Sunday, December 21, 2025

Kekuatan Untuk Mengubah Hidup

“TUA itu pasti, dewasa itu pilihan,” merupakan kutipan yang kerap berseliweran di grup-grup WhatsApp alumni sekolah-sekolah dimana saya pernah mengenyam pendidikan, baik di tingkat prasekolah, dasar, menengah dan tinggi.

Dan teman-teman saya, dengan kesadaran akan ke-tua-an mereka, cenderung melekatkan pada diri mereka persepsi tentang usia tua, yaitu penyakit(an), membekali diri menyambut akhir hayat, dan kemampuan fisik yang berkurang secara signifikan. Padahal penyakit, maut dan kemampuan fisik tidak ada hubungan dengan usia.

Usia memang konsep yang multifaset: secara biologis dan administratif (angka), usia adalah hitungan waktu sejak lahir yang memengaruhi kematangan fisik dan kognitif; tetapi secara psikologis, sosial, dan potensi, usia sering dianggap hanya konsep atau “angka” karena tidak sepenuhnya menentukan kemampuan, kebijaksanaan, atau kualitas hidup seseorang, yang lebih tergantung pada pola pikir, pengalaman, dan tindakan. 

Saya mempelesetkan kutipan di atas menjadi “fisik menjadi tua itu pasti, tapi menjadi muda terus itu pikiran.”

Kalimat “Kamu akan menjadi seperti apa yang kamu pikirkan” (Buddha Gautama) atau “Hati-hati dengan apa yang kamu pikirkan, karena itu jadi kenyataanmu” (Plato), menegaskan bahwa pikiran kitalah yang akan membentuk realitas, tindakan, kebiasaan, karakter, bahkan takdir kita. Pikiran positif mengarah ke hasil positif dan pikiran negatif ke sebaliknya, melalui mekanisme psikologis seperti self-fulfilling prophecy, yang perlu dikelola dengan sadar agar hidup lebih baik dan sukses. 

Pada dasarnya, kedua kalimat di atas adalah pengingat kuat bahwa kita memiliki kekuatan untuk mengubah hidup dengan mengendalikan dan mengarahkan kekuatan pikiran kita ke arah yang lebih positif dan produktif. 

Pikiranlah yang terus-menerus membentuk persepsi kita tentang dunia, memengaruhi emosi, keputusan, dan tindakan sehari-hari. Pikiran Tindakan Kebiasaan Karakter Takdir, ini adalah alur logisnya. Apa yang kita pikirkan keluar jadi ucapan, lalu tindakan berulang menjadi kebiasaan, kebiasaan membentuk karakter, dan karakter menentukan takdir.

Keyakinan kita (misalnya, takut gagal) bisa memicu tindakan yang justru menyebabkan kegagalan itu terjadi. Pikiran negatif dan stres bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh, sementara optimisme bisa memperkuatnya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 21 Desember 2025

Thursday, December 18, 2025

Perdukunan 2.0

 

Poster film Dukun Magang, sebuah film horor-komedi Indonesia yang baru saja dirilis pada November 2025 lalu. Industri film Indonesia terus memanfaatkan obsesi masyarakat—terutama di kalangan Gen Z—terhadap tema-tema yang berpusat pada horor dan perdukunan. 

MENJELANG akhir tahun 2005, saya menyertai seorang pembantu pelatih senior dari Cabang Jakarta Selatan yang diundang untuk mengunjungi Cabang Probolinggo, Jawa Timur. Seorang pembantu pelatih yang lebih muda juga ikut bersama kami. Kami tidak langsung menuju Probolinggo; melainkan terbang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Jakarta ke Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo, yang berjarak sekitar 18,5 kilometer dari pusat kota Surabaya, ibu kota Jawa Timur. Kami menginap semalam di Surabaya, yang memberi kami kesempatan untuk memenuhi undangan dari Cabang Surabaya—cabang yang sama di mana saya menyelesaikan kandidatan saya sebelum akhirnya dibuka.

Malam itu di Hall Surabaya, pembantu pelatih senior dari Cabang Jakarta Selatan tersebut diminta untuk memberikan ceramah, yang kemudian dilanjutkan dengan gathering kejiwaan. Beliau memiliki kekayaan pengalaman dan bakat alami dalam berkomunikasi; orang-orang sangat menyukai beliau dan selalu menantikan kunjungan beliau ke cabang-cabang mereka. Pemahaman beliau tentang kejiwaan sungguh mendalam, menjangkau jauh melampaui konteks standar Subud. Beliau wafat pada tahun 2010. Setelah dibuka pada tahun 1972, beliau sebenarnya sempat meninggalkan Subud setelah hanya tiga tahun melakukan Latihan—sebuah episode dalam perjalanan spiritual beliau yang beliau sebut sebagai “masa pembersihan”.

Selama masa vakumnya dari Subud, beliau menjadi seorang dukun, “mewarisi” kemampuan dari ayah beliau yang kabarnya adalah seorang dukun sakti. Menariknya, beliau tidak diperkenalkan ke Subud oleh ayah beliau, melainkan oleh seorang paman yang telah membesarkan beliau sejak kecil. Setelah sepuluh tahun mempraktikkan perdukunan, beliau akhirnya kembali ke pangkuan Subud.

Beliau membagikan kisah ini dalam pertemuan dengan para anggota di Surabaya malam itu, pada tanggal 30 Desember 2005. Cerita beliau memicu seorang pembantu pelatih wanita untuk bertanya, “Apakah benar anggota Subud tidak bisa disantet?”

“Siapa bilang?” jawab pembantu pelatih senior itu. “Tentu saja bisa!”

Pembantu pelatih wanita itu terperanjat. Selama ini, ia selalu mendengar dari pembantu pelatih lain, para anggota, bahkan dalam ceramah-ceramah Bapak dan Ibu Rahayu bahwa kekuatan gelap atau “daya setaniah” tidak dapat menyentuh anggota Subud. Pembantu pelatih senior itu tertawa terbahak-bahak sebelum melanjutkan, “Maksud saya, kecuali anggota Subud yang sabar, tawakal, dan ikhlas.”

Gathering malam itu menjadi semarak ketika diskusi beralih ke topik perdukunan dan masalah mixing. Di Indonesia, perdukunan bukanlah hal yang asing atau tidak lazim. Dahulu, pada masa-masa awal Subud, banyak anggota yang terlibat dalam “pengobatan alternatif”, yang oleh masyarakat Indonesia umumnya dikategorikan sebagai “pekerjaan dukun”. Pada masa itu, orang-orang di luar Subud bahkan menyebut Bapak sebagai seorang dukun karena beliau melakukan praktik penyembuhan, meskipun beliau dengan ketat memegang teguh prinsip “mengikuti petunjuk Tuhan” melalui pembukaan (asalkan pasien menerima tawaran tersebut, seperti yang terjadi pada Prio Hartono).

Salah satu bibi saya, yang tahu bahwa saya telah masuk Subud, membagikan kisah beliau saat diobati oleh Pak Subuh. Beliau pindah ke daerah Pondok Labu, dekat Wisma Subud di Cilandak, pada tahun 1979. Sebenarnya tetangga beliaulah yang menyarankan agar beliau pergi menemui “orang pintar” di Wisma Subud bernama Pak Subuh untuk mencari kesembuhan atas penyakitnya. Bibi saya akhirnya memang sembuh, tetapi beliau sendiri tidak pernah masuk Subud. Bahkan, ketika putri bungsunya menyatakan minat untuk masuk, bibi saya dan suami beliau tidak mengizinkannya. “Islam sudah cukup,” kata putri beliau kepada saya, menjelaskan alasan orang tuanya.

Di Indonesia, khususnya dalam lingkaran tradisional, perdukunan memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini—terutama sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 90-an—bukan hal yang aneh bagi orang Indonesia modern untuk menggantungkan harapan mereka pada dukun. Para praktisi ini telah melakukan pencitraan ulang (rebranding) yang modern; mereka tidak lagi berpakaian tradisional atau menggunakan gelar kuno. Alih-alih menyebut diri mereka dukun atau orang pintar, mereka kini memasarkan diri sebagai “inspirator” atau “mindset coach”.

Kelestarian perdukunan di Indonesia merupakan perpaduan kompleks antara warisan budaya yang berakar dalam, kebutuhan psikologis akan kepastian, dan terbatasnya akses ke lembaga-lembaga formal.

Sejarah Indonesia berjangkar pada kepercayaan animisme, dinamisme, serta pengaruh Hindu-Buddha yang telah ada jauh sebelum penyebaran agama-agama Abrahamik. Warisan ini membentuk kepercayaan masyarakat terhadap “orang pintar”, terutama karena praktik-praktik tersebut sering kali diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga. Dukun dipandang sebagai penjaga kearifan lokal, yang menyeimbangkan dunia manusia dengan alam gaib. Di banyak wilayah di tanah air, para praktisi—seperti dukun bayi atau tetua adat—memiliki kedudukan sosial yang bergengsi dan dianggap sebagai pemimpin masyarakat.

Pada tahun 2016, saat melakukan perjalanan ke pelosok sebuah daerah di Jawa Tengah untuk menyelidiki mengapa masyarakat setempat menolak pembangunan pabrik semen baru, saya bertemu dengan beberapa warga yang mengaku bahwa mereka sangat ketakutan terhadap seorang preman lokal yang dijuluki “Dukun Sakti”. Ketakutan ini memaksa mereka untuk mematuhinya daripada mengambil risiko menjadi sasaran ilmu hitamnya. Alhasil, mereka memberikan dukungan penuh terhadap penolakannya atas pembangunan pabrik semen di daerah mereka.

Berkat bantuan seorang pembantu pelatih dari cabang Subud setempat, saya berhasil menemui sang “dukun sakti” ini di rumahnya dan mewawancarainya selama dua jam. Saya memperhatikan bahwa dia sama sekali tidak memancarkan aura seorang dukun. Entah karena keseleo lidah atau hal lain, dia mengaku bahwa dia sering tampil di depan umum dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala senada karena dia yakin hal itu memproyeksikan “aura yang menakutkan”. Saya sampai pada kesimpulan bahwa dia bukanlah dukun sungguhan; dia hanya menggunakan citra tersebut untuk mengintimidasi orang—dan cara itu berhasil. Itulah realitas bagi kebanyakan orang di pelosok Indonesia: mereka mudah goyah oleh penampilan luar.

Inilah gambaran stereotip mengenai dukun yang begitu mendarah daging dalam psikis masyarakat Indonesia. Seorang anggota Subud lama di Jakarta pernah bercerita kepada saya bahwa sebelum masuk Subud, ia sering berkonsultasi dengan dukun. Ia sangat terkejut saat pertama kali bertemu Pak Subuh, yang penampilannya sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan—begitu berbedanya, hingga pada awalnya ia mengira Bapak tidak memiliki kekuatan spiritual sama sekali.

Orang sering kali berpaling ke dukun saat menghadapi frustrasi sosial atau tekanan hidup yang hebat. Banyak yang mencari “jalan pintas” tanpa proses panjang—baik itu untuk kekayaan, asmara, maupun kenaikan jabatan. Mengunjungi dukun memberikan rasa tenang atau “kepastian semu” bagi mereka yang sedang berada di tengah krisis kesehatan, keuangan, atau hubungan.

Pada tingkat praktis, dukun sering kali menjadi pilihan utama karena mereka lebih mudah dijangkau daripada sistem formal. Dibandingkan dengan biaya rumah sakit yang mahal atau konsultasi hukum yang rumit, jasa dukun dipandang lebih terjangkau atau berbasis sistem “bayar seikhlasnya”. Di daerah terpencil dengan tenaga medis yang minim, dukun tetap menjadi pilihan utama untuk persalinan dan layanan kesehatan umum.

Bahkan dalam politik Indonesia—mulai dari pemilihan gubernur hingga pemilihan kepala desa—banyak kandidat yang masih menyewa jasa dukun untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka atau untuk berfungsi sebagai “perisai spiritual” terhadap serangan lawan-lawan mereka.

Di hadapan modernisasi yang pesat dan banjir informasi yang tak henti-hentinya, perdukunan di Indonesia tidaklah memudar; melainkan bertransformasi dan menemukan relevansi jenis baru. Dukun, yang dulunya hanya dikaitkan dengan ritual mistis di desa-desa terpencil, kini tampil dengan gaya kontemporer. Mereka memainkan peran yang semakin signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan di kalangan elit perkotaan dan kaum terpelajar.

Pergeseran ini terkait erat dengan gejolak sosial dan ekonomi, terutama setelah krisis keuangan Asia 1997-1998. Ketidakpastian dan tekanan hidup telah mendorong banyak orang untuk mencari dukungan dan solusi di luar saluran konvensional. Di sinilah dukun modern menemukan ceruk pasar mereka. Mereka bukan lagi sekadar “orang pintar” dengan mantra-mantranya; mereka telah melakukan pencitraan ulang sebagai “inspirator”, “motivator spiritual”, atau bahkan “mindset coach” yang menawarkan perpaduan antara bimbingan psikologis dan spiritual.

Dukun modern adalah ahli dalam pemasaran dan komunikasi. Mereka memanfaatkan media sosial, situs web pribadi, bahkan tampil di media arus utama untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. Mereka menggunakan gelar profesional seperti “certified paranormal” (paranormal bersertifikat) atau “spiritual healer” (penyembuh spiritual), yang membuktikan betapa baiknya mereka beradaptasi dengan tuntutan zaman modern.

Fenomena ini menunjukkan bahwa di balik permukaan modernitas, masyarakat Indonesia tetap menjaga hubungan yang berakar kuat dengan dimensi spiritual dan metafisika. Dukun modern adalah contoh adaptasi budaya yang menarik—sebuah bukti bagaimana tradisi kuno menemukan cara untuk tetap relevan dan tetap menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam masyarakat Indonesia kontemporer.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 19 Desember 2025

Tuesday, December 9, 2025

Puisi “Percaya” dari Hein Pragt


Hein Pragt adalah seorang musisi Belanda yang kemampuannya dia peroleh dari autismenya. Pada tahun 2000, ia kembali menulis puisi di masa yang sangat sulit dan rumit dalam hidupnya sebagai motivasi bagi dirinya sendiri. Karena puisi ini telah sering dikutip dan ia telah menerima banyak tanggapan mengenainya selama dua puluh tahun terakhir, ia memutuskan untuk menempatkan puisi ini di laman terpisah dari situs Webnya, www.heinpragt.com, untuk menambahkan sedikit konteks. Puisi berikut ia terbitkan pada 8 November 2023.




Geloven                                   

Soms overdenk ik in mijn bed, wat het leven eigenlijk is, over geluk, pijn en verdriet en alles wat ik mis. Maar je ervaring maakt je sterk, en je toekomst wordt bepaald, door wat je vandaag beleeft, en uit je leven haalt.

Denk goed na over wat je wilt, en bepaal je nieuwe doelen, als je verleden kunt vergeten, dan kun je echt weer voelen. Wees oprecht en eerlijk voor jezelf, en in het algemeen, verplaats je in gevoelens van mensen om je heen.

Leer je grenzen te bewaken, en durf anders te zijn, je aan principes houden, geen water bij de wijn. Je werkelijke kracht, om gelukkig te kunnen leven, is niet bang of boos te blijven, maar berusten of vergeven.

Leer als je geluk wilt vinden, al heb je nog zo'n pijn, alsof je nooit gekwetst bent, weer verliefd te kunnen zijn. Al heb je nu veel zorgen, hou de toekomst in je hoofd, en zie dat alles mogelijk is, als je er maar in gelooft.

Hein Pragt


Terjemahannya:

Percaya

Kadang-kadang aku merenungkan di tempat tidurku, apa sebenarnya hidup itu, tentang kebahagiaan, rasa sakit, dan kesedihan dan semua yang kurindukan. Tetapi pengalamanmu membuatmu kuat, dan masa depanmu ditentukan, oleh apa yang kamu alami hari ini, dan yang kamu dapatkan dari hidupmu.

Pikirkan baik-baik tentang apa yang kamu inginkan, dan tentukan tujuan barumu, jika kamu dapat melupakan masa lalu, maka kamu benar-benar dapat merasakan lagi. Jujurlah dan tuluslah pada dirimu sendiri, dan secara umum, tempatkan dirimu dalam perasaan orang-orang di sekitarmu.

Belajarlah untuk menjaga batas-batasmu, dan berani untuk berbeda, berpegang pada prinsip-prinsipmu, jangan berkompromi. Kekuatanmu yang sebenarnya, untuk dapat hidup bahagia, adalah tidak tetap takut atau marah, tetapi pasrah atau memaafkan.

Belajarlah jika kamu ingin menemukan kebahagiaan, meskipun kamu merasa sangat sakit, untuk dapat jatuh cinta lagi, seolah-olah kamu tidak pernah terluka. Meskipun kamu sekarang memiliki banyak kekhawatiran, ingatlah masa depan di benakmu, dan lihatlah bahwa semuanya mungkin, asalkan kamu memercayainya.

Hein Pragt

Saturday, December 6, 2025

Mengikuti Arahan Latihan

SEJAK tahun lalu, saya menjadi kontributor Subud Voice untuk berita-berita atau artikel-artikel terkait Subud Indonesia. Kadang pemimpin redaksinya meminta saya menulis tentang suatu event di lingkungan Subud Indonesia. Bagi saya hal itu sangat mudah, hanya bila saya sendiri menghadirinya.

Yang tidak terlalu mudah adalah bila saya tidak menghadirinya. Masalahnya, orang Indonesia kebanyakan tidak terlalu suka membagi cerita secara tertulis, sehingga yang muncul di media sosial mereka yang menghadiri acara-acara Subud jarang sekali—jika tidak bisa dikatakan “tidak sama sekali”—berupa tulisan yang bercerita secara detail mengenai acara tersebut. Biasanya, hanya foto-foto, yang bahkan tidak mencantumkan caption.

Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa orang Indonesia mungkin tidak terlalu suka bercerita secara tertulis:

1. Indonesia memiliki tradisi lisan yang kuat, di mana cerita dan pengalaman seringkali dibagikan secara langsung melalui percakapan atau pertunjukan seni seperti wayang kulit atau teater tradisional.

2. Bahasa Indonesia memiliki struktur yang kompleks, sehingga beberapa orang mungkin merasa tidak nyaman menulis dalam bahasa yang tidak mereka kuasai sepenuhnya.

3. Menulis tidak selalu menjadi kebiasaan sehari-hari bagi banyak orang Indonesia, sehingga mereka mungkin merasa tidak percaya diri atau tidak tahu bagaimana memulai.

4. Kebanyakan orang Indonesia (anehnya, saya menemukan kecenderungan itu sangat kuat di antara anggota Subud) takut salah dan menghindari kemungkinan harus mempertanggungjawabkan suatu pernyataan. Yang terucap bisa cepat dilupakan, tetapi yang tertulis akan terus diingat, dan hal itu menakutkan seandainya pernyataannya keliru.

5. Bercerita secara terbuka tentang segala sesuatu, termasuk ketidaksetujuan, atau kegagalan, bisa dianggap mengganggu harmoni kelompok atau membuat orang lain merasa tidak nyaman. Sehingga, orang Indonesia sering memilih untuk menyimpan cerita yang berpotensi menimbulkan ketegangan.

Baru-baru ini, saya mencari cerita apapun mengenai Musyawarah Wilayah VI Subud Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, yang diselenggarakan di Bali pada 1-2 November 2025. Saya telusuri satu per satu akun Facebook dari semua anggota Subud yang berasal dari kawasan itu, terutama yang sedang menjabat sebagai pengurus atau bertugas sebagai pembantu pelatih. Yang saya temukan hanya sedikit sekali foto—semua tanpa caption yang menjelaskan apa yang terjadi dalam foto tersebut, selain tulisan “MusWil VI di Bali”.

Saya kemudian meminta keterangan ke satu pengurus cabang di Jawa Timur, melalui WhatsApp, dan dia menjawabnya dengan mengirim tautan Google Drive berisi 195 foto tanpa keterangan apapun. Anggota lainnya hanya mengirimkan PDF satu halaman surat undangan resmi mengenai acara tersebut. Saya enggan mendesak orang untuk memberikan lebih dari yang saya minta di awal, jadi baik foto-foto maupun surat undangan itu saya terima tanpa komentar lebih lanjut.

Selanjutnya, saya gunakan Latihan saja untuk memproses data yang tidak disertai rincian itu. Saya memiliki banyak sekali pengalaman dalam hal ini, puji Tuhan, termasuk salah satunya pada tahun 2008 dimana saya harus menulis naskah narasi untuk sebuah film dokumenter yang di-shoot di Papua, sedangkan saya saat itu berada di Jakarta dan tidak pula mendapatkan gambar adegan-adegannya. Naskah yang saya emailkan menimbulkan ketercengangan para kru film yang berada di Papua, pasalnya urutan narasinya sama persis dengan urutan gambar yang telah diedit secara offline!

Dengan cara yang hampir sama, saya merasakan bagaimana Latihan mengarahkan saya untuk menuliskan cerita berdasarkan foto-foto acara Musyawarah Wilayah di Bali itu, lengkap dengan atmosfer gegap gempitanya, suasana keakraban antar peserta, rapat-rapat pengurus dan pembantu pelatih. Ajaibnya, saya seperti tersedot ke momen itu, hingga dapat “mendengar” suara-suara para peserta dan keriuhan di dalam aula di saat acara pembukaan dan penutupan.

Saya membayangkan, jika semua orang yang bekerja menggunakan bimbingan Latihan, dunia ini akan menjadi lebih indah dengan karya-karya yang menyenangkan dan menenangkan.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 7 Desember 2025

Thursday, December 4, 2025

Para Penggembira

“Saya tidak tahu acara ini tentang apa, tapi yang jelas wajah saya ada di foto yang diunggah di media sosial panitia.”

~Motto Penggembira


KETIKA saya pertama kali masuk Subud pada bulan Maret 2004, saya mulai mengenal organisasi Subud Indonesia dengan menghadiri Musyawarah Wilayah (Muswil) pertama saya untuk Komisariat Wilayah VI (meliputi Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi) di sebuah daerah resor di Jawa Timur. Meskipun saat itu saya tidak terlalu tertarik dengan urusan organisasi, saya tetap menuruti saran para pembantu pelatih di cabang asal saya—Surabaya, Jawa Timur—hanya untuk merasakan seperti apa Muswil itu.

Yang memotivasi saya untuk ikut serta adalah kenyataan bahwa organisasi Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Subud, khususnya di Indonesia, merupakan ciptaan Bapak. Untuk benar-benar mengenal Subud dan Bapak, saya merasa perlu memahami “cara kerja internalnya”—organisasi yang telah memungkinkan Subud untuk tetap eksis hingga saat ini.

Muswil tersebut ternyata tidak seperti yang saya bayangkan; agenda acaranya minim urusan organisasi. Dari sekitar 200 peserta yang hadir dari Komwil VI, yang pada saat itu meliputi 18 cabang di seluruh Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi, hanya segelintir yang menghadiri sesi-sesi pengurus, karena mereka adalah delegasi cabang yang ditunjuk. Satu delegasi biasanya terdiri dari pembantu pelatih daerah pria dan wanita, ketua cabang, serta sekretaris dan/atau bendahara cabang. Sisanya, yang merupakan mayoritas peserta Muswil, adalah “penggembira”—orang-orang yang hadir hanya untuk menikmati suasana baru (karena Muswil biasanya diadakan di daerah resor) dan untuk bertemu dengan anggota dari cabang-cabang lain.

Selama dua hari Muswil VI pada Juli 2004 itu—Muswil selalu diadakan pada akhir pekan—saya menghabiskan sebagian besar waktu saya hanya berkeliling di lokasi tersebut. Saya sama sekali tidak tahu apa yang tengah berlangsung di sejumlah ruangan di hotel tempat diselenggarakannya Muswil. Saya hanya mengetahuinya kemudian, seminggu setelah Muswil, ketika buku laporan hasil Muswil dibagikan kepada siapa saja yang berminat membacanya. Lokasi Muswil itu sendiri adalah tempat wisata yang populer di Jawa Timur: Telaga Sarangan, yang terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Telaga ini menyuguhkan pemandangan indah, udara sejuk, dan beragam kegiatan seperti menunggang kuda, naik speedboat, atau sekadar menikmati kuliner lokal sambil menikmati pemandangan telaga.

Dalam konteks acara-acara Subud seperti kongres atau pertemuan pengurus dan pembantu pelatih, muncul jenis “penggembira” yang baru dan tidak terlalu buruk. Mereka adalah peserta yang datang bukan untuk mendengarkan sambutan-sambutan, menghadiri sesi-sesi teknis, atau memperoleh wawasan kejiwaan yang mendalam dari ceramah Ibu Rahayu, baik yang disampaikan langsung maupun yang direkam. Mereka datang demi suasana, jejaring, dan kesenangan murni dari kesempatan berkumpul.

 

Suasana keakraban di antara para peserta Musyawarah Wilayah III Jakarta, 6 Desember 2025 di Sekolah Cita Buana, Jagakarsa, Jakarta Selatan.


Kelompok peserta ini, yang dapat kita sebut secara santai sebagai Penggembira Acara (Event Joyriders), mungkin tidak memiliki kepentingan dalam jalannya acara, tetapi kehadiran mereka menyoroti kebenaran mendasar tentang pertemuan manusia: koneksi atau hubungan sering kali sama berharganya dengan konten atau isi acara itu sendiri.

Para Penggembira Acara Subud hadir dalam berbagai bentuk, semuanya disatukan oleh sebuah motivasi utama, yaitu pengalaman sosial di atas kebutuhan organisasi:

·        Si Kupu-Kupu Sosial (The Social Butterfly): Agenda mereka penuh sesak dengan janji temu minum kopi, rencana makan malam, dan pesta setelah jam acara resmi. Mereka adalah penghubung antar manusia, sering kali mengenal semua orang dan memperkenalkan cabang-cabang yang berbeda. Acara resmi itu sendiri hanyalah latar belakang organisasi yang nyaman untuk sirkuit sosial pribadi mereka.

·        Si Pencari “Bersenang-senang Sambil Bekerja” (The “Bleisure” Seeker): Orang ini mungkin berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan pengurus atau dewan pembantu pelatih, tetapi tujuan sebenarnya adalah perjalanan “bisnis-plus-rekreasi” (bleisure). Acara resmi adalah pembenaran mereka untuk menjelajahi tempat baru, menikmati hotel mewah, dan menerima kupon makan yang lumayan. Saya pernah menjadi jenis penggembira ini ketika menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pengurus Nasional Subud Indonesia untuk periode 2009-2011.

·        Si Peserta Kebetulan (The Accidental Attendee): Mereka ikut dibawa oleh anggota pengurus, pembantu pelatih, atau mungkin cabang mereka memiliki tiket berlebih yang harus digunakan. Mereka berkeliling di lokasi acara untuk mendapatkan barang gratis dan menikmati suasana, tetapi urusan keorganisasian sama sekali tidak mereka pahami.

·        Si Penebar Jaringan Demi Jaringan (The Networker for the Sake of Networking): Mereka mengumpulkan kartu nama seperti mengoleksi kartu dagang, dimotivasi bukan oleh tujuan bisnis tertentu melainkan lebih karena kenikmatan murni bertemu orang baru dan memperluas daftar kenalan pribadi mereka.

Meskipun mereka mungkin tidak berkontribusi pada wacana resmi Subud, para penggembira ini jauh dari kata merugikan. Faktanya, mereka secara tidak sengaja menjalankan fungsi yang krusial dan sering diremehkan: Mereka adalah pelumas sosial dalam acara tersebut. Mereka adalah yang pertama tertawa, yang memulai percakapan di sudut yang sepi, dan yang menjaga energi tetap tinggi selama gathering kejiwaan. Mereka mengubah pertemuan organisasi yang kaku menjadi pengalaman sosial yang dinamis.

 

Para peserta Musyawarah Wilayah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta (22-23 November 2025) menyempatkan diri berwisata ke Bukit Sekipan di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Dengan menghubungkan orang-orang di berbagai bagian dari pengurus Subud, badan sayap (wing bodies), atau bahkan para pembantu pelatih, para penggembira ini sering kali memicu percakapan yang paling tidak terduga dan berharga. Perkenalan santai saat rehat kopi bisa mengarah pada kemitraan di masa depan dengan lebih mudah daripada pertemuan formal yang terjadwal. Kehadiran mereka mengingatkan semua orang bahwa Subud terdiri dari manusia. Mereka menyuntikkan dosis kemanusiaan, kesenangan, dan keceriaan yang sangat diperlukan ke dalam lingkungan yang jika tidak, bisa menjadi sangat serius dan penuh tekanan.

Meningkatnya jumlah Penggembira Acara menggarisbawahi sifat evolusioner acara-acara organisasi Subud. Dalam dunia yang semakin digital, daya tarik terbesar dari acara tatap muka (in-person) bukanlah informasi (yang sering kali dapat ditemukan secara daring) melainkan koneksi IRL (in-real-life/di kehidupan nyata). Pengurus Nasional Subud Indonesia dan panitia pelaksana acara organisasi resmi yang ditunjuk olehnya sudah menyadari hal ini ketika Pengurus Nasional diketuai oleh Luthfie Hadiyin (2009-2011). Mereka sengaja menggabungkan lebih banyak elemen interaktif, menyenangkan, dan sosial—mulai dari pengalaman mendalam (immersive experiences) hingga hiburan setelah jam acara yang berkualitas—untuk menarik dan memuaskan segmen peserta yang terus berkembang ini.

Meskipun kongres-kongres Subud harus tetap menjadi platform untuk pembahasan-pembahasan yang serius dan pemecahan masalah, para penggembira membuktikan bahwa imbalan tak berwujud dari keakraban (camaraderie) dan pengalaman bersama sama pentingnya. Mereka adalah pengingat yang menyenangkan bahwa kadang-kadang, alasan terbaik untuk hadir hanyalah untuk menikmati perjalanannya saja.

 

Musyawarah Wilayah VI Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, pada 1-2 November 2025 digelar di destinasi wisata utama dunia, Bali. Tepatnya di Denpasar..


Bapak pernah menyebut acara-acara organisasi Subud, seperti Musyawarah Nasional (MuNas) dan Kongres Nasional, sebagai “kendurinya anggota”. Saya juga merasakan bahwa semua acara Subud yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan perkumpulan terasa seperti sebuah kenduri atau pesta, tempat para anggota bertemu untuk melepaskan kerinduan satu sama lain. Itulah sebabnya tidak jarang kita melihat anggota mengadakan pertemuan sampingan yang tidak resmi di sekitar lokasi acara-acara besar seperti MuNas dan Kongres.

“Kenduri” adalah pesta komunal atau ritual tradisional yang diadakan untuk berbagai tujuan, seperti mengungkapkan rasa syukur, memperingati peristiwa penting, atau mendoakan orang yang telah meninggal. Acara ini biasanya dipimpin oleh tokoh atau tetua yang dihormati dan berfungsi sebagai waktu bagi orang-orang untuk berkumpul, mempererat kebersamaan, dan memohon berkah atau memanjatkan doa.

 

Acara kenduri yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di Jawa.


Suasana “kenduri” atau pesta ini ditemukan di semua acara Subud di Indonesia karena masyarakat Indonesia sangat suka berkumpul. Kecintaan orang Indonesia untuk berkumpul didorong oleh budaya kolektivisme dan kekeluargaan yang kuat, yang didorong oleh nilai gotong royong, kebutuhan akan identitas sosial, jaringan pertemanan untuk dukungan emosional, dan kebiasaan yang mengakar untuk mencari kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan masyarakat yang lebih individualistis, berkumpul bagi orang Indonesia adalah bagian inti dari karakter budaya mereka, yang menekankan hubungan sosial yang erat dan saling mendukung.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 5 Desember 2025

Monday, December 1, 2025

Pelajaran Sabar

 


SEBUAH pengumuman dari akun Instagram Subud Youth Indonesia, tentang kegiatan gathering bertopik “Sabar”, yang difasilitasi Dewan Pembantu Pelatih Nasional (DPPN) Subud Indonesia, menggelitik ingatan saya pada sebuah insiden 11 tahun lalu.

Saat itu, saya sedang mudik ke Surabaya dalam rangka Idulfitri. Kakak ipar saya, laki-laki, curhat ke saya bahwa dia sedang berada di titik terendah hidupnya akibat kebangkrutan yang dihadapi perusahaan ekspedisi muatan kapal laut yang dia gawangi.

Dia minta saran saya tentang keinginannya untuk masuk Subud. Saya tidak tahu dari mana ia mendapat pemikiran untuk masuk Subud, karena saya tidak menyarankannya dan dia juga tidak tahu bagaimana Subud bisa membantu dia. Tetapi karena dia bersikeras, saya persilakan dia untuk mengikuti prosedurnya, yaitu melalui masa kandidatan selama tiga bulan.

“Saya ingin belajar sabar,” kata dia berulang kali. Dia terperangah ketika saya bilang bahwa di Subud tidak ada orang yang akan mengajarnya, karena di Subud tidak ada pelajaran dan teori, dan bahwa kita belajar dari kenyataan melalui pengalaman hidup kita. Kakak ipar saya, meski sempat terheran-heran, tetap memastikan diri bahwa dia ingin masuk Subud.

“Pelajaran sudah dimulai sejak masa kandidatan itu. Sebaiknya Mas siap menghadapinya,” kata saya, mengingatkan.

Pada suatu hari Kamis malam, jadwal reguler Latihan dari Cabang Surabaya, kakak ipar saya mengekor motor saya dengan motornya sendiri menuju Wisma Subud Surabaya. Saya perkenalkan dia ke salah satu pembantu pelatih, yang lantas mengajak dia ke ruangan khusus kandidatan. Saya tidak nimbrung bersama ipar saya; saya biarkan dia lebur bersama para pembantu pelatih dan sesama kandidat.

Beberapa saat kemudian, saya sempat melihat satu pembantu pelatih senior, yang baru tiba di Wisma Subud Surabaya, melangkah tertatih-tatih ke arah ruangan kandidatan. Sekitar 15 menit kemudian, saya lihat kakak ipar saya melangkah keluar dari ruangan tersebut, dengan wajah merah menahan marah dan mengumpat. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi pembantu pelatih pertama yang sebelumnya mengajak ipar saya ke ruangan kandidatan kemudian duduk di sebelah saya, dan berbisik, “Mas, ada suatu insiden... Kakak ipar panjenengan tidak terima dan marah. Tapi panjenengan nanti tidak perlu menegurnya, biarkan dia redam dulu amarahnya."

Keesokan paginya, kakak ipar saya menyampaikan ke saya dan istri saya (yang juga di Subud) bahwa para pembantu pelatih itu “tidak benar agamanya”. Jadi, si pembantu pelatih senior itu rupanya menanyakan ipar saya, apa pekerjaannya, tetapi jawaban ipar saya dinilai oleh si pembantu pelatih sebagai “bohong”, ditambah dengan penegasan bahwa perusahaannya bangkrut—suatu fakta yang tidak diketahui oleh siapapun selain kakak ipar saya, istri saya dan saya sendiri.

“Kamu yang tidak benar agamanya,” kata istri saya, membentak kakak laki-lakinya yang jebolan pesantren. “Kalau kamu benar agamamu, kamu tidak akan mudah marah oleh sebab hal sepele begitu.”

Saya menambahkan, “Mas katanya ingin belajar sabar. Saya kan sudah ingatkan bahwa di Subud tidak ada pelajaran, tidak ada teori. Semua pelajaran diperoleh dari praktik langsung. Jadi, PP itu sejatinya sedang dibimbing Tuhan untuk mengajari Mas bersabar... Nyatanya, Mas gagal dalam hal itu.”

Kakak ipar saya kaget dan kemudian tercenung. Akhirnya, ia memutuskan untuk melanjutkan kandidatannya—meski ia tidak pernah dibuka lantaran ia tidak sabar melalui prosesnya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 2 Desember 2025

Sunday, November 30, 2025

The Colorful Black-and-White Side of Arifin

 


LAST night, at his apartment in the Cipete Selatan area of South Jakarta, my Subud brother, Dino, was experimenting with the effects of black-and-white photography. He took pictures of me with his phone camera while I was sitting on the couch, absorbed in my smartphone. This is how the photo came out. To strengthen the narrative of these images, I decided to create a story about myself, which is as follows:

Arifin Dwi Slamet, a man whose gaze held the depth of three decades in the demanding world of branding, leaned back, a silent testament to a life richly lived. His hands, though casually at rest, had crafted countless narratives, shaping perceptions and forging connections for brands big and small. A historian by training from the esteemed University of Indonesia, Arifin’s strategic mind is a tapestry woven with the threads of the past, allowing him to see patterns and predict futures where others see only chaos.

 


Beyond the work desk, his passions paint a vivid portrait of a soul constantly seeking wonder. The rhythmic clatter of trains on tracks spoke to his railway enthusiast heart, a metaphor perhaps for the journey of life itself, with its many stations and unexpected detours. The disciplined world of the military, a stark contrast to the fluidity of advertising, offers another facet of his multifaceted curiosity. And for 22 years, his dedication to Subud had grounded him, providing a spiritual anchor amidst the ever-shifting currents of his professional life.

In this quiet moment, holding his phone, Arifin isn’t just a strategist; he is a storyteller, a seeker, a man whose every experience, every interest, fueled the boundless creativity that defined him. His story isn’t just about crafting campaigns; it is about crafting a life—a masterpiece of passion, intellect, and unwavering spirit.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 1 December 2025