Friday, November 1, 2024

Wisma Subud yang Mana?

Sisi utara dari Hall Latihan Cilandak. Difoto pada 1 November 2024.

SEBAGAI warga Jakarta Selatan, saya sudah sejak remaja mengetahui keberadaan sebuah kompleks perumahan di Jalan RS Fatmawati yang dinamai Wisma Subud. Tetapi kala itu saya tidak mempedulikannya karena saya tidak memiliki kepentingan apapun dengan Subud. Saya baru dibuka Maret 2004 dan baru pertengahan tahun 2005 saya mengunjungi Wisma Subud Cilandak, menyusul kepindahan saya ke Jakarta (lebih tepatnya “kembali ke kampung halaman”, karena saya lahir dan dibesarkan di Jakarta) setelah tinggal lima tahun di Surabaya, ibukota provinsi Jawa Timur di mana saya menemukan Subud.

Para anggota Subud luar negeri menyebutnya Wisma Subud karena itulah Wisma Subud yang pertama kali ada. Tampaknya tidak banyak anggota Subud luar negeri yang tahu bahwa semua rumah Subud di berbagai kota di Indonesia pun disebut “Wisma Subud”, dengan diimbuhi nama kota di belakangnya; misalnya “Wisma Subud Medan” terletak di kota Medan, ibukota provinsi Sumatera Utara. Sehingga jika Anda bertanya kepada anggota Subud Indonesia mengenai lokasi Wisma Subud, mereka akan bertanya balik, “Wisma Subud yang mana?”

Dalam bahasa Inggris, kata “wisma” dan “rumah” sama-sama diterjemahkan sebagai “house”, sedangkan dalam bahasa Indonesia pengertiannya berbeda. “Rumah” mengacu pada unit bangunan tunggal untuk hunian satu orang atau satu keluarga. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, “wisma” adalah bangunan untuk tempat tinggal, kantor, dan sebagainya. Wisma oleh kamus itu juga diartikan kumpulan rumah, kompleks perumahan, atau pemukiman. Wisma Subud mengacu pada pengertian kedua.

Di satu kota atau kabupaten hanya boleh ada satu cabang. Cabang membawahi satu atau lebih ranting dan kelompok. Jika di sebuah kota/kabupaten jumlah anggotanya kurang dari setengah anggota cabang, bisa saja perkumpulan Subud setempat berstatus ranting, yang administrasinya dikelola oleh cabang di kota/kabupaten terdekat.

Para anggota dari Kelompok Subud Jatiwaringin. Meskipun Jatiwaringin berlokasi di wilayah Bekasi, Jawa Barat, kelompok ini diasuh oleh Cabang Jakarta Selatan, karena cabang terdekat yang ada di Jawa Barat, yaitu Bogor, berlokasi 40 km dari sini.

Berbeda dengan keorganisasian Subud di luar negeri, dengan grup-grup tersebar tanpa batas wilayah administrasi, sehingga satu kota atau kabupaten bisa memiliki lebih dari satu grup, di Indonesia memiliki hierarki dengan cabang (branch) di strata teratas, disusul ranting (sub-branch) dan kelompok (small group) yang ditentukan oleh jumlah anggotanya. Jumlah 100 anggota membentuk cabang, 25 hingga 50 membentuk ranting, sedangkan kelompok biasanya lebih sedikit daripada 20 orang.

Wisma Subud Purwokerto di pinggiran kota Purwokerto di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, diresmikan oleh almarhum Pak Haryono Sumohadiwidjojo pada 17 Desember 2005.

Wisma Subud di Indonesia hanya terdapat di tingkat cabang, dan biasanya merupakan bangunan permanen yang dinyatakan sebagai aset dari PPK Subud Indonesia, yang tidak dapat dipindah-pindah, kecuali telah terjadi pengalihan karena sesuatu dan lain hal, misalnya telah dibeli oleh pihak lain yang bukan anggota atau organisasi Subud. Ranting dan kelompok biasanya mengadakan Latihan terjadwal atau tidak terjadwal di rumah pembantu pelatih atau anggota yang bersedia rumahnya dijadikan tempat Latihan.

Seperti telah saya tulis di muka, semua Wisma Subud di Indonesia mencantumkan nama kota/kabupaten, di mana wisma berlokasi, di belakangnya. Wisma Subud yang pertama, di Jl. RS Fatmawati No. 52, Jakarta Selatan, lebih populer di kalangan anggota Subud Indonesia sebagai “Wisma Subud Cilandak”, karena berlokasi di Kecamatan Cilandak di Jakarta Selatan. “Cilandak” dalam bahasa Sunda berarti “sungai landak”. Kabarnya, nama “Cilandak” berasal dari ditemukannya seekor landak raksasa di daerah tersebut, dan karena kecamatan ini dilalui oleh Sungai Krukut di tepi timur serta Sungai Pesanggrahan dan Sungai Grogol di tepi baratnya maka jadilah nama daerah tersebut “Cilandak”.

Wilayah Kecamatan Cilandak baru eksis pada tahun 1974 sebagai pemekaran dari wilayah Kecamatan Kebayoran Baru, sebuah wilayah pemukiman baru yang dirancang pada tahun 1948. Kebutuhan pemukiman cukup mendesak karena Jakarta memerlukan banyak fasilitas publik dalam kedudukannya sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan Indonesia. Konsep yang digunakan adalah “kota taman”, sebuah konsep yang dipakai dalam banyak pengembangan properti modern. Dalam konsep ini, ruang terbuka hijau sebagai ruang milik publik mendapat perhatian khusus.

Pada tahun 1977, Cilandak mengalami pemekaran menjadi dua kelurahan: Cilandak Barat dan Cilandak Timur. Wisma Subud yang pertama berlokasi di Cilandak Barat. Meski sempat dikenal dengan kisah landak raksasa, Cilandak kini telah bertransformasi menjadi tempat nongkrong hits anak muda Jakarta Selatan.

Bentuk Penghargaan

BARU-baru ini, seorang anggota baru wanita dari Cabang Jakarta Timur bercerita ke saya bahwa satu pembantu pelatih wanita di Cabang Jakarta Selatan (Cilandak) tidak tahu keberadaan Wisma Salim dan bertanya apakah itu Subud atau bukan. Suami si anggota baru melalui masa kandidatannya hingga dibuka di Wisma Salim, oleh pembantu pelatih Subud resmi, tetapi karena si pembantu pelatih wanita tampaknya kurang pergaulan ia kebingungan dengan nama Wisma Salim maupun nama-nama para pembantu pelatih yang membuka suami dari si anggota baru.

Wisma Salim adalah satu-satunya wisma Subud di Indonesia yang tidak menggunakan nama “Wisma Subud”, namun itu adalah wisma Subudnya Cabang Jakarta Timur yang keberadaannya sudah lama—melampaui usia keberadaan pembantu pelatih wanita tersebut di atas di Subud. Mengapa dinamai Wisma Salim adalah karena orang yang menyumbangkan rumahnya untuk wisma Subud itu bernama Salim, dan penamaan itu adalah sebagai bentuk penghargaan kepadanya.

Belakangan, mungkin agar tidak membingungkan anggota yang belum pernah ke Wisma Salim, diimbuhi kata “Subud” di belakangnya, menjadi Wisma Subud Salim, atau “Wisma Subud Jakarta Timur”.

Penampungan Orang Krisis

MENURUT seorang pembantu pelatih senior Rungansari, dalam pesan WhatsApp-nya ke saya pada 29 Oktober 2024 lalu, dahulu Bapak menyatakan bahwa kompleks Wisma Subud (Cilandak) merupakan tempat penampungan anggota-anggota yang krisis. Siapapun dia dan dari mana pun dia, anggota luar negeri atau Indonesia, jika datang ke Wisma Subud lalu krisis, dia wajib ditangani oleh pembantu pelatih yang tinggal di kompleks. “Karena itu, penghuni kompleks Wisma Subud Cilandak itu 80 persen adalah pembantu pelatih,” tulis si pembantu pelatih Rungansari dalam pesan WhatsApp-nya.

Dahulu, di Wisma Indonesia, sebuah bangunan fungsional di bagian belakang kompleks Wisma Subud Cilandak, dibuatkan satu kamar khusus (No. 4) untuk menampung anggota yang mengalami krisis kejiwaan yang berat. Jendelanya berjeruji besi, pintunya dirangkap kayu jati tebal yang tahan terhadap pukulan supaya tidak pecah. Langit-langit kamar diberi papan tebal dua rangkap supaya tidak pecah bila dicoba dihancurkan oleh anggota yang krisis—seperti yang sering terjadi saat itu.

Wisma Indonesia pada tahun 1979. Foto milik Matthew des Tombe.

Sekarang, kamar itu sudah tidak ada, mungkin karena dianggap sekarang jarang anggota yang mengalami krisis berat seperti dahulu. Anggapan itu terdengar aneh bagi para helper senior, karena bila anggota tidak pernah krisis atau krisisnya berderajat ringan itu artinya Latihannya tidak tembus. Salah satu penghuni lama Wisma Subud Cilandak, Harris Roberts, pernah bercerita ke saya, bahwa dahulu anggota krisis yang berkeliaran di kompleks dan membuat kekacauan yang meresahkan merupakan pemandangan yang lumrah. Harris lantas bertanya, mengapa dewasa ini tidak pernah lagi ada anggota yang krisisnya sedemikian parah.

“Karena anggota dan PP sekarang pengecut, Pak!” kata saya. “Dulu, mereka berani menerima dan mengikuti penerimaan mereka... Receive and follow. Sekarang, jarang yang mau begitu. Terlalu khawatir dengan dampaknya jika disangkutkan dengan kebutuhan materi mereka.”

Harris mengangguk sambil tersenyum. “Ya, mungkin itu alasannya.”

Selama pandemi Covid-19, mulai pertengahan Maret 2020 hingga beberapa bulan pertama tahun 2022, Hall Latihan Cilandak ditutup berdasarkan keputusan para koordinator Dewan Pembantu Pelatih Daerah Jakarta Selatan dan pengurus Cabang Jakarta Selatan. Latihan dipindah ke rumah masing-masing anggota, dilakukan secara bersama-sama tapi dari jarak jauh pada hari dan jam yang sama. Sejumlah anggota, terutama yang baru dibuka, mengeluhkan kenyataan bahwa mereka tidak bisa Latihan sendiri di rumah, sehingga akhirnya Ketua Umum Pengurus Nasional mengupayakan Latihan bersama secara terbatas (15 orang sekali masuk ruangan) yang bertempat di Pendopo Wisma Indonesia yang kini telah diberi dinding kaca dan berpendingin udara. 

Pendopo Wisma Indonesia pada tahun 1979. Pendopo yang terbuka memberi ruang untuk menghirup udara segar. Foto milik Matthew des Tombe.


Interior Pendopo Wisma Indonesia saat ini: berdinding kaca dan berpendingin udara. Sejak itu, akses dibatasi hanya untuk pertemuan-pertemuan resmi oleh dewan pembantu pelatih dan Pengurus Nasional.


Jika dahulu, Pendopo bisa diakses semua anggota, menjadi tempat anggota berkegiatan sosial serta kamar-kamar di Wisma Indonesia bisa diinapi anggota dari daerah lain yang jauh, kini Pendopo maupun Wisma Indonesia telah menjadi tempat yang “dingin dan kaku”, karena pintu akses Pendopo dikunci dan Wisma Indonesia memiliki sedikit penerangan di waktu malam, yang memberi kesan angker. Beberapa anggota dan pembantu pelatih masih suka nongkrong sepanjang malam di belakang Pendopo yang telah diberi atap, menggelar gathering kejiwaan tidak resmi sambil minum kopi dan makan camilan.

Hingga sebelum pandemi, kompleks Wisma Subud Cilandak tergolong cukup ramai dengan kegiatan dan lalu lalang orang maupun kendaraan. Atmosfernya juga ramah, seolah semua pohon dan bangunan di kompleks itu tersenyum menyambut pengunjung. Tetangga saling berkunjung dan para pejalan kaki saling menyapa merupakan pemandangan yang biasa. Bagi orang yang belum pernah ke Wisma Subud Cilandak, mengunjunginya kala itu serasa masuk ke taman sejuk yang memberi kesegaran baru bagi mereka yang penat dengan kehidupan kota Jakarta yang keras. Kini, keadaan itu sudah luntur. Saya pribadi merasa Wisma Subud Cilandak tak ubahnya kompleks pemakaman dengan Hall Latihan sebagai mausoleum.

Atas: Hall Latihan pada pagi hari 7 Juli 2023. Bawah: Hall di malam hari 18 November 2021. Atmosfer angkernya di malam hari memberi kesan bahwa bangunan itu merupakan sebuah mausoleum.

Tahun 2005, ketika baru kembali ke kota kelahiran saya, Jakarta, dan rutin melakukan Latihan di Hall Cilandak, saya takjub dengan betapa banyaknya anggota yang Latihan pada satu waktu. Alas kaki mereka berjejer dan mengular panjang di depan pintu masuk Hall Latihan. Saya biasa nongkrong di Teras Timur, di mana biasanya para anggota pria bergerombol memasuki hall untuk Latihan bersama. Saya ingat saat itu Latihan dibagi dua gelombang karena demikian banyaknya anggota yang ingin menghadiri Latihan bersama. Alas kaki mereka parkir mulai dari depan pintu hall terus mengular sampai depan pintu toilet pria.

Ketika saya ceritakan hal ini kepada satu anggota baru, baru-baru ini, ia terkesima tak percaya. Pasalnya, sekarang sebaliknya, hanya segelintir pasang alas kaki yang dijumpai di depan pintu. Ke mana perginya para anggota? Entahlah, tapi yang saya saksikan adalah berkurangnya jumlah pembantu pelatih yang berdedikasi penuh dalam melayani anggota, khususnya di Cabang Jakarta Selatan.

Tetangga yang Tak Mengerti

SELAMA ini, hanya satu rumah di kompleks yang penghuninya bukan anggota Subud. Seorang pebisnis Indonesia yang mata rantai bisnisnya merajai industri makanan di negeri ini. Bersama anggota tim pengurus nasional Subud Indonesia lainnya, tahun 2010 saya berkesempatan berkunjung ke kantornya. Ia menceritakan bagaimana ia bisa mendapat rumah di dalam kompleks “eksklusif Subud” sementara ia dan keluarganya bukan anggota Subud. Meskipun bukan anggota Subud, ia memiliki familiaritas yang cukup tentang apa itu Subud. Ia menghargai bilamana lingkungan tempat tinggalnya ramai oleh banyak anggota yang datang ke Wisma Subud pada jadwal-jadwal Latihan—dan ada banyak pula anggota yang tidak tahu bahwa di kompleks itu bertempat tinggal keluarga non Subud.

Guest House pada tahun 1979. Foto milik Matthew des Tombe.


Guest House dewasa ini. Sebuah kedai kopi di sebelahnya telah memberi sedikit keramaian pada hari-hari, dan telah menjadi tempat bagi para anggota untuk menantikan jam Latihan atau untuk nongkrong bersama anggota-anggota lainnya pasca Latihan.


Namun, belakangan semakin banyak penghuni kompleks yang bukan anggota Subud dan tidak mengerti apa itu Subud. Bagaimanapun, Yayasan Subud, yaitu pihak yang dipercayakan Asosiasi Subud Dunia (WSA) untuk mengelola Wisma Subud Cilandak, tampaknya lebih mengutamakan kepentingan mereka ketimbang anggota. Kini, nongkrong sampai jauh malam di teras hall Latihan tidak diperbolehkan, dan akan ada tetangga yang tidak mengerti akan memprotesnya bila dibiarkan. Kini pula, anggota sekuriti yang bukan anggota Subud akan segera mengunci pintu hall begitu dilihatnya hall dalam keadaan kosong pada malam hari, meskipun jam tutup hall belum tiba. Tentu saja ini merugikan anggota yang datang dari daerah lain dan membutuhkan waktu untuk menerobos lalu lintas Jakarta yang padat untuk sampai di Wisma Subud Cilandak, karena begitu mereka tiba hall sudah dikunci dan lampu-lampu teras sudah dimatikan!

Bagi yang pernah mengalami Wisma Subud Cilandak di masa lalu akan bertanya bagi dirinya sendiri: Di mana Wisma Subud sekarang?©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 November 2024




Monday, October 28, 2024

Seorang Ayah Spiritual Lintas Benua


SEORANG saudara Subud yang pernah bertemu dengan beliau di Kongres Dunia 2018 di Freiburg bertanya ke saya bagaimana saya bisa begitu akrab dengan Ruslan Moore, padahal saya belum pernah bertemu beliau secara langsung. Mungkin itu yang namanya hubungan jiwa ke jiwa di antara saudara Subud.

Memang unik hubungan saya dengan Ruslan. Saya mengenal beliau pertama kali di Facebook bertahun-tahun lalu. Dalam konversasi kami via Facebook, email dan sejak 19 Oktober 2020 melalui WhatsApp, terungkap bagi saya bahwa almarhum Ruslan Moore adalah seorang yang oleh Bapak digolongkan sebagai Subud-minded. Beliau sangat setia pada Bapak dan tidak menoleransi mereka yang melakukan mixing sementara mereka sudah dibuka, atau yang menyimpang dari hal-hal yang sudah digariskan Bapak.

Komunikasi yang cukup intensif akhirnya membuat saya merasa bahwa beliau adalah seorang ayah bagi saya. Seorang ayah spiritual lintas benua—sebagaimana Ruslan memperlakukan Bapak Muhammad Subuh bagi beliau sendiri.

Ruslan-lah yang terus menerus memotivasi saya untuk rajin dan tekun Latihan Kejiwaan. Sebagai muslim yang taat, bagaimanapun, beliau tidak mempermasalahkan saya yang berterus terang kepada beliau bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan tidak memeluk agama apapun. Ketika saya krisis, merasa diri seorang Buddhis, pun beliau tidak menilai hal itu buruk. “Apapun jalan yang kamu pilih, jalankan sebaik-baiknya dengan tetap mengikuti bimbingan Tuhan,” tulis Ruslan dalam komentarnya kepada saya di Facebook.

Ruslan tidak keberatan ketika saya menyatakan bahwa beliau saya anggap seperti ayah saya sendiri. Beliau hanya mengingatkan bahwa diri beliau bukanlah manusia yang sempurna; beliau memiliki banyak kesalahan dalam hidupnya. Justru saya senang dengan kejujuran beliau. “Saya banyak belajar dari kesalahan, Ruslan. Saya tidak menghargai orang yang tidak pernah berbuat salah, karena orang seperti itu tidak manusiawi.”

Ruslan sering berbagi cerita tentang grup Subud di Malawi, Afrika Timur, yang beliau rintis. Berawal dari satu orang, grup itu kini telah berkembang pesat dengan keanggotaan mencapai seratusan. Meski sudah berumur dan acap terganggu kesehatannya, beliau tetap rutin terbang dari AS ke benua Afrika untuk mengunjungi grup itu dan tinggal berbulan-bulan di Malawi.

Suatu pengalaman ajaib dan lucu pernah saya lalui terkait kepergian Ruslan ke Malawi. Bulan September 2015, Ruslan menghubungi saya melalui Facebook Messenger untuk meminta tolong dikirimi 22 karton rokok kretek Indonesia yang beliau sukai, Djarum Super 16, karena beliau akan ke Malawi dan tinggal di sana selama empat bulan. Saya menyanggupinya.

Karena mengirim rokok dalam jumlah banyak ke Amerika Serikat tidak memungkinkan, lantaran undang-undang bea cukai yang amat ketat, Ruslan meminta saya untuk mengirimkannya ke Malawi. Beliau mentransfer uang senilai Rp15 juta ke saya via Western Union. “Ambil sisanya untuk kamu,” tulis Ruslan dalam pesan Facebook Messenger-nya.

Berbekal uang itu, saya mendatangi sejumlah toko kelontong di lingkungan rumah saya hingga terkumpul 22 karton Djarum Super 16. Saya kemas dalam kardus besar yang dibungkus dengan rapi dan saya bawa ke cabang DHL terdekat rumah saya di Jakarta Selatan.

Waktu itu jam sebelas malam dan kantor DHL sepi, hanya saya pelanggan yang datang. Seorang petugas menerima paket saya. Dia menanyakan apa isinya. Tanpa ragu—karena saya tidak tahu apapun mengenai peraturan pengiriman barang ke luar negeri—saya jawab, “Rokok, 22 karton.”

Si petugas tidak mempermasalahkan, sehingga saya mengira bahwa UU di Indonesia tidak melarang pengiriman rokok dalam jumlah besar. Ia membuka kardus yang saya bawa untuk memindahkan berbungkus-bungkus rokok itu ke kardus berlogo DHL dan mengemasinya kembali. Ia memberi saya resi pengiriman, yang mencantumkan harga yang harus saya bayar, yang menyisakan Rp4 juta. Saya kemudian pulang.

Lima hari kemudian, Ruslan mengabari saya bahwa paket sudah sampai alamat di Malawi dalam keadaan utuh.

Tahun 2016, kembali Ruslan meminta bantuan saya untuk mengirim 18 karton rokok Djarum Super 16 ke Malawi karena beliau akan ke sana lagi. Kali ini saya tidak menyanggupinya karena saya sedang disibukkan oleh proyek branding dari klien saya. Saya menawarkan E, seorang anggota Subud Jakarta Selatan, yang saya rasa bakal cocok dengan Ruslan (paling tidak, karena E juga mengisap Djarum Super dan fasih berbahasa Inggris). Bagi Ruslan, tidak menjadi soal siapa yang membantunya, yang penting 18 karton rokok bisa terkirim ke Malawi sesuai harapannya. E pun mulai bekerja, mengumpulkan 18 karton rokok dan membawanya ke DHL Pasarminggu (sama dengan tempat pengiriman 22 karton sebelumnya oleh saya).

E mem-WhatsApp saya bahwa dirinya mengalami kendala dalam pengiriman. Pihak DHL menolak barang yang akan E kirimkan, karena ada undang-undang yang melarang pengiriman rokok lebih dari satu setengah karton per hari. Lucunya, UU itu telah berlaku sejak 2013—yang artinya saya seharusnya terkena larangan itu ketika mengirimkan 22 karton pada tahun 2015.

E berargumentasi bahwa sebelumnya ada temannya (yaitu saya) yang pernah mengirim 22 karton ke alamat yang sama dan oleh petugas DHL Pasarminggu diperbolehkan. Tidak percaya dengan argumen E, si petugas meminta resi pengiriman pada tanggal saya mengirimkan 22 karton itu. E lantas menghubungi saya, meminta saya me-WhatsApp foto resinya, yang kemudian segera saya lakukan.

Betapa terkejutnya si petugas DHL ketika melihat foto resi yang saya kirim ke E. Pasalnya, nama petugas yang tercantum pada resi tersebut adalah milik petugas yang menolak melayani E lantaran adanya UU tersebut!

Berpedoman pada UU tersebut, akhirnya E tiap hari mendatangi DHL untuk mengirim satu setengah karton hingga seluruh 18 karton terkirim. Dan hal itu menimbulkan biaya besar.

Ketika saya menceritakan hal itu kepada Ruslan, beliau berkomentar, “Itulah, makanya saya hanya minta bantuan kamu. Kamu punya kekuatan spiritual yang E belum punya.”

Saya memiliki cukup banyak kenangan dengan Ruslan Moore yang belum pernah saya temui secara langsung, melebihi saudara-saudara Subud Indonesia yang sebaliknya pernah bertemu beliau.

Saya ingat beberapa tahun lalu Ruslan menawarkan ke saya bilamana saya mau menjadi pembantu pelatih, beliau akan minta ke Ibu Rahayu. Saya bertanya-tanya pada saat itu, seberapa dekat Ruslan dengan Ibu sampai beliau bisa meminta ke Ibu untuk suatu tugas di Subud yang membutuhkan tanggung jawab yang besar.

Beliau merasa saya sudah pas untuk menjadi pembantu pelatih karena menurut beliau saya selalu jujur dengan penerimaan saya. Saya menolak tapi Ruslan mendesak agar saya melakukan testing dulu. Beliau memberi saya tiga pertanyaan terkait tingkat penyerahan diri saya dan bagaimana Latihan saya. Kami berdua melakukan testing itu, Ruslan di Fort Lauderdale, Florida, dan saya di Jakarta.

Saya menerima bahwa saya belum siap, begitu pula penerimaan Ruslan. Tapi beliau menambahkan, “Tuh kan, kamu jujur dengan penerimaanmu. Itu salah satu tanda dari pembantu pelatih yang baik."

Obrolan-obrolan kami, terutama dalam kejiwaan, banyak menginspirasi saya untuk “kembali ke Bapak”, menelusuri dan mempraktikkan Subud yang orisinal, yang dewasa ini meluntur karena kurangnya kepedulian pembantu pelatih untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi mereka secara bertanggung jawab sebagai “pembantu Bapak” yang sesungguhnya. Setiap kali berkomunikasi, kuat sekali saya rasakan vibrasi kehangatan seorang ayah kepada anaknya yang terpancar dari diri Ruslan. Hal ini menumbuhkan kerinduan yang besar pada diri saya untuk bertemu muka dengan sang ayah spiritual lintas benua.

Pesan WhatsApp Ruslan ke saya pada 6 Agustus 2023, membahas bagaimana bila ia meninggal.


“Jika Tuhan menghendaki, Arifin, dan kamu ikhlas, keinginanmu akan terwujud,” tulis Ruslan dalam pesan WhatsApp beliau. Saya pun menunggu penuh harap akan hari pertemuan itu.

Namun yang datang ke saya pada 28 Oktober 2024 pukul 08.04 (Waktu Indonesia Barat) adalah pesan WhatsApp dari satu saudara Subud asal Indonesia yang tinggal di Gainesville, Florida, AS, bahwa Ruslan Moore wafat pada hari Senin, 28 Oktober 2024, pukul 4.05 pagi US Eastern Standard Time. Selamat jalan, Ayah. Engkau akan selalu kurindukan sampai saatku pun tiba untuk kembali kepada Sang Pencipta.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 29 Oktober 2024

Wednesday, October 23, 2024

Pengampunan, Bermil-Mil Jauhnya

SEBAGAI orang yang lahir dan besar di Jakarta, saya tidak merasa memiliki kepentingan untuk “pulang kampung”, karena bagi saya Jakarta adalah kampung saya. Setiap menjelang akhir Ramadan, karena itu, saya dan saudara-saudara kandung saya tidak terpikir untuk berdesak-desakan di stasiun kereta api, terminal bus, atau bandara, untuk memenuhi hajat kebanyakan orang Indonesia dalam menyambut Idulfitri, yaitu mudik.

Asal-usul istilah “mudik” masih simpang-siur hingga kini. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berasal dari bahasa Jawa Kuno “mudik”, dari kata “udik yang artinya “naik”, “maju (berjalan) ke hulu”, menuju ke darat. Pada zaman dahulu, sebelum di Jakarta terjadi urbanisasi besar-besaran, masih banyak wilayah yang mencantumkan kata udik (utara) atau ilir (hilir) di belakang nama wilayahnya. Beberapa wilayah masih mempertahankan nama itu hingga kini, contohnya kawasan tempat tinggal saya di Tangerang Selatan (sebuah kota di provinsi Banten, 19 mil sebelah baratdaya Jakarta) bernama Pondok Cabe Ilir.

Pada saat Jakarta masih bernama Batavia, yaitu di zaman kolonial Hindia Belanda, suplai hasil bumi untuk Batavia diambil dari wilayah-wilayah di luar tembok kota (pada mulanya, Batavia adalah nama benteng Belanda di wilayah pesisir Jakarta yang kala itu bernama Sundakalapa, dimana hanya orang Eropa boleh bertempat tinggal) di selatan. Para petani dan pedagang hasil bumi tersebut membawa dagangannya melalui sungai. Dari situlah muncul istilah “hilir-mudik”, yang artinya sama dengan bolak-balik. Mudik atau menuju udik saat pulang dari kota kembali ke ladangnya, begitu terus secara berulang kali.

Terdapat juga teori bahwa asal-usul kata “mudik” berasal dari akronim dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu “mulih dhisik”, yang berarti “pulang dahulu”. Walau belum dapat dipastikan kebenarannya, namun teori ini beredar cukup luas, terlebih di kalangan masyarakat Jawa.

Mudik tadinya identik dengan para perantau atau pekerja migran, yang pulang ke kampung halamannya menjelang hari raya besar keagamaan, misalnya menjelang Idulfitri, Iduladha, Natal dan Tahun Baru, serta hari-hari libur nasional yang bersambung dengan akhir pekan. Saat mudik adalah kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara di perantauan, selain tentunya juga sowan dan sungkeman dengan orang tua.

Jumlah pemudik, terutama saat menyambut Idulfitri, bisa mencapai jutaan orang dalam beberapa minggu menjelang Idulfitri. Terminal bus, stasiun kereta api dan bandara yang dipadati calon penumpang menjadi pemandangan yang lumrah. Juga jalan-jalan raya yang diantre barisan kendaraan roda empat yang mengular bermil-mil panjangnya. Hal itu menunjukkan betapa penting makna mudik bagi masyarakat Indonesia. Dahulu, di era Orde Baru Presiden Soeharto, ketika manajemen moda transportasi umum masih di bawah standar, para pemudik harus rela menderita secara fisik dan mental untuk dapat memenuhi keinginan pulang ke kampung halaman. Penumpang rela duduk di atap kereta api atau bergelantungan di pintu kereta atau berpegangan erat pada pagar lokomotif. Dan itu hanya untuk meminta maaf secara lahir dan batin kepada sanak saudara di kampung!

Kedua orang tua saya bukan asli Jakarta. Ayah saya berasal dari sebuah kota kecil di kaki Gunung Slamet di Jawa Tengah, bernama Purwokerto. Ibu saya kelahiran Langsa di provinsi Aceh, dibesarkan di Meulaboh, juga di Aceh, dan melewati masa remaja hingga dewasa di Medan, yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara. Hanya pada musim liburan sekolahlah saya dan saudara-saudara kandung saya dibawa orang tua kami ke Purwokerto atau ke Medan. Tidak pernah mereka memboyong kami mudik ke kampung halaman masing-masing untuk berlebaran dengan para tetua di sana.

Bagi orang tua saya, tidak perlu mudik, karena selain selama musim mudik sulit mendapatkan tiket kereta api atau bus atau pesawat serta berjubelnya calon penumpang di stasiun, terminal, dan bandara, mereka merasa Jakarta sudah menjadi “kampung permanen” mereka. Apalagi ayah saya, sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara, secara tradisi Jawa merupakan orang yang dituakan, yaitu orang yang selama Idulfitri mendapat privilese untuk dikunjungi oleh keluarga yang orang tuanya tergolong lebih muda dari beliau.

Kebiasaan mudik baru saya alami setelah saya menikah dengan istri saya. Istri saya sejak lahir hingga dewasa tinggal di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta dan merupakan ibukota dari provinsi Jawa Timur. Letaknya yang berjarak lebih dari 500 mil di sebelah timur Jakarta, membuat kepulangan ke Surabaya, terutama dengan kereta api atau bus yang memakan waktu lebih lama daripada dengan pesawat terbang, layak disebut “mudik”. Surabaya sendiri bukanlah kampung dalam pengertian kata itu. Surabaya adalah salah satu dari empat kota pusat utama di Indonesia, bersama Jakarta, Medan, dan Makassar. Surabaya telah menjadi salah satu kota pelabuhan perdagangan tersibuk di Asia. Orang yang terbiasa hidup di tengah kemegahan kota metropolitan Jakarta, seperti saya, akan merasa Surabaya sama saja dengan ibukota Republik Indonesia itu.

Namun, Surabaya hanyalah sebuah titik awal dari perjalanan mudik saya dan keluarga inti saya. Dari sana, ibu mertua saya akan mengajak kami melakukan mudik ke sejumlah daerah di Jawa Timur, terutama ke Kediri dan Blitar, tempat ibu mertua saya melalui masa mudanya. Di kedua kota itu bertebaran para kerabat beliau, sebagian yang bahkan istri saya tidak mengenal nama mereka melainkan panggilan mereka menurut hierarki keluarga besar, seperti eyang kakung (kakek), eyang putri (nenek), mas (kakak laki-laki/kata sapaan hormat untuk laki-laki Jawa), atau mbak (kakak perempuan/kata sapaan hormat untuk perempuan Jawa).

Tidak terlalu masalah sebenarnya jika Anda tidak mengenal siapa yang Anda jumpai saat kunjungan sosial dalam rangka Idulfitri itu, yang penting Anda mengulurkan kedua tangan untuk bersalaman dengan tuan rumah dan keluarganya sambil meminta pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah Anda buat, baik secara lahir maupun batin. Kepada orang-orang yang secara usia sudah uzur, permintaan maaf dilakukan mereka yang lebih muda dengan sungkem.

Bagi orang asing, tradisi ini mungkin membingungkan—bagaimana mungkin kita telah berbuat salah terhadap seseorang yang belum tentu kita pernah bertemu dengannya sebelumnya. Anda mungkin merasa tidak pernah berbuat salah pada orang yang tergolong asing bagi Anda, tetapi bukan itu masalahnya. Dalam tradisi Jawa, permintaan maaf secara lahir dan batin pada penutup bulan Ramadan atau selama Idulfitri pada hakikatnya menyalurkan keterhubungan kita dengan leluhur kita. Tindakan meminta maaf itu melambangkan bahwa kita mewakili para leluhur yang sudah tiada untuk mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa mereka semasa hidupnya. Pengampunan itu sangat bernilai bagi semua orang, tak peduli berapa mil jarak yang harus ditempuh.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2024

Monday, October 14, 2024

Subud Kata-Kata

BELAKANGAN ini, generasi pasca Bapak yang lebih muda sering mendapat teguran keras dari pengurus maupun pembantu pelatih Subud Indonesia, yang disebabkan oleh kesalahpahaman terhadap penggunaan kata-kata, di media sosial atau lingkaran-lingkaran yang terbatas (seperti di grup WhatsApp). Bahkan ketika disodorkan acuan dari ceramah Bapak, mereka menuntut “tafsiran yang benar” dari sebuah kata atau kalimat jika mereka tidak sependapat.

Apakah ditulis tangan atau diketik, tulisan mengandung kalimat-kalimat yang menyampaikan pesan kepada pembaca. Kalimat terdiri dari kata-kata, dan kata-kata tercipta dari susunan huruf-huruf.

Huruf adalah karakter dalam tulisan yang terdiri dari anggota abjad dan mewakili bunyi bahasa. Bahasa berbasis kata berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antar manusia, dan bahasa merupakan produk budaya, yang tercipta melalui proses berpikir. Sebagaimana sifat pikiran yang memiliki keterbatasan, bahasa yang berbasis kata-kata tidak mampu menjangkau rasa.

Rasa tidak bisa diterjemahkan seutuhnya melalui bahasa yang tertulis. Para pejalan spiritual di masa lampau cenderung mempuisikan ekspresi kedalaman rasa mereka, karena prosa sangat terbatas dalam menarasikan yang gaib.

Subud biasanya terkait erat dengan ranah rasa. Di ranah ini tidak ada benar-salah, baik-buruk, positif-negatif, yang sebaliknya merupakan produk akal pikiran. Ketika sesuatu dianggap (oleh pikiran) sebagai salah, sementara orang lain menganggapnya benar, maka alih-alih memperdebatkannya, kedua belah pihak seharusnya merasakan diri saja. Jika cocok, silakan; jika tidak, ikhlaskan. Dengan begitu, seharusnya tidak perlu saling menyalahkan, merasa tersinggung, atau marah atau protes berkepanjangan.

Subud saat ini telah berkembang menjadi Subud yang banyak bicara, atau Subud kata-kata, di mana khususnya para pembantu pelatih sangat mudah terpengaruh oleh daya kata-kata. Saat ini, anggota Subud sangat mudah terprovokasi oleh misinformasi yang tidak disengaja atau disengaja dan sangat suka membuat kehebohan. Hanya karena kata-kata, pertengkaran tidak dapat dihindari, yang membuat kerukunan di ujung tanduk.

Di mana rasa? Mengapa para pembantu pelatih khususnya tidak lagi mengedepankan rasa dewasa ini?

Dalam sejumlah literatur tentang memetika, atau kajian meme (ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam suatu budaya, yang mereplikasi diri mereka sendiri melalui peniruan), tidak jarang merekomendasikan meditasi sebagai cara untuk menangkis serangan gagasan kata. Jadi mengapa banyak anggota Subud yang telah menerima Latihan—yang dikatakan melampaui meditasi—malah mudah dikalahkan oleh kata-kata?©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 12 Oktober 2024

Friday, October 11, 2024

Puncak Wijaya


AYAH saya terlahir dengan nama Kislam, gabungan dari kata “ki” dan “islam”. Beliau sendiri yang menceritakannya ke saya, jauh sebelum beliau wafat pada 1 November 1995.

“Ki” adalah sebutan atau gelaran yang dikenal dalam masyarakat Jawa. “Ki” berhubungan dengan kata “aki” yang berarti laki-laki atau bapak. Sebutan “ki” setara dengan kata “nyi” yang berhubungan dengan kata “nyai” untuk menyebut perempuan atau ibu. “Islam” adalah nama agama yang dianut ayah saya. Mungkin kakek saya (ayah dari ayah saya) berharap ayah saya kelak menjadi ulama atau kyai.

Tetapi—yang lazim menjadi latar belakang kisah orang-orang hebat di Jawa—nama “Kislam” rupanya memberatkan keadaan diri ayah saya secara lahir. Akibatnya, ayah saya semasa kecil sering sakit dan memiliki kepribadian yang lemah. Ayah saya menuturkan bahwa karena itulah nama beliau harus diganti. Beliau tidak merinci apakah kakek saya yang mengganti nama beliau atas keputusan sendiri atau atas saran “orang pintar”.

Nama beliau diganti menjadi “Slamet Wijaya”. Kabarnya, nama Slamet diambil dari Gunung Slamet yang siluetnya terlihat jelas dari arah pintu depan rumah kakek saya di Desa Sumampir, Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dan “Wijaya” ditambahkan di belakangnya, tetapi ayah saya tidak sampai ke detail mengapa nama “Wijaya” yang digunakan sebagai tambahan.

Harapan kakek saya adalah agar ayah saya tumbuh menjadi pribadi yang tegar, kuat dan berwibawa sebagaimana orang Jawa, khususnya di daerah Banyumas dan sekitarnya, melihat sosok Gunung Slamet. Dan sebagaimana yang dipercayai masyarakat Jawa terhadap penggantian nama, ayah saya memang merupakan pribadi yang tegar, kuat dan berwibawa. Bayangkan, di usia 15 tahun beliau nekat bergabung sebagai anggota TNI yang baru dibentuk (1947) dan sudah keluyuran di hutan dan gunung dengan memanggul senjata, siap menghadapi musuh yang merongrong eksistensi Republik Indonesia.

Beliau sebenarnya kelahiran 15 Agustus 1933, tetapi demi bisa diterima sebagai anggota TNI, yang syarat usianya minimal 17 tahun, beliau palsukan tanggal lahir beliau menjadi 26 Januari 1930. Konon, tanggal 26 Januari beliau comot dari tanggal lahir Jenderal Douglas MacArthur (26 Januari 1888), panglima Sekutu untuk Pasifik Barat Daya, yang diidolakan ayah saya. Tanggal itu terus melekat pada diri beliau, tertera di nisan beliau, dan kami anak-anaknya senantiasa memperingati 26 Januari sebagai hari ulang tahun beliau.

Sesuai nama barunya, di usia yang tergolong belia itu beliau sudah meninggalkan rumah dan menjadi pria yang mandiri dengan berkarier di ketentaraan, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan tidak melulu bercokol di kampung halaman beliau, Purwokerto.

Baru-baru ini, sebuah akun Instagram mengunggah video pendakian Gunung Slamet, yang ketika mencapai salah satu puncaknya menampakkan papan bertuliskan “Puncak Wijaya”. Di 3.248 meter di atas permukaan laut (mdpl), Wijaya merupakan puncak tertinggi kedua Gunung Slamet (3.432 mdpl)—puncak tertingginya, Puncak Surono namanya, berada di 3.428 meter di atas permukaan laut. Yang terlihat dari arah rumah kakek saya tampaknya adalah Puncak Wijaya.

Bagi masyarakat Jawa, puncak (gunung) melambangkan Yang Maha Tinggi. Jadi lengkap pengertian saya mengenai nama ayah saya: tegar, kuat, dan berwibawa tetapi tak pernah lupa untuk berpasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 12 Oktober 2024

Thursday, October 10, 2024

Bertukar Tempat: Perjalanan Saya ke Subud

Ditulis aslinya dalam bahasa Inggris atas permintaan dari Pemimpin Redaksi majalah Subud Voice, Harris Smart.

 

BANYAK dari keluarga besar saya, teman-teman non Subud, maupun saudara-saudari Subud sendiri, yang menganggap saya Subud-minded, atau orang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di dan untuk Subud. Mereka menilainya dari apa yang mereka lihat di media sosial saya—postingan-postingan tulisan dan foto kegiatan sehari-hari saya—serta kehidupan sehari-hari saya. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa sebelum masuk Subud saya sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada perkumpulan spiritual ini.                                   

Justru sahabat dan rekan saya sesama praktisi branding yang begitu penasaran dengan Subud. Agus namanya. Kami pernah sekantor, sama-sama menjadi copywriter di sebuah biro iklan papan atas di Jakarta. Dan ketika kami sama-sama melanjutkan karier di Surabaya, Jawa Timur, pada awal 2000an, ia bahkan berhasil membujuk bosnya untuk membajak saya untuk menjadi creative director di biro iklan tempatnya bekerja yang bersaing keras dengan biro iklan dimana saya bekerja.

Agus memiliki ketertarikan yang sungguh mendalam pada spiritualitas. Ia pernah menekuni tasawuf model Persia hingga mistikisme Jawa dan aliran kebatinan yang mengajarkan ilmu tenaga dalam serta perdukunan. Sedangkan saya putra tunggal dalam keluarga yang beribukan seorang wanita asli Aceh, sebuah provinsi di Indonesia yang secara historis menjadi pusat penyebaran agama Islam, terkenal dengan julukan “Serambi Mekah” serta sangat kuat berakar pada syariat Islam. Saya hanya menjalankan syariat, menekuni salat lima waktu dan salat Jumat serta salat-salat sunah, berpuasa di bulan Ramadan, serta, sebagaimana kaum muslim awam lainnya, saya sangat takut masuk neraka. Saya tidak mengetahui apapun tentang spiritualitas, meskipun mungkin saya pernah atau sering melakukannya tanpa saya sadari.

Bagaimanapun setianya saya pada ajaran agama Islam, pada awal dekade 2000an saya terperosok ke ateisme. Kecewa pada bagaimana hidup saya berjalan, selalu kekurangan uang, dan bernafsu mengejar jabatan tinggi di kantor, telah membuat saya menanggalkan agama dan kepercayaan saya pada Tuhan. Lucunya, saya tetap hobi berpuasa, namun hal itu tidak saya kaitkan dengan ibadah. Berpuasa 100 hari berturut-turut tetap saya lakukan tiap tahun, tetapi mengabaikan puasa Ramadan.

Pada suatu hari di pertengahan pertama tahun 2003, saya berkunjung ke rumah kontrakan Agus di Surabaya. Dia sedang tergila-gila pada ilmu hakikat, hingga Tuhan-pun ia urai hakikatNya. Dia berhasil membuat sejumlah tamunya terpikat (tampaknya begitu) pada apa yang dia presentasikan dengan menggunakan whiteboard di ruang tamu rumahnya. Dia membedah hakikat Tuhan, surga dan neraka, dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (salah satu dari Sembilan Wali {Wali Sanga} Islam di Indonesia). Saya, yang sama sekali tidak tertarik, nyelonong saja menuju kamar tidurnya Agus. Saya hanya basa-basi menyapa para tamunya sambil berlalu dari ruang tamu.

Di antara tamu-tamunya, terdapat satu pria paruh baya yang bertubuh langsing, berkumis tipis dan berkulit langsat. Pakaiannya pun sangat rapi, perlente. Saya perhatikan sekilas bahwa ia tak begitu tertarik pada presentasi Agus, dan terfokus hanya pada rokok kretek yang diisapnya serta menyeruput kopinya. Suatu hari, pria bernama Heru itu mengajak saya makan siang, tetapi saya tampik lantaran saya sedang berpuasa. “Apa yang membuatmu berpuasa?” tanyanya ke saya.

“Ada sesuatu di dalam diri saya mendorong saya melakukannya,” jawab saya. Hal itu menjadi dasar Heru untuk mengkritik Agus, yang pernah mengatakan ke Heru bahwa ia tidak pernah membagi pemahaman spiritualnya dengan saya, lantaran saya tidak tertarik dengan spiritualitas.

“Kamu hanya berteori, Gus. Anto (nama asli saya; Arifin adalah nama Subud) itu sudah praktik langsung. Meskipun mungkin dia tidak sadar, dia sedang mengikuti bimbingan jiwanya untuk berpuasa. Dia lebih spiritual daripada kamu,” kata Heru kepada Agus suatu hari.

Pada pertengahan kedua tahun 2003, saya dan Agus dipecat dari biro iklan tempat kami bekerja. Dia kembali ke Jakarta, sedangkan saya menetap di Surabaya dan menjadi copywriter lepasan untuk biro iklan milik Heru yang sudah di ambang kebangkrutan. Karena belum tersedia ruang kerja buat saya, Heru mempersilakan saya untuk menempati ruang rapat. Di ruang rapat itu terdapat sebuah lemari buku yang menyimpan koleksi buku-buku bertema pemasaran, periklanan, branding, dan desain grafis. Mengetahui bahwa saya hobi membaca, Heru mempersilakan saya mengakses buku-buku miliknya itu, yang tentu saja saya sambut gembira.

Dua buku menarik perhatian saya, karena tampak berbeda lantaran bukan bertema periklanan atau pemasaran. Terjepit di sudut lemari, kedua buku itu masing-masing menampakkan judul-judulnya: Susila Budhi Dharma dan Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Saya mengambil Susila Budhi Dharma. Foto seorang pria dalam busana tradisional pria Jawa di bagian muka buku membuat jantung saya berdebar. Saya mengira Heru adalah pengikut Kejawen atau aliran sesat. Saya segera menutup buku tersebut dan mengembalikannya di tempat semula. Buku Autobiografi lebih ramah bagi saya, kecuali tulisan “Khusus untuk Anggota” di bagian bawah kulit buku tampak mengintimidasi.

Karena Heru sedang pergi ke kantor kliennya, dan saya hanya berdua dengan pegawai administrasi di kantor biro iklan miliknya itu, saya memberanikan diri membaca Autobiografi. Jantung saya berdebar kencang membaca jalinan kalimat di buku tersebut, terasa hidup dan seolah menyedot saya ke dalam kisah-kisah yang diceritakannya. Saya ingin melanjutkan membacanya malam itu, tetapi khawatir Heru tidak akan membolehkan saya membawa buku itu pulang saya pun diam-diam memasukkannya ke dalam tas saya. Malam itu, sambil berbaring di ranjang, saya larut dalam pembacaan Autobiografi. Perlahan-lahan, kepercayaan saya kepada Tuhan mulai muncul kembali, dipicu oleh dialektika pribadi saya selama membaca buku tersebut.

Pada akhirnya, Heru mengetahui bahwa saya telah diam-diam membawa pulang buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo miliknya. Baginya, tidak apa-apa saya melakukan itu, tetapi ia sedikit khawatir bila “sesuatu” terjadi pada diri saya dalam proses pembacaan. Mungkin Heru khawatir saya mengalami krisis. Tetapi saya meyakinkan dia bahwa saya baik-baik saja, dan bahwa saya percaya semua yang tertulis di dalamnya, walaupun saya tidak begitu mengerti mengapa saya mempercayainya. “Jika Tuhan menghendaki, aku rasa ya bisa saja terjadi,” kata saya, singkat.

Kehadiran Maha Besar

PADA suatu ketika, masih di tahun 2003, Heru mengajak saya ke kantor kliennya, sebuah lembaga amil zakat nasional di Surabaya, untuk mendapatkan brief pengerjaan delapan iklan cetak, yang diharapkan si klien dapat menyuguhkan ide-ide kreatif yang out-of-the-box. Sepulang dari kantor klien, karena hari sudah malam Heru menyuruh saya pulang. Ia berpesan, begitu sampai di rumah agar saya mandi dan kemudian tidur. “Sebelum tidur, kamu mohon pada Tuhan, ‘Ya Allah, jika proyek ini memang rezekiku tolong aku diberi petunjuk. Jika tidak ya tidak apa-apa.’ Jangan kamu paksa Tuhan, pasrahkan saja,” pesan Heru.

Saya melakukan semua yang Heru sampaikan ke saya. Sekitar jam dua dini hari, saya terbangun oleh sebuah kilasan visual, antara tidur dan terjaga. Saya membatin, “Apakah itu?” Suara diri saya berkata, “Lakukan salat Tahajud dulu.”

Saya pun menunaikan salat Tahajud sebanyak dua raka’at, namun saya kecewa karena saya tidak mendapat apa-apa lagi setelahnya. Saya lalu duduk sendirian di dapur, termenung sambil mengisap beberapa batang rokok berturut-turut. Nah, saat itulah saya merasakan kepala saya terbelah dan sebuah cahaya memasuki ruang bagian dalam kepala saya, mengucurkan delapan ide cemerlang untuk kedelapan iklan cetak yang diminta kliennya Heru. Saya serasa didikte oleh sesuatu yang gaib untuk mencatat masing-masing ide, baik secara tekstual maupun visual.

Ketika saya mempresentasikan ide-ide dari sumber gaib itu ke Heru, ia memegang dada kirinya, sembari mengatakan bahwa bila dadanya bergetar, maka itu adalah pertanda baginya bahwa ide-ide itu memang luar biasa. Ia lantas menyuruh desainer grafisnya untuk me-layout ide-ide itu menjadi iklan cetak.

Beberapa hari kemudian, kami berdua pergi ke kantor klien untuk mempresentasikan dummy iklannya. Karena demam panggung, saya minta Heru yang mempresentasikannya, tetapi ia menolak, dengan alasan bahwa sayalah yang menerima ide-ide itu pertama kalinya. Heru menyuruh saya, yang duduk di sebelahnya, untuk memejamkan mata dan menghentikan pikiran saya. Sesaat kemudian saya merasakan suatu keberadaan yang maha besar duduk persis di sebelah saya, merangkul saya dan menenangkan saya. Seolah ia berkata ke saya agar saya rileks, tidak perlu takut. Lalu ia berkata, “Mulai!” Seketika saya mulai berbicara, mempresentasikan ide-ide itu. Saya tidak berpikir sama sekali dan menyaksikan bagaimana mulut saya bergerak sendiri, mengucapkan kalimat demi kalimat yang menggambarkan rasional kreatif dari dummy iklan-iklan itu.

Di luar dugaan saya maupun Heru, klien sangat senang dengan ide-idenya dan untuk pertama kalinya dalam karier Heru ia baru mengalami saat itu klien menyetujui konsep kreatifnya justru di presentasi pertama, tanpa ada revisi sama sekali. Iklan-iklan itu ditayangkan di koran nasional yang berbasis di Surabaya selama bulan Ramadan 2003, untuk menarik zakat, infak dan sedekah dari umat Islam. Dan dampak dari kampanye iklan cetak itu, klien kami berhasil mengumpulkan jumlah terbesar dalam sejarah keberadaan lembaga amil zakat itu: Rp1,8 miliar dalam satu hari, sehari sebelum Idulfitri tahun 2003!

Ketika saya mengutarakan kekaguman saya yang luar biasa atas pengalaman itu, Heru berkomentar, “Itulah yang sering aku alami sejak aku melakukan Latihan Kejiwaan Subud.”

Perusahaan Pertambangan

SEKITAR tiga minggu setelah Idulfitri, Agus datang ke Surabaya, mengunjungi biro iklan milik Heru dan menemui kami. Agus masih orang yang sama, yang suka membedah hakikat Tuhan dan mengulas ajaran-ajaran spiritual. Heru memberitahunya bahwa hari itu akan ada saudara Subud dari Jakarta yang bertamu ke Wisma Subud Surabaya, dan mengajak Agus ke sana bila ia masih berminat untuk mengetahui lebih banyak tentang Subud. Saya sendiri berharap tidak diajak, tetapi Heru tiba-tiba berkata, “Kamu ikut juga ya?!”

Awalnya saya menolak, karena saya merasa mengantuk dan ingin segera pulang. Heru tahu benar bahwa saya sangat suka makan, sehingga ia melakukan pendekatan yang unik untuk mengajak saya, “Ada banyak makanan enak di Subud!” Saya terbujuk rayuannya dan mengiyakan ajakannya. Lucunya, yang terjadi di Wisma Subud Surabaya adalah saya dan Agus malah bertukar tempat: Dia yang mendatangi meja makan dan mengambil makanan serta asyik menikmatinya, sedangkan saya terpaksa berdiri di hadapan seorang pria berbadan besar yang duduk di teras Hall Latihan.

Heru memperkenalkan saya kepada pria tersebut, “Mas Adji, ini teman saya ingin tahu tentang Subud.”

Tentu saja saya membantah tetapi di dalam hati, karena sejatinya bukan saya yang ingin masuk Subud, melainkan Agus. Bagaimanapun, saya berusaha menemukan alasan yang tepat ketika Mas Adji bertanya, apa yang sudah saya ketahui tentang Subud. Dengan gugup saya menjawab bahwa yang saya tahu adalah bahwa Subud adalah sebuah perusahaan pertambangan.

Saya pernah bersama seorang teman berada dalam kendaraan umum yang melewati Wisma Subud Cilandak di Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan, dan teman itu dengan sok taunya memberitahu saya, “Lihat, itu Subud, sebuah perusahaan pertambangan. Lihat itu banyak orang asing yang bekerja di situ!”

Ketika saya mengarahkan pandangan saya ke gerbang Wisma Subud memang tampak beberapa orang kulit putih berjalan keluar, jadi saya yakin Subud memang seperti yang dikatakan teman saya. Bagi masyarakat Indonesia, perusahaan yang memperkerjakan orang asing pastilah perusahaan besar, dan kebanyakan perusahaan besar di Indonesia memang bergerak di bidang pertambangan dan migas.

Mendengar jawaban saya, Mas Adji tertawa terbahak-bahak sampai bahunya bergoncang. Matanya menyipit ketika tertawa, membuatnya segera mengingatkan saya pada aktor Hong Kong, Chow Yun Fat. Mas Adji kemudian berkata bahwa Subud memang memiliki tambang, tetapi Subud bukan itu. “Subud adalah pendidikan jiwa,” katanya. Ia lantas mempersilakan saya dan Agus memasuki Hall Latihan, di mana sejumlah anggota dan pembantu pelatih Cabang Surabaya telah berkumpul, duduk lesehan di lantai Hall beralaskan karpet. Mas Adji mengambil tempat di depan mereka semua, duduk di kursi. Pemandangan itu mengingatkan saya pada ruangan besar di istana kerajaan, di mana raja yang duduk di singgasana kebesarannya bertemu dengan rakyatnya yang bersikap penuh hormat dan segan.

Masih segar di ingatan saya saat ini tentang malam itu, ketika Mas Adji membacakan salah satu bab dari buku Susila Budhi Dharma. Yang tidak saya ingat adalah ucapannya, karena saya terlalu sibuk dengan merasakan kepala saya tiba-tiba membesar lalu mengecil dan kemudian serasa dijepit dari kedua sisi oleh dua tangan raksasa, dan jantung saya serasa jatuh ke perut. Beberapa pembantu pelatih telah berusaha meminta saya dan Agus agar meninggalkan ruangan, karena kami dianggap belum dibuka, bahkan belum mengandidat. Tetapi para pembantu pelatih itu hanya mendapat hardikan keras dari Mas Adji, yang memberitahu mereka bahwa sebagai anggota Subud mereka wajib menjelaskan kepada siapapun yang berminat.

Akhirnya, Mas Adji sendiri yang meminta saya dan Agus untuk meninggalkan ruangan, karena acara selanjutnya hanya untuk anggota. Mas Adji menyatakan ingin bersalaman dengan “Mas Anto dan temannya” (dia sejak semula tidak pernah menyebut nama Agus). Ketika Mas Adji menggenggam tangan kanan saya dengan erat, ia berkata, “Semoga kita menjadi saudara, ya.” Saya tidak paham apa maksudnya, saat itu.

Takut Mati

KEPERGIAN saya ke Wisma Subud Surabaya malam itu (19 Oktober 2003) tanpa memberitahu istri saya via SMS atau telepon telah membuat istri saya sangat marah dan menghukum saya keesokan harinya dengan menyuruh saya mencuci semua pakaian kotor kami, yang telah menumpuk selama seminggu, sementara ia pergi ke rumah orang tuanya.

Saya biasa mencuci pakaian dengan kedua tangan saya, tetapi pada hari Sabtu, 20 Oktober 2003, itu terjadi sesuatu yang aneh. Saat mendengar kumandang azan Dzuhur, saya tiba-tiba menangis dan sekujur tubuh saya bergetar, seperti tersengat listrik. Lalu, saya mendengar suara diri saya menyuruh saya untuk salat Dzuhur—sesuatu yang sudah lama tidak saya lakukan karena sempat tidak percaya agama dan Tuhan. Usai dua salam yang menutup prosesi salat saya, saya tiba-tiba terjengkang ke belakang dan merasakan sesuatu mendesak keluar dari diri saya.

Saya tiba-tiba ketakutan, takut mati. Apalagi kepada saya secara gaib diperlihatkan sebuah rangkaian visual menyerupai film yang menampilkan deretan perbuatan-perbuatan buruk saya di masa lalu. Hal itu membuat saya menangis sekaligus semakin ketakutan. Saya sangat takut mati saat itu, apalagi membayangkan istri saya nanti pulang lalu menemukan saya sudah menjadi mayat. Dengan panik, saya mengirim SMS ke Heru (kelak saya baru tahu bahwa ia adalah pembantu pelatih Subud Surabaya), menceritakan kejadian itu, dan Heru lantas menelepon saya, menyuruh saya untuk berbaring di ranjang dengan tenang dan tidak melawan apapun yang datang kepada saya. Saya lakukan persis yang ia suruh. Saya merasa badan saya melayang, terbang di atas permukaan kasur, lalu saya tertidur.

Saya terbangun karena mendengar pemberitahuan dari telepon seluler saya tentang adanya telepon masuk. Dari Heru, yang menginformasikan bahwa ia sudah berkonsultasi dengan Dewan Pembantu Pelatih Cabang Surabaya, dan mereka menantikan kedatangan saya di Wisma Subud Surabaya pada hari Senin, 22 Oktober 2003, untuk memulai masa tunggu saya selama tiga bulan. Karena berbagai kesibukan, saya baru dibuka lebih dari empat bulan kemudian, yaitu pada 11 Maret 2004.

Agus sendiri dibuka satu setengah tahun setelah saya, di Jakarta. Dia hanya sebentar di Subud. Kini dia sudah tidak pernah lagi datang Latihan.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Oktober 2024


Tuesday, September 24, 2024

Buku Pengingat Ikrar

MENANTI hari pernikahan bagi pasangan yang saling mencintai merupakan kegiatan yang membangkitkan semangat. Bagi saya, sebagai copywriter, masa penantian itu menjadi momen mengekspresikan kreativitas tanpa batas yang menyenangkan, yang saya wujudkan dengan mengajak kekasih saya menorehkan pena untuk mengungkapkan segala harapan kami ketika sudah resmi menjadi suami-istri.

Untuk itu, saya membeli buku catatan yang terbuat dari bahan daur ulang, yang berkali-kali menempuh perjalanan Jakarta-Surabaya pergi pulang agar calon istri saya juga dapat turut mengisinya. Terpisah dari 144 pucuk surat saya yang diterima kekasih saya dan 142 pucuk yang saya terima darinya selama masa pacaran kami yang berlangsung secara jarak jauh (long-distance relationship/LDR) dalam kurun waktu tiga tahun dan delapan bulan, buku inilah yang menjadi pengingat hingga kini tentang apa-apa yang telah kami ikrarkan.

Saya menuliskannya mulai 13 April 1997 atau 164 hari sebelum saya mengucapkan ijab kabul di hadapan ayah dari calon istri saya serta penghulu. Tulisan terakhir bertanggal 17 Agustus 1997 atau 38 hari menuju hari pernikahan kami, dan selanjutnya komunikasi dilakukan via telepon interlokal, karena masing-masing dari kami sudah sangat sibuk dengan segala persiapan.

Pada 25 September 1997 jarak lebih dari 780 km antara Jakarta dan Surabaya diperpendek menjadi hanya beberapa sentimeter, yaitu ketika saya dan mempelai wanita duduk bersebelahan di hadapan penghulu.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 September 2024