Sunday, August 31, 2025

Jiwa-Jiwa yang Saling Membantu

PADA akhir Juli 2025 lalu, saya bermimpi. Mimpi yang “mempertemukan” kembali saya dengan perempuan cantik yang pernah dekat dengan saya dalam suatu hubungan dengan kandungan unsaid love. Sebuah mimpi yang indah sekaligus membuat saya kelabakan akibat rindu yang begitu kuat terhadap perempuan itu. Kejadiannya diceritakan dalam artikel blog ini yang saya posting pada 1 Agustus 2025, berjudul “35 Tahun Kemudian”.

Mimpi itu mendorong saya untuk melakukan pencarian tentang keberadaan perempuan bernama Djahtera Nasution itu. Pencarian saya lakukan melalui internet. Aneh bin ajaib, tidak ada jejak digitalnya sama sekali, kecuali satu yaitu skripsinya di Program Studi (Prodi) Sastra Jerman Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau FSUI (kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIBUI), berjudul “Pembentukan Konsep Ditinjau Dari Segi Psikolinguistik” (1991). Saya juga bertanya pada beberapa alumni FSUI, yaitu kakak saya yang alumnus Prodi Sastra Belanda seangkatan dengan Tera (1985), dan dua alumni Sejarah FSUI Angkatan 1986.


Kakak saya merasa tidak pernah mendengar nama itu, padahal Prodi Sastra Jerman dan Sastra Belanda dipayungi jurusan yang sama; Jurusan Germania sebutannya di FSUI. Tetapi dia ingat beberapa alumni Sastra Jerman Angkatan 1985. Satu alumnus Sejarah FSUI Angkatan 1986 pernah menjadi panitia Penataran P4 bagi mahasiswa baru UI di Gugus 07 (FSUI) tahun 1990, sama halnya dengan Tera—demikian panggilan akrabnya—dan saya, tetapi ia tidak ingat adanya anggota panitia bernama Tera Nasution. Alumnus Sejarah Angkatan 1986 lainnya ingat ia sering mengobrol dengan Tera dan satu temannya dari Sastra Jerman Angkatan 1985, tetapi ia lupa yang mana orangnya.

Saya sempat frustrasi dengan pencarian itu, tetapi dikuatkan lagi dengan curhat ke dua pembantu pelatih dan beberapa saudara dan saudari Subud. Salah satu pembantu pelatih, berkebangsaan Amerika, yang paling senior dan dulu dekat dengan Bapak serta sangat Bapak-minded, mengatakan bahwa pengalaman saya lumrah di Subud; tidak sedikit anggota yang pernah mengalaminya.

Di saat frustrasi itu, saya bahkan pernah meluapkan amarah saya kepada Tuhan serta minta petunjuk kepada YM Bapak dengan perasaan gregetan. “Kalau dia sudah tiada, mengapa Engkau hadirkan lagi dalam hidupku, ya Tuhan?!” ucap saya di kamar tidur yang saya tempati sendirian. “Berikanlah aku petunjuk apakah dia masih ada di dunia ini atau sudah meninggalkannya.”

Pada dini hari 25 Agustus, sepulang dari nongkrong bersama lima saudara Subud di Nasi Kulit Ayam Gokskin, Jl. Caringin Barat No. 13, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, saya melakukan Latihan di kamar tidur saya. Usai Latihan, saya melanjutkan dengan testing kejiwaan, yang dua di antara pertanyaan-pertanyaannya terkait keberadaan Tera dan apa yang harus saya lakukan. Saya menerima dengan sangat jernih bahwa Tera sudah tidak ada di dunia ini—suatu penerimaan yang sulit saya tolak tetapi tidak pula ingin saya akui! Saya juga mendapat petunjuk, agar saya cukup mendoakannya saja atau “menyerap jiwanya” untuk melakukan Latihan “bersama”.

Pada 30 Agustus 2025, saya memposting foto wajah Tera hasil rekonstruksi artificial intelligence (AI) Google Gemini yang memiliki kemiripan mendekati 100% di linimasa Facebook saya, disertai cerita bahwa saya kehilangan jejak keberadaannya tetapi tidak menyebutkan namanya. Postingan itu dikomentari satu alumnus Sastra Jerman FSUI Angkatan 1986 bahwa ia akan membantu saya mencarinya. Ia minta saya memberi tahu lewat inbox Facebook Messenger.

Kepada Indah, demikian namanya, saya kirim pesan FB Messenger saya yang berbunyi: “Cewek Jerman ‘85 itu namanya Tera Nasution. Lengkapnya Djahtera Nasution. Si Edi Sudarjat (Sejarah ‘87) pernah saya tanya bertahun-tahun lalu, dia jawabnya, ‘Ah, lupakan Tera, dia sudah mati.’ Entah meninggal dunia atau Edi minta saya melupakannya.”

Tigapuluh dua menit kemudian, Indah menjawab pesan saya dengan informasi yang merontokkan hati saya, membuat saya galau dan akhirnya ditohok perasaan sedih yang teramat kuat, sebagai berikut: “Lho, kan dia sudah lama meninggal? Dibunuh orang. Dia dulu kerja di Lufthansa lalu dia menjadi saksi kasus korupsi salah satu pejabat Lufthansa. Satu hari sebelum bersaksi, dia ditabrak orang dan meninggal. Tak banyak yang tahu masalah ini. Saya kebetulan tahu. Kalau nggak salah saya ikut melayat ke Bogor.”

Indah agak lupa kapan Tera meninggal—apakah tahun 1997 atau 1998. Tapi yang jelas, masih kurun waktu 1990an. Almarhumah lulus UI tahun 1991. Artinya, enam atau tujuh tahun setelah meninggalkan kampus UI Depok ia meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

Bila dihitung dari tahun 2025, kejadiannya 27 atau 28 tahun lalu. Saya di Subud baru 21 tahun, sedangkan pengalaman mimpi dan/atau tiba-tiba merasa rindu pada Tera terjadi dua kali dalam kurun waktu sejak saya dibuka di Subud. Tetapi, yang terjadi sebulan belakangan ini jauh lebih kuat mempengaruhi diri saya.

Saking galaunya, saya kemudian berkonsultasi ke pembantu pelatih senior yang orang Amerika itu. Dia bercerita tentang banyaknya anggota Subud, baik di Indonesia maupun luar negeri, yang mengalami konektivitas spiritual dengan jiwa dari orang-orang yang sudah meninggal, termasuk yang tidak mereka dikenal.

Saya menangis hampir sepanjang tengah malam. Menangis sesenggukan karena kesedihan yang mendalam. Bagaimanapun, saya ditegur oleh jiwa saya, yang mengingatkan saya bahwa saya pernah minta Tuhan dan YM Bapak agar saya mendapat petunjuk segera mengenai Tera dan bahwa saya akan ikhlas menerima bilamana ia sudah tiada. Informasi dari Indah, nyatanya, merupakan pukulan yang berat bagi saya. Tera sudah tiada justru ketika saya merasakan cinta dan kerinduan yang kuat kepadanya—yang seharusnya saya sampaikan kepadanya 35 tahun yang lalu.

Usai menangis, saya terdiam, merasakan diri. Ada secercah perasaan bahagia di sana, bersela dengan kesedihan saya. Saya kemudian menenangkan diri, sambil berbaring di matras tidur saya, merasakan vibrasi Latihan. Saat itulah, Latihan meluruhkan kesedihan saya dan dengan jernih saya terbimbing untuk berucap, “Tera, aku minta maaf kalau dulu aku tidak mempedulikan perasaanmu padaku, karena dulu aku masih labil, nggak mampu berkomitmen. Dulu itu, aku juga mencintaimu tapi aku nggak jujur pada diriku sendiri. Aku akan selalu merindukanmu, Tera, dan akan selalu mendoakanmu. Aku mencintaimu, Tera.”

Setelah itu, saya menerima vibrasi Latihan yang kuat, merasakan penyatuan jiwa saya dengan jiwanya. Selepas itu, saya baru bisa tidur dengan pulas.

Saya bersyukur mendapat pengalaman ini. Pengalaman yang oleh pembantu pelatih senior asal Amerika itu disimpulkan: “Wow! Ya, jadi jelas koneksinya adalah jiwa ke jiwa. Jadi, kita tidak perlu memikirkannya. Bersyukur kan bahwa kita bisa melakukan hal itu. Bahwa jiwa-jiwa saling membantu dan mempertahankan hubungan-hubungan.” ©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 31 Agustus ke 1 September 2025

No comments: