“Saya tidak tahu acara ini tentang
apa, tapi yang jelas wajah saya ada di foto yang diunggah di media sosial
panitia.”
~Motto Penggembira
KETIKA saya pertama kali masuk Subud pada bulan Maret 2004, saya mulai mengenal organisasi Subud Indonesia dengan menghadiri Musyawarah Wilayah (Muswil) pertama saya untuk Komisariat Wilayah VI (meliputi Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi) di sebuah daerah resor di Jawa Timur. Meskipun saat itu saya tidak terlalu tertarik dengan urusan organisasi, saya tetap menuruti saran para pembantu pelatih di cabang asal saya—Surabaya, Jawa Timur—hanya untuk merasakan seperti apa Muswil itu.
Yang memotivasi saya untuk ikut serta adalah kenyataan bahwa organisasi Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) Subud, khususnya di Indonesia, merupakan ciptaan Bapak. Untuk benar-benar mengenal Subud dan Bapak, saya merasa perlu memahami “cara kerja internalnya”—organisasi yang telah memungkinkan Subud untuk tetap eksis hingga saat ini.
Muswil tersebut ternyata tidak seperti yang saya bayangkan; agenda acaranya minim urusan organisasi. Dari sekitar 200 peserta yang hadir dari Komwil VI, yang pada saat itu meliputi 18 cabang di seluruh Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi, hanya segelintir yang menghadiri sesi-sesi pengurus, karena mereka adalah delegasi cabang yang ditunjuk. Satu delegasi biasanya terdiri dari pembantu pelatih daerah pria dan wanita, ketua cabang, serta sekretaris dan/atau bendahara cabang. Sisanya, yang merupakan mayoritas peserta Muswil, adalah “penggembira”—orang-orang yang hadir hanya untuk menikmati suasana baru (karena Muswil biasanya diadakan di daerah resor) dan untuk bertemu dengan anggota dari cabang-cabang lain.
Selama dua hari Muswil VI pada Juli 2004 itu—Muswil selalu diadakan pada akhir pekan—saya menghabiskan sebagian besar waktu saya hanya berkeliling di lokasi tersebut. Saya sama sekali tidak tahu apa yang tengah berlangsung di sejumlah ruangan di hotel tempat diselenggarakannya Muswil. Saya hanya mengetahuinya kemudian, seminggu setelah Muswil, ketika buku laporan hasil Muswil dibagikan kepada siapa saja yang berminat membacanya. Lokasi Muswil itu sendiri adalah tempat wisata yang populer di Jawa Timur: Telaga Sarangan, yang terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Telaga ini menyuguhkan pemandangan indah, udara sejuk, dan beragam kegiatan seperti menunggang kuda, naik speedboat, atau sekadar menikmati kuliner lokal sambil menikmati pemandangan telaga.
Dalam konteks acara-acara Subud seperti kongres atau
pertemuan pengurus dan pembantu pelatih, muncul jenis “penggembira” yang baru
dan tidak terlalu buruk. Mereka adalah peserta yang datang bukan untuk
mendengarkan sambutan-sambutan, menghadiri sesi-sesi teknis, atau memperoleh wawasan
kejiwaan yang mendalam dari ceramah Ibu Rahayu, baik yang disampaikan langsung
maupun yang direkam. Mereka datang demi suasana, jejaring, dan kesenangan murni
dari kesempatan berkumpul.

Suasana keakraban di antara para peserta Musyawarah Wilayah III Jakarta, 6 Desember 2025 di Sekolah Cita Buana, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Kelompok peserta ini, yang dapat kita sebut secara santai sebagai Penggembira Acara (Event Joyriders), mungkin tidak memiliki kepentingan dalam jalannya acara, tetapi kehadiran mereka menyoroti kebenaran mendasar tentang pertemuan manusia: koneksi atau hubungan sering kali sama berharganya dengan konten atau isi acara itu sendiri.
Para
Penggembira Acara Subud hadir dalam berbagai bentuk, semuanya disatukan oleh sebuah
motivasi utama, yaitu pengalaman sosial di atas kebutuhan organisasi:
·
Si Kupu-Kupu Sosial (The Social Butterfly): Agenda mereka penuh sesak dengan janji temu minum
kopi, rencana makan malam, dan pesta setelah jam acara resmi. Mereka adalah
penghubung antar manusia, sering kali mengenal semua orang dan memperkenalkan cabang-cabang
yang berbeda. Acara resmi itu sendiri hanyalah latar belakang organisasi yang
nyaman untuk sirkuit sosial pribadi mereka.
·
Si Pencari “Bersenang-senang Sambil Bekerja” (The “Bleisure” Seeker): Orang ini mungkin berhubungan secara langsung maupun
tidak langsung dengan pengurus atau dewan pembantu pelatih, tetapi tujuan
sebenarnya adalah perjalanan “bisnis-plus-rekreasi” (bleisure). Acara
resmi adalah pembenaran mereka untuk menjelajahi tempat baru, menikmati hotel
mewah, dan menerima kupon makan yang lumayan. Saya pernah menjadi jenis penggembira
ini ketika menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pengurus Nasional Subud Indonesia
untuk periode 2009-2011.
·
Si Peserta Kebetulan (The Accidental Attendee): Mereka ikut dibawa oleh anggota pengurus, pembantu
pelatih, atau mungkin cabang mereka memiliki tiket berlebih yang harus
digunakan. Mereka berkeliling di lokasi acara untuk mendapatkan barang gratis
dan menikmati suasana, tetapi urusan keorganisasian sama sekali tidak mereka
pahami.
· Si Penebar Jaringan Demi Jaringan (The Networker for the Sake of Networking): Mereka mengumpulkan kartu nama seperti mengoleksi kartu dagang, dimotivasi bukan oleh tujuan bisnis tertentu melainkan lebih karena kenikmatan murni bertemu orang baru dan memperluas daftar kenalan pribadi mereka.
Meskipun mereka mungkin tidak berkontribusi pada wacana
resmi Subud, para penggembira ini jauh dari kata merugikan. Faktanya, mereka
secara tidak sengaja menjalankan fungsi yang krusial dan sering diremehkan:
Mereka adalah pelumas sosial dalam acara tersebut. Mereka adalah yang pertama
tertawa, yang memulai percakapan di sudut yang sepi, dan yang menjaga energi
tetap tinggi selama gathering
kejiwaan. Mereka mengubah pertemuan organisasi yang kaku menjadi pengalaman
sosial yang dinamis.
Dengan menghubungkan orang-orang di berbagai bagian dari pengurus Subud, badan sayap (wing bodies), atau bahkan para pembantu pelatih, para penggembira ini sering kali memicu percakapan yang paling tidak terduga dan berharga. Perkenalan santai saat rehat kopi bisa mengarah pada kemitraan di masa depan dengan lebih mudah daripada pertemuan formal yang terjadwal. Kehadiran mereka mengingatkan semua orang bahwa Subud terdiri dari manusia. Mereka menyuntikkan dosis kemanusiaan, kesenangan, dan keceriaan yang sangat diperlukan ke dalam lingkungan yang jika tidak, bisa menjadi sangat serius dan penuh tekanan.
Meningkatnya jumlah Penggembira Acara menggarisbawahi sifat evolusioner acara-acara organisasi Subud. Dalam dunia yang semakin digital, daya tarik terbesar dari acara tatap muka (in-person) bukanlah informasi (yang sering kali dapat ditemukan secara daring) melainkan koneksi IRL (in-real-life/di kehidupan nyata). Pengurus Nasional Subud Indonesia dan panitia pelaksana acara organisasi resmi yang ditunjuk olehnya sudah menyadari hal ini ketika Pengurus Nasional diketuai oleh Luthfie Hadiyin (2009-2011). Mereka sengaja menggabungkan lebih banyak elemen interaktif, menyenangkan, dan sosial—mulai dari pengalaman mendalam (immersive experiences) hingga hiburan setelah jam acara yang berkualitas—untuk menarik dan memuaskan segmen peserta yang terus berkembang ini.
Meskipun kongres-kongres Subud harus tetap menjadi platform
untuk pembahasan-pembahasan yang serius dan pemecahan masalah, para penggembira
membuktikan bahwa imbalan tak berwujud dari keakraban (camaraderie) dan
pengalaman bersama sama pentingnya. Mereka adalah pengingat yang menyenangkan
bahwa kadang-kadang, alasan terbaik untuk hadir hanyalah untuk menikmati
perjalanannya saja.

Musyawarah Wilayah VI Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, pada 1-2 November 2025 digelar di destinasi wisata utama dunia, Bali. Tepatnya di Denpasar..
Bapak pernah menyebut acara-acara organisasi Subud, seperti Musyawarah Nasional (MuNas) dan Kongres Nasional, sebagai “kendurinya anggota”. Saya juga merasakan bahwa semua acara Subud yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan perkumpulan terasa seperti sebuah kenduri atau pesta, tempat para anggota bertemu untuk melepaskan kerinduan satu sama lain. Itulah sebabnya tidak jarang kita melihat anggota mengadakan pertemuan sampingan yang tidak resmi di sekitar lokasi acara-acara besar seperti MuNas dan Kongres.
“Kenduri” adalah pesta komunal atau ritual tradisional yang diadakan untuk berbagai
tujuan, seperti mengungkapkan rasa syukur, memperingati peristiwa penting, atau
mendoakan orang yang telah meninggal. Acara ini biasanya dipimpin oleh tokoh
atau tetua yang dihormati dan berfungsi sebagai waktu bagi orang-orang untuk
berkumpul, mempererat kebersamaan, dan memohon berkah atau memanjatkan doa.

Acara kenduri yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di Jawa.
Suasana “kenduri” atau pesta ini ditemukan di semua acara Subud di Indonesia karena masyarakat Indonesia sangat suka berkumpul. Kecintaan orang Indonesia untuk berkumpul didorong oleh budaya kolektivisme dan kekeluargaan yang kuat, yang didorong oleh nilai gotong royong, kebutuhan akan identitas sosial, jaringan pertemanan untuk dukungan emosional, dan kebiasaan yang mengakar untuk mencari kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan masyarakat yang lebih individualistis, berkumpul bagi orang Indonesia adalah bagian inti dari karakter budaya mereka, yang menekankan hubungan sosial yang erat dan saling mendukung.©2025
Pondok Cabe Ilir,
Pamulang, Tangerang Selatan, 5 Desember 2025

























