UI adalah dosen muda yang turun dari KRL, pagi-pagi, sehabis hujan, berjalan menghindari becek dan kena ceprot Toyota; adalah profesor yang pakai sendal; adalah mahasiswi yang repot ngurus rambutnya; adalah juru tik yang membuka amplop gaji dan isinya hanya bon.
(Angin memupuri gedung rektorat, berhamburan ke danau, berjalan hati-hati di selasar masjid, lalu bergegas kembali ke hutan karet)
UI adalah bisik-bisik porno di perpustakaan; adalah pengantar surat yang terpeleset di lantai marmer Rektorat; adalah bau keringat SPP di bank; adalah kaca mata yang ketinggalan di lab; adalah teriakan “uuu” di ruang komputer ketika tiba-tiba PLN ngadat
(Hujan berdenting di genteng Rektorat, menciptakan lumpur di bekas-bekas galian, menggenang di saluran macet, dan berjingkat pulang ke hutan karet)
UI adalah obrolan politik di kantin; adalah “E” yang jagoan KO dan “A” yang alhamdulillah; adalah mahasiswa yang menandatangankan daftar hadir temannya; adalah lektor yang salah masuk ruang kuliah; adalah woki toki yang bergantung di sabuk satpam
(Langit adalah mata yang tak pernah pejam, yang senantiasa mengawasi kita, yang tak habis-habisnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kita, yang sekaligus memberikan angin, air dan matahari kepada kita)
UI adalah suara seorang, sepuluh, seratus,
entah berapa ribu anak-anak muda berjaket kuning yang menyanyikan larik-larik
himne perlahan saja namun seperti tak ada habisnya...
Sapardi Djoko
Damono—ditulis untuk buku 40 Tahun UI:
Menoleh ke Belakang Sambil Melangkah Maju (1990)
No comments:
Post a Comment