Tuesday, January 7, 2025

Kala Kini

 


BAPAK said... Bapak says,” ucap pembantu pelatih berkebangsaan Amerika Serikat yang telah menetap di Indonesia sejak sepuluh tahun itu saat berbicara kepada keponakan saya. Ia seperti menyadari suatu kekeliruan dalam ucapannya, yang segera ia ralat. Hal itu telah menjadi perhatian saya sejak tiba di rumahnya di Jl. Muara Utama, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Keponakan saya, usia 21 tahun, masih menjalani ngandidat (yang kesembilan kalinya saat itu) di Ranting Pamulang, namun Sabtu malam itu, 4 Januari 2025, saya ajak serta bertamu ke rumah Stuart Cooke, saudara Subud bule yang menikah dengan seorang wanita Indonesia yang juga anggota Subud. Turut serta pula istri dan putri kecil kami, Nuansa.

Saya perhatikan bahwa dalam berbicara, dalam bahasa Inggris, terutama dalam mengutarakan tentang Bapak, menyampaikan nasihat-nasihat atau petunjuk Bapak, Stuart selalu menggunakan kala kini (present tense), alih-alih kala lampau (past tense) sebagaimana biasanya dalam bahasa Inggris. Setahu saya, dalam tata bahasa Inggris yang baik dan benar, sedetik yang telah lalu pun dianggap lampau, apalagi menceritakan kehidupan Bapak yang telah lama lampau.

Kala dalam linguistik bahasa Inggris adalah pembedaan bentuk verba (kata kerja) untuk menyatakan perbedaan waktu atau jangka perbuatan atau keadaan. Secara umum, kala terdiri dari kala lampau, kala kini, dan kala mendatang (future tense). Tidak ada bentuk kala yang spesifik dalam Bahasa Indonesia, yang berarti tidak ada perbedaan bentuk verba pada suatu kata meskipun verba tersebut terjadi pada masa lampau, kini, dan mendatang.

Meskipun membuat saya bertanya-tanya mengapa Stuart, yang pekerjaan sampingannya adalah guru bahasa Inggris, selama obrolan serius kami seputar Subud dan Bapak selalu menggunakan kala kini, tetapi saya menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu kepadanya. Bagaimanapun, malam itu, penasaran saya mendapat jawaban.

Sebelum, selama dan setelah makan malam—yang terutama untuk itu Stuart mengundang saya bersama keluarga ke rumahnya, ia berbagi banyak sekali kisah mengenai Bapak, mengenai keluarga Bapak, serta berbagai aspek Latihan Kejiwaan dan organisasi Subud. Stuart Cooke dibuka pada tahun 1965 di New York, AS, ketika ia berusia 21 tahun. Ia pertama kali ke Indonesia pada tahun 1971 untuk menghadiri Kongres Dunia ke-4 di Wisma Subud Cilandak. Kala itu ia bersama istri pertamanya. Dari sekian banyak topik obrolan, saya perhatikan bahwa payungnya adalah tema “berani” dan “permisi”.

Mengenai “berani”, Stuart mengungkapkan mengenai kondisi Subud Indonesia saat ini, dengan ketua umum Pengurus Nasionalnya yang melakukan banyak sekali pelanggaran dawuh Bapak, menyimpang dari segala sesuatu yang digariskan Bapak, namun sedikit sekali yang berani menentang atau menegurnya, termasuk mereka yang tergolong lebih lama di Subud dibandingkan sang ketua umum. Terkait “permisi”, yang ia maksud sebenarnya adalah “izin”. Ia mengkritisi kebanyakan pembantu pelatih dewasa ini yang mengabaikan permintaan izin kepada Bapak untuk membimbing mereka dalam memberi penerangan dan layanan kepada kandidat atau anggota.

Stuart menceritakan kisah Sudarto, pembantu pelatih generasi pertama yang oleh para anggota Subud di Barat dijuluki “Bapak kedua” (the second Bapak), lantaran begitu terampilnya Sudarto memberi jawaban atau menjelaskan tentang aspek kejiwaan kepada anggota dengan cara yang membuat anggota dapat cepat memahaminya. Banyak surat-surat anggota yang dijawab oleh Sudarto atas perintah Bapak. Stuart mengisahkan bahwa setelah Bapak wafat Sudarto mengalami depresi yang membuatnya mengurung diri di rumahnya selama sekitar empat bulan, menolak menerima tamu—yang biasanya selalu beliau layani. Setelah melalui masa depresi itu, Sudarto ditanya oleh Stuart apa yang menyebabkan beliau merasa tertekan. Sudarto mengungkapkan bahwa pasca wafatnya Bapak, beliau menerima berkali-kali dalam Latihan beliau bahwa yang membuat beliau dapat memberi jawaban-jawaban yang memuaskan anggota itu bukanlah karena kemampuan pribadi beliau sendiri, melainkan karena izin dari Bapak. Hakikatnya, Bapaklah yang menjelaskan kepada para anggota itu, melalui diri Sudarto.

Kisah Sudarto itu memberi gambaran bahwa khususnya pembantu pelatih dalam memberi jawaban yang dapat memuaskan anggota harus permisi terlebih dahulu kepada Bapak atau meminta izin apakah boleh atau tidak memberi penjelasan. Intinya, dalam hubungan pembantu pelatih dengan pemangku kepentingan (kandidat dan anggota), harus selalu terisi izin Bapak!

Berkenaan dengan “permisi” itu, saya mengetahuinya pertama kali dari penjelasan almarhum Pak Deddie Pandji, pembantu pelatih senior Kelompok Cilengkrang, Bandung, ketika saya berkunjung ke sana pada 14 Februari 2021. Beliau mengajak saya dan semua anggota lainnya untuk merasakan bedanya antara Latihan yang dengan dan tanpa permisi kepada Bapak. Tentu saja, perbedaannya sangat signifikan. Latihan dengan terlebih dahulu meminta izin atau pendampingan dari Bapak (sebelum penenangan diri) memberi saya penerimaan Latihan yang sangat kuat, merasuk diri, dan permulaannya terasa seperti ledakan bom nuklir (gelombang energinya beriak-riak ke seluruh ruangan, keluar dan ke dalam diri).

Usai makan malam bersama dan terus saja mengobrol, ditemani martabak telur dan brownies serta jeruk mandarin kecil, Stuart mengajak saya untuk melakukan Latihan bersama dan memberitahu saya lebih awal bahwa kami akan melakukan testing setelah Latihan. Kami pun naik ke lantai dua rumahnya, yang menyediakan ruangan cukup lapang bagi dua orang untuk bergerak leluasa.

Sebelum Latihan bersama, kami melakukan penenangan diri. Sebelum memulai penenangan diri, seperti biasa saya memohon bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam Latihan Kejiwaan Subud serta memohon pendampingan dari Bapak selama Latihan. Sebagaimana yang saya alami di Hall Cilengkrang pada 14 Februari 2021, Latihan di lantai dua rumah Stuart pun memberi saya vibrasi dahsyat bagaikan ledakan bom nuklir.

Saat testing, selaku pembantu pelatih Stuart-lah yang mengucapkan pertanyaan-pertanyaannya. Nah, pada satu titik, ketika Stuart bertanya, “Arifin, where is Bapak?” (Arifin, di mana Bapak?) di situlah saya menerima: Kedua tangan saya meraba-raba sekujur tubuh saya dari ujung kepala sampai ujung kaki dan berkali-kali menepuk dada kiri saya. Saya juga merasakan pembuluh darah dan saraf-saraf saya menjadi hidup dan saya serasa berjalan di awan—terasa ringan sekali.

Saya menerima bahwa Bapak ada pada diri saya—pada diri semua orang yang telah menerima Latihan Kejiwaan. Bapak ada di diri saya dahulu, sekarang maupun di masa depan, tetapi yang paling penting adalah Bapak adalah kini (Bapak is the present). Saya teringat pada satu ceramah Bapak, dimana beliau mengatakan bahwa setelah Bapak wafat keberadaan beliau lebih dekat dengan kita, karena hubungan jiwa-ke-jiwa itu tidak berjarak, atau berjumbuh satu dengan lainnya.

Dengan demikian, sungguh aneh atau ganjil jika ada pembantu pelatih di Indonesia yang mengatakan bahwa petunjuk Bapak sulit untuk diikuti dan karena Bapak sudah tidak ada, makanya tidak perlu untuk menerapkan petunjuk Bapak. Keberadaan Bapak itu kekal. Tidak mengikuti petunjuk Bapak berarti sesungguhnya seseorang menafikan dirinya sendiri. Karena hakikatnya jiwa Bapak masih ada, terus ada, di kekinian, dan mengisi diri semua anggota Subud.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Januari 2025


Friday, January 3, 2025

Serunya Sejarah: Peringatan 100 Tahun Latihan Kejiwaan Subud

KARENA latar belakang akademik saya adalah Ilmu Sejarah, yang saya dalami di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; sejak tahun 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB UI), saya kerap tak bisa menghindari atau melawan dorongan dari dalam untuk meluruskan segala yang bengkok atau misterius di masa kini dengan menggali lebih dalam peristiwa atau hal-hal di masa lalu. Tantangan terberatnya adalah tindakan saya tak jarang mengusik kekukuhan orang dalam mempertahankan pengetahuan usang mereka.

Seperti rangkaian acara perayaan 100 Tahun Latihan Kejiwaan Subud yang diselenggarakan 26 Januari hingga 4 Februari tahun ini, yang beriringan dengan Kongres Nasional ke-31 PPK Subud Indonesia (31 Januari-2 Februari 2025) dan ulang tahun ke-78 berdirinya organisasi PPK Subud Indonesia (1 Februari 2025), bertempat di Semarang, Jawa Tengah. Saya dan yunior saya di Program Studi (Prodi) Sejarah FIBUI yang juga anggota Subud Cabang Jakarta Selatan, Sulaiman Harahap, beberapa waktu lalu tergelitik untuk mulai menelisik: Tanggal berapa atau bulan apa tepatnya RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo menerima pengalaman gaib yang menggiring beliau kepada Latihan Kejiwaan?

Memang benar tahunnya adalah 1925, tempat kejadian perkaranya di jalan di depan proyek pembangunan rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (Rumah Sakit Sipil Pusat) atau CBZ (kini RS dr. Kariadi) di Gemeente (Kotapraja) Semarang, pada waktu tengah malam. Buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo maupun buku History of Subud-nya Harlinah Longcroft (yang berdasarkan wawancara dengan Pak Subuh juga) tidak menyebutkan tanggal dan/atau bulannya. Hanya tahunnya 1925.

Saya berbagi analisis saya dengan Sulai, panggilan akrabnya Sulaiman, alumnus Prodi Sejarah FIBUI Angkatan 2004, berdasarkan tanggal peresmian CBZ, yaitu 9 September 1925. Buku Autobiografi menyebutkan bahwa Pak Subuh sedang berjalan di depan proyek pembangunan CBZ ketika pengalaman gaib itu beliau lalui. Tahun 1925 saya asumsikan proyek CBZ sudah di tahap penyelesaian, mengingat peresmiannya saja tanggal 9 September. Jadi, kemungkinan pengalaman gaib itu terjadi sekitar akhir Juli atau pertengahan Agustus.

Sulai bertahan di akhir Juli, saya menancapkan keyakinan saya di pertengahan Agustus—yang jelas, bukan Januari atau Februari 1925.

Untuk memastikan, atau mendekati kepastian, ada pendekatan ilmiahnya. Tak kami pungkiri bahwa pendekatan kejiwaan, yaitu testing, juga kami lakukan, tapi secara umum kita bisa menerapkan metodologi penelitian sejarah dengan, antara lain, menelusuri kembali peristiwa-peristiwa lainnya, selain dari peresmian CBZ saja. Saya dan Sulai masih terus menjelajahi berbagai kemungkinan, yang kami dalami bak detektif menyelidiki sebuah kasus misterius. Itulah serunya belajar sejarah. Terlebih dengan bimbingan Latihan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 Januari 2025

Thursday, January 2, 2025

Pegangan

 


NUANSA barusan mengambil sebuah kitab mungil di antara tumpukan majalah dan dokumen lama di lemari dan menunjukkannya ke saya sambil bertanya, “Ini apa, Papoy?”

“Itu Qur’an. Dari bos Papoy dulu di Surabaya, oleh-oleh haji,” kata saya.

Saya kemudian teringat cerita konyol di balik keberadaan kitab Qur’an kecil ini. Jadi, beberapa bulan setelah saya dibuka di Wisma Subud Surabaya, saya berjumpa lagi dengan mantan bos, Pak JPB namanya (meninggal 5 Mei 2019 akibat tabrak lari saat beliau bersepeda rutin di Jl. Panjangjiwo, Surabaya). Sepulang berhaji, Pak JPB membawa oleh-oleh kitab Qur’an dalam tiga ukuran—besar, sedang dan kecil. Sejak pulang dari Tanah Suci, beliau merasa paling saleh dan meledek saya yang beliau lihat tidak pernah salat padahal sebelumnya (ketika saya masih kerja di perusahaan beliau tahun 2000-2002) saya rajin salat.

“Qur’an ini peganganku, Tok,” kata beliau saat saya datang ke kantor beliau tahun 2004, setelah kami tak sengaja bersua kembali di jalan (dari arah mobil yang beliau kendarai, beliau melihat saya sedang berdiri di depan kantor Air Api Communications, biro iklan milik Heru Iman Sayudi, pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya, di Jl. Raya Manyar, Surabaya). Beliau mengundang saya ke kantor beliau, perusahaan tempat saya bekerja sejak pindah ke Surabaya, karena beliau ingin menawari saya untuk kembali bekerja padanya, kali ini dengan posisi sebagai Managing Partner.                     

Dalam obrolan kami, beliau mengatakan, “Aku dengar kamu ikut Subud ya? Aliran apa itu, Tok? Kalau ndak jelas, ngapain kamu ikut? Mending Islam saja. Rajin salat dan baca Qur’an. Koyok aku, Tok, baca Qur’an memberi aku ketenangan.”

Saya cuma menanggapi dengan senyum saja, tidak berusaha membela diri. Biar saja beliau mencibiri saya. Beliau kemudian menyodorkan kitab Qur’an kecil itu. “Ambil ini, Tok, untuk kamu. Diwoco yo, ojo disimpan tok.”

Sebagai Managing Partner, saya tidak perlu tiap hari ke kantor. Saya hanya datang kalau ada klien atau Pak JPB mengajak meeting ke kantor klien. Suatu hari, beliau mengajak saya ke meeting di kantor klien. Berdua saja. Di mobil, beliau curhat mengenai penderitaan hidup yang berturut-turut datang kepada beliau dan selalu terkait uang—kehilangan 20 juta, ditipu 200 juta, dipinjam dua juta tidak balik. Saya usil membatin, “Itu akibatnya kalau mendua, jadi kehilangan uang selalu berangka dua!” (Beliau sudah beristri dan memiliki dua putri yang sudah remaja saat itu, tapi meniduri sekretarisnya bahkan terus saja minta jatah meski sekretarisnya sudah menikah.)

Saya balas menasihati beliau sambil cengengesan, “Pak, baca aja Qur’an, biar tenang.”

Beliau menoleh ke saya dengan tampang sebal, dan menyemprot saya, “Jancuuukkk kon! Ngledek aku yo?!”

Lhoo, Pak JPB sendiri kan bilang ke saya kapan hari, supaya baca Qur’an supaya tenang hidup saya. Saya sih cukup Subud aja, berserah diri, biar tenang,” kata saya sambil tertawa.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Januari 2024

Wednesday, January 1, 2025

Tidak Banyak Berpikir

PENGALAMAN ini sudah lama lalu, terjadi pada tanggal 29 Maret 2018 di Bandung, Jawa Barat. Saat itu, saya rapat dengan mitra usaha saya yang seorang konsultan program Corporate Social Responsibility (CSR), dan klien kami, di Fourspeed Café, Jl. RAA Martanegara, Bandung. Meeting disela karena sebagian pesertanya mau salat. Klien kami non muslim, sedangkan saya tidak memiliki identitas agama apapun. Yang lain, yaitu mitra usaha saya dan dua orang timnya pergi salat di musala kafe tersebut.

Sekembalinya dari musala, mitra usaha saya dan timnya maupun saya menikmati kopi dulu di kafe, sementara klien kami pergi untuk suatu urusan—ia kembali dua jam kemudian. Selama minum kopi, mitra usaha saya dan masing-masing anggota timnya bercerita, bahwa mereka tadinya “orang mapan” yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang berbeda, dengan jabatan wah dan menerima gaji besar tiap bulan.

Setelah meninggalkan itu semua, menjadi entrepreneur, mereka kaget, tidak menyangka dengan kenyataan bahwa hidup mereka tanpa sokongan gaji bulanan begitu berat. Mereka dimusuhi mertua, dijauhi istri, dicemooh tetangga.

“Semua salat wajib dan sunah saya lakoni, tapi masalah itu nggak mau pergi,” kata mitra usaha saya, yang asli Bandung dan sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan semen.

“Tapi Pak Arifin kok ya bisa tenang dan rileks gitu, padahal, maaf, Pak Arifin ini nggak pernah saya lihat salat?” kata mitra usaha saya lagi.

Dua anggota timnya melihat ke langit-langit kafe, masing-masing larut dengan pikiran mereka yang kalut.

Lalu datanglah klien kami, nimbrung di meja kami, menyulut rokok dan memesan cappucino ice blended. Dia bertanya, kami sedang membahas tentang apa. Setelah diberi garis besar dari topik obrolan kami, dia berkomentar, “Tau nggak kalian, orang gila itu nggak ada yang sakit berat, karena nggak mikir. Orang normal yang ngakunya intelek malah sakitnya parah. Aneh kan?!”

Klien menanyakan usia saya dan mitra usaha saya. Saya 50, mitra usaha saya 38 tahun. “Coba lihat deh, Pak Arifin ini tampak jauh lebih muda daripada Pak Jean. Itu pasti karena Pak Arifin sering hening pikirannya,” kata klien kami.

Saya tidak tahu bahwa klien kami ternyata punya indra keenam.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Januari 2025

Saturday, December 28, 2024

Arifin Dwi Slamet’s Quotes 2024

“Kita tidak bisa memberikan ke orang lain apa yang tidak kita miliki. Bagaimana cara memberi uang kepada orang yang membutuhkannya jika kita sendiri tidak memilikinya? Bagaimana kita bisa menyalurkan cinta kepada orang lain jika kita bahkan tidak memiliki cinta untuk diri kita sendiri?” (Arifin Dwi Slamet, Sabtu Wage, 13 Januari 2024)

“Tidak ada orang yang selamanya baik maupun selamanya buruk. Baik-buruknya seseorang adalah untuk mengajarimu tentang kearifan hidup. Hanya dibutuhkan keikhlasanmu untuk menerima kenyataan akan perubahan.” (Arifin Dwi Slamet, 15 Januari 2024)

“Tuhan tidak mau kita menderita. Dia tidak menciptakan kita untuk menderita. Jadi, kalau kita menderita, itu karena kita menginginkannya, dan Tuhan memberi jalan untuk penderitaan yang kita inginkan. Tuhan selalu memberi jalan untuk apa pun yang kita inginkan, tapi kita cenderung menampik pemberianNya dengan menutup mata hati kita, dan hanya melihat sisi-sisi jeleknya.” (Arifin Dwi Slamet, 18 Januari 2024)

“Hidup kita seperti lambang tujuh lingkaran Subud. Walaupun kadang kita di titik teratas, kadang di titik terendah—terus-terusan begitu, naik dan turun, tetapi kita terus berjalan dari sebuah titik, bergerak melingkari titik tersebut, dan perjalanan kita makin lama makin menjauh dari titik awal.” (Arifin Dwi Slamet, 19 Januari 2024)

“If it makes you happy, it doesn’t have to make sense to others.” (Prof. Feynman on X)

“Berdoa itu memerintah Tuhan. Dengan berserah diri kita menerima perintah Tuhan.” (Arifin Dwi Slamet, 3 Februari 2024)

“Aspek-aspek Latihan Kejiwaan sangat banyak dan cakupannya luas, tidak akan bisa dipahami bila tidak dialami. Tapi mengalami tanpa wawasan juga akan membawa kita ke lain jurusan.” (Arifin Dwi Slamet, 5 Februari 2024)

“Don’t be discouraged if someone says you are childish. For are not only children able to enter the Kingdom of Heaven? Yes, because children have pure souls, the key to opening the door to true happiness.” (Arifin Dwi Slamet, 6 Februari 2024)

“95% ide saya untuk copywriting yang kreatif berasal dari bercanda. Copywriter harus memiliki selera humor yang tinggi, harus berani membuat lelucon sampai titik kamu dianggap pribadi yang tidak serius atau menyebalkan.” (Arifin Dwi Slamet, 6 Februari 2024)

Copywriting tidak mempersoalkan panjang atau pendek sebuah teks, melainkan menekankan pada kekuatan ide.” (Arifin Dwi Slamet, 6 Februari 2024)

“Pikiran orang sekarang dicekoki bahwa adalah sangat penting untuk tahu tujuan hidupnya, siapa dirinya, apa misi hidupnya di dunia. Itu pertanyaan-pertanyaan eksistensialis yang sebenarnya hanya fantasi tentang masa depan, sehingga lupa untuk hidup sebenar-benarnya hidup di masa kini. Kata YM Bapak, Latihan Kejiwaan Subud akan mengembalikan kita menjadi anak kecil lagi. Anak-anak mana pernah bertanya tujuan dan misi hidupnya, apalagi bertanya tentang siapa dirinya? Mereka asyik saja bermain, menikmati momen kekinian mereka.” (Arifin Dwi Slamet, 9 Februari 2024)

Enterprise bukanlah usaha yang kamu lakukan, melainkan bimbingan Latihan Kejiwaan yang kamu terima saat melakukan usaha tersebut.” (Arifin Dwi Slamet, 24 Maret 2024)

“Salah satu ciri orang bijak adalah selalu mempertimbangkan apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.” (Arifin Dwi Slamet, 24 Maret 2024)

“Bukti bahwa Bumi ini bulat adalah bahwa peristiwa yang terjadi dan dampak atau masalah yang muncul darinya yang akan kita hadapi, baik maupun buruk, akan berlalu. Jika Bumi datar tentunya peristiwa dan dampak akan berputar di situ-situ saja serta akan menahan kita dari bertumbuh secara material, intelektual dan spiritual.” (Arifin Dwi Slamet, 10 April 2024)

“Perbedaan agama tidak ada hubungannya dengan perkawinan kecuali dalam proses legalnya saja. Rumah tangga dapat berjalan harmonis karena masing-masing pihak bersikap dewasa dalam mengantisipasi perbedaan.” (Arifin Dwi Slamet, 16 April 2024)

“Orang yang takut pada pengaruh daya rendah sesungguhnya sedang dipengaruhi daya rendah.” (Anto Dwiastoro, 3 Juni 2024)

“I only fall in love with souls. I never fall in love with people. People change. They come and go. But souls remain forever. I suppose that is why when I love, it is a deep love. An unconditional love. A forever love.” (Annie Sloan)

“Kejatuhanmu disebabkan oleh meningginya hatimu di saat perjalananmu memuncak, meninggalkan kesadaranmu di kaki gunung.” (Anto Dwiastoro, 25 Juni 2024, pukul 06.30 WIB)

“Pengetahuan yang sudah kita miliki seringkali menghambat kita ketika menjelajahi kebaruan. Tidak tahu adalah jalan menuju pencerahan.” (Anto Dwiastoro, 25 Juni 2024)

“Kebahagiaan yang dirasa karena terpuaskan oleh benda tidak akan bertahan lama.” (Anto Dwiastoro, 7 Juli 2024)

Branding berbeda dengan cara iklan mempromosikan produk/jasa yang 'berbicara sendiri' tentang kelebihannya. Branding membuat sebuah produk/jasa diwakili bicaranya oleh publik. Jadi, bukan personal branding namanya kalau orangnya masih berbicara atas namanya sendiri.” (Anto Dwiastoro, 19 Juli 2024)

“I am often questioned about my nationality every time I share a complete and honest story on social media, because in the view of Westerners, Indonesia is not a storytelling nation.” (Anto Dwiastoro, 21 Juli 2024)

“Pengalaman mengajarkan bahwa kesombongan seseorang disebabkan oleh kecerdasannya yang rendah.” (Anto Dwiastoro, 9 Agustus 2024)

“Tidak ada orang yang akan sekejap bangkit semangatnya hanya dengan menyerukan kepadanya kata ‘Semangat!’. Tapi ceritakanlah kepadanya kisah-kisah nyata tentang mencapai keberhasilan dan yang menceritakan harus mereka yang benar-benar mengalaminya. Orang yang sudah dibuka dan tekun dalam Latihan Kejiwaannya akan bangkit sendiri semangatnya, tanpa harus membaca/mendengar seruan ‘Semangat!’.” (Anto Dwiastoro, 14 September 2024)

“Kita tidak melakukan ritual keagamaan karena kita percaya kepada Tuhan. Kita percaya kepada Tuhan karena kita melakukan ritual keagamaan.” (Robert M. Pirsig)

“Ketika orang lain berbicara jelek tentang dirimu, sudah bisa dipastikan bahwa dia tak lebih baik dari dirimu.” (Arifin Dwi Slamet, 11 Oktober 2024)

“Selama kamu membenci dan menjauhiku selama itu pula kamu mencintaiku.” (Arifin Dwi Slamet, 30 Oktober 2024, diterima dalam Latihan Kejiwaan)

“Serunya orang-orang kreatif itu adalah kemampuan mereka mengobrol ngalor-ngidul ke sana ke mari tanpa kehilangan fokus.” (Arifin Dwi Slamet, 8 November 2024)

“Tuhan bisa melakukan lebih banyak dengan penyerahan dirimu daripada yang bisa kamu lakukan dengan kemampuanmu sendiri.” (Craig Groeschel)

“Celebrations are part of a new life. Every day (perhaps even every hour) we become a new person, and that deserves to be celebrated, even if only with a prayer or hope. For me, every year I celebrate my opening anniversary by reminiscing about my journey to Subud. When I was opened, I felt born again, and because I was still young at my Subudness, this had an effect on my outward state: I still have that youthful enthusiasm in living life.” (Arifin Dwi Slamet, 19 November 2024)

“Seberat-beratnya menghadapi perilaku orang lain, lebih berat menghadapi diri sendiri.” (Arifin Dwi Slamet, 4 Desember 2024)

Inspirasi hanya melahirkan motivasi. Untuk berhasil dibutuhkan Perspirasi.” (Arifin Dwi Slamet, 9 Desember 2024)

“Ekspresi ‘belum selesai dengan dirinya’ berlaku bagi mereka yang masih merasa orang lain toxic bagi mereka, masih perlu validasi/pengakuan, masih merasa korban (playing victim) dari segala keburukan yang dia alami dari orang lain atau insiden akibat kesalahannya sendiri. (Arifin Dwi Slamet, 11 Desember 2024)

“Mengapa YM Bapak selalu menekankan ‘Latihan saja, Nak!’ adalah karena kenyataan-kenyataan yang telah YM Bapak alami menunjukkan bahwa segala sesuatu dapat berjalan from zero to hero hanya dengan Latihan (berserah diri dibarengi sabar, tawakal dan ikhlas). Bukan dengan segudang nasihat atau ajakan bernada indah.” (Arifin Dwi Slamet, 15 Desember 2024)

“Kerukunan di antara anggota Subud terjadi bukan dengan menasihati mereka supaya senantiasa menjaga kerukunan, jangan cekcok atau berdebat. Melainkan pembantu pelatih harus menjaga kerukunan dengan dirinya sendiri, melalui keadaan dirinya yang lerem merasakan diri, bukan malah mengobral nasihat dengan kata-kata indah.” (Arifin Dwi Slamet, 15 Desember 2024                             

“Kekacauan yang terjadi di Masa Kini adalah akibat ketidakmauan membaca Masa Lalu. Sadar atau tidak, Anda sedang mempersiapkan kekacauan di Masa Depan.” (Arifin Dwi Slamet, 16 Desember 2024)©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Sabtu Wage, 28 Desember 2024

Wednesday, December 25, 2024

Sabtu Wage

(Versi bahasa Inggris dari tulisan ini saya emailkan ke Harris Smart, Pemimpin Redaksi majalah Subud Voice.)

NO, notwageas in payment for work. It’s pronouncedwah-gay’,” jelas saya kepada seorang anggota baru, pengungsi asal Afghanistan yang sudah sepuluh tahun tinggal di Indonesia tetapi belum fasih berbahasa Indonesia. Pembicaraan kami mengacu pada informasi yang diberikan pembantu pelatih Ranting Pamulang kepadanya terkait suatu hari Sabtu pada suatu bulan yang disebut “Sabtu Wage”.

Poster semacam ini didistribusikan secara daring dan reguler kepada para anggota Subud di Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta.

Sabtu Wage adalah salah satu hari pasaran dalam kalender Jawa yang merupakan hari kelahiran Bapak, yang dipandang istimewa. Kongres Nasional ke-31 Subud Indonesia pada 31 Januari hingga 2 Februari 2025 menjadi event yang sungguh istimewa, bukan hanya karena bersamaan dengan perayaan satu abad Latihan Kejiwaan (Centennial) tetapi juga karena ulang tahun ke-78 PPK Subud Indonesia jatuh pada Sabtu Wage, 1 Februari 2025!

Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, tetapi dari dua sampai sepuluh hari. Siklus yang masih dipakai sampai saat ini di Jawa adalah saptawara (siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima hari). Karena tulisan ini tentang Sabtu Wage, saya hanya akan bahas Pancawara. Pancawara terdiri atas Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar/Terang), Pon (Palguna/Tidur) dan Wage (Cemengan/Duduk).

Siklus Pancawara biasa disebut  sebagai “pasaran”, dan dahulu digunakan oleh para pedagang untuk berjualan di pasar sesuai hari pasaran yang ada. Inilah yang menyebabkan banyak daerah di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur menyandang nama-nama pasaran tersebut, yaitu tempat-tempat yang secara historis pernah atau masih merupakan pasar, seperti Pasar Kliwon (sebuah kecamatan di Kota Surakarta), Pasar Legi (pasar tradisional di Surakarta dan Yogyakarta), Pasar Pahing (pasar tradisional di Kediri dan Sleman), Pasar Pon (pasar tradisional di Purwokerto), dan Pasar Wage (pasar tradisional di Purwokerto).

Dalam tradisi kepercayaan Jawa, hari pasaran memiliki nilai sakral dalam kaitan dengan kehidupan manusia. Hari kelahiran misalnya melambangkan sifat atau karakter orang yang dilahirkan pada hari tersebut, tak ubahnya konsep horoskop dengan zodiak. Makanya, hari lahir Bapak, Sabtu Wage, diperingati sebagai hari yang istimewa di kalangan keluarganya. Peringatan khas hari lahir berdasarkan kalender Jawa biasanya terdiri dari puasa satu hari sebelumnya (pergantian hari dimulai setelah jam dua siang) atau semadi, selamatan dengan berdoa bersama atau pembacaan Surah Yasin (bab ke-36 dari Qur’an), dan makan malam bersama.

Masyarakat Jawa modern sudah sangat jarang memperingati hari lahir berdasarkan kalender Jawa setiap 35 hari sekali, dan beralih ke tanggal Masehi dengan perayaan ulang tahun setahun sekali. Di Subud Indonesia sendiri, awalnya peringatan hari lahir Bapak, Sabtu Wage, tidak menjadi tradisi. Seorang pembantu pelatih sepuh dari Subud Cilengkrang di Bandung, Jawa Barat, pernah bercerita ke saya bahwa tradisi Sabtu Wage atau “Wagean” (berarti “pelaksanaan Wage”) awalnya hanya diperingati di lingkaran keluarga Bapak saja. Menurut beliau, adalah Mas Adji, yang pergaulannya amat luas dan dikenal merakyat di kalangan anggota Subud Indonesia, yang “membocorkan” perihal Wagean keluarga pada tiap hari Sabtu Wage di Wisma Barata, rumah Bapak di Pamulang setelah pindah dari Wisma Subud Cilandak, kepada anggota, sehingga kini Wagean pun menjadi tradisi Subud Indonesia.

Fleksibilitas

WAGEAN di Subud Indonesia diperingati secara beragam, namun biasanya terdiri dari mendengarkan rekaman audio ceramah Bapak, dilanjutkan dengan Latihan bersama, dan setelah Latihan para anggota menikmati suguhan makan malam yang ragamnya tercipta berkat kontribusi dari anggota yang menghadiri Wagean.

Secara tradisi Jawa yang asli, hari lahir seseorang mulai berlaku setelah tengah hari, sehingga Sabtu Wage diperingati anggota Subud di Jawa Tengah. Yogyakarta dan Jawa Timur pada Jumat malam. Sedangkan di Jakarta dan sekitarnya, karena alasan praktis—mengingat bahwa banyak anggota yang pulang kerja rata-rata setelah jam lima atau enam sore, ditambah kemacetan yang parah—Wagean diadakan pada hari Sabtu pagi hingga siang, seperti Subud Bogor di Jawa Barat.

Wagean Kelompok Jatiwaringin Bekasi pada Jumat malam, 3 Maret 2023.

Wagean di Jakarta dan Jawa Barat serta daerah-daerah di luar provinsi-provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur lebih fleksibel, karena kalender Jawa memang eksklusif bagi masyarakat Jawa asli (yang berasal dari ketiga provinsi tersebut). Masyarakat Sunda, yang mendominasi populasi di provinsi Jawa Barat, memiliki budaya dan bahasa yang sama sekali berbeda dari masyarakat Jawa, meskipun sama-sama menghuni Pulau Jawa. Meskipun provinsi yang berpopulasi mayoritas orang Sunda bernama Jawa Barat, masyarakat Sunda sendiri lebih suka menyebut daerah mereka “Tatar Sunda” atau “Tatar Pasundan”, dengan “tatar” berarti “tanah”. Bagaimanapun, sebagai bentuk penghormatan kepada Bapak, para anggota Subud yang bersuku Sunda tidak keberatan untuk melaksanakan Wagean.

Khidmat

SEBAGIAN cabang Subud yang ada di Pulau Jawa kadang Wagean di situs makam Bapak di Sukamulya, Cipanas, Jawa Barat. Mereka biasanya bermalam di Hall Sukamulya pada hari Jumat, tidak tidur hingga Sabtu pagi, mengisi malam yang diramaikan bunyi jangkrik dengan gathering semalam suntuk, didahului Latihan bersama dan kemudian makan malam. Tidak semua anggota wajib mengikuti gathering; bila Anda mau tidur silakan. Menyambut Sabtu pagi, para anggota melakukan Latihan bersama pada jam lima, sesuai jam kelahiran Bapak. Usai Latihan, para anggota pergi menziarahi makam Bapak. Meskipun diperbolehkan membawa kendaraan hingga ke bagian belakang paviliun makam, kebanyakan anggota, tua dan muda, merasakan kekhidmatan dalam menempuh perjalanan dari hall ke makam Bapak di pucuk bukit dengan berjalan kaki dalam keadaan Latihan.

Wagean para anggota Subud di Gang Margodadi III, Surabaya, pada 22 Juni 2018 yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-117 Bapak Muhammad Subuh menurut kalender Masehi.

Wagean di rumah Bapak, di Wisma Barata Pamulang, diadakan Sabtu malam, dan dihadiri bukan saja oleh anggota Ranting Pamulang tetapi juga oleh mereka yang tinggal di Wisma Subud Cilandak yang berjarak sekitar 13 km, dan dari cabang-cabang lainnya di sekitaran Jakarta. Telah menjadi tradisi selama bertahun-tahun, Wagean di Pamulang dimulai dengan para anggota berkumpul di Pendopo Wisma Barata untuk mendengarkan rekaman audio ceramah Bapak. Setelah itu, para anggota melakukan Latihan bersama.

Yang sudah selesai Latihan dapat mengambil makanan yang dihidangkan di teras rumah Bapak, tanpa perlu menunggu anggota yang masih Latihan. Berbeda dengan perayaan ulang tahun Bapak pada 22 Juni, yang biasanya formal dengan pidato sambutan dari ketua Komite Nasional dan/atau wakil dari keluarga Bapak, Wagean berlangsung santai serta tidak formal. Sebuah ciri khas yang biasanya ada pada komunitas Jawa yang rileks namun khidmat.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Desember 2024

Hubungan Latihan Kejiwaan Dengan Gempa Aceh 2024

SETIAP tanggal 26 Desember saya selalu teringat pada kisah berikut ini.

Tanggal 6 Maret 2005, ketika saya masih aktif sebagai anggota Cabang Surabaya, saya ikut dalam rombongan Pembantu Pelatih Nasional (PPN) Pria Komisariat Wilayah (Komwil) VI saat itu, Pak Soenardi Soesasmito, berkunjung ke rumah Pak dr. Hoediarto di kota Kediri, Jawa Timur. Beliau pembantu pelatih Subud Cabang Kediri yang saat itu saja sudah punah, kabarnya karena beliau krisis hingga bahkan berhenti praktik dokter umumnya, meskipun papan yang menunjukkan beliau seorang dokter masih berdiri di pekarangan depan rumahnya.

Perjalanan Surabaya-Kediri pp ditempuh dengan bermobil; ada tiga mobil, saya di mobil Daihatsu Taruna-nya Pak Yanto Luwiharjo bersama Pak dan Bu Yanto dan disopiri Bagiyon (saat ini menjabat Konsilor Organisasi PPK Subud Indonesia).

Dari situ, perjalanan dilanjutkan ke Desa Sumberjo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sekitar 13 km di sebelah selatan pusat kota Kediri. Di desa sunyi nan sejuk ini, kami berkunjung ke rumahnya Pak Estu, ayah dari alm. Agus Basuki, anggota Jakarta Selatan yang meninggal saat pandemi Covid-19, tahun 2021 lalu.

Pak Estu, seorang pensiunan wartawan, dibuka di rumah beliau pada 26 Desember 2004. Agus sengaja pulang kampung saat itu untuk berkoordinasi dengan Pak Soenardi agar ayahnya dapat dibuka di rumah beliau di Sumberjo.

Pak Estu menuturkan bahwa setelah dibuka, beliau menonton televisi yang memberitakan bahwa pada waktu yang bersamaan dengan pembukaan beliau Aceh dilanda gempa bumi berskala magnitudo 9,1-9,3 Mw, disusul dengan tsunami.

Apakah ada hubungannya antara gempa dan tsunami Aceh dengan pembukaan itu? Entahlah.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Desember 2024