Tuesday, November 4, 2025

Menangis di Ruang Ujian

MESKI tidak sedikit yang menunjukkan kekaguman begitu mengetahui bahwa saya berkuliah di Universitas Indonesia, sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka yang diincar banyak sekali—kalau tidak bisa dikatakan semua—lulusan SMA, saya bukanlah mahasiswa terpandai di sepanjang karier kemahasiswaan saya di Universitas Indonesia. Dua semester ganjil pertama saya, saya terancam dropout (DO) karena Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saya di bawah 1,75. Saya jadi harus belajar ekstra keras agar terhindar dari DO, yang tentunya akan membuat orang tua saya malu dan kecewa.

 



Tetapi memang saya lebih banyak main dan nongkrongnya, alih-alih kuliah yang rajin. Pada matakuliah-matakuliah wajib, yang karena itu saya ambil dengan terpaksa meski pengajarannya membosankan, seringnya saya menitip pada teman untuk menorehkan tanda tangan di daftar presensi. Alhasil, ya, nilai ujian saya pun tergolong rendah.

Bahkan ketika menyaksikan sejumlah senior saya—yang sebelumnya saya pandang sebagai mahasiswa super pintar—berguguran dalam ujian komprehensif (ujian lisan seluruh matakuliah wajib Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau FSUI), saya tetap santai dan kerap bolos kuliah. Namun, ketika saya sendiri menghadapi ujian kompre (demikian sebutan populernya di kalangan mahasiswa FSUI kala itu), barulah saya kelabakan.

Sebuah surat pemberitahuan yang diterbitkan Jurusan Sejarah FSUI dan ditujukan ke saya terasa bagaikan “surat perintah pelaksanaan hukuman mati” dalam waktu yang singkat. Ya, memang, waktu yang tersedia bagi saya untuk membaca 53 literatur wajib kompre hanya dua minggu, sedangkan sebagian besar dari jumlah literatur itu belum pernah saya baca sebelumnya.

 




Satu sahabat saya, Januar, lantas memaksa saya mengikuti “pemusatan latihan nasional” (Pelatnas) di bawah bimbingannya. Sahabat saya, yang bagi sebagian besar mahasiswa Sejarah FSUI menyebalkan itu, sejatinya memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi. Saat itu, dia sudah lolos dari ladang pembantaian kompre dan tengah menuntaskan penyusunan skripsinya.

Di bawah gemblengannya, saya termotivasi untuk mengatasi rasa malas saya. Saya menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari, termasuk akhir pekan, untuk membaca ke-53 literatur wajib tersebut. Diselingi pendalaman melalui diskusi dengan sang mentor—yang mengancam akan memutuskan persahabatan kami bila saya gagal kompre akibat kebodohan dan kemalasan saya.

Tanggal 2 November 1992, siang, saya memasuki ruang ujian di lantai 2 Gedung III Kampus FSUI Depok, Jawa Barat. Panitia ujiannya terdiri dari dosen-dosen yang terkenal “killer”. Pertanyaan demi pertanyaan mencecar saya, kebanyakan membuat saya tersudut karena kurang siap. Bayangkan, pertanyaannya kadang terkesan usil: “Anda sudah baca Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI? Sebutkan Daftar Isinya!”

Tentu saja, saya kelabakan, karena selama Pelatnas dua minggu itu, saya tidak terpikir sama sekali untuk menghafal daftar isi.

Usai kompre, saya dipersilakan meninggalkan ruang ujian, sementara para dosen penguji berunding untuk meloloskan saya atau tidak. Di luar ruang ujian, saya menahan tangis di depan dua sahabat saya, Januar dan Adi Nusferadi. Terbayang oleh saya, saya harus mengulang kompre. Setiap mahasiswa diberi kesempatan mengulang dua kali secara lisan, dan sekali dengan presentasi makalah. Bila gagal juga di presentasi makalah, mahasiswa harus dropout.

Ketika saya dipanggil masuk ruang ujian lagi, saya tidak dapat menahan air mata saya. Ketua Panitia Ujian, Pak Soetopo Soetanto, melihatnya dan bertanya, “Anda kenapa?”

“Maafkan saya, Pak, saya nangis. Saya benar-benar nggak siap,” kata saya sesenggukan.

“Saya kira Anda harusnya menangis bahagia...,” kata Pak Topo, “...karena kami memutuskan Anda lulus dengan nilai C. Selamat ya. Semoga Anda lebih baik lagi di sidang skripsi nanti.”

Di situ saya benar-benar meluapkan tangis saya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 4 November 2025

Monday, November 3, 2025

“Inner Bag”

 


BEBERAPA waktu lalu, istri membelikan tas ransel buat saya melalui toko daring. Saya memang penyuka ransel karena tidak mengganggu gerakan saya ketika berkendara roda dua atau berjalan kaki. Ransel yang dibelikan istri tergolong murah, dengan kantong untuk botol air di kedua sisinya dan tiga kompartemen besar serta kantong untuk laptop di bagian dalamnya.

Bagaimanapun, bagi saya jumlah kompartemennya masih kurang, terutama untuk menyimpan barang-barang printilan (antara lain dompet, ponsel, kotak kartu nama dan kotak kacamata). Tak kehabisan ide, saya selipkan tas pinggang saya yang memiliki cukup banyak kompartemen ke dalam bagian paling besar dari ransel itu, dan ternyata pas. Ketika saya ceritakan hal ini ke istri, dia berkomentar, “Oh itu inner bag namanya.”

Istri selanjutnya menjelaskan bahwa inner bag adalah tas kecil atau kantong yang dimasukkan ke dalam tas yang lebih besar untuk membantu mengatur dan memisahkan barang-barang agar tetap rapi.

Inner bag pouch adalah tas kecil dengan banyak kompartemen untuk menyimpan barang-barang penting seperti dompet, ponsel, dan kunci agar lebih mudah diatur di dalam tas yang lebih besar seperti ransel atau tote bag.

Saya belajar hal baru lagi nih. Mungkin sudah banyak yang tahu dan saya ketinggalan informasi, tapi tak apalah, yang penting pengetahuan ini berguna bagi saya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 3 November 2025

Sunday, November 2, 2025

Pesan Whatsapp Kepada Pembantu Pelatih Senior New York

 



Berikut adalah pesan WhatsApp saya kepada seorang bule Amerika Serikat yang merupakan pembantu pelatih Subud New York yang sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia. Pesan aslinya dalam bahasa Inggris...

 

HI S, tadi malam, saya bermalam Minggu di Nasi Kulit Ayam Gokskin Cilandak Barat, bersama beberapa anggota dan pembantu pelatih dari Jakarta Selatan, Pusat, Timur dan Bogor (karena hujan sejak magrib, banyak yang berhalangan hadir). Tetapi yang luar biasa adalah kesediaan Pembantu Pelatih Daerah Cabang Jakarta Selatan, Pak RAP, dan Pembantu Pelatih Daerah Cabang Jakarta Pusat, LU, untuk memenuhi undangan saya untuk menemani gathering santai para anggota ini.

Saya salut dengan Pak RAP yang demi memenuhi permintaan anggota sampai rela mencari penginapan di dekat Wisma Subud Cilandak untuk beliau dan istri menginap, karena beliau tahu bahwa gathering di Gokskin selalu sampai larut malam. Rumah beliau sendiri cukup jauh, di Bekasi.

Karena gathering-nya santai, dan yang mengadakan adalah para anggota yang tergabung dalam grup WhatsApp “Subud 4G” (yang saya buat sejak tahun 2016 dan saya salah satu adminnya), maka terjadilah momen berbagi yang menurut saya “blak-blakan”, tidak ada “menahan diri”. Pak RAP tahu bahwa Cabang Jakarta Selatan menjadi sorotan terutama karena rendahnya kualitas para pembantu pelatih dalam memenuhi tugas dan tanggung jawab mereka, termasuk melanggar banyak petunjuk Bapak kepada pembantu pelatih.

Pak RAP sendiri ada di grup WhatsApp Subud 4G dan membaca (silent reader) berbagai komentar miring mengenai kualitas dan kondisi para pembantu pelatih Jakarta Selatan. Tetapi, seperti kata Harris Roberts, selaku Pembantu Pelatih Daerah, Pak RAP benar-benar bekerja. Beliau tidak tinggal diam dengan ulah sebagian besar pembantu pelatih Jakarta Selatan yang merugikan kandidat dan anggota. Beliau mengakui, tidak sedikit pembantu pelatih Jakarta Selatan yang “menjadi pembantu pelatih hanya sekadar ingin memiliki ‘gelar’ itu” atau menganggapnya sebagai jabatan dengan kekuasaan atas anggota.

Beliau bercerita semalam bahwa secara bertahap beliau dan segelintir pembantu pelatih yang berpihak padanya melakukan upaya-upaya untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik. Beliau meminta kerja sama dari yang hadir tadi malam, terutama yang dari Cabang Jakarta Selatan, untuk duduk bersama membahas apa yang kiranya bisa dilakukan, sehingga saya bercerita kepada beliau apa yang kamu, saya dan Harris upayakan pula.

Insiden RU marah dan mengusir kamu dari pertemuan kandidat ternyata juga dibahas dalam Rapat Cabang Jakarta Selatan pada hari Minggu, 26 Oktober 2025. Tetapi LU (yang hadir sebagai undangan mewakili Cabang Jakarta Pusat) dalam kesempatan itu telah menyampaikan kritiknya terhadap cara RU menangani keadaan, karena terjadi di depan para kandidat, yang menyaksikan pertengkaran di antara para pembantu pelatih sehingga mungkin dapat mempengaruhi pandangan mereka terhadap Subud. Pak RAP menyesalkan kejadian itu dan merasa seharusnya RU bisa menyelesaikan secara baik-baik, apalagi dia berpengalaman sebagai Pembantu Pelatih Daerah dan Pembantu Pelatih Nasional.

Saya rasa, dalam pertemuan kita berikutnya kita ajak pula Pak RAP dan para pembantu pelatih yang berpihak pada upaya beliau, seperti IH (pemilik Gokskin).©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 2 November 2025

Memungut Pelajaran di Jalan

TADI malam, usai gathering Back to Babble (B2B) di Nasi Kulit Ayam Gokskin, Jl. Caringin Barat No. 13, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, saya tidak langsung pulang, melainkan mengantar teman saya yang masih ngandidat ke apartemennya di Jl. Puri Sakti II, Cipete Selatan.

Saya sempat cemas begitu melihat penunjuk BBM motor saya sudah mendekati E (habis), sedangkan jarak yang harus saya tempuh masih lumayan jauh. Saya dan teman saya meninggalkan Gokskin mendekati jam 00.00, yang saya perkirakan tidak ada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang masih buka. Akhirnya, yah, saya pasrah saja.

Keluar dari Jl. Melati yang bermuara di Jl. RS Fatmawati, saya pacu motor saya ke arah utara agar bisa lewat Jl. Cipete Raya. Karena belokan dari Jl. RS Fatmawati ke Cipete Raya sudah lama ditutup, saya hanya bisa memutar balik di U-Turn lebih dari 1,5 km dari jalan akses ke Cipete Raya yang sudah ditutup itu. Yang menjadi patokan saya adalah kedai kopi Tokonoma di sisi kiri Jl. RS Fatmawati ke arah Blok M—U-Turn-nya berada di depannya. Tetapi saya kebablasan. Menyadari bahwa U-Turn itu terlewat oleh saya, padahal saya sudah memberi sinyal lampu kanan, saya mengutuk diri saya sendiri, karena jarak tempuh motor saya jadi semakin jauh, sementara penunjuk ketersediaan bensin di tangkinya sudah “berteriak” minta diisi.

Bagaimanapun saya tetap memacu motor saya dalam kecepatan sedang, supaya tidak terlewat lagi U-Turn berikutnya. U-turn berikutnya terletak sekitar 500 m dari U-Turn sebelumnya (yang di depan Tokonoma). Saya berbelok di situ, masih menggerutu dan mengutuk kebodohan saya. Tiba-tiba kekesalan pada diri saya sendiri sirna begitu melihat SPBU Pertamina, sekitar 270 m dari U-Turn itu. “Puji Tuhan!” batin saya.

Setelah itu, suara diri saya berkata, “Bukankah kamu mencari pom bensin? Kenapa marah begitu kamu diarahkan menuju tempat yang kamu cari?! Ingat, Tuhan tidak pernah salah memberi petunjuk! Ego kamu saja yang tidak suka dengan petunjukNya, karena kamu sering memilih mengikuti apa yang menurutmu benar, alih-alih yang menurut Tuhan itu baik bagimu!”©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 2 November 2025

Saturday, October 25, 2025

Obituari: Harry N.P. Danardojo (8 November 1965-26 Oktober 2025)

 


DIBERITAKAN sebuah mobil mewah Lexus tertimpa pohon yang tertiup angin kencang pada siang hari sekitar pukul 14.15 WIB, 26 Oktober 2025. Pengendaranya tewas akibat kejadian itu. Belakangan saya mengetahui siapa korbannya, yaitu seorang saudara Subud Jakarta Selatan yang sudah lama tidak Latihan.

Saya mengenalnya pertama kali ketika saya balik ke kota kelahiran saya, Jakarta, pada bulan Juli 2005, setelah bergabung dengan sekelompok saudara Subud. Harry Nugroho Prasetyo Danardojo namanya, mantan managing director di PT Danareksa (Persero) saat itu dan juga anggota Subud yang tidak terlalu aktif.

Berusia dua tahun lebih tua dari saya, Mas Harry, begitu saya memanggilnya, memiliki “urat kaya”. “Apa saja yang disentuh Harry berubah menjadi emas,” kata almarhum Pak Mulyono Hardjopramono, pembantu pelatih yang membuka Mas Harry di Subud sekaligus rekan kerja di Danareksa. Bersama saya, almarhum Pak Mul, almarhum Pak Otjo Wiroreno, Armansyah, Achmad As’ad Luthfie, Agus Ichwanto, dan Nugroho Putut Wibowo (semuanya anggota Subud), Mas Harry pada 10 Desember 2005 di Ciganjur, Jakarta Selatan, mendeklarasikan berdirinya Yayasan Nurus Subhi Institute (NSI), sebuah wahana untuk menyebarluaskan mentalitas enterprise yang terbimbing Latihan Kejiwaan.

Kekayaannya membuat saya iri pada Mas Harry, hingga suatu hari di tahun 2006, saya memendam niat untuk menyampaikan kepada beliau betapa irinya saya pada beliau. Saat itu, para pendiri NSI akan bertemu untuk rapat, di kantor saya, Tiga PR, di kompleks Hanggar Teras Pancoran. Yang pertama tiba di Tiga PR adalah Pak Mul, Mas Harry dan saya. Kami menunggu yang lain di ruang rapat. Saat itulah saya mau mengungkapkan rasa iri saya kepada Mas Harry, tapi keduluan Mas Harry bicara ke Pak Mul: “Nyuwun sewu, Pak Mul, saya itu iri pada Mas Anto!”

Bercanda, Pak Mul bilang, “Lho, wong sugih kok iri pada wong kere?!”

Mas Harry berkata dengan serius, “Beneran, Pak. Saya serius. Saya iri pada Mas Anto. Saya lihat Friendster-nya, dia jalan-jalan ke Bali, ke mana-mana, dan dibayar pula! Nyuwun sewu, Pak Mul, saya sudah lima tahun tidak liburan! Saya hanya bekerja menimbun uang tapi tidak punya waktu untuk menikmatinya! Saya iri sama Mas Anto, waktu kerjanya adalah dengan jalan-jalan. Dia dibayar untuk liburan!”

Saya terenyak, tidak menyangka akan mendengar langsung dari seorang super kaya bahwa ia iri pada saya. Saya sepatutnya bersyukur bahwa kekayaan saya adalah waktu yang melimpah untuk menikmati hidup.

Malam ini, saya mendapat kabar bahwa Mas Harry telah dipanggil Sang Pencipta. Saya saksi bahwa almarhum adalah orang yang baik, kaya tetapi tidak sombong. Semoga arwahnya selalu dalam kemurahan Tuhan Yang Maha Esa.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 26 Oktober 2025

Komentar Terhadap Naskah Buku RM

Berikut ini adalah catatan komentar yang saya berikan untuk sebuah naskah buku yang berangkat dari sebuah disertasi dokt0ral yang ditulis oleh seorang wanita anggota Subud Vancouver, Kanada, berinisial RM.


SELAMA dua minggu ini saya mengerjakan penyuntingan dua bab naskah Anda, hanya sebatas membuat kalimat-kalimat panjang jadi singkat dan padat yang juga efektif (bagi pembaca), serta menambahkan keterangan yang saya ambil dari Kata Pengantar saya. Saya merasa naskah itu akan jauh lebih baik ditulis ulang dengan gaya yang “secara akademis populer” terutama bagi generasi pembaca dewasa ini, meski kalangan pascasarjana sekalipun.

14 Oktober lalu, saya diundang oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia untuk menjadi moderator dalam diskusi terpumpun (focus group discussion) antara para sejarawan akademik dengan para sineas, untuk mewujudkan perintah Presiden mengenai apa yang belakangan ini viral (dan cenderung dipelintir oleh pers lebih karena ketidaksukaan subjektif terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kebudayaannya): Penulisan ulang sejarah nasional.

Pada acara tersebut, Menteri Kebudayaan, yang kebetulan adalah yunior saya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan dia sendiri juga M.Sc dari London School of Economics and Political Sciences dan Ph.D dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia, dalam arahannya menyebutkan mengapa sejarah Indonesia kontemporer, di ranah akademik maupun publik/populer, harus ditulis ulang. Karena, menurutnya, penulisan/pengkomunikasian kajian sejarah warisan zaman Orde Baru penuh dengan glorifikasi tokoh, kelompok politik tertentu, atau gagasan, yang sekarang sudah tidak cocok, apalagi di kalangan generasi Milenial yang merasa buku-buku teks akademis SANGAT MEMBOSANKAN, penuh kalimat-kalimat yang tidak mengantarkan pada kejernihan serta tidak membangkitkan motivasi untuk pencarian referensi lebih lanjut.

Menteri minta kepada para sejarawan akademik yang hadir pada diskusi terpumpun itu (semuanya doktor ilmu sejarah dan humaniora) untuk belajar menulis laiknya para wartawan, yang mampu menulis secara populer tetapi tidak menghilangkan kaidah ilmiahnya. Limabelas tahun belakangan ini di Indonesia tren kajian sejarah dan ilmu sosial memang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang akademis dalam kedua disiplin ilmu itu, semata karena kalangan pembacanya tidak suka yang terlalu “berat” (termasuk para pembaca yang berstatus mahasiswa pascasarjana).

Saya amati adanya perkembangan-perkembangan terbaru di kampus-kampus terkemuka di Indonesia, dimana teknologi informasi memainkan peran yang signifikan. Dahulu, ketika saya masih kuliah, satu-satunya saluran penyampaian hasil penelitian akademis atau ilmiah adalah karya tulis (skripsi, tesis, disertasi, artikel di jurnal ilmiah). Kini, ada beberapa universitas di kota-kota besar di Indonesia yang membuka pintu lebar-lebar bagi kebebasan berkarya melalui multimedia: Hasil penelitian boleh dipublikasikan melalui film dokumenter pendek yang menghibur, presentasi audio-visual, animasi, novel, serta buku-buku nonfiksi yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan—tidak berat bagi pembaca awam, dan tidak pula dianggap remeh oleh pembaca dengan aras pengetahuan setara pascasarjana.

Hari Jumat lalu (24 Oktober), saya bertamu ke rumah Stuart Cooke. Tanpa memberitahu nama Anda dan naskah yang Anda tulis, saya bercerita kepadanya masalah sebuah naskah yang sedang saya edit, dan penerimaan saya bahwa naskah tersebut harus ditulis ulang total dan ditulis dengan gaya yang akrab di pembaca dewasa ini.

Menanggapi cerita saya, Stuart pun menceritakan pengalamannya yang mirip dengan saya: Dia pernah diminta untuk mengedit naskah buku yang tebal karya seorang ahli ekonomi yang jenius. “Tulisan dia tidak fokus, penjelasannya lari ke mana-mana, seolah semua yang dia ketahui, meskipun tidak relevan, ingin dia paksakan untuk dimasukkan ke bukunya. Kalimat-kalimatnya juga bertele-tele. Tapi saya tidak peduli, saya buang semua yang tidak perlu. Alhasil, dari naskah yang sangat tebal tersisa hanya puluhan halaman. Teman saya, yang menjadi perantara saya dengan si penulis, bilang ‘Wah! Dia akan tidak suka bila karyanya kamu pangkas habis seperti ini.’ Saya katakan padanya, ‘Kalau begitu, biarkan saya yang tulis ulang.’,” tutur Stuart.

Menurut saya, R., kalau Anda tetap mempertahankan naskah itu dengan gaya seperti di disertasi Anda saya rasa Anda tidak perlu menerbitkannya sebagai buku, tetapi biarkan sebagai disertasi saja, toh akan disimpan di perpustakaan kampus dan pasti kelak menjadi referensi bagi peneliti-peneliti dengan subjek yang sama.

Saya perhatikan topik bahasan dalam naskah Anda bertitik tolak dari pertemuan yang diharmoniskan oleh Anda antara pemikiran Timur dan Barat. Bukankah itu sedikit banyak merepresentasi diri Anda yang melalui kedua orang tua Anda membentuk percampuran budaya (Eropa dan Masyarakat Adat)? Jika saya jadi Anda, saya akan menulis pembukaan buku saya dengan kisah hidup saya—bahwa keberadaan saya saat ini merupakan hasil dari proses pertemuan dua kutub dan percampuran budaya; bahwa sejarah telah membuktikan bahwa dua hal yang berlawanan prinsip bisa berjumbuh untuk mencapai kebermanfaatan. Sehingga sejatinya gagasan Timur bisa berkelindan dengan empirisme Barat.

Menurut hemat saya, tidak apa jika Anda menyebutkan bahwa familiaritas Anda dengan Zat, Sifat, Asma, Af'al (ZSAA) bertolak dari keterlibatan Anda di Subud. Ceritakan sedikit tentang Subud dan tentang Muhammad Subuh serta bahwa latar belakang beliau dengan Sufisme telah membuat sejumlah gagasan dan terminologi Sufisme “dipinjam dengan elaborasi tertentu” oleh Muhammad Subuh dalam ceramah-ceramah beliau, semata untuk menjelaskan yang tidak kasatmata, seperti energi keberadaan, misalnya, yang digunakan dalam konteks metafisika, spiritual, dan filsafat Timur untuk merujuk pada prinsip fundamental yang mendasari dan memberi daya pada semua realitas.

Dalam bab-bab selanjutnya, alangkah menariknya jika ditampilkan studi-studi kasus atau kisah pengalaman hasil pengamatan sehari-hari yang dapat membangun fondasi persepsi pada pembaca bahwa ZSAA memang dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan modern, termasuk pendidikan. Tidak perlu lagi bahasan panjang lebar dan bertele-tele yang teoritis. (Saya jadi ingat nasihat Bapak kepada Varindra Vittachi agar anggota Subud menuliskan pengalaman, jangan teori.)

Anda mencantumkan begitu banyak referensi yang menurut saya seharusnya dipindah ke halaman paling belakang dengan judul “Disarankan untuk Pembacaan Lebih Lanjut”. Tahukah Anda bahwa pembaca Milenial gampang sekali terdistraksi oleh teks yang bertele-tele? Akibatnya, mereka lebih suka visual dan karena itu kehidupan mereka didominasi oleh platform media sosial dan smartphone yang sarat interaksi visual ketimbang tekstual. Nah, generasi itulah yang sekarang mengisi semua level akademis di perguruan tinggi. Suka atau tidak suka, buku-buku sarat teks mulai diabaikan.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 26 Oktober 2025

Friday, October 24, 2025

Satu Aturan Emas

 


SAYA mengawali karir saya di periklanan pada 24 Oktober 1994—itu hari pertama saya menjejakkan kaki di kantor biro iklan terbesar kedua di Indonesia.

Bulan-bulan pertama saya lalui dengan nongkrong di perpustakaan biro iklan itu, yang memiliki koleksi lebih dari 7.000 buku—dia satu-satunya biro iklan di Indonesia yang memiliki perpustakaan yang dikelola oleh seorang pustakawan profesional dan kawakan. Di antara koleksinya terdapat buku di foto di atas, yang ternyata dijuluki oleh para senior saya sebagai “kitab suci”.

Gaya penulisannya sangat menarik, tetapi yang paling saya ingat adalah “10 Aturan Perak, 1 Aturan Emas”-nya. Saya tidak ingat apa saja 10 aturan peraknya, lantaran 1 aturan emasnya, yaitu “Lupakan semua aturan!” Prinsip itu kelak saya praktikkan bukan hanya dalam menciptakan iklan, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan saya. Setelah saya masuk Subud, saya baru paham mengapa melakoni 1 Aturan Emas itu penting dan berguna.

Sembilan bulan bekerja di biro iklan itu, dan berbekal pemahaman berbasis praktik terhadap kiat-kiat yang ditawarkan Alastair Crompton, saya memberanikan diri untuk mencoba peruntungan saya di biro iklan lain. Saya diterima bekerja di sebuah biro iklan multinasional di Jakarta setelah melalui serangkaian wawancara dan tes kemampuan yang kompetitif serta psikotes dan tes kesehatan, tak beda dengan yang dilalui para calon kadet akademi militer.

Saat itu, saya sulit mempercayai bahwa saya bisa diterima, mengingat para pelamar lainnya memiliki pengalaman minimal tiga tahun (sedangkan saya hanya sembilan bulan), mereka lulusan universitas-universitas ternama di luar negeri (sedangkan saya lulusan universitas top di dalam negeri), dan mereka berlatar belakang akademik Ilmu Komunikasi, Periklanan, Pemasaran atau Desain Grafis (sedangkan saya Sejarah, tidak ada hubungannya sama sekali dengan bidang pekerjaan saya).

Dari situ, mulailah saya menjadi “kutu loncat” yang rupanya lumrah di dunia periklanan. Bukan gaji yang dicari, melainkan kesempatan untuk mendapatkan merek-merek besar dan terkenal yang dapat memperindah portofolio para praktisi periklanan. Dalam 31 tahun karir saya, saya pernah bekerja di 13 biro iklan, satu organisasi non pemerintah dan satu firma kehumasan sebagai copywriter, strategic planner, branding strategist, editor, dan sustainability communication specialist. Terlebih setelah masuk Subud, berbagai bidang dapat saya rambah dan lakukan dengan baik. Berkat bimbingan Latihan Kejiwaan, alih-alih berkat membaca buku dan mempraktikkannya bertahun-tahun.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 25 Oktober 2025