
pelatih dan Pengurus Nasional. |
Jika dahulu, Pendopo bisa diakses semua anggota, menjadi tempat anggota berkegiatan sosial serta kamar-kamar di Wisma Indonesia bisa diinapi anggota dari daerah lain yang jauh, kini Pendopo maupun Wisma Indonesia telah menjadi tempat yang “dingin dan kaku”, karena pintu akses Pendopo dikunci dan Wisma Indonesia memiliki sedikit penerangan di waktu malam, yang memberi kesan angker. Beberapa anggota dan pembantu pelatih masih suka nongkrong sepanjang malam di belakang Pendopo yang telah diberi atap, menggelar gathering kejiwaan tidak resmi sambil minum kopi dan makan camilan.
Hingga
sebelum pandemi, kompleks Wisma Subud Cilandak tergolong cukup ramai dengan
kegiatan dan lalu lalang orang maupun kendaraan. Atmosfernya juga ramah, seolah
semua pohon dan bangunan di kompleks itu tersenyum menyambut pengunjung.
Tetangga saling berkunjung dan para pejalan kaki saling menyapa merupakan
pemandangan yang biasa. Bagi orang yang belum pernah ke Wisma Subud Cilandak, mengunjunginya
kala itu serasa masuk ke taman sejuk yang memberi kesegaran baru bagi mereka
yang penat dengan kehidupan kota Jakarta yang keras. Kini, keadaan itu sudah
luntur. Saya pribadi merasa Wisma Subud Cilandak tak ubahnya kompleks pemakaman
dengan Hall Latihan sebagai mausoleum.
Atas: Hall Latihan pada pagi hari 7 Juli
2023. Bawah: Hall di malam hari 18 November 2021. Atmosfer angkernya di malam
hari memberi kesan bahwa bangunan itu merupakan sebuah mausoleum.
Tahun 2005, ketika baru kembali ke kota kelahiran saya, Jakarta, dan rutin melakukan Latihan di Hall Cilandak, saya takjub dengan betapa banyaknya anggota yang Latihan pada satu waktu. Alas kaki mereka berjejer dan mengular panjang di depan pintu masuk Hall Latihan. Saya biasa nongkrong di Teras Timur, di mana biasanya para anggota pria bergerombol memasuki hall untuk Latihan bersama. Saya ingat saat itu Latihan dibagi dua gelombang karena demikian banyaknya anggota yang ingin menghadiri Latihan bersama. Alas kaki mereka parkir mulai dari depan pintu hall terus mengular sampai depan pintu toilet pria.
Ketika saya ceritakan hal ini kepada satu anggota baru, baru-baru ini, ia terkesima tak percaya. Pasalnya, sekarang sebaliknya, hanya segelintir pasang alas kaki yang dijumpai di depan pintu. Ke mana perginya para anggota? Entahlah, tapi yang saya saksikan adalah berkurangnya jumlah pembantu pelatih yang berdedikasi penuh dalam melayani anggota, khususnya di Cabang Jakarta Selatan.
Tetangga yang Tak
Mengerti
SELAMA
ini, hanya satu rumah di kompleks yang penghuninya bukan anggota Subud. Seorang
pebisnis Indonesia yang mata rantai bisnisnya merajai industri makanan di
negeri ini. Bersama anggota tim pengurus nasional Subud Indonesia lainnya,
tahun 2010 saya berkesempatan berkunjung ke kantornya. Ia menceritakan
bagaimana ia bisa mendapat rumah di dalam kompleks “eksklusif Subud” sementara
ia dan keluarganya bukan anggota Subud. Meskipun bukan anggota Subud, ia memiliki
familiaritas yang cukup tentang apa itu Subud. Ia menghargai bilamana
lingkungan tempat tinggalnya ramai oleh banyak anggota yang datang ke Wisma
Subud pada jadwal-jadwal Latihan—dan ada banyak pula anggota yang tidak tahu
bahwa di kompleks itu bertempat tinggal keluarga non Subud.
Guest House pada tahun 1979. Foto milik
Matthew des Tombe.
Namun, belakangan semakin banyak penghuni kompleks yang bukan anggota Subud dan tidak mengerti apa itu Subud. Bagaimanapun, Yayasan Subud, yaitu pihak yang dipercayakan Asosiasi Subud Dunia (WSA) untuk mengelola Wisma Subud Cilandak, tampaknya lebih mengutamakan kepentingan mereka ketimbang anggota. Kini, nongkrong sampai jauh malam di teras hall Latihan tidak diperbolehkan, dan akan ada tetangga yang tidak mengerti akan memprotesnya bila dibiarkan. Kini pula, anggota sekuriti yang bukan anggota Subud akan segera mengunci pintu hall begitu dilihatnya hall dalam keadaan kosong pada malam hari, meskipun jam tutup hall belum tiba. Tentu saja ini merugikan anggota yang datang dari daerah lain dan membutuhkan waktu untuk menerobos lalu lintas Jakarta yang padat untuk sampai di Wisma Subud Cilandak, karena begitu mereka tiba hall sudah dikunci dan lampu-lampu teras sudah dimatikan!
Bagi
yang pernah mengalami Wisma Subud Cilandak di masa lalu akan bertanya bagi
dirinya sendiri: Di mana Wisma Subud sekarang?©2024
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 1 November 2024