Wednesday, July 9, 2025

Hubungan Lagu Dengan Jiwa

SAAT melihat sebuah postingan berisi sederet foto dan video yang menggambarkan kegiatan kepemudaan di Musyawarah Wilayah Subud Indonesia Komisariat Wilayah VI Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, di akun Instagramnya @subudyouthindonesia pada hari ini, secara bersamaan saya menyalakan Youtube The Best of Relax Slow Rock Music untuk mengiringi waktu bekerja saya di depan komputer.

Video di akun Instagram itu kemungkinan ada ilustrasi musiknya juga, atau suara dari mereka yang tampak dalam video tersebut, tetapi entah mengapa tidak keluar. Saya pikir, mungkin ada gangguan di speaker komputer saya, tetapi kemudian saya ketahui bahwa bukan itu penyebabnya, karena nyatanya saya bisa mendengar dengan jelas musik dari akun Youtube yang saya kunjungi. Saat itulah, saya menyadari sesuatu yang indah: Musik dan lagu dari Youtube The Best Relax Slow Rock Music yang beriringan dengan video di akun Instagram @subudyouthindonesia yang “bisu”, memberi yang tersebut terakhir nuansa yang berbeda, atmosfer yang positif, membangun rasa kekaguman, semangat, bahkan kebahagiaan.

Seketika saya teringat pada pengalaman bertahun-tahun lalu. Saat itu, tahun 2001, saya bekerja di sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, yang sedang menggarap proyek iklan televisi untuk minyak goreng berlabel “Ikan Mas”, yang pabriknya berlokasi di Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Sudah delapan kali tim kreatif biro iklan tersebut dan saya, sebagai pengarah kreatif dan copywriter-nya, mempresentasikan ide dan konsep untuk iklan TV-nya disertai papan cerita (storyboard)-nya, di kantor klien yang menyatu dengan pabriknya, namun klien—yang diwakili pasangan suami-istri pemilik perusahaan dan manajer personalianya—tetap belum berkenan.

Pada kesempatan kesembilan, kami mempresentasikan papan cerita yang tidak kami ganti—masih sama dengan saat kami mempresentasikannya pada kesempatan kedelapan, tetapi kali ini kami mempersilakan klien mempelajari frame demi frame pada papan cerita sambil mendengarkan lagu “Bunda” yang dibawakan Melly Goeslaw dari grup musik Potret dari tape yang sengaja kami bawa dari kantor.

Lagu “Bunda” menceritakan tentang rasa cinta yang diungkapkan seorang anak kepada ibunya, juga pengorbanan seorang ibu kepada anaknya. Lirik lagu tersebut dapat membuat kita teringat kepada sosok seorang ibu. Kebetulan, konsep kreatif iklan TV “Ikan Mas” menggambarkan seorang ibu yang menantikan kedatangan anak-anaknya yang telah meninggalkan rumah—karena bekerja di lain kota, kuliah di luar negeri, dan tinggal di tempat yang berbeda karena sudah menikah—dan untuk menyambut mereka sang ibu memasak hidangan yang istimewa, yang tercipta berkat “Ikan Mas”.

Perpaduan musik dan lagu dengan aktivitas mempelajari konsep kreatif iklan TV yang terpampang pada papan cerita tersebut rupanya mencetuskan suasana yang berbeda, suasana yang hangat, yang menghidupkan gambar-gambar pada papan cerita, memberi kesan khusus kepada istri pemilik perusahaan yang adalah seorang ibu dari dua anak yang beranjak dewasa. Kontan saja, klien menyetujui konsep kreatif yang kami presentasikan di kesempatan kesembilan kalinya itu. Begitu sukanya istri pemilik perusahaan pada konsep kreatifnya dan ilustrasi musiknya sampai ia minta agar iklan TV-nya tidak menggunakan suara apapun, termasuk efek suara (sound effects/SFX), selain suara merdu Melly Goeslaw membawakan lagu “Bunda” dan musik yang mengiringinya.

Setelah melakukan Latihan Kejiwaan selama bertahun-tahun, saya mulai menyadari satu hal: musik atau lagu memiliki efek khusus terhadap jiwa kita, baik yang datang dari luar ataupun dari dalam diri kita. Secara tidak sengaja (mungkin merupakan bimbingan buat saya), baru-baru ini saya menemukan ceramah Bapak mengenai pengertian saya itu, sebagai berikut cuplikannya:

“Saudara-saudara, sekedar penjelasan yang mengenai kesenian. Zaman dahulu, lahirnya kesenian yang disebut kebudayaan ialah dilahirkan karena jiwa. Jadi, bukan karena pelajaran, tapi karena jiwa. Karena itu, maka setiap melahirkan kebudayaan yang berupa kesenian—misalnya musik atau bersolah atau lagu-lagu atau menyanyi—seketika dapat menjadikan rasa diri atau hati seseorang tenteram dan bahagia. Karena itu, maka dalam agama, misalnya agama Kristen atau agama Islam atau agama Buddha, dalam memberi penuturan, nasihat kepada para orang-orang, selalu dilagukan, selalu dengan lagu-lagu. Jadi, terang, saudara sekalian, bahwa lagu-lagu atau kebudayaan, amat dekat sekali kepada jiwa, sehingga dengan mengucapkan atau melagukan lagu-lagu dan dapat membangkitkan diri dan membangkitkan rasa diri—sebagai halnya saudara kalau terlatih atau berlatih.” (Cilandak, Indonesia, 17 Februari 1970—70 TJK 1)

Musik dapat menjadi alat yang efektif untuk mengatur suasana hati, baik untuk meningkatkan energi, menenangkan diri, atau mengekspresikan emosi. Dengan memahami bagaimana musik dapat memengaruhi mood, kita dapat memanfaatkannya secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mental kita.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 10 Juli 2025

Selamat Ulang Tahun, Hyang

Di usiamu yang matang, berkah tak terbilang

Kini kau telah kembali dari berhaji,

jadikan hati berseri, jiwa pun suci

Usia terangkai sudah,

menjalin kisah hidupmu yang penuh makna dan anugerah

Langkahmu kini ringan dan bercahaya,

bekal suci dari Makkah dan Madinah

                                                  

Semoga tiap doamu terkabulkan,

Di setiap sujud, harapan menuju wujud.

Kebahagiaan abadi menaungi,

di dunia ini hingga akhir nanti

Dirgahayu, Hyang,

Semoga Allah limpahkan rahmatNya tak terhingga

Jalanmu terang, imanmu kokoh,

Dalam pasrah, hidupmu indah...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Juli 2025

Budaya Generalisasi

MASYARAKAT Indonesia itu suka salah kaprah terhadap nama-nama makanan yang berasal dari budaya-budaya yang berbeda, terutama karena kecenderungan menggeneralisasi. Generalisasi umumnya disebabkan oleh kemalasan memahami detail.

Seperti kasus Roti Canai vs Roti Maryam, misalnya—kedua jenis roti pipih yang berbeda asal budaya dan cara masaknya tapi dianggap sama. Begitu pula dengan Dimsum; masyarakat Indonesia menganggap Dimsum adalah hanya camilan berbentuk daging ayam giling berbumbu yang dibungkus kulit tepung yang dikukus. Padahal shumai (nama untuk jenis Dimsum itu) hanya salah satu dari lebih dari 950 jenis Dimsum. Dalam bahasa Kanton, dim sum berarti “makanan kecil”, dan nama itu mencakup segala jenis camilan khas Tiongkok, baik dikukus, digoreng, disetup, dibakar maupun dipanggang, termasuk onde-onde, kue ku (angku), bakcang, bakpia, bakpau, lumpia, ceker ayam, bakwan/bala-bala, kue lapis tepung beras, dan hoklopan (terang bulan/martabak manis).

Kasus lainnya adalah kebab. Di budaya asalnya, Timur Tengah, kebab secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab kabāb yang artinya “daging bakar/panggang”. Dalam konteks budaya asalnya, kebab mengacu pada daging giling yang dibakar atau dipanggang, tapi ada pula kebab yang berwujud bola daging giling (meatball atau bakso) atau daging potong dadu yang disetup (stew). Kuliner khas Indonesia, sate, termasuk kategori kebab. Begitu tiba di Indonesia, kebab digeneralisasi sebagai “daging giling bakar yang dibungkus roti pipih”; yang tidak dibungkus roti pipih dianggap bukan kebab.

Kesalahkaprahan semacam ini juga berlaku untuk kuliner lokal Nusantara. Seperti, misalnya, tempe mendoan. Di budaya asalnya, Banyumas, mendoan mengacu pada tempe tipis yang dibungkus adonan tepung yang mengandung ketumbar dan daun bawang lalu digoreng setengah matang. Istilah setempat untuk “setengah matang” adalah mendho. Jadi, mendoan atau mendhoan seharusnya mengacu pada “gorengan setengah matang” atau “basah”, bukan “gorengan garing” atau “kering” yang disukai masyarakat di luar Banyumas, utamanya Jakarta dan Surabaya. Orang Banyumas akan terbengong-bengong mendapati camilan khas daerahnya disajikan kering di daerah lain tapi tetap pakai nama “tempe mendoan”.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Juli 2025

Saturday, July 5, 2025

Saya Ada di Mana Ketika Bapak Masih Ada?

SAYA sedang melihat postingan berjudul “Overlapping Timelines That Shouldn’t Have Happened” di akun Instagramnya Look Into History, dan menemukan slide pertamanya adalah gambar ini. Terbersit pemikiran yang mengasyikkan, yaitu “saya ada di mana ketika Bapak masih ada?” 




Ketika Bapak tutup usia pada 23 Juni 1987, saya sedang kelewat larut dalam belajar di kamar saya untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri kedua kalinya bagi saya. Saat itu, saya sebenarnya sudah kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, sebuah perguruan tinggi bagi calon guru. Karena saat itu menjadi guru bukan cita-cita saya—terutama karena saya demam panggung bila berdiri di depan kelas, saya memutuskan untuk mulai kembali hit the books, mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri yang sangat kompetitif--jelas bukan ajang pertarungan yang mudah bagi seseorang dengan ranking terbawah di SMA seperti saya ketika itu. Terbersit pemikiran, seandainya saya sudah masuk Subud saat itu, mungkin menjadi agak mudah bagi saya untuk mengatur pikiran saya (yang selalu saya tuding sebagai penyebab utama ketertinggalan saya dalam pelajaran selama pendidikan dasar dan menengah saya).

Periode pendidikan saya, baik di sekolah dasar, menengah maupun ketika di universitas merupakan masa-masa yang sulit bagi saya secara psikologis. Saya menjadi pribadi yang tergolong sangat tertutup. Saya bukan saja mengalami kegagalan dalam kuliah, tetapi juga dalam pergaulan sosial dan asmara. Saya merasa terkucilkan, dan diri sendiri adalah sahabat saya. Mengenang masa-masa itu, kalau boleh, saya menyesalkan mengapa saya belum menemukan Subud. Periode pendidikan dasar, menengah hingga tinggi saya adalah saat Bapak masih ada, dan saya mungkin akan memaksimalkan bertanya jawab dengan beliau dan merajinkan Latihan demi mengatasi problema psikologis saya (rendah diri yang parah).

Tapi... ya, sudahlah, masa itu sudah lewat dan saya sintas melaluinya meski belum menerima Latihan. Bagaimanapun, saya mensyukuri kenyataan bahwa saya baru menerimanya sepuluh tahun setelah saya menamatkan kuliah sarjana saya, dan saya bertekad akan membiasakan anak saya dalam hal pasrah dengan sabar, tawakal dan ikhlas, agar ia tak perlu melalui apa yang telah saya lalui dulu.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Juli 2025

Friday, June 27, 2025

Seni Memasak


KEMARIN, 27 Juni 2025, merupakan hari libur nasional, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah. Seminggu sebelumnya, saat Latihan di Pamulang, saya secara spontan menerima bahwa saya harus membuat roti canai untuk saudara, ipar, sepupu, dan keponakan-keponakan saya di rumah peninggalan mendiang kedua orang tua saya.

Roti canai adalah hidangan roti pipih asal India yang ditemukan di beberapa negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand. Nama “canai” atau “cane” diyakini berasal dari Chennai, yang juga dikenal sebagai Madras, ibu kota dan kota terbesar Tamil Nadu, negara bagian paling selatan di India.

Dengan adonan yang sangat mudah dibuat, roti canai merupakan jenis makanan yang diwariskan dari leluhur saya dari Persia dan Gujarat di India. Lidah saya dan saudara-saudara kandung saya sudah akrab dengan budaya kuliner kedua daerah ini sejak kecil, yang bumbu-bumbunya dimodifikasi oleh ibu saya agar ayah saya yang berlatar belakang budaya Jawa pun bisa menikmatinya.

Orang Jawa Tengah seperti ayah saya menyukai masakan dengan rasa manis yang kuat, sedangkan ibu saya, sebagai orang Aceh, seperti kebanyakan orang Sumatera, menyukai makanan yang rasanya asin dan pedas. Ibu saya mampu memadukan kedua rasa tersebut untuk membahagiakan keluarganya yang memiliki selera yang berbeda-beda.

Karena itu adalah penerimaan dalam Latihan—apa pun yang mungkin dikatakan saudara-saudari Subud saya, bahwa itu mungkin hanya nafsu, saya tetap mewujudkannya, dan hari khusus untuk menyajikan roti canai adalah hari Jumat, 27 Juni.

Adonan roti canai terdiri dari—dalam resep pribadi saya—tepung, dua sendok makan minyak goreng, satu sendok makan mentega, sedikit gula dan garam, dan air. Adonan diremas, diratakan, diolesi minyak, dan dilipat berulang kali sebelum dipadatkan, sehingga terbentuk lapisan-lapisan. Bola adonan kemudian diratakan, dibentangkan hingga setipis kertas (biasanya dengan “membantingnya” di permukaan yang datar), dan dikumpulkan menjadi massa panjang seperti tali. “Tali” ini kemudian dililitkan menjadi simpul atau “konde” dan diratakan, sehingga terdiri dari serpihan adonan tipis saat dimasak. Kari ayam yang dibuat oleh kakak saya cocok untuk saat menyantap roti canai.

Ketika saya mengerahkan tenaga dan perhatian saat membuat roti canai, alih-alih merasa lelah, saya justru merasa gembira seperti saat menulis puisi atau melukis gambar yang indah. Alhasil, seluruh anggota keluarga, tua dan muda, ikut merasakan kegembiraan saya saat menikmati masakan saya. Saya teringat nasihat Bapak agar selalu memiliki perasaan positif, gembira, atau penuh cinta saat bekerja. Dan bekerja yang dilandasi kegembiraan atau cinta akan melahirkan karya seni. “Karena itu, maka setiap melahirkan kebudayaan yang berupa kesenian—misalnya musik atau bersolah atau lagu-lagu atau menyanyi—seketika dapat menjadikan rasa diri atau hati seseorang tenteram dan bahagia.(70 TJK 1)©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 Juni 2025 

Sunday, June 22, 2025

Keunggulan Manusia

HARI Minggu malam, 22 Juni 2025, karena internet Indihome di rumah saya mati, saya mencoba menghubungi provider-nya via MyTelkomsel, karena aplikasi MyIndihome kabarnya sudah terintegrasi dengan Telkomsel. Karena baru ganti ponsel, saya belum memasang aplikasi MyTelkomsel di ponsel yang sekarang, sehingga harus mengunduhnya terlebih dahulu dari Google Playstore. Gila! Ukurannya besar sekali, 140 megabyte, untuk aplikasi yang bagi saya tidak terlalu urgen, namun demi bisa mengajukan keluhan ke Indihome menyangkut internet di rumah saya, dengan berat hati saya pun mengunduh aplikasi itu.

Nyatanya, yang membuat saya sangat sebal, menu Pengaduan tidak tersedia di aplikasi tersebut, melainkan hanya frequently asked questions (FAQ) atau soal sering ditanya (SSD) yang menawarkan solusi kepada pelanggan jika ada masalah dengah layanan Indihome. Akhirnya, saya mengirim pesan WhatsApp kepada teknisi Indihome yang pernah beberapa kali ke rumah saya untuk melakukan perbaikan.

Dijawab oleh si teknisi bahwa kemarin dia sedang libur dan menawarkan, jika saya mau, dia bisa ke rumah saya pada pagi hari berikutnya. Tapi istri saya sedang membutuhkan internet untuk jualan daring dia, sehingga saya memaksa si teknisi untuk memberi solusi. Dia menginformasikan saya agar menelepon ke 188, yang segera saya lakukan dan mendapat pelayanan segera dari manusia (bukan robot atau mesin penjawab yang terprogram).

Kemarin malam, dua teknisi mendatangi rumah saya dan segera melakukan perbaikan. Pagi ini, saya uninstall MyTelkomsel yang kelihatan canggih tapi tidak banyak berguna dalam hal melayani keluhan pelanggan. Dan memakan banyak memori penyimpanan internal ponsel saya.

Puji Tuhan, masalah internet di rumah saya teratasi dengan baik. Terserah, saya dibilang jadul atau ketinggalan zaman, tapi bagi saya pelayanan oleh manusia tetap jauh lebih unggul daripada versi artifisialnya.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Juni 2025

Aksi Kehumasan

BARU-baru ini, sejumlah portal berita mewartakan adanya kapal perang asing di perairan Indonesia, dan menimbulkan kesan seolah hal itu baru terjadi dalam sejarah maritim Indonesia pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Kontan saja muncul komentar-komentar pedas dari netizen, yang menganggap pemerintah Indonesia lemah dalam mengantisipasi hal ini, serta takut menghadapi tekanan adidaya.

Kapal perang asing, terutama Angkatan LautAmerika Serikat, bukan sekali ini melintas di perairan Indonesia. Di zaman Orde Baru saja sudah menjadi pemandangan lazim. Kapal bendera Armada VII AS, USS Blue Ridge, pernah mengalami kerusakan akibat badai sehingga harus singgah di Surabaya untuk perbaikan di dok PT PAL Indonesia (Persero). Indonesia memiliki beberapa Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang bisa diakses kapal-kapal asing dan diatur oleh hukum internasional.

ALKI adalah jalur laut yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai rute pelayaran dan penerbangan internasional, yang memungkinkan kapal dan pesawat asing—sipil maupun militer—untuk melintas di wilayah perairan dan udara Indonesia. ALKI dirancang untuk memastikan keamanan dan kelancaran pelayaran, serta untuk menegaskan kedaulatan Indonesia atas wilayah perairannya. 

Terdapat tiga ALKI yang telah ditetapkan, yaitu:

·       ALKI I: Melintasi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda

·       ALKI II: Melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok

·       ALKI III: Melintasi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu

Saya pernah melihat sendiri dari pesawat Garuda yang saya tumpangi dari Jayapura ke Jakarta tahun 2009, ketika akan mendarat di Denpasar untuk transit, sebuah kapal induk AS sedang menikung memasuki Selat Lombok. Pemandangannya begitu jelasnya—karena pesawat terbang dalam ketinggian rendah lantaran akan mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar—sampai saya dapat melihat angka 68 dalam warna putih di platform penerbangannya. Itu nomor USS Nimitz (CVN-68). Kapal itu sendirian, tidak bersama Carrier Battle Group-nya, yang kelak—ketika menjadi vendor bagi Dinas Penerangan Markas Besar TNI Angkatan Laut (Dispenal Mabesal) untuk penggarapan majalah The Horizon tahun 2019-2021—saya ketahui hal itu dikarenakan perjanjian antar negara bahwa Carrier Battle Group harus memutar lewat perairan Filipina dan bergabung kembali dengan kapal induk di Laut Cina Selatan.

Kapal induk USS Nimitz (CVN-68) di lepas pantai San Diego, California, Amerika Serikat, pada Juli 2009. 


Saya curiga berita-berita yang seliweran di dunia maya baru-baru ini hanya public relation stunt (aksi kehumasan) dari Mabesal saja.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Juni 2025